"Mama... Mama!" teriakan yang memekik itu terdengar sangat jelas. Membuat seorang pria yang terlihat cemas berhenti berlarian. Ia mengenal suara itu, suara putrinya.
"Bintang?" gumamnya lirih, melihat ke arah sekitar. Sepertinya para pengawalnya juga mendengar suara itu."Segera cari! mengapa kalian berhenti!" bentak pria itu, membuat para pengawalnya bergerak cepat, mencari sumber suara yang hanya terdengar sekilas.Brian, ayah Bintang. Hanya bisa menggeram marah. Ia mengusap wajahnya beberapa kali, ia baru meninggalkan putrinya selama beberapa jam, dan ada banyak pengawal yang berjaga.Tapi, tiba-tiba putrinya sudah tidak ada di ruang perawatannya. Bahkan para pengawal yang berjaga tidak mengetahui keberadaannya, membuat Brian seketika murka."Tuan, Nona Kecil ada di rooftop," teriak seorang pengawal.Brian segera berlari, melewati beberapa anak tangga hanya dengan sekali lompatan. Ia juga tidak menghiraukan tiga orang lainnya yang berjalan berlawanan arah dengannya."Ada apa ini? Apa yang terjadi!" bentak Brian, melihat hanya ada seorang perempuan yang terkulai lemas, tidak sadarkan diri."Dimana Bintang?" Brian berbalik, melihat pengawalnya yang tadi, "dimana putriku!" hardiknya pada pengawal itu, ia nyaris mencekiknya."Aku melihatnya Tuan, tadi. Dia bersama wanita itu!" jawab pengawal itu dengan terbata-bata. Hingga pengawal yang lain datang."Tuan! Saya sudah memeriksa cctv yang ada di sini. Dan, Nona kecil. Dia diculik, sepertinya ada hubungannya dengan perempuan yang di sana," ujar pengawal itu sembari menunjuk pada Luna yang masih tidak sadarkan diri.Brian mengepalkan tangannya, rahang Brian ikut mengeras, ada kilatan amarah dalam matanya. Ia kemudian melangkah mendekati Luna. Hanya dengan menggunakan kakinya, Brian membuat tubuh Luna terbalik. Memperlihatkan wajah Luna yang penuh memar."Bawa perempuan ini!" perintahnya.Brian kemudian pergi dari sana. Ia masih memiliki kesadaran yang cukup untuk tidak menghajar Luna.Ditengah-tengah emosinya yang memuncak, Brian berusaha memupuk sabar yang sangat dibutuhkannya saat ini. Ia bahkan menunggu Luna yang sedang ditangani. Dan saat dokter keluar, Brian segera menemui Luna."Beraninya kau! Kau pikir apa yang kau coba lakukan? Hah!" Sekeras apapun Brian berusaha untuk sabar, ia tetap tidak bisa mengendalikan amarahnya jika itu berkaitan dengan keselamatan Bintang.Sedangkan Luna yang baru sadar beberapa jam yang lalu, cukup terkejut saat melihat seorang pria yang tampak asing di matanya. Pria yang menghampiri Luna dengan bentakan yang mampu membuat telinganya berdengung."Apa yang kau coba lakukan pada putriku, hah! Menunjukkan kekerasan di hadapannya, dan kau bahkan menjadikan putriku sebagai jaminan untuk masalahmu!" bentak Brian, melampiaskan amarah yang sedari tadi mendekam dalam dirinya."Argh...." Luna kembali menjerit kesakitan, rahang dan bagian tulang pipinya masih terasa sakit akibat pukulan tadi, dan sekarang pria yang tidak dikenalinya ini mencengkeram erat rahangnya."Jangan macam-macam denganku, apalagi dengan putriku. Aku bisa lebih jahat dari mereka!" ancam Brian. Namun, Luna tidak bisa berpikir dengan jernih. Ia hanya bisa menjerit tertahan.Saat Brian melepas cengkeramannya, Luna memejamkan mata. Merasakan ngilu pada rahang dan tulang pipinya. Sangat sakit, hingga membuat air mata Luna jatuh dengan sendirinya."Tidak