"Tidak, Bintang!" Brian berucap tegas, menolak hasil pemikiran konyol dari sang putri.
"Tapi, Bintang menginginkan Mama, Bintang ingin Mama," teriak Bintang, ia kembali rewel."Mengapa Bintang sangat ingin Mama? Selama ini Bintang hanya punya Papa dan semuanya baik-baik saja 'kan," ujar Brian, berhasil membuat Bintang diam.Berbeda dengan Luna, ia hanya duduk diam di tempatnya. Luna merasa tidak berhak untuk ikut campur antara Brian dan Bintang. Lagi pula, Luna dan Bintang juga baru mengenal, begitu pun dengan Brian."Semua orang memiliki Mama, mengapa Bintang tidak memiliki Mama?" cicit Bintang, ia berujar sangat pelan, hingga terdengar suara isak tangis yang berusaha ditahannya."Bintang, kenapa menangis." Luna yang tidak tega segera menghampiri Bintang, menggendongnya.Sedangkan Brian, ia memilih untuk keluar. Meninggalkan Luna yang berusaha menenangkan Bintang. Kepalanya terasah berdenyut, pusing. Baru kali ini Bintang menginginkan sosok Mama. Dan hanya Luna, Bintang tidak menginginkan yang lainnya."Brian…" Brian menoleh saat mendengar suara bisikan di sebelahnya."Ada apa?" tanya Brian, ia juga memelankan suaranya seperti yang dilakukan Luna."Bintang sudah tidur," sahut Luna, menunjuk ke bagian ranjang pasien. Di sana Bintang sedang tidur dengan memeluk boneka beruang kesayangannya.Brian berdiri, menghampiri Bintang. Memperhatikannya dengan baik. Bintang terlihat masih sangat lemas, ia bahkan kembali tertidur padahal baru saja bangun beberapa menit yang lalu."Permisi Pak, ini Makanan yang anda minta." Seorang pengawal yang tadi diperintahkan oleh Brian untuk membeli makanan sudah kembali."Untukmu saja," ujar Brian, membuat Luna menoleh, menatapnya. Ingin protes, tapi tidak bisa. Makanan itu memang milik Luna, Brian memesannya untuk Luna."Tolong jaga Bintang, saya harus mengurus sesuatu dulu," ujar Brian pada para pengawalnya. Mereka mengangguk patuh, "Kau, ikut denganku!" Brian mengajak Luna untuk pergi dari sana.Tempat yang mereka pilih adalah kantin rumah sakit, agar Luna juga bisa menikmati makanannya.Luna makan dengan lahap, ia memang belum makan sejak pagi. Sedangkan Brian hanya menatap Luna, Brian tampak tidak berselera dengan makanannya."Kau seperti orang yang tidak pernah makan," ledek Brian sembari menyodorkan botol air mineral pada Luna. Karena makan dengan terburu-buru, Luna sampai tersedak makanan."Ah, Maaf." Luna menerima botol minuman yang disodorkan Brian. Segera meminumnya, lalu kembali melanjutkan kegiatannya menyuapkan makanan ke dalam mulut. Kali ini lebih pelan."Kau tidak makan?" tanya Luna, melihat makanan Brian yang hanya berkurang sedikit. Berbeda dengan Luna yang sudah menghabiskan makanannya tanpa sisa."Aku sudah kenyang," jawab Brian.Terjadi keheningan selama beberapa saat, mereka sama-sama diam. Baik Brian maupun Luna, sama-sama sibuk dengan pikiran mereka masing-masing."Tentang apa yang dikatakan Bintang, aku harap kau tidak memasukkannya ke dalam hati. Itu hanya omongan anak kecil yang belum mengetahui apa-apa," papar Brian, akhirnya membuka pembicaraan."Aku meminta maaf untuk hal yang kurang mengenakkan yang terjadi hari ini. Aku tahu, kau orang yang baik, tapi aku masih berpikir kalau