"Aku mohon, jangan lakukan itu...." rintih Luna, berusaha meronta dengan sisa tenaganya yang semakin terkuras.
Baju Luna nyaris terlepas dengan kedua tangan yang terikat. Ia tidak bisa lagi melakukan perlawanan, hanya bisa berteriak meminta tolong, meski suaranya terasa tercekat.Luna melihat dua laki-laki yang berbadan kekar itu, tergesa-gesa membuka pakaiannya. Luna menutup kedua matanya, menahan napas."Aku benci hidup ini!" batin Luna. Ia dapat merasakan, dadanya yang terasa sesak karena tidak ada pasokan oksigen. Tetes-tetes air mata Luna menjadi saksi, ia ingin mengakhiri hidupnya.Di sisi lain, Brian dengan cepat segera masuk ke dalam rumah. Saat ia menyadari, Luna sedang dalam bahaya. Meski begitu, Brian berusaha melangkah pelan untuk mencari keberadaan Luna.Hingga langkah kaki Brian terhenti, rahangnya mengeras, tangannya terkepal kuat. Luna ada di hadapan Brian, berbaring di atas lantai dengan kedua tangan yang terikat. Pakaian Luna berantakan, nyaris tidak menutupi seluruh tubuhnya.Tanpa kata, Brian berlari dan memukul salah satu dari dua orang laki-laki yang berada di sana. Sehingga terjadi perkelahian, antara Brian dan dua laki-laki tersebut. Sekuat apa pun Brian berusaha menghajar mereka, kekuatannya tidak akan sebandingBeruntungnya, karena ada beberapa pengawal yang selalu mengikuti Brian. Sehingga, Brian bisa mendapat bantuan seketika."Urus mereka!" perintah Brian, ia beralih mendekati Luna saat dua laki-laki itu sudah diringkus oleh para pengawalnya."Bagaimana dengan perempuan itu?" tanya seorang pengawal, melihat Luna yang tidak bergerak, terlihat kaku."Jangan melihatnya!" seru Brian, "kalian semua, keluar dari sini!" perintah Brian sembari berdiri di depan Luna, berusaha menghalangi pandangan para pengawalnya agar tidak ada yang melihat tubuh Luna yang nyaris telanjang.Setelah para pengawalnya pergi, Brian menatap Luna yang pucat. Ada ketakutan dalam diri Brian, melihat Luna yang terbujur kaku."Hei! sadarlah, jangan mati sekarang!" Brian menatap Luna lebih lekat, sedikit mengguncang tubuhnya.Namun, Luna tidak merespon apa pun. Ia masih juga memejamkan mata tanpa menghembuskan napas sedikit pun. Hal itu membuat Brian mengguncang tubuh Luna lebih keras dari sebelumnya.Hingga Luna dapat merasakan tubuhnya yang diguncang, namun Luna seolah tidak bisa melakukan apa pun. Entah mengapa, Luna tidak bisa bergerak, tubuhnya terasa kaku. Ia bahkan tidak bisa menjawab dengan napas yang terus tertahan. Luna seolah lupa, cara untuk bernapas."Mengapa kau menahan napas!" geram Brian, melihat Luna dengan tubuhnya yang masih terdiam kaku."Luna, hei!" Brian berusaha membuka mulut Luna yang tertutup rapat, "buka mulutmu, kau ingin mati!"Brian tidak lagi berpikir jernih, ia tidak peduli dengan luka sobek pada bibir Luna karena menariknya terlalu kuat. Yang ada dalam pikiran Brian hanya satu, Luna harus tetap hidup.Usaha keras Brian untuk menyadarkan Luna ternyata membuahkan hasil, Luna akhirnya menghembuskan napas berat, wajahnya yang semula pucat mulai kembali teraliri darah, memunculkan semburat merah yang perlahan merata ke seluruh tubuhnya. Tubuh Luna juga tidak lagi kaku."Kau sangat merepotkan!" gerutu Brian, ikut menghembuskan napas berat. Merasa kekhawatirannya terhenti. Brian duduk di sebelah Luna yang berbaring mengatur napas.Tidak lama, Brian kembali berdiri. Melepas kemeja putih yang