perlu menangis! Aku bisa melakukan hal yang lebih dari ini! Dan juga, kau harus bertanggung jawab atas apa yang sudah kau lakukan!" desis Brian, ia menatap tajam pada Luna yang masih menggeram kesakitan."Maaf sebelumnya Tuan, tapi aku bahkan tidak mengenal Anda," ujar Luna disela-sela rasa sakitnya, Luna memang tidak memiliki kekuasaan, ia hanya orang biasa. Tapi ia juga tidak akan terima jika harus ditindas tanpa ia ketahui di mana letak kesalahannya."Kau tidak mengenalku? Aku juga tidak mengenalmu, lalu kenapa kau menjadikan putriku sebagai jaminan atas masalahmu sendiri!" hardik Brian, wajahnya bahkan memerah dengan rahang mengeras. Ia berusaha menahan emosinya yang meluap.Sedangkan Luna, ia berusaha memikirkannya. 'Siapa anak dari pria itu? Mengapa dia berpikir kalau aku menjadikan putrinya sebagai jaminan? Atau jangan-jangan, dia Ayah dari anak perempuan yang aku temui di rooftop?' batin Luna."Bintang? Apakah Anda Ayah Bintang?" tebak Luna, memastikan."Beraninya kau menyebut nama putriku setelah apa yang kau lakukan!" geram Brian dengan nada rendah, namun ada tekanan dalam setiap ucapannya yang tegas."Memangnya apa yang aku lakukan? Aku tidak melakukan apapun pada putri anda, Tuan," ujar Luna, membela diri.'Menjadikannya jaminan? Aku bahkan berusaha mati-matian untuk melindungi anak kecil itu. Dan imbalannya, aku malah mendapat tuduhan seperti ini,' batin Luna."Kau tidak melakukan apa pun, tapi menyerahkan putriku pada rentenir untuk dijadikan jaminan? Dan kau mesih juga mengelak!" bentak Brian, kembali tersulut emosi saat mendengar Luna yang mengelak. Dia bahkan mencondongkan tubuhnya, mendekati Luna."Selesaikan masalahmu dengan para rentenir itu, dan kembalikan putriku dalam keadaan selamat tanpa ada luka sedikit pun," ujar Brian, suaranya yang terdengar berat dan dalam membuat Luna menelan ludah.Luna memberanikan diri, menatap Brian. Menerka-nerka, apa mungkin para rentenir itu membawa Bintang saat Luna tidak sadarkan diri? Sepertinya hanya itu kemungkinan yang sangat tepat."Mereka mengambil Bintang?" tanya Luna dengan ragu, ia berharap tidak. Hal itu tidak boleh terjadi."Menurutmu?" decak Brian kesal, "sekarang pergi menghadap pada rentenir itu, selesaikan masalahmu dengan mereka. Atau, kau ingin aku menyeretmu ke sana?" ancam Brian.Luna segera bergegas, mencabut jarum infus yang tertancap di tangannya. Terasa berdenyut nyeri dengan darah yang mengalir, tapi itu bukanlah masalah. Yang ada dipikiran Luna hanya Bintang, dia tidak boleh ada di tangan para rentenir itu."Kau mau kemana?" tanya Brian, menahan Luna yang hendak pergi."Kita tidak punya waktu, Bintang tidak boleh ada di sana!" sergah Luna, menyingkirkan tangan Brian yang menahan tangannya. Luna berjalan dengan cepat. Begitu pun dengan Brian yang kini mengikuti Luna."Kau mau berjalan? Naiklah ke mobil," ujar Brian, menarik Luna agar segera masuk ke dalam mobil.Mereka meninggalkan parkiran rumah sakit, menggunakan mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi. Hal itu membuat mereka cepat sampai pada tempat tujuan, di sebuah rumah yang terdapat banyak pengawal.Awalnya, mereka tidak diperbolehkan masuk, hingga Luna menampakkan diri, membuat salah satu pengawal mengantar mereka untuk segera masuk."Kau datang juga rupanya. Aku pikir, kau sudah tidak bernapas," ujar seorang laki-laki tua, dia