kehadiranmu disekitar Bintang bisa membawa pengaruh buruk untuknya." Setelah mengatakan itu, Brian kembali diam beberapa saat, "jadi, aku harap kau benar-benar pergi setelah ini, dan jangan lagi muncul dihadapan kami. Aku, dan juga Bintang," pintah Brian."Tidak perlu meminta maaf, aku yang bersalah di sini. Karena aku, semua hal ini terjadi. Dan, aku janji, aku tidak akan menemui kalian lagi," ujar Luna bersungguh-sungguh.Bagaimanapun, Luna tidak bisa memaksa untuk berada di sekitar Bintang. Meski Luna merasa nyaman saat Bintang berada dalam pelukannya."Aku juga ingin berterima kasih. Terima kasih sudah menyelamatkan aku, dari tempat yang sangat menyeramkan itu." Luna bergidik ngeri, saat mengingat mengenai tempat pengurungan itu."Aku hanya membantu sesama manusia, itu bukanlah hal yang sulit. Lagi pula, aku juga merasa geram dengan laki-laki tua itu, dia sangat licik!" geram Brian saat mengingat kembali perlakuan laki-laki tua itu.Jika memiliki kesempatan, rasanya Brian ingin menghajar laki-laki tua itu. Dia benar-benar tidak memiliki rasa balas kasih, bahkan pada perempuan. Apakah dia tidak memiliki ibu, saudara perempuan, atau anak perempuan?"Aku hampir lupa, aku juga ingin mengucapkan terima kasih karena sudah membantuku mengurus Bintang hari ini. Aku akan membayarmu untuk itu." Brian mengeluarkan beberapa ikat uang dari saku celananya, menyerahkannya pada Luna. Brian memang sudah menyiapkan hal itu."Tidak perlu, aku tulus melakukannya," tolak Luna, mendorong kembali tumpukan uang itu."Ambil saja, ini hanya sedikit. Lagi pula, kau membutuhkan uang sekarang." Brian meletakkan uang itu dalam genggaman tangan Luna.Tangan Luna bergetar, saat setumpuk uang itu berada dalam genggamannya. Untuk pertama kalinya, Luna memegang uang sebanyak itu."Bagaimana dengan uang yang tiga ratus juta itu?" tanya Luna, ragu.Brian tampak berpikir. "Begini saja, jika kita kembali bertemu. Maka kau bisa membayarnya. Jika kita tidak lagi bertemu, maka kau tidak perlu membayarnya. Kau mengerti maksudku kan? Tentang permintaan aku, agar kau tidak lagi menemuiku dan juga Bintang. Maka kau tidak perlu membayar uang tiga ratus juta itu.""Kau bisa pergi, sekarang!"Setelah mengatakan itu, Brian melangkah menjauh, begitu pun dengan Luna yang juga pergi. Mereka berjalan sesuai alur langkah mereka, saling bertolak belakang. Mereka memang tidak memiliki arah tujuan yang sama. Lalu, di titik mana mereka akan bertemu nantinya?Brian kembali ke ruang perawatan Bintang. Di sana sudah ada sekretaris pribadinya yang menunggu, Adrian."Kau membawa apa yang aku minta?" tanya Brian, dan Adrian memberikan kertas berisikan beberapa informasi."Jadi, dia tinggal sendirian?" gumam Brian, membaca tiap bait tulisan yang ada dalam kertas tersebut."Iya, kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan mobil. Dan ternyata orang tuanya memiliki banyak utang, rumahnya menjadi salah satu barang yang diambil untuk melunasi utang orang tuanya, tapi masih tidak cukup juga," jelas Adrian.Brian kembali membuka lembar halaman kertas yang dibacanya, hingga ia mengernyitkan keningnya. Membaca tiap wacana yang tertuang dalam kertas tersebut."Orang tuanya meninggal dalam kecelakaan?" tanya