digunakannya. Brian menutupi bagian tubuh atas Luna yang terbuka, ia lalu mengangkat Luna yang masih sangat lemas."Maaf, saya datang terlambat karena ada sedikit masalah di kantor polisi." Adrian yang baru datang mengulurkan tangan, hendak mengambil alih Luna yang ada dalam gendongan Brian, "biar saya yang membawanya.""Tidak perlu, dia tidak memakai baju," jawab Brian, ia berjalan melewati Adrian yang berdiri di depannya."Ha? Lalu mengapa Anda juga tidak memakai baju? Kalian tidak...."Sangat jelas, pikiran Adrian baru saja berkelana karena melihat situasi Brian dan Luna yang sangat mungkin untuk membuat orang yang melihatnya jadi salah paham. Termasuk Adrian."Hentikan pikiran kotormu, Adrian!" bentak Brian saat pikiran Adrian malah tertuju pada hal yang negatif."Buka pintu mobilnya," perintah Brian, membuat Adrian kembali tersadar dan segera mengangguk patuh. Adrian lalu berjalan lebih dulu untuk sampai di mobil, lalu membuka pintu mobil dengan lebar untuk memudahkan Brian.Brian mendudukkan Luna yang masih lemas, memintanya untuk memakai kemeja miliknya terlebih dahulu. Ia dan Adrian menunggu di luar, hingga Luna selesai memakainya."Kita ke kantor polisi?" tanya Adrian, melirik ke arah belakang. Tempat Luna dan Brian."Kau tidak melihat keadaannya? Kita ke rumah sakit!" Brian melirik ke arah Luna, ia duduk dengan tidak nyaman."Tidurlah di pahaku," ujar Brian sembari menepuk pahanya."Tidak perlu, aku baik-baik saja," ujar Luna pelan dengan suaranya yang terdengar serak, menolak tawaran Brian.Brian yang tidak tahan melihat Luna seperti itu, segera menariknya agat mendekat. Membantu Luna untuk berbaring, dengan menggunakan paha Brian sebagai bantal."Maaf, aku merepotkan," gumam Luna pelan.Jarak dari rumah kosan Luna ke rumah sakit, tidak begitu jauh. Mereka sampai hanya dalam waktu beberapa menit. Luna segera di bawah ke unit gawat darurat, untuk mendapatkan pertolongan pertama. Sedangkan Brian dan Adrian menunggu di luar."Apa yang terjadi di kantor polisi?" tanya Brian."Tuan Brato, ia meninggal karena bunuh diri. Sebab itu, para anggotanya ingin membalas dendam pada Luna. Mereka berpikir kalau Luna adalah penyebab bos mereka ditangkap, hingga memutuskan untuk mengakhiri hidupnya," jelas Adrian."Siapa, Brato?" tanya Brian, bingung. Ia tidak mengenal Tuan Brato, dan juga tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya."Laki-laki tua yang sebelumnya, bos para rentenir." Brian mengangguk mengerti."Perintahkan dua orang pengawal untuk berada di sini," ujar Brian, ia segera berjalan menjauh dari sana.Setelah menghubungi pengawal, Adrian segera menyusul Brian yang sudah berjalan keluar lebih dahulu. Mereka akan pergi ke kantor polisi. Masalah ini harus diselesaikan secepatnya, Brian juga memiliki andil untuk bertanggung jawab."Apakah semua orang yang terlibat dalam masalah ini sudah ditangkap?" tanya Brian, ia membaca informasi yang diberikan oleh Adrian, tentang Tuan Brato."Belum, anggota Tuan Brato ada lebih dari tiga puluh orang. Dan yang tertangkap baru dua puluh satu orang," jelas Adrian."Selebihnya?" tanya Brian lagi."Selebihnya, mereka tidak terlibat secara langsung, sehingga tidak ada alasan untuk menangkapnya. Selain itu, mereka tidak ada di tempat ini sekarang."Brian paham, tapi disisi lain ia juga merasa khawatir. Jika Tuan Brato meninggal, maka para anggotanya yang tidak ditangkap akan berusaha