terkekeh saat melihat wajah Luna yang mengeras."Anak itu, dia sedang tidur," ujar laki-laki tua itu, lagi."Dia tidak ada hubungannya denganku, jadi bebaskan dia!" pinta Luna. Kedua tangannya terkepal, menampakkan buku-buku jarinya yang memutih."Benarkah? Tapi, aku tidak percaya." laki-laki tua itu malah mengejek, menjulurkan lidah seperti anak kecil, "jika dia tidak ada hubungannya denganmu, lalu untuk apa kau berlari ke sini. Bahkan bekas jarum di tanganmu masih mengeluarkan darah," ujarnya lagi, sembari menatap tangan Luna yang meneteskan darah.Luna maju beberapa langkah. Menjatuhkan tubuhnya, berlutut di hadapan laki-laki tua itu. Ini adalah pilihan terakhir yang bisa Luna lakukan. Ia harus memohon dan menyerahkan diri."Aku mohon, lepaskan dia. Aku benar-benar tidak memiliki hubungan apapun dengannya. Dia hanyalah pasien di rumah sakit tempatku bekerja," ujar Luna lirih, memohon dengan menundukkan kepala."Lunasi utangmu, bawa uangnya sekarang. Dan sebagai gantinya, kau bisa mengambil anak itu," ujar laki-laki tua itu.Luna hanya bisa diam dan menunduk dalam, Luna tidak memiliki uang. Andai saja ia memilikinya, tentu masalah ini tidak akan sampai seperti sekarang."Berapa?" tanya Brian. Sedari tadi ia diam, berusaha mencari tahu letak permasalahan antara Luna dan laki-laki tua itu."Berapa yang harus dibayar!" bentak Brian saat pertanyaannya tidak mendapat jawaban. Laki-laki tua itu hanya memandangnya, menelisik dari atas hingga ke bawah."Tenang, tidak usah marah-marah seperti itu. Memangnya kau siapa? Suaminya?" tanya laki-laki tua itu dengan senyum jenakanya."Aku Ayah dari anak perempuan yang kau ambil, dan aku tidak mengenal perempuan ini!" hardik Brian, menunjuk Luna yang duduk bersimpuh di hadapan laki-laki tua itu. Brian hanya memerlukan putrinya, "berapa yang harus dia bayar agar putriku kembali?"Laki-laki tua itu yang kini berubah jadi diam, memikirkan nominal yang harus dibayar. Yang pasti, nominalnya lebih besar dari uang pinjaman orang tua Luna."Lima milyar? Tapi tenang saja, karena kau tidak ada hubungannya dengan perempuan ini." Laki-laki tua itu menunjuk Luna yang masih berlutut, "kau hanya perlu memberiku satu milyar," lanjutnya, kali ini iaa tampak serius."Mengapa sangat banyak? Utang orang tuaku tidak sampai satu milyar, dan kau sudah mengambil rumah kami sebagai bayarannya. Aku hanya perlu membayar sisanya," sergah Luna, ia tidak suka saat laki-laki rubah itu memanfaatkan keadaan."Benarkah? Sepertinya aku melupakan itu, apa karena orang tuamu sudah lama menjadi tanah?" Laki-laki tua itu kemudian tertawa, merasa geli sendiri dengan apa yang ia ucapkan.Sedangkan Luna, ia hanya bisa menahan diri. Meski sangat marah mendengar orang tuanya yang dijadikan lelucon, tapi Luna tidak bisa melawan."Aku akan membayarmu tiga ratus juta, uangnya akan segera sampai," ujar Brian, tegas."Baiklah, mari kita menunggu uang. Uang... oh, uang...." Laki-laki tua itu kembali tertawa. Sembari bersenandung, mengulang-ulang kata 'uang' dengan nada sesukanya.Mereka tidak menunggu lama, hingga datang seorang pengawal. Membawa sebuah tas, dan menyerahkan tas itu pada Brian"Bawa kemari putriku, dan aku berikan uang ini," perintah Brian, menunjukkan uang yang ada di dalam tas tersebut."Hei, bawa kemari anak kecil itu," ujar laki-laki tua itu, memerintahkan salah satu pengawalnya