Brian, menatap Adrian sembari menunjukkan kertas yang dipegangnya."Iya, orang tuanya meninggal dalam kecelakaan itu."Brian diam selama beberapa saat, kembali ke halaman pertama, membaca detail informasi pribadi Luna."Dia tidak dekat dengan Bintang?" tanya Brian kemudian, ia bisa merasakan bagaimana Bintang yang begitu nyaman saat bersama dengan Luna."Iya, dari informasi yang saya dapatkan. Mereka tidak pernah bertemu sebelumnya, untuk pertama kalinya mereka bertemu saat kejadian di rooftop."Sebelumnya, Brian memang memerintahkan pada Adrian untuk mencari tahu tentang Luna. Secara lengkap dan mendetail, termasuk bagaimana Luna bisa bertemu dan dekat dengan Bintang."Benarkah?"Brian masih juga ragu, Bintang biasanya tidak nyaman dengan orang yang baru dikenalnya. Tapi, mengapa berbeda dengan Luna."Papa." Masih asik membaca informasi tentang Luna, Brian menoleh ke arah ranjang pasien saat mendengar Bintang memanggilnya."Dimana Mama?" tanya Bintang yang langsung mencari Luna, ia mengedarkan pandangannya mencari-cari keberadaan Luna."Sudah pergi," jawab Brian, singkat, tanpa berusaha memberi alasan lain yang kiranya bisa diterima oleh Bintang.Mendengar hal itu, Bintang jadi diam, dan perlahan mulai terisak. Bintang memukul-mukul dada Brian yang saat ini tengah menggendongnya, Bintang melampiaskan kekesalannya."Papa jahat!" teriaknya."Bintang benci Papa! Bintang ingin Mama Luna!" Bintang berteriak histeris."Bintang ingin Mama Luna!" Bintang masih terus menangis, sedangkan Brian hanya berusaha menenangkannya. Hingga Bintang mulai lelah sendiri.Saat dirasa Bintang sudah mulai melunak, tidak lagi histeris dan menangis dengan keras, Brian lalu mendudukkan Bintang di ranjang. Menatapnya, berusaha memberikan pengertian pada Bintang."Bintang, dengarkan Papa. Mama Luna bukanlah Mama Bintang," ujar Brian. Namun tidak mendapatkan tanggapan apapun dari Bintang."Mama Luna punya kehidupan sendiri yang berbeda dengan kita, jadi dia tidak bisa ada di sini dan menjadi Mama Bintang," jelas Brian, masih berusaha menjelaskan.Namun, Bintang terlanjur merajuk, dia tidak ingin berbicara pada Brian. Bintang bahkan mendiamkan semua orang. Bintang juga menolak untuk makan dan meminum obat, hanya terus-terusan berada di atas ranjang tanpa ingin melakukan sesuatu."Bintang, jangan seperti ini!" bentak Brian, ia mulai jengah dengan diamnya Bintang. Sejak kemarin Bintang terus seperti itu."Papa jahat! Bintang benci sama Papa!" teriak Bintang, ia kembali menangis, merasa sedih juga karena dibentak.Brian menghela napas, ia sudah cukup lelah karena baru saja pulang dari kantor. Belum juga Brian beristirahat, tapi masih harus menghadapi Bintang yang merajuk."Baiklah, apa yang Bintang inginkan? Papa akan mengabulkannya," ujar Brian akhirnya, meskipun Brian sudah tahu. Kalau nama Luna pasti akan menjadi jawaban."Mama Luna, Bintang ingin Mama Luna menjadi Mama Bintang." Dan benar saja, nama Luna benar-benar keluar dari mulut Bintang. Ia bahkan menghentikan tangisnya seketika."Baiklah, Bintang harus makan dulu. Setelah makan dan minum obat, Papa akan pergi menjemput Mama Luna," janji Brian."Papa janji?" tanya Bintang. Ia tersenyum lebar, melupakan