"Siapa?" suara Bariton milik Brian menginterupsi Luna yang sedang duduk melamun.
"Ha?" tanya Luna, bingung."Nama?" tanya Brian lagi, kini ia duduk di depan Luna, "aku Brian, Ayah Bintang," ujar Brian, memperkenalkan diri lebih dulu."Ah, aku Luna," jawab Luna yang baru mengerti kemana arah pembicaraan Brian.Saat ini, mereka berada di sebuah kantor yang diyakini Luna sebagai tempat kerja Brian. Ia bahkan sempat membaca papan nama yang ada di atas Meja kerja itu. CEO perusahaan, Brian Alferdo."Kau sudah memikirkannya? Cara untuk membayar tiga ratus juta itu," tanya Brian sembari menatap Luna yang menunduk dengan lesu, memainkan jari-jemarinya."Aku tidak memiliki apa pun, kau bisa mengatakan apa yang kau inginkan," jawab Luna. Ia masih juga menunduk, tidak berani menatap Brian."Benarkah? Aku bisa sangat serakah," ujar Brian, meminta Luna untuk menatapnya, "lihat aku! Aku ada di sini, mengapa kau terus melihat ke bawah."Luna kemudian memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya, menatap Brian dengan cemas. Luna tidak tahu, Brian adalah orang yang seperti apa. Apakah dia orang yang lebih jahat dari laki-laki tua itu?"Kau sangat merepotkan." Brian segera berdiri saat melihat wajah Luna. Ada banyak memar di wajah Luna, terutama di bagian dagu. Brian juga bisa melihat bekas sobekan pada ujung bibir Luna, sepertinya saat Luna ditampar oleh laki-laki tua itu."Obati Lukamu," ujar Brian, melemparkan kotak obat. Luna segera menangkapnya.Luna mengambil obat yang diketahuinya bisa untuk mengobati luka basah. Luna merupakan seorang perawat, tentu saja dia mengetahui beberapa hal mengenai obat-obatan.Luna meraba-raba bagian wajahnya, ia tidak bisa melihatnya. Jadi, Luna hanya memperkirakan bagian yang sakit dan kiranya perlu diberi obat."Kau benar-benar merepotkan," sindir Brian, mengambil alih obat oles dari tangan Luna. Brian lalu membantu Luna mengoleskan obat pada bagian-bagian yang terdapat luka."Apa kau tidak bisa melawan! Malah membiarkan tubuhmu dipukuli." Brian mengomel, seperti seorang ibu yang mengobati anaknya yang terluka karena perundangan.Dari arah meja, terdengar suara ponsel yang berdering. Brian segera berdiri, memberikan obat itu pada Luna. "Obati sendiri lukamu," ujar Brian. Ia berjalan dan mengambil ponselnya yang masih berdering.Baru saja Brian mendekatkan ponselnya ke telinga, ia sudah dikejutkan dengan informasi yang disampaikan secara terburu-buru. Meski begitu, Brian bisa mendengarnya dengan jelas."Kau mau kemana?" Luna setengah berteriak, saat melihat Brian yang hendak pergi. Brian terlihat sangat panik.Brian melihat sejenak ke arah Luna, ia kemudian menariknya untuk pergi bersama. Dan Luna hanya mengikuti saja, mereka meninggalkan kantor Brian yang sudah sepi, karena sudah larut malam."Bintang tidak sadarkan diri." Hanya itu yang dikatakan Brian sebelum melajukan mobilnya dengan kecepatan diatas rata-rata.Luna dapat menangkap kecemasan dalam perkataan Brian, bahkan dalam setiap gerakan Brian yang sesekali menggerutu karena ada beberapa mobil yang bergerak lambat."Kenapa sangat lama." Brian sudah cemas, waktu terasa semakin lama berputar saat menunggu lampu lalu lintas itu berubah warna."Apa kita menerobos saja?" gumam