yang ada di sana.Tidak berselang lama, terlihat Bintang yang sedang tertidur dalam gendongan pengawal dibawa keluar dari sebuah kamar. Pengawal itu kemudian menyerahkan Bintang pada Brian."Ini." Brian melemparkan tas yang berisikan uang, jatuh tepat di dekat kaki laki-laki tua itu."Kau sangat tidak sopan," ujar laki-laki tua itu, "anak muda sekarang kehilangan sopan santunnya," ucapnyaagi. Meski begitu, ia tampak bahagia melihat tumpukan uang yang ada di dalam tas."Pergilah, anak muda yang tidak sopan," usir laki-laki tua itu.Brian kemudian melirik pada Luna yang masih berlutut. Luna yang mengerti arti lirikan Brian, hendak berdiri. Akan tetapi, Luna kembali mengadu kesakitan saat sebuah sepatu menginjak sebelah tangannya. Tepat pada bekas infus dengan darah yang sudah mengering."Hei! anak muda yang tidak sopan, aku hanya memintamu pergi sendirian," ujar laki-laki tua itu. ia menggerakkan tangannya, mengusir Brian."Dan kau, urusan kita belum selesai, sayang," ujar laki-laki tua itu, menggoda Luna dengan mengedipkan sebelah matanya."Apa lagi? Bukankah utangnya sudah dilunasi! Lalu, kenapa masih menahanku?" jerit Luna, ia merasakan seluruh tubuhnya berdenyut nyeri."Beraninya kau berteriak dihadapanku!" Laki-laki tua itu geram, melayangkan tamparan yang membuat Luna tersungkur. Ia tidak suka saat Luna mencoba untuk melawan."Apa salahku? Aku merasa tidak memiliki kesalahan apa pun," rintihnya. Luna tidak merasa memiliki kesalahan pada laki-laki tua itu, selain dari hutang yang ditinggalkan orang tuanya.Laki-laki itu tersenyum licik, melihat Luna yang hanya bisa berlutut. 'Anak perempuan yang malang,' pikirnya. Setelah kehilangan kedua orang tuanya, Luna harus terbebani dengan masalah yang dibuat oleh kedua orang tuanya. Hutang yang ditinggalkan kedua orang tua Luna tidak dalam jumlah yang sedikit."Uang tadi hanya untuk membebaskan anak kecil itu," ujar laki-laki tua itu, "untuk utangmu, kau masih harus membayarnya."Laki-laki tua itu kembali diam, dia menampakkan mimik wajah berpikir selama beberapa saat. "Bagai
"Siapa?" suara Bariton milik Brian menginterupsi Luna yang sedang duduk melamun."Ha?" tanya Luna, bingung."Nama?" tanya Brian lagi, kini ia duduk di depan Luna, "aku Brian, Ayah Bintang," ujar Brian, memperkenalkan diri lebih dulu."Ah, aku Luna," jawab Luna yang baru mengerti kemana arah pembicaraan Brian.Saat ini, mereka berada di sebuah kantor yang diyakini Luna sebagai tempat kerja Brian. Ia bahkan sempat membaca papan nama yang ada di atas Meja kerja itu. CEO perusahaan, Brian Alferdo."Kau sudah memikirkannya? Cara untuk membayar tiga ratus juta itu," tanya Brian sembari menatap Luna yang menunduk dengan lesu, memainkan jari-jemarinya."Aku tidak memiliki apa pun, kau bisa mengatakan apa yang kau inginkan," jawab Luna. Ia masih juga menunduk, tidak berani menatap Brian."Benarkah? Aku bisa sangat serakah," ujar Brian, meminta Luna untuk menatapnya, "lihat aku! Aku ada di sini, mengapa kau terus melihat ke bawah."Luna kemudian memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya, menat