kesedihannya."Iya, Papa janji."Setelah Makan dan minim obat, Brian meninggalkan Bintang yang bermain dengan Adrian dan para pengawalnya. Brian melajukan mobilnya, menuju sebuah tempat yang sudah diketahuinya.Saat sudah sampai di tempat tujuannya, Brian memarkirkan mobilnya. Segera keluar dari mobil, namun seseorang yang berdiri di dekat sebuah mobil hitam mengalihkan perhatiannya. Brian mengenal sosok laki-laki itu."Sepertinya dia laki-laki yang ada dalam rekaman cctv itu, apakah dia tidak dipenjara? kenapa dia bisa berada di sini," gumam Brian.Hingga Ia mulai sadar, sesuatu yang buruk sedang terjadi pada Luna."Aku mohon, jangan lakukan itu...." rintih Luna, berusaha meronta dengan sisa tenaganya yang semakin terkuras.Baju Luna nyaris terlepas dengan kedua tangan yang terikat. Ia tidak bisa lagi melakukan perlawanan, hanya bisa berteriak meminta tolong, meski suaranya terasa tercekat.Luna melihat dua laki-laki yang berbadan kekar itu, tergesa-gesa membuka pakaiannya. Luna menutup kedua matanya, menahan napas."Aku benci hidup ini!" batin Luna. Ia dapat merasakan, dadanya yang terasa sesak karena tidak ada pasokan oksigen. Tetes-tetes air mata Luna menjadi saksi, ia ingin mengakhiri hidupnya.Di sisi lain, Brian dengan cepat segera masuk ke dalam rumah. Saat ia menyadari, Luna sedang dalam bahaya. Meski begitu, Brian berusaha melangkah pelan untuk mencari keberadaan Luna.Hingga langkah kaki Brian terhenti, rahangnya mengeras, tangannya terkepal kuat. Luna ada di hadapan Brian, berbaring di atas lantai dengan kedua tangan yang terikat. Pakaian Luna berantakan, nyaris tidak menutupi seluruh
"Apa yang Anda pikirkan? Semua masalah telah selesai. Kasus dengan para rentenir sudah diatasi, Luna sudah kembali sehat, Bintang juga mulai membaik," celetuk Adrian saat melihat Brian yang selama beberapa hari ini, tampak gelisah."Bukankah mereka benar-benar seperti ibu dan anak," gumam Adrian. Mengikuti arah pandang Brian yang terus tertuju pada Luna dan Bintang yang sedang bermain."Tidak perlu ragu, dia bisa Anda manfaatkan untuk merawat Bintang. Dia memiliki sertifikat sebagai perawat yang sudah cukup berpengalaman," ujar Adrian, "selain itu, hal tersebut juga akan lebih memudahkan Anda untuk menebus semuanya."Dalam diam, Brian membenarkan apa yang dikatakan oleh Adrian. Selain menepati janjinya pada Bintang, Luna juga bisa membantunya untuk merawat Bintang lebih khusus."Lagi pula, sebentar lagi Anda memasuki kepala tiga. Anda harus segera menikah untuk citra Anda juga, atau Anda akan kembali disorot oleh media dengan berita yang tidak berbobot," tutur Adrian, mengingat ia pern
"Apa aku boleh bertanya sesuatu?" tanya Luna pada Brian. Saat ini mereka hanya berdua, di taman belakang rumah yang sudah kembali bersih seperti semula. Tidak ada lagi hiasan yang menandakan bahwa baru saja dilangsungkan sebuah acara pernikahan.Rumah besar ini sudah kembali sepi, hanya ada pengawal yang berjaga di beberapa bagian. Itu pun, mereka tidak benar-benar terlihat.Sedangkan Adrian, ia mengantar Bintang kembali ke rumah sakit, dan Bibi Megan lebih memilih menginap di hotel. Serta para pengawal yang sempat datang menghadiri pernikahan, sudah kembali ke tempat masing-masing untuk melaksanakan tugasnya.Pelaksanaan pernikahan yang begitu singkat, hanya sesaat. Setelah itu, semuanya selesai. Luna bahkan masih bingung, mereka seperti bermain-main saja, alih-alih melangsungkan pernikahan sungguhan."Ada apa, hm? Tanyakan saja jika ada yang mengganggu pikiranmu." Brian mengusap tengkuknya, merasa canggung saat hanya berdua dengan Luna. Duduk saling berdekatan, di sebuah bangku yang