Brian."Jangan, kita akan berurusan dengan polisi jika menerobos," ujar Luna memperingatkan setelah hanya diam cukup lama."Benar, jangan menerobos," gumam Brian sekali lagi. Tanpa sadar ia mengigit bibirnya, rasa cemas menyerang Brian.Hingga lampu lalu lintas itu berganti warna menjadi hijau. Brian kembali melajukan mobilnya dengan kecepatan diatas rata-rata, membuat mereka sampai di rumah sakit hanya dalam hitungan menit. Brian bahkan memarkirkan mobilnya di sembarang tempat, namun ia tidak peduli lagi. Rasa cemas dan takut membuat Brian tidak bisa berpikir lagi dan langsung berlari masuk ke rumah sakit begitu saja."Brian, tunggu aku," Luna berteriak, namun tidak dihiraukan oleh Brian.Brian terus berlari dengan detak jantungnya yang tidak karuan. Menabrak orang-orang yang berpapasan dengannya, tapi malah dia yang marah. Dalam pikiran Brian, terbentuk sketsa tersendiri, menggambarkan hal paling buruk yang mungkin saja terjadi."Bintang, Papa mohon. Bertahanlah," gumam Brian yang masih berlari.Berlarian di lorong-lorong rumah sakit seperti ini, membuat Brian merasa dejavu. Lima tahun lalu, ibu Bintang harus dilarikan masuk ke rumah sakit karena kecelakaan. Saat itu, ia sedang mengandung Bintang. Tidak ada pilihan lain, Bintang harus lahir prematur dan ibu Bintang tidak dapat diselamatkan. Ia meninggalkan Brian dan Bintang untuk selamanya."Bintang." Brian tidak tahu lagi harus berkata apa. Menelusuri tiap tangga rumah sakit untuk menuju lantai atas, yaitu ruang khusus VVIP. Jika menggunakan lift, Brian harus menunggu selama beberapa menit. Sehingga ia mengambil jalan pintas dengan menggunakan tangga, tanpa ia sadari kalau itu membutuhkan waktu yang jauh lebih lama dari pada menunggu lift."Bintang, Papa mohon, jangan tinggalkan Papa." Brian terus berdoa sepanjang jalan."Kenapa ini terasa sangat jauh." Menggerutu sendiri saat ia menyadari masih harus melalui beberapa anak tangga."Bintang." Brian terus bergumam. Menyebut nama Bintang dengan kekhawatiran yang merengkuhnya.Brian hanya bisa berharap, agar yang ada di pikirannya tidak benar-benar terjadi. Bintang merupakan alasan mengapa Brian tetap bertahan hingga sekarang. Bekerja keras untuk bisa mencapai jabatannya, sebagai CEO sebuah perusahaan besar yang bergerak di bidang teknologi. Meskipun itu merupakan perusahaan keluarganya, tapi Brian harus berjuang lebih keras untuk sampai di sana.Brian melakukan semua itu untuk Bintang, hanya ingin memberikan yang terbaik untuk Bintang. Namun, lima bulan yang lalu, Bintang didiagnosis mengidap kanker darah, yang menjadi pukulan telak untuk Brian. Awalnya hanya gejala-gejala ringan, hingga tiga bulan kemudian, Bintang sudah diharuskan mengikuti rangkaian perawatan kemoterapi."Brian, Bintang akan baik-baik saja. Bintang akan baik-baik saja." Berulang kali mengucapkan kata itu disetiap iringan langkahnya. Mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa Bintang akan menyambutnya dengan senyuman ceria seperti biasanya.Hingga akhirnya, perjalanan yang terasa begitu panjang yang mengiringi Brian telah usai. Brian sampai di depan ruangan perawatan Bintang. Lima pengawal yang berjaga di luar segera menunduk memberikan hormat saat Brian melewati mereka, Brian masuk ke ruang