membalas dendam. Luna akan tetap berada dalam bahaya, juga dirinya. Cepat atau lambat, semuanya akan terungkap. Tentang keikutsertaannya dalam masalah ini.Sebenarnya, Brian tidak begitu mengkhawatirkan tentang dirinya. Tapi, Brian hanya takut jika Bintang sampai terseret, karena mereka sudah mengetahui posisi Bintang yang menjadi kelemahan Brian."Anda tidak perlu khawatir, saya sudah memperketat pengamanan, terutama di sekitar Bintang. Saya juga membentuk pengamanan khusus untuk Luna. Sekarang ini, saya masih menggali informasi tentang anggota Tuan Brato yang lainnya," ujar Adrian saat melihat Brian yang tampak khawatir."Kerja bagus Adrian, kau memang bisa diandalkan," puji Brian."Tenang saja, apapun itu jika untuk Anda," ujar Adrian, diam-diam ia mengamati Brian yang duduk di belakang, "saya baru melihatnya, Anda yang marah sehingga tanpa ragu mengotori tangan Anda sendiri," gumam Adrian.Mendengar itu, Brian mengangkat pandangannya. Membuat mereka saling menatap, melalui pantulan cermin. Seolah mengerti maksud Adrian, Brian berdecak."Aku hanya membantu sesama manusia," elak Brian. Ia sangat paham, apa yang dimaksud Adrian."Saya tahu itu, Anda memang sangat peduli pada sesama manusia," ujar Adrian. Sangat jelas kalau dia mengejek Brian, karena pada kenyataannya. Brian tidaklah seperti itu, dia adalah orang yang sangat malas untuk ikut campur masalah orang lain."Aku memang membantunya karena hal itu," tegas Brian, ia terlihat salah tingkah. Namun Brian berusaha menutupinya."Iya, saya 'kan sudah mengatakan demikian. Kalau Anda sangat peduli pada sesama manusia."Brian berdecak, merasa semakin kesal saat Adrian terang-terangan mengejeknya. Padahal Brian juga tidak tahu, mengapa ia bisa seperti itu, menjadi sangat peduli pada Luna. Apa karena hidupnya menyedihkan? Ia sebatang kara, dan sedang terlibat dalam masalah yang rumit. Atau, itu hanya bentuk tanggung jawab Brian, atas apa yang sudah terjadi?"Beritahukan pada pengawal yang menjaga Luna, agar mereka segera memberi kabar jika Luna sudah lebih baik," perintah Brian.Memikirkan betapa menyedihkannya hidup Luna, membuat Brian mengeluarkan perintah tanpa disadarinya. Sepertinya Brian benar-benar sulit mengendalikan diri saat itu berkaitan dengan Luna."Baik, pak Brian," ledek Adrian, "saya akan lebih memperhatikan Nyonya Luna sekarang," lanjutnya."Apa maksudmu Adrian, berhenti membicarakan hal yang tidak jelas." Tanpa sadar, Brian menjilat bibirnya yang terasa kering. Tiba-tiba ia merasa gugup saat mendengar apa yang dikatakan Adrian."Saya hanya berpikir, kalau permintaan Bintang benar-benar akan dikabulkan. Bagaimana menurut Anda?""Apa yang Anda pikirkan? Semua masalah telah selesai. Kasus dengan para rentenir sudah diatasi, Luna sudah kembali sehat, Bintang juga mulai membaik," celetuk Adrian saat melihat Brian yang selama beberapa hari ini, tampak gelisah."Bukankah mereka benar-benar seperti ibu dan anak," gumam Adrian. Mengikuti arah pandang Brian yang terus tertuju pada Luna dan Bintang yang sedang bermain."Tidak perlu ragu, dia bisa Anda manfaatkan untuk merawat Bintang. Dia memiliki sertifikat sebagai perawat yang sudah cukup berpengalaman," ujar Adrian, "selain itu, hal tersebut juga akan lebih memudahkan Anda untuk menebus semuanya."Dalam diam, Brian membenarkan apa yang dikatakan oleh Adrian. Selain menepati janjinya pada Bintang, Luna juga bisa membantunya untuk merawat Bintang lebih khusus."Lagi pula, sebentar lagi Anda memasuki kepala tiga. Anda harus segera menikah untuk citra Anda juga, atau Anda akan kembali disorot oleh media dengan berita yang tidak berbobot," tutur Adrian, mengingat ia pern