"Aku akan menunjukkan kamarmu," ujar Brian sembari memegang tangan Luna. Mereka berjalan beriringan masuk ke dalam rumah. Hingga mereka sampai di depan sebuah pintu kayu berwarna hitam."Ini kamarmu," ujar Brian, menggeser pintu tersebut hingga menampilkan nuansa kamar tidur yang sangat elegan, tidak banyak hiasan berlebihan. Namun, mampu membuat Luna menatap takjub."Di sebelah kamar ini adalah kamar Bintang," jelas Brian lagi.Luna hanya terus mengangguk saat Brian berbicara, menunjukkan semuanya pada Luna. Seperti kamar mandi, tempat berganti pakaian, dan juga segala keperluan Luna yang sudah tersedia.Hingga tatapan Luna tertuju pada sebuah foto, seorang perempuan yang tersenyum memamerkan giginya. Rambutnya pendek, seperti rambut Luna."Apa dia ibu Bintang?" Luna hendak mengambil foto yang berada di atas meja itu, namun belum juga Luna menyentuhnya, suara Brian lebih dulu menghentikan Luna."Jangan pernah menyentuh fotonya! Apa lagi kalau kau sampai menyingkirkannya!"Luna cukup
Luna mundur beberapa langkah, saat tangannya tidak sengaja mengenai sebuah foto yang membuat foto tersebut jatuh dan menghantam lantai yang keras. Bingkai kayu yang membungkusnya patah, kaca yang menjadi pelindungnya berhamburan menjadi serpihan-serpihan kecil. Luna tidak sengaja menjatuhkannya saat meletakkan semangkuk bubur di atas meja."Apa yang kau lakukan!"Luna yang berjongkok untuk memungut serpihan-serpihan keca itu, menoleh saat mendengar suara berat Brian yang tertahan.Brian menarik tangan Luna untuk berdiri, membuat serpihan kaca yang sudah ia kumpulkan di tangannya kembali jatuh berhamburan."Aku... aku tidak sengaja." Luna berucap gugup, tidak berani menatap Brian yang menggeram marah melihat foto Bella dengan serpihan-serpihan kaca di atasnya."Aku sudah memintamu untuk tidak menyentuhnya, bukan! Kau hanya harus melakukan tugasmu!" tekan Brian dengan amarah yang tertahan.Brian berjongkok untuk mengambil foto itu, lalu ia kembali berdiri dan berdiri menatap Luna yang ha
"Tidak ada!" jawab Brian, berbohong."Benarkah, jika ternyata Anda berbohong, jangan membuat saya harus menyelesaikannya jika nanti ada masalah. Karena Anda bahkan tidak memberitahukan pada saya," ucap Adrian lugas.Adrian hanya ingin tahu, setidaknya Adrian bisa menyiapkan antisipasi untuk masalah apa pun itu nantinya. Karena bagaimanapun juga, Brian sudah pasti akan selalu menyeret Adrian dalam masalah yang ia timbulkan sendiri."Sebenarnya, aku membuat perjanjian dengan Luna," ujar Brian, "Seperti yang kau tahu, aku tidak akan membiarkan Luna hidup menderita di luar sana, aku harus bertanggung jawab atas dia. Karena itulah, aku berjanji akan melepaskannya, saat dia benar-benar sudah menemukan seseorang yang bisa menjaga dan melindunginya. Kami sepakat akan berpisah saat itu terjadi.""Apakah Anda yakin? Bagaimana jika Luna tidak akan pernah menemukan orang itu? Haruskah dia terus berada dalam pengawasan Anda?"Brian menghela napas, ia mulai ragu dengan perjanjian yang ia buat sendir