perawatan Bintang."Ada apa dengan anak saya, dok?" tanya Brian, ia melihat Bintang yang berbaring memejamkan mata. Sedangkan dokter itu, sepertinya ia memang sedang menunggu Brian."Jadi begini pak, Bintang mengalami lemas hingga pingsan, disebabkan oleh anemia atau pembakaran kalori berlebih akibat kondisi hipermetabolisme pada sumsum tulang," jelas dokter khusus yang menangani Bintang."Untuk saat ini hanya akan diberikan obat. Tapi, perlu saya peringatkan, agar Bintang istirahat yang cukup, tetap mengonsumsi makanan yang sudah disiapkan meskipun nafsu makannya memang menurun. Dan jika bisa, Bintang diajak untuk bermain atau melakukan aktivitas-aktivitas yang menyenangkan agar terhindar dari stres, karena hal itu juga berpengaruh.""Tapi, bintang baik-baik saja 'kan?" tanya Brian, kembali memastikan kalau semuanya baik-baik saja."Bintang dalam keadaan baik, sekarang dia sudah kembali tidur setelah diberikan obat." Sebelum dokter tersebut keluar, ia berbalik dan kembali berbicara pada Brian."Satu lagi pak, saya hanya ingin memberitahukan agar Bintang tidak lagi melewatkan kemoterapi." Dokter itu kemudian keluar dari ruangan Bintang setelah mengatakan itu.Brian melangkahkan kakinya mendekati Bintang, melihat dengan jelas wajah pucat sang anak. Mencium keningnya lama, Brian merasa tidak becus menjaganya, terkadang terlintas dalam pikiran Brian. Kenapa tidak dirinya saja yang sakit, kenapa harus Bintang? Anak sekecil Bintang harus merasakan penderitaan ini."Papa janji, Bintang pasti sembuh. Sebentar lagi, Papa mohon pada Bintang agar sabar dan menunggu saat itu tiba. Papa akan melakukan apapun agar Bintang bisa sembuh." Brian kembali mengecup kening Bintang, lebih lama dari sebelumnya.Sedangkan Luna, ia hanya berdiri di luar ruangan perawatan Bintang. Luna cukup tahu diri untuk tidak menerobos masuk, meskipun ia juga sangat khawatir dengan keadaan Bintang sekarang."Nona, apa anda ingin masuk?" tanya seorang pengawal, membuat Luna menatapnya heran.'Apa ia tidak salah dengar?' batin Luna."Masuklah jika ingin melihat Bintang, dia sedang istirahat sekarang."Luna melihat Brian yang baru saja keluar dari ruangan Bintang. Brian terlihat kusut, "Masuklah," ujar Brian sekali lagi, menggeser pintu ruangan perawatan Bintang hingga terbuka lebar."Hm, hm." Luna beberapa kali berdehem, rasa canggung menyelimutinya. Bintang masih berbaring, tertidur setelah meminum obat. Sedangkan di sebelahnya ada Brian yang tengah bersandar memijat kepalanya. Luna tidak tahu harus melakukan apa, seandainya ia menolak saja tadi, saat Brian memberinya tawaran untuk masuk dan melihat Bintang."Aku akan keluar," ujar Brian, ia bahkan sudah berdiri sembari melirik pada Luna. Namun, yang dilirik tidak juga paham, sehingga Luna hanya diam saja."Kau ingin makan apa?" tanya Brian saat tidak ada tanggapan dari Luna.Mendengar itu, Luna mendongak, melihat Brian yang sangat tinggi. Kenapa Luna seperti melihat Pangerang saja. Brian terlalu tampan dengan rambut hitam pekatnya, matanya yang berwarna kecoklatan sudah cukup untuk membuat para perempuan meleleh. Belum lagi bulu matanya yang lentik, serta alisnya yang tebal dan tertata dengan rapi.Luna bahkan sangat ingin menyentuh hidung Brian yang begitu mancung. Seandainya Luna tengah mengandung, ia pasti a