"Apa aku boleh bertanya sesuatu?" tanya Luna pada Brian. Saat ini mereka hanya berdua, di taman belakang rumah yang sudah kembali bersih seperti semula. Tidak ada lagi hiasan yang menandakan bahwa baru saja dilangsungkan sebuah acara pernikahan.Rumah besar ini sudah kembali sepi, hanya ada pengawal yang berjaga di beberapa bagian. Itu pun, mereka tidak benar-benar terlihat.Sedangkan Adrian, ia mengantar Bintang kembali ke rumah sakit, dan Bibi Megan lebih memilih menginap di hotel. Serta para pengawal yang sempat datang menghadiri pernikahan, sudah kembali ke tempat masing-masing untuk melaksanakan tugasnya.Pelaksanaan pernikahan yang begitu singkat, hanya sesaat. Setelah itu, semuanya selesai. Luna bahkan masih bingung, mereka seperti bermain-main saja, alih-alih melangsungkan pernikahan sungguhan."Ada apa, hm? Tanyakan saja jika ada yang mengganggu pikiranmu." Brian mengusap tengkuknya, merasa canggung saat hanya berdua dengan Luna. Duduk saling berdekatan, di sebuah bangku yang
"Aku akan menunjukkan kamarmu," ujar Brian sembari memegang tangan Luna. Mereka berjalan beriringan masuk ke dalam rumah. Hingga mereka sampai di depan sebuah pintu kayu berwarna hitam."Ini kamarmu," ujar Brian, menggeser pintu tersebut hingga menampilkan nuansa kamar tidur yang sangat elegan, tidak banyak hiasan berlebihan. Namun, mampu membuat Luna menatap takjub."Di sebelah kamar ini adalah kamar Bintang," jelas Brian lagi.Luna hanya terus mengangguk saat Brian berbicara, menunjukkan semuanya pada Luna. Seperti kamar mandi, tempat berganti pakaian, dan juga segala keperluan Luna yang sudah tersedia.Hingga tatapan Luna tertuju pada sebuah foto, seorang perempuan yang tersenyum memamerkan giginya. Rambutnya pendek, seperti rambut Luna."Apa dia ibu Bintang?" Luna hendak mengambil foto yang berada di atas meja itu, namun belum juga Luna menyentuhnya, suara Brian lebih dulu menghentikan Luna."Jangan pernah menyentuh fotonya! Apa lagi kalau kau sampai menyingkirkannya!"Luna cukup
Luna mundur beberapa langkah, saat tangannya tidak sengaja mengenai sebuah foto yang membuat foto tersebut jatuh dan menghantam lantai yang keras. Bingkai kayu yang membungkusnya patah, kaca yang menjadi pelindungnya berhamburan menjadi serpihan-serpihan kecil. Luna tidak sengaja menjatuhkannya saat meletakkan semangkuk bubur di atas meja."Apa yang kau lakukan!"Luna yang berjongkok untuk memungut serpihan-serpihan keca itu, menoleh saat mendengar suara berat Brian yang tertahan.Brian menarik tangan Luna untuk berdiri, membuat serpihan kaca yang sudah ia kumpulkan di tangannya kembali jatuh berhamburan."Aku... aku tidak sengaja." Luna berucap gugup, tidak berani menatap Brian yang menggeram marah melihat foto Bella dengan serpihan-serpihan kaca di atasnya."Aku sudah memintamu untuk tidak menyentuhnya, bukan! Kau hanya harus melakukan tugasmu!" tekan Brian dengan amarah yang tertahan.Brian berjongkok untuk mengambil foto itu, lalu ia kembali berdiri dan berdiri menatap Luna yang ha