"Bukan apa-apa, Bibi Megan hanya berkunjung sebentar." Luna berbohong, ia tidak akan mengatakan yang sebenarnya pada Brian, seperti janjinya pada Bibi Megan."Lalu, mengapa dia marah, Bintang tidak mungkin berbohong. Dan juga, Bibi Megan adalah orang yang penyayang, dia tidak mudah marah. Atau, kau membuat kesalahan?" tebak Brian, membuat Luna mengangguk kaku."Iya, aku tidak tahu minuman seperti apa yang disukainya. Jadi, aku hanya membuatkannya segelas teh, tapi ternyata Bibi Megan menyukai kopi," jelas Luna, memberi alasan."Dia seharusnya tidak marah jika hanya mengenai hal itu," ujar Brian.Bintang yang menjadi pendengar, hendak protes mengenai apa yang dikatakan Luna dan ingin mengatakan yang sebenarnya. Namun, Luna lebih dulu menutup mulutnya dengan sebelah tangan, sembari mengedipkan sebelah matanya, meminta Bintang untuk tidak mengatakan apa pun."Ada apa? Kau menyembunyikan sesuatu dariku?" selidik Brian, menatap curiga pada Luna."Bintang, katakan pada Papa, jangan berbohong
'Mengapa aku terus memikirkan hal itu. Belum tentu hal itu yang akan menjadi permintaannya,' batin Brian, "Lagipula, kita memang sudah membuat perjanjian. Entah cepat atau lambat, kita akan tetap berpisah saat dia sudah menemukan seseorang yang bisa menjaganya," gumam Brian, pandangan matanya tidak lepas dari seorang perempuan yang tertawa lepas, seolah tidak memiliki beban apa pun dalam hidupnya.Luna, untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Akhirnya bisa menghirup udara segar yang membuatnya lebih tenang, meski masih banyak kekacauan dalam pikirannya, setidaknya tidak seburuk dulu. Luna merasa lebih bisa bernapas sekarang, jika dibandingkan dengan dulu.Melihat Luna yang seperti itu, Brian ikut tertular untuk menarik ujung bibirnya ke atas. Tersenyum hanya dengan memandangi Luna dan Bintang. Sesekali menguping pembicaraan mereka."Papa, Mama. Kata dokter, Bintang tidak perlu ke rumah sakit lagi 'kan, Bintang hanya perlu meminum obat agar segera sembuh." Bintang berceloteh tentang
Baru saja matahari terbit, jelas bersinar sang surya, saat itu berjalanlah seorang perempuan, berdiri di ujung tangga di atas sana. Pandangannya mengarah ke bawah, melihat kesibukan orang-orang yang begitu ramai.Setiap sudut ruangan telah dihiasi dengan bunga mekar yang begitu segar, mengeluarkan aroma harum yang menyerbak ke penjuru rumah. Ribuan hiasan berkilau layaknya permata yang menyejukkan mata. Sorot lampu bercahaya keemasan menyinari setiap ruang. "Sayang, mengapa berdiri di sini, hm?" Dengan lembut, melingkarkan tangannya di perut sang istri. Dagunya bertumpu pada bagian pundak, membuat pipi mereka saling bersentuhan."Brian, kamu meninggalkan Bara sendirian?" tanya Luna, menoleh untuk melihat wajah sang suami yang masih diselimuti rasa kantuk."Ada Bintang yang menemaninya, sayang. Bara juga belum bangun. Sekarang jawab pertanyaan aku, mengapa berdiri di sini?" tanya balik Brian yang masih menuntut jawaban atas pertanyaannya.