"Hm, hm." Luna beberapa kali berdehem, rasa canggung menyelimutinya. Bintang masih berbaring, tertidur setelah meminum obat. Sedangkan di sebelahnya ada Brian yang tengah bersandar memijat kepalanya. Luna tidak tahu harus melakukan apa, seandainya ia menolak saja tadi, saat Brian memberinya tawaran untuk masuk dan melihat Bintang."Aku akan keluar," ujar Brian, ia bahkan sudah berdiri sembari melirik pada Luna. Namun, yang dilirik tidak juga paham, sehingga Luna hanya diam saja."Kau ingin makan apa?" tanya Brian saat tidak ada tanggapan dari Luna.Mendengar itu, Luna mendongak, melihat Brian yang sangat tinggi. Kenapa Luna seperti melihat Pangerang saja. Brian terlalu tampan dengan rambut hitam pekatnya, matanya yang berwarna kecoklatan sudah cukup untuk membuat para perempuan meleleh. Belum lagi bulu matanya yang lentik, serta alisnya yang tebal dan tertata dengan rapi.Luna bahkan sangat ingin menyentuh hidung Brian yang begitu mancung. Seandainya Luna tengah mengandung, ia pasti a
"Tidak, Bintang!" Brian berucap tegas, menolak hasil pemikiran konyol dari sang putri."Tapi, Bintang menginginkan Mama, Bintang ingin Mama," teriak Bintang, ia kembali rewel."Mengapa Bintang sangat ingin Mama? Selama ini Bintang hanya punya Papa dan semuanya baik-baik saja 'kan," ujar Brian, berhasil membuat Bintang diam.Berbeda dengan Luna, ia hanya duduk diam di tempatnya. Luna merasa tidak berhak untuk ikut campur antara Brian dan Bintang. Lagi pula, Luna dan Bintang juga baru mengenal, begitu pun dengan Brian. "Semua orang memiliki Mama, mengapa Bintang tidak memiliki Mama?" cicit Bintang, ia berujar sangat pelan, hingga terdengar suara isak tangis yang berusaha ditahannya."Bintang, kenapa menangis." Luna yang tidak tega segera menghampiri Bintang, menggendongnya. Sedangkan Brian, ia memilih untuk keluar. Meninggalkan Luna yang berusaha menenangkan Bintang. Kepalanya terasah berdenyut, pusing. Baru kali ini Bintang menginginkan sosok Mama. Dan hanya Luna, Bintang tidak mengin
"Aku mohon, jangan lakukan itu...." rintih Luna, berusaha meronta dengan sisa tenaganya yang semakin terkuras.Baju Luna nyaris terlepas dengan kedua tangan yang terikat. Ia tidak bisa lagi melakukan perlawanan, hanya bisa berteriak meminta tolong, meski suaranya terasa tercekat.Luna melihat dua laki-laki yang berbadan kekar itu, tergesa-gesa membuka pakaiannya. Luna menutup kedua matanya, menahan napas."Aku benci hidup ini!" batin Luna. Ia dapat merasakan, dadanya yang terasa sesak karena tidak ada pasokan oksigen. Tetes-tetes air mata Luna menjadi saksi, ia ingin mengakhiri hidupnya.Di sisi lain, Brian dengan cepat segera masuk ke dalam rumah. Saat ia menyadari, Luna sedang dalam bahaya. Meski begitu, Brian berusaha melangkah pelan untuk mencari keberadaan Luna.Hingga langkah kaki Brian terhenti, rahangnya mengeras, tangannya terkepal kuat. Luna ada di hadapan Brian, berbaring di atas lantai dengan kedua tangan yang terikat. Pakaian Luna berantakan, nyaris tidak menutupi seluruh
"Apa yang Anda pikirkan? Semua masalah telah selesai. Kasus dengan para rentenir sudah diatasi, Luna sudah kembali sehat, Bintang juga mulai membaik," celetuk Adrian saat melihat Brian yang selama beberapa hari ini, tampak gelisah."Bukankah mereka benar-benar seperti ibu dan anak," gumam Adrian. Mengikuti arah pandang Brian yang terus tertuju pada Luna dan Bintang yang sedang bermain."Tidak perlu ragu, dia bisa Anda manfaatkan untuk merawat Bintang. Dia memiliki sertifikat sebagai perawat yang sudah cukup berpengalaman," ujar Adrian, "selain itu, hal tersebut juga akan lebih memudahkan Anda untuk menebus semuanya."Dalam diam, Brian membenarkan apa yang dikatakan oleh Adrian. Selain menepati janjinya pada Bintang, Luna juga bisa membantunya untuk merawat Bintang lebih khusus."Lagi pula, sebentar lagi Anda memasuki kepala tiga. Anda harus segera menikah untuk citra Anda juga, atau Anda akan kembali disorot oleh media dengan berita yang tidak berbobot," tutur Adrian, mengingat ia pern