"Tidak ada!" jawab Brian, berbohong."Benarkah, jika ternyata Anda berbohong, jangan membuat saya harus menyelesaikannya jika nanti ada masalah. Karena Anda bahkan tidak memberitahukan pada saya," ucap Adrian lugas.Adrian hanya ingin tahu, setidaknya Adrian bisa menyiapkan antisipasi untuk masalah apa pun itu nantinya. Karena bagaimanapun juga, Brian sudah pasti akan selalu menyeret Adrian dalam masalah yang ia timbulkan sendiri."Sebenarnya, aku membuat perjanjian dengan Luna," ujar Brian, "Seperti yang kau tahu, aku tidak akan membiarkan Luna hidup menderita di luar sana, aku harus bertanggung jawab atas dia. Karena itulah, aku berjanji akan melepaskannya, saat dia benar-benar sudah menemukan seseorang yang bisa menjaga dan melindunginya. Kami sepakat akan berpisah saat itu terjadi.""Apakah Anda yakin? Bagaimana jika Luna tidak akan pernah menemukan orang itu? Haruskah dia terus berada dalam pengawasan Anda?"Brian menghela napas, ia mulai ragu dengan perjanjian yang ia buat sendir
"Bukan apa-apa, Bibi Megan hanya berkunjung sebentar." Luna berbohong, ia tidak akan mengatakan yang sebenarnya pada Brian, seperti janjinya pada Bibi Megan."Lalu, mengapa dia marah, Bintang tidak mungkin berbohong. Dan juga, Bibi Megan adalah orang yang penyayang, dia tidak mudah marah. Atau, kau membuat kesalahan?" tebak Brian, membuat Luna mengangguk kaku."Iya, aku tidak tahu minuman seperti apa yang disukainya. Jadi, aku hanya membuatkannya segelas teh, tapi ternyata Bibi Megan menyukai kopi," jelas Luna, memberi alasan."Dia seharusnya tidak marah jika hanya mengenai hal itu," ujar Brian.Bintang yang menjadi pendengar, hendak protes mengenai apa yang dikatakan Luna dan ingin mengatakan yang sebenarnya. Namun, Luna lebih dulu menutup mulutnya dengan sebelah tangan, sembari mengedipkan sebelah matanya, meminta Bintang untuk tidak mengatakan apa pun."Ada apa? Kau menyembunyikan sesuatu dariku?" selidik Brian, menatap curiga pada Luna."Bintang, katakan pada Papa, jangan berbohong
'Mengapa aku terus memikirkan hal itu. Belum tentu hal itu yang akan menjadi permintaannya,' batin Brian, "Lagipula, kita memang sudah membuat perjanjian. Entah cepat atau lambat, kita akan tetap berpisah saat dia sudah menemukan seseorang yang bisa menjaganya," gumam Brian, pandangan matanya tidak lepas dari seorang perempuan yang tertawa lepas, seolah tidak memiliki beban apa pun dalam hidupnya.Luna, untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Akhirnya bisa menghirup udara segar yang membuatnya lebih tenang, meski masih banyak kekacauan dalam pikirannya, setidaknya tidak seburuk dulu. Luna merasa lebih bisa bernapas sekarang, jika dibandingkan dengan dulu.Melihat Luna yang seperti itu, Brian ikut tertular untuk menarik ujung bibirnya ke atas. Tersenyum hanya dengan memandangi Luna dan Bintang. Sesekali menguping pembicaraan mereka."Papa, Mama. Kata dokter, Bintang tidak perlu ke rumah sakit lagi 'kan, Bintang hanya perlu meminum obat agar segera sembuh." Bintang berceloteh tentang