"Mengapa tidak pernah mengatakan padaku, bahwa Bibi Megan yang selama ini mengancam kamu?" sesal Brian, menyayangkan sikap Luna yang menyembunyikan kejahatan Bibi Megan selama ini. Sehingga Brian tetap berpikir kalau Bibi Megan adalah orang yang sangat baik."Maaf, Bibi Megan mengancam aku. Dan, aku tidak ingin kehilangan rumah itu, karena hanya itulah satu-satunya peninggalan orang tuaku," cicit Luna, turut merasa bersalah."Jadi kamu rela menukar aku dengan rumah panggung itu?" tanya Brian yang berpura-pura merajuk, namun sebenarnya ia hanya bergurau saja.Luna tertawa, beberapa hari ini Brian sering mengungkit-ungkit kalau Luna rela menukar suaminya demi harta. Hal itu membuat Luna merasa geli sendiri, apalagi mengingat wajah Brian yang seolah begitu kesal saat mengatakan itu. Seolah Brian tidak memiliki harga sedikit pun jika dibandingkan dengan rumah panggung peninggalan orang tua Luna."Bukan seperti itu, sayang." Luna mengusap wajah Brian y
"Jadi, sebenarnya Adrian menyadari perasaan Sely, tapi dia memilih acuh dan pura-pura tidak tahu?" tanya Luna, masih tidak menyangka."Hm," jawab Brian bergumam, ia semakin erat memeluk perut Luna sembari melabuhkan beberapa kecupan.Saat sebelum tidur, Brian lebih sering mensejajarkan tubuhnya tepat di depan perut Luna, agar ia lebih muda mengusap-usap perut Luna saat tiba-tiba Luna merasa keram. Sebelum itu, Brian juga selalu menyempatkan diri untuk memberi pijatan di seluruh tubuh Luna, karena Luna yang hampir setiap saat mengeluh karena merasa pegal pada seluruh tubuhnya."Sayang, jawab yang benar. Jangan hm, hm, saja," protes Luna sembari meminta Brian untuk menatapnya."Iya, sayang. Adrian tahu kalau Sely suka sama dia.""Terus, kenapa dia diam saja? Mengapa tidak mengungkapkan perasaannya? Atau, jangan bilang Adrian menunggu Sely yang mengungkapkan perasaan lebih dulu." Luna tidak habis pikir jika memang Adrian melakukan itu.
"Seperti yang saya duga, Anda yang akan telat."Brian berpura-pura tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Adrian. Brian baru keluar dari kamar utama setelah selesai mandi, dan ternyata sudah banyak orang yang menunggunya."Kau seperti tidak tahu saja, orang yang lagi melepas rindu itu seperti apa," balas Dokter Rio yang juga berada di sana."Memangnya, Anda tahu?" balas Adrian yang balik bertanya."Sepertinya, kau juga tidak tahu."Meski hubungan Adrian dan Dokter Rio sudah tidak seburuk dulu, namun yang sekarang tidak bisa juga disimpulkan sebagai hubungan yang terjalin dengan baik. Karena mereka belum bisa mengobrol dengan santai, dan lebih sering berdebat."Mengapa malah kalian yang jadi berisik!" tegur Sely saat Adrian dan juga Dokter Rio masih juga berdebat, "kalian tidak dipanggil ke sini untuk memperdebatkan hal yang tidak jelas!"Adrian dan Dokter Rio sontak menutup rapat mulut mereka. Namun, mereka saling melem
Luna masih berdiri di tempatnya, meragukan pengelihatannya atas sambutan yang baru saja ia dapatkan saat turun dari mobil. Luna bahkan merasa kalau kesadarannya belum sepenuhnya terkumpul."Selamat datang kembali, sayang." Brian memeluk Luna dari belakang, melingkarkan tangan di perut besar Luna, mengusapnya pelan."Selamat datang di rumah, Baby," bisik Brian.Namun, Luna masih juga diam. Ia hanya berfokus pada sosok anak kecil yang begitu ia rindukan, Bintang. Dia ada di sana, menyambut Luna dengan sebuah buket bunga yang jauh lebih besar dari tubuhnya."Mama…." lirih Bintang, berjalan dengan pelan menghampiri Luna dengan membawa buket bunga besar itu."Mama…." Luna tak sanggup lagi, ia melepaskan diri dari Brian, merentangkan tangan, menunggu Bintang datang dalam dekapannya."Mama kemana saja? Bintang menunggu Mama, Bintang rindu dengan Mama, Bintang hanya ingin Mama Luna, bukan Bibi Sely. Maafkan Bintang, Mama." Bint