"Apa aku boleh bertanya sesuatu?" tanya Luna pada Brian. Saat ini mereka hanya berdua, di taman belakang rumah yang sudah kembali bersih seperti semula. Tidak ada lagi hiasan yang menandakan bahwa baru saja dilangsungkan sebuah acara pernikahan.Rumah besar ini sudah kembali sepi, hanya ada pengawal yang berjaga di beberapa bagian. Itu pun, mereka tidak benar-benar terlihat.Sedangkan Adrian, ia mengantar Bintang kembali ke rumah sakit, dan Bibi Megan lebih memilih menginap di hotel. Serta para pengawal yang sempat datang menghadiri pernikahan, sudah kembali ke tempat masing-masing untuk melaksanakan tugasnya.Pelaksanaan pernikahan yang begitu singkat, hanya sesaat. Setelah itu, semuanya selesai. Luna bahkan masih bingung, mereka seperti bermain-main saja, alih-alih melangsungkan pernikahan sungguhan."Ada apa, hm? Tanyakan saja jika ada yang mengganggu pikiranmu." Brian mengusap tengkuknya, merasa canggung saat hanya berdua dengan Luna. Duduk saling berdekatan, di sebuah bangku yang
"Aku akan menunjukkan kamarmu," ujar Brian sembari memegang tangan Luna. Mereka berjalan beriringan masuk ke dalam rumah. Hingga mereka sampai di depan sebuah pintu kayu berwarna hitam."Ini kamarmu," ujar Brian, menggeser pintu tersebut hingga menampilkan nuansa kamar tidur yang sangat elegan, tidak banyak hiasan berlebihan. Namun, mampu membuat Luna menatap takjub."Di sebelah kamar ini adalah kamar Bintang," jelas Brian lagi.Luna hanya terus mengangguk saat Brian berbicara, menunjukkan semuanya pada Luna. Seperti kamar mandi, tempat berganti pakaian, dan juga segala keperluan Luna yang sudah tersedia.Hingga tatapan Luna tertuju pada sebuah foto, seorang perempuan yang tersenyum memamerkan giginya. Rambutnya pendek, seperti rambut Luna."Apa dia ibu Bintang?" Luna hendak mengambil foto yang berada di atas meja itu, namun belum juga Luna menyentuhnya, suara Brian lebih dulu menghentikan Luna."Jangan pernah menyentuh fotonya! Apa lagi kalau kau sampai menyingkirkannya!"Luna cukup
Baru saja matahari terbit, jelas bersinar sang surya, saat itu berjalanlah seorang perempuan, berdiri di ujung tangga di atas sana. Pandangannya mengarah ke bawah, melihat kesibukan orang-orang yang begitu ramai.Setiap sudut ruangan telah dihiasi dengan bunga mekar yang begitu segar, mengeluarkan aroma harum yang menyerbak ke penjuru rumah. Ribuan hiasan berkilau layaknya permata yang menyejukkan mata. Sorot lampu bercahaya keemasan menyinari setiap ruang. "Sayang, mengapa berdiri di sini, hm?" Dengan lembut, melingkarkan tangannya di perut sang istri. Dagunya bertumpu pada bagian pundak, membuat pipi mereka saling bersentuhan."Brian, kamu meninggalkan Bara sendirian?" tanya Luna, menoleh untuk melihat wajah sang suami yang masih diselimuti rasa kantuk."Ada Bintang yang menemaninya, sayang. Bara juga belum bangun. Sekarang jawab pertanyaan aku, mengapa berdiri di sini?" tanya balik Brian yang masih menuntut jawaban atas pertanyaannya.