"Mengapa Papa hanya duduk di situ?" tanya Bintang saat melihat sang Ayah yang tampak menjaga jarak dari Mereka, "ayo bermain Papa," ajak Bintang lagi, agar Brian bergabung bersamanya juga Luna dan Adrian."Bintang saja yang bermain bersama Mama Luna dan Paman Adrian, Papa ingin di sini saja," ucap Brian, tersenyum canggung saat tatapan matanya tak sengaja bertemu dengan Luna."Ayo bermain dengan paman saja Bintang, tidak perlu pedulikan Papamu. Dia memang suka aneh," bisik Adrian, namun masih bisa didengar oleh Brian."Aku mendengarnya Adrian!" dengus Brian.Adrian dan Bintang sontak tertawa. Sedangkan Luna, ia hanya tersenyum dan melirik Brian sekilas. Saat tatapan mata mereka tidak sengaja bertemu, Brian segera mengalihkan pandangannya ke arah lain. Membuat Luna jadi merasa janggal, Brian tidak seperti biasanya.'Apa dia merasa canggung karena menangis tadi?' batin Luna.Luna cukup peka untuk menyadari perubahan Brian sejak selesai berbicara sambil menangis dan memeluknya, Brian jadi
Baru saja matahari terbit, jelas bersinar sang surya, saat itu berjalanlah seorang perempuan, berdiri di ujung tangga di atas sana. Pandangannya mengarah ke bawah, melihat kesibukan orang-orang yang begitu ramai.Setiap sudut ruangan telah dihiasi dengan bunga mekar yang begitu segar, mengeluarkan aroma harum yang menyerbak ke penjuru rumah. Ribuan hiasan berkilau layaknya permata yang menyejukkan mata. Sorot lampu bercahaya keemasan menyinari setiap ruang. "Sayang, mengapa berdiri di sini, hm?" Dengan lembut, melingkarkan tangannya di perut sang istri. Dagunya bertumpu pada bagian pundak, membuat pipi mereka saling bersentuhan."Brian, kamu meninggalkan Bara sendirian?" tanya Luna, menoleh untuk melihat wajah sang suami yang masih diselimuti rasa kantuk."Ada Bintang yang menemaninya, sayang. Bara juga belum bangun. Sekarang jawab pertanyaan aku, mengapa berdiri di sini?" tanya balik Brian yang masih menuntut jawaban atas pertanyaannya.
"Mengapa tidak pernah mengatakan padaku, bahwa Bibi Megan yang selama ini mengancam kamu?" sesal Brian, menyayangkan sikap Luna yang menyembunyikan kejahatan Bibi Megan selama ini. Sehingga Brian tetap berpikir kalau Bibi Megan adalah orang yang sangat baik."Maaf, Bibi Megan mengancam aku. Dan, aku tidak ingin kehilangan rumah itu, karena hanya itulah satu-satunya peninggalan orang tuaku," cicit Luna, turut merasa bersalah."Jadi kamu rela menukar aku dengan rumah panggung itu?" tanya Brian yang berpura-pura merajuk, namun sebenarnya ia hanya bergurau saja.Luna tertawa, beberapa hari ini Brian sering mengungkit-ungkit kalau Luna rela menukar suaminya demi harta. Hal itu membuat Luna merasa geli sendiri, apalagi mengingat wajah Brian yang seolah begitu kesal saat mengatakan itu. Seolah Brian tidak memiliki harga sedikit pun jika dibandingkan dengan rumah panggung peninggalan orang tua Luna."Bukan seperti itu, sayang." Luna mengusap wajah Brian y
"Jadi, sebenarnya Adrian menyadari perasaan Sely, tapi dia memilih acuh dan pura-pura tidak tahu?" tanya Luna, masih tidak menyangka."Hm," jawab Brian bergumam, ia semakin erat memeluk perut Luna sembari melabuhkan beberapa kecupan.Saat sebelum tidur, Brian lebih sering mensejajarkan tubuhnya tepat di depan perut Luna, agar ia lebih muda mengusap-usap perut Luna saat tiba-tiba Luna merasa keram. Sebelum itu, Brian juga selalu menyempatkan diri untuk memberi pijatan di seluruh tubuh Luna, karena Luna yang hampir setiap saat mengeluh karena merasa pegal pada seluruh tubuhnya."Sayang, jawab yang benar. Jangan hm, hm, saja," protes Luna sembari meminta Brian untuk menatapnya."Iya, sayang. Adrian tahu kalau Sely suka sama dia.""Terus, kenapa dia diam saja? Mengapa tidak mengungkapkan perasaannya? Atau, jangan bilang Adrian menunggu Sely yang mengungkapkan perasaan lebih dulu." Luna tidak habis pikir jika memang Adrian melakukan itu.