Ucapan permohonan maaf dan juga pelaksanaan sangsi atas pelanggan hukum adat yang telah dilakukan oleh Luna dan Baim, berlangsung dengan lancar. Penanaman seratus pohon tanaman selesai hanya dalam sekejap, karena dilakukan oleh puluhan orang pengawal gabungan milik Brian dan juga Baim."Terima kasih, sudah menjaga Luna disaat aku tidak ada di sampingnya," ucap Brian."Hm, aku harap kau tidak melakukan itu lagi. Atau kau akan benar-benar kehilangan Luna selamanya!""Sekarang, Luna adalah adikku. Jadi, jangan mencoba untuk menyakitinya, atau kau tidak akan bertemu lagi dengannya!"Brian hanya tersenyum, karena tanpa Baim mengancam seperti itu pun, Brian tidak akan pernah menyakiti Luna. Brian tidak akan pernah melepas Luna dari genggamannya."Aku dengar, kau sudah menikah. Apakah itu pernikahan yang sengaja tidak kau ungkap ke publik?"Brian cukup tahu dengan Baim sebagai sesama rekan kerja, jadi seharusnya Brian mendapatkan undangan atas pernikahan Baim. Namun, Brian bahkan tidak perna
Brian duduk termenung, memandangi permukaan jari manisnya, dimana sebuah cincin mengikat di sana. Cincin pernikahannya dengan Luna."Aku begitu mencintaimu Luna, hingga melupakan satu hal. Bahwa aku akan melepaskanmu setelah kamu menemukan sosok pria yang bisa kamu jadikan rumah yang nyaman, yang akan melindungimu setiap saat," gumam Brian."Apakah sekarang sudah waktunya?""Apakah, dia orang yang akhirnya kamu pilih?"Brian menghela napas, perasaannya tak menentu. Apakah Brian bisa melepaskan Luna untuk orang lain? Bagaimana dengan anak yang dikandung Luna, bukankah itu anak Brian?"Anda hanya membuang-buang waktu di sini, saat istri Anda sedang kesakitan karena merasa keram pada perutnya."Adrian yang sedari tadi menatap Brian dari jarak yang cukup jauh, memutuskan untuk langsung menghampiri Brian. Adrian ingin merasa kasihan, namun disisi lain Adrian juga merasa kesal dengan sikap tidak sabaran Brian. Hingga ia terus menerus s
Suasana di rumah pemangku adat sedang ramai-ramainya, para warga berkumpul untuk memastikan berita burung yang sudah menyebar.Luna, perempuan yang baru pindah ke kampung mereka, diberitakan melakukan pelanggaran adat. Tantu saja hal ini menjadi buah bibir yang mengantarkan banyak warga menuju rumah pemangku adat, untuk memastikan bagaimana kebenarannya.Luna memang sudah dikenal oleh beberapa orang, termasuk orang tuanya, mengingat Luna dan orang tuanya pernah tinggal di kampung ini sewaktu Luna masih kecil. Dan Luna baru kembali lagi menampakkan diri selama beberapa bulan ini, dengan Luna yang berstatus sebagai istri dari Baim yang bekerja di kota."Jadi, Nak Luna bisa jelaskan dulu, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya sang pemangku adat, "apakah berita itu benar, bahwa kamu selingkuh disaat suami kamu sedang bekerja di kota?""Kami tidak selingkuh, dia istri saya!" tegas Brian.Brian tidak suka mendengar nama Luna disertakan sebagai istri dari pria lain, karena Luna hanyalah istrin
Brian mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan yang ada di dalam rumah, meski terlihat sederhana, namun di sini benar-benar nyaman. Akan tetapi, bukan itu yang sekarang mengganggu pikiran Brian. Kemana saja Brian selama ini, membiarkan istrinya tinggal sendirian, merasakan kesulitan sendirian, di saat Luna tengah mengandung anaknya. Brian benar-benar dipenuhi rasa bersalah.Seandainya Brian tidak berlarut-larut dalam kesedihan dan sempat menaruh rasa benci pada Luna, semua ini pasti tidak akan terjadi. Luna tidak akan menderita sendirian, karena Brian pasti akan menemukannya saat itu juga. 'Semua ini, salahku!' pikir Brian."Brian!""Brian!"Brian terkejut, sontak ia menoleh ke arah Luna yang duduk di dekatnya. Padahal mereka hanya berjarak beberapa sentimeter, mengapa Luna harus berteriak segala."Aku bicara padamu! Mengapa hanya diam saja." Luna melotot, kesal saat ia bercerita panjang lebar tapi Brian hanya diam, sibuk dengan pikirannya sendiri."Maaf, sayang. Aku tidak menden