"Mengapa tidak pernah mengatakan padaku, bahwa Bibi Megan yang selama ini mengancam kamu?" sesal Brian, menyayangkan sikap Luna yang menyembunyikan kejahatan Bibi Megan selama ini. Sehingga Brian tetap berpikir kalau Bibi Megan adalah orang yang sangat baik."Maaf, Bibi Megan mengancam aku. Dan, aku tidak ingin kehilangan rumah itu, karena hanya itulah satu-satunya peninggalan orang tuaku," cicit Luna, turut merasa bersalah."Jadi kamu rela menukar aku dengan rumah panggung itu?" tanya Brian yang berpura-pura merajuk, namun sebenarnya ia hanya bergurau saja.Luna tertawa, beberapa hari ini Brian sering mengungkit-ungkit kalau Luna rela menukar suaminya demi harta. Hal itu membuat Luna merasa geli sendiri, apalagi mengingat wajah Brian yang seolah begitu kesal saat mengatakan itu. Seolah Brian tidak memiliki harga sedikit pun jika dibandingkan dengan rumah panggung peninggalan orang tua Luna."Bukan seperti itu, sayang." Luna mengusap wajah Brian y
"Jadi, sebenarnya Adrian menyadari perasaan Sely, tapi dia memilih acuh dan pura-pura tidak tahu?" tanya Luna, masih tidak menyangka."Hm," jawab Brian bergumam, ia semakin erat memeluk perut Luna sembari melabuhkan beberapa kecupan.Saat sebelum tidur, Brian lebih sering mensejajarkan tubuhnya tepat di depan perut Luna, agar ia lebih muda mengusap-usap perut Luna saat tiba-tiba Luna merasa keram. Sebelum itu, Brian juga selalu menyempatkan diri untuk memberi pijatan di seluruh tubuh Luna, karena Luna yang hampir setiap saat mengeluh karena merasa pegal pada seluruh tubuhnya."Sayang, jawab yang benar. Jangan hm, hm, saja," protes Luna sembari meminta Brian untuk menatapnya."Iya, sayang. Adrian tahu kalau Sely suka sama dia.""Terus, kenapa dia diam saja? Mengapa tidak mengungkapkan perasaannya? Atau, jangan bilang Adrian menunggu Sely yang mengungkapkan perasaan lebih dulu." Luna tidak habis pikir jika memang Adrian melakukan itu.
"Seperti yang saya duga, Anda yang akan telat."Brian berpura-pura tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Adrian. Brian baru keluar dari kamar utama setelah selesai mandi, dan ternyata sudah banyak orang yang menunggunya."Kau seperti tidak tahu saja, orang yang lagi melepas rindu itu seperti apa," balas Dokter Rio yang juga berada di sana."Memangnya, Anda tahu?" balas Adrian yang balik bertanya."Sepertinya, kau juga tidak tahu."Meski hubungan Adrian dan Dokter Rio sudah tidak seburuk dulu, namun yang sekarang tidak bisa juga disimpulkan sebagai hubungan yang terjalin dengan baik. Karena mereka belum bisa mengobrol dengan santai, dan lebih sering berdebat."Mengapa malah kalian yang jadi berisik!" tegur Sely saat Adrian dan juga Dokter Rio masih juga berdebat, "kalian tidak dipanggil ke sini untuk memperdebatkan hal yang tidak jelas!"Adrian dan Dokter Rio sontak menutup rapat mulut mereka. Namun, mereka saling melem
Luna masih berdiri di tempatnya, meragukan pengelihatannya atas sambutan yang baru saja ia dapatkan saat turun dari mobil. Luna bahkan merasa kalau kesadarannya belum sepenuhnya terkumpul."Selamat datang kembali, sayang." Brian memeluk Luna dari belakang, melingkarkan tangan di perut besar Luna, mengusapnya pelan."Selamat datang di rumah, Baby," bisik Brian.Namun, Luna masih juga diam. Ia hanya berfokus pada sosok anak kecil yang begitu ia rindukan, Bintang. Dia ada di sana, menyambut Luna dengan sebuah buket bunga yang jauh lebih besar dari tubuhnya."Mama…." lirih Bintang, berjalan dengan pelan menghampiri Luna dengan membawa buket bunga besar itu."Mama…." Luna tak sanggup lagi, ia melepaskan diri dari Brian, merentangkan tangan, menunggu Bintang datang dalam dekapannya."Mama kemana saja? Bintang menunggu Mama, Bintang rindu dengan Mama, Bintang hanya ingin Mama Luna, bukan Bibi Sely. Maafkan Bintang, Mama." Bint