"Seperti yang saya duga, Anda yang akan telat."Brian berpura-pura tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Adrian. Brian baru keluar dari kamar utama setelah selesai mandi, dan ternyata sudah banyak orang yang menunggunya."Kau seperti tidak tahu saja, orang yang lagi melepas rindu itu seperti apa," balas Dokter Rio yang juga berada di sana."Memangnya, Anda tahu?" balas Adrian yang balik bertanya."Sepertinya, kau juga tidak tahu."Meski hubungan Adrian dan Dokter Rio sudah tidak seburuk dulu, namun yang sekarang tidak bisa juga disimpulkan sebagai hubungan yang terjalin dengan baik. Karena mereka belum bisa mengobrol dengan santai, dan lebih sering berdebat."Mengapa malah kalian yang jadi berisik!" tegur Sely saat Adrian dan juga Dokter Rio masih juga berdebat, "kalian tidak dipanggil ke sini untuk memperdebatkan hal yang tidak jelas!"Adrian dan Dokter Rio sontak menutup rapat mulut mereka. Namun, mereka saling melem
Luna masih berdiri di tempatnya, meragukan pengelihatannya atas sambutan yang baru saja ia dapatkan saat turun dari mobil. Luna bahkan merasa kalau kesadarannya belum sepenuhnya terkumpul."Selamat datang kembali, sayang." Brian memeluk Luna dari belakang, melingkarkan tangan di perut besar Luna, mengusapnya pelan."Selamat datang di rumah, Baby," bisik Brian.Namun, Luna masih juga diam. Ia hanya berfokus pada sosok anak kecil yang begitu ia rindukan, Bintang. Dia ada di sana, menyambut Luna dengan sebuah buket bunga yang jauh lebih besar dari tubuhnya."Mama…." lirih Bintang, berjalan dengan pelan menghampiri Luna dengan membawa buket bunga besar itu."Mama…." Luna tak sanggup lagi, ia melepaskan diri dari Brian, merentangkan tangan, menunggu Bintang datang dalam dekapannya."Mama kemana saja? Bintang menunggu Mama, Bintang rindu dengan Mama, Bintang hanya ingin Mama Luna, bukan Bibi Sely. Maafkan Bintang, Mama." Bint
Ucapan permohonan maaf dan juga pelaksanaan sangsi atas pelanggan hukum adat yang telah dilakukan oleh Luna dan Baim, berlangsung dengan lancar. Penanaman seratus pohon tanaman selesai hanya dalam sekejap, karena dilakukan oleh puluhan orang pengawal gabungan milik Brian dan juga Baim."Terima kasih, sudah menjaga Luna disaat aku tidak ada di sampingnya," ucap Brian."Hm, aku harap kau tidak melakukan itu lagi. Atau kau akan benar-benar kehilangan Luna selamanya!""Sekarang, Luna adalah adikku. Jadi, jangan mencoba untuk menyakitinya, atau kau tidak akan bertemu lagi dengannya!"Brian hanya tersenyum, karena tanpa Baim mengancam seperti itu pun, Brian tidak akan pernah menyakiti Luna. Brian tidak akan pernah melepas Luna dari genggamannya."Aku dengar, kau sudah menikah. Apakah itu pernikahan yang sengaja tidak kau ungkap ke publik?"Brian cukup tahu dengan Baim sebagai sesama rekan kerja, jadi seharusnya Brian mendapatkan undangan atas pernikahan Baim. Namun, Brian bahkan tidak perna
Brian duduk termenung, memandangi permukaan jari manisnya, dimana sebuah cincin mengikat di sana. Cincin pernikahannya dengan Luna."Aku begitu mencintaimu Luna, hingga melupakan satu hal. Bahwa aku akan melepaskanmu setelah kamu menemukan sosok pria yang bisa kamu jadikan rumah yang nyaman, yang akan melindungimu setiap saat," gumam Brian."Apakah sekarang sudah waktunya?""Apakah, dia orang yang akhirnya kamu pilih?"Brian menghela napas, perasaannya tak menentu. Apakah Brian bisa melepaskan Luna untuk orang lain? Bagaimana dengan anak yang dikandung Luna, bukankah itu anak Brian?"Anda hanya membuang-buang waktu di sini, saat istri Anda sedang kesakitan karena merasa keram pada perutnya."Adrian yang sedari tadi menatap Brian dari jarak yang cukup jauh, memutuskan untuk langsung menghampiri Brian. Adrian ingin merasa kasihan, namun disisi lain Adrian juga merasa kesal dengan sikap tidak sabaran Brian. Hingga ia terus menerus s
Suasana di rumah pemangku adat sedang ramai-ramainya, para warga berkumpul untuk memastikan berita burung yang sudah menyebar.Luna, perempuan yang baru pindah ke kampung mereka, diberitakan melakukan pelanggaran adat. Tantu saja hal ini menjadi buah bibir yang mengantarkan banyak warga menuju rumah pemangku adat, untuk memastikan bagaimana kebenarannya.Luna memang sudah dikenal oleh beberapa orang, termasuk orang tuanya, mengingat Luna dan orang tuanya pernah tinggal di kampung ini sewaktu Luna masih kecil. Dan Luna baru kembali lagi menampakkan diri selama beberapa bulan ini, dengan Luna yang berstatus sebagai istri dari Baim yang bekerja di kota."Jadi, Nak Luna bisa jelaskan dulu, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya sang pemangku adat, "apakah berita itu benar, bahwa kamu selingkuh disaat suami kamu sedang bekerja di kota?""Kami tidak selingkuh, dia istri saya!" tegas Brian.Brian tidak suka mendengar nama Luna disertakan sebagai istri dari pria lain, karena Luna hanyalah istrin
Brian mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan yang ada di dalam rumah, meski terlihat sederhana, namun di sini benar-benar nyaman. Akan tetapi, bukan itu yang sekarang mengganggu pikiran Brian. Kemana saja Brian selama ini, membiarkan istrinya tinggal sendirian, merasakan kesulitan sendirian, di saat Luna tengah mengandung anaknya. Brian benar-benar dipenuhi rasa bersalah.Seandainya Brian tidak berlarut-larut dalam kesedihan dan sempat menaruh rasa benci pada Luna, semua ini pasti tidak akan terjadi. Luna tidak akan menderita sendirian, karena Brian pasti akan menemukannya saat itu juga. 'Semua ini, salahku!' pikir Brian."Brian!""Brian!"Brian terkejut, sontak ia menoleh ke arah Luna yang duduk di dekatnya. Padahal mereka hanya berjarak beberapa sentimeter, mengapa Luna harus berteriak segala."Aku bicara padamu! Mengapa hanya diam saja." Luna melotot, kesal saat ia bercerita panjang lebar tapi Brian hanya diam, sibuk dengan pikirannya sendiri."Maaf, sayang. Aku tidak menden