Ucapan permohonan maaf dan juga pelaksanaan sangsi atas pelanggan hukum adat yang telah dilakukan oleh Luna dan Baim, berlangsung dengan lancar. Penanaman seratus pohon tanaman selesai hanya dalam sekejap, karena dilakukan oleh puluhan orang pengawal gabungan milik Brian dan juga Baim."Terima kasih, sudah menjaga Luna disaat aku tidak ada di sampingnya," ucap Brian."Hm, aku harap kau tidak melakukan itu lagi. Atau kau akan benar-benar kehilangan Luna selamanya!""Sekarang, Luna adalah adikku. Jadi, jangan mencoba untuk menyakitinya, atau kau tidak akan bertemu lagi dengannya!"Brian hanya tersenyum, karena tanpa Baim mengancam seperti itu pun, Brian tidak akan pernah menyakiti Luna. Brian tidak akan pernah melepas Luna dari genggamannya."Aku dengar, kau sudah menikah. Apakah itu pernikahan yang sengaja tidak kau ungkap ke publik?"Brian cukup tahu dengan Baim sebagai sesama rekan kerja, jadi seharusnya Brian mendapatkan undangan atas pernikahan Baim. Namun, Brian bahkan tidak perna
Brian duduk termenung, memandangi permukaan jari manisnya, dimana sebuah cincin mengikat di sana. Cincin pernikahannya dengan Luna."Aku begitu mencintaimu Luna, hingga melupakan satu hal. Bahwa aku akan melepaskanmu setelah kamu menemukan sosok pria yang bisa kamu jadikan rumah yang nyaman, yang akan melindungimu setiap saat," gumam Brian."Apakah sekarang sudah waktunya?""Apakah, dia orang yang akhirnya kamu pilih?"Brian menghela napas, perasaannya tak menentu. Apakah Brian bisa melepaskan Luna untuk orang lain? Bagaimana dengan anak yang dikandung Luna, bukankah itu anak Brian?"Anda hanya membuang-buang waktu di sini, saat istri Anda sedang kesakitan karena merasa keram pada perutnya."Adrian yang sedari tadi menatap Brian dari jarak yang cukup jauh, memutuskan untuk langsung menghampiri Brian. Adrian ingin merasa kasihan, namun disisi lain Adrian juga merasa kesal dengan sikap tidak sabaran Brian. Hingga ia terus menerus s
Suasana di rumah pemangku adat sedang ramai-ramainya, para warga berkumpul untuk memastikan berita burung yang sudah menyebar.Luna, perempuan yang baru pindah ke kampung mereka, diberitakan melakukan pelanggaran adat. Tantu saja hal ini menjadi buah bibir yang mengantarkan banyak warga menuju rumah pemangku adat, untuk memastikan bagaimana kebenarannya.Luna memang sudah dikenal oleh beberapa orang, termasuk orang tuanya, mengingat Luna dan orang tuanya pernah tinggal di kampung ini sewaktu Luna masih kecil. Dan Luna baru kembali lagi menampakkan diri selama beberapa bulan ini, dengan Luna yang berstatus sebagai istri dari Baim yang bekerja di kota."Jadi, Nak Luna bisa jelaskan dulu, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya sang pemangku adat, "apakah berita itu benar, bahwa kamu selingkuh disaat suami kamu sedang bekerja di kota?""Kami tidak selingkuh, dia istri saya!" tegas Brian.Brian tidak suka mendengar nama Luna disertakan sebagai istri dari pria lain, karena Luna hanyalah istrin
Brian mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan yang ada di dalam rumah, meski terlihat sederhana, namun di sini benar-benar nyaman. Akan tetapi, bukan itu yang sekarang mengganggu pikiran Brian. Kemana saja Brian selama ini, membiarkan istrinya tinggal sendirian, merasakan kesulitan sendirian, di saat Luna tengah mengandung anaknya. Brian benar-benar dipenuhi rasa bersalah.Seandainya Brian tidak berlarut-larut dalam kesedihan dan sempat menaruh rasa benci pada Luna, semua ini pasti tidak akan terjadi. Luna tidak akan menderita sendirian, karena Brian pasti akan menemukannya saat itu juga. 'Semua ini, salahku!' pikir Brian."Brian!""Brian!"Brian terkejut, sontak ia menoleh ke arah Luna yang duduk di dekatnya. Padahal mereka hanya berjarak beberapa sentimeter, mengapa Luna harus berteriak segala."Aku bicara padamu! Mengapa hanya diam saja." Luna melotot, kesal saat ia bercerita panjang lebar tapi Brian hanya diam, sibuk dengan pikirannya sendiri."Maaf, sayang. Aku tidak menden