"Tidak, Bintang!" Brian berucap tegas, menolak hasil pemikiran konyol dari sang putri."Tapi, Bintang menginginkan Mama, Bintang ingin Mama," teriak Bintang, ia kembali rewel."Mengapa Bintang sangat ingin Mama? Selama ini Bintang hanya punya Papa dan semuanya baik-baik saja 'kan," ujar Brian, berhasil membuat Bintang diam.Berbeda dengan Luna, ia hanya duduk diam di tempatnya. Luna merasa tidak berhak untuk ikut campur antara Brian dan Bintang. Lagi pula, Luna dan Bintang juga baru mengenal, begitu pun dengan Brian. "Semua orang memiliki Mama, mengapa Bintang tidak memiliki Mama?" cicit Bintang, ia berujar sangat pelan, hingga terdengar suara isak tangis yang berusaha ditahannya."Bintang, kenapa menangis." Luna yang tidak tega segera menghampiri Bintang, menggendongnya. Sedangkan Brian, ia memilih untuk keluar. Meninggalkan Luna yang berusaha menenangkan Bintang. Kepalanya terasah berdenyut, pusing. Baru kali ini Bintang menginginkan sosok Mama. Dan hanya Luna, Bintang tidak mengin
"Aku mohon, jangan lakukan itu...." rintih Luna, berusaha meronta dengan sisa tenaganya yang semakin terkuras.Baju Luna nyaris terlepas dengan kedua tangan yang terikat. Ia tidak bisa lagi melakukan perlawanan, hanya bisa berteriak meminta tolong, meski suaranya terasa tercekat.Luna melihat dua laki-laki yang berbadan kekar itu, tergesa-gesa membuka pakaiannya. Luna menutup kedua matanya, menahan napas."Aku benci hidup ini!" batin Luna. Ia dapat merasakan, dadanya yang terasa sesak karena tidak ada pasokan oksigen. Tetes-tetes air mata Luna menjadi saksi, ia ingin mengakhiri hidupnya.Di sisi lain, Brian dengan cepat segera masuk ke dalam rumah. Saat ia menyadari, Luna sedang dalam bahaya. Meski begitu, Brian berusaha melangkah pelan untuk mencari keberadaan Luna.Hingga langkah kaki Brian terhenti, rahangnya mengeras, tangannya terkepal kuat. Luna ada di hadapan Brian, berbaring di atas lantai dengan kedua tangan yang terikat. Pakaian Luna berantakan, nyaris tidak menutupi seluruh
"Apa yang Anda pikirkan? Semua masalah telah selesai. Kasus dengan para rentenir sudah diatasi, Luna sudah kembali sehat, Bintang juga mulai membaik," celetuk Adrian saat melihat Brian yang selama beberapa hari ini, tampak gelisah."Bukankah mereka benar-benar seperti ibu dan anak," gumam Adrian. Mengikuti arah pandang Brian yang terus tertuju pada Luna dan Bintang yang sedang bermain."Tidak perlu ragu, dia bisa Anda manfaatkan untuk merawat Bintang. Dia memiliki sertifikat sebagai perawat yang sudah cukup berpengalaman," ujar Adrian, "selain itu, hal tersebut juga akan lebih memudahkan Anda untuk menebus semuanya."Dalam diam, Brian membenarkan apa yang dikatakan oleh Adrian. Selain menepati janjinya pada Bintang, Luna juga bisa membantunya untuk merawat Bintang lebih khusus."Lagi pula, sebentar lagi Anda memasuki kepala tiga. Anda harus segera menikah untuk citra Anda juga, atau Anda akan kembali disorot oleh media dengan berita yang tidak berbobot," tutur Adrian, mengingat ia pern
"Apa aku boleh bertanya sesuatu?" tanya Luna pada Brian. Saat ini mereka hanya berdua, di taman belakang rumah yang sudah kembali bersih seperti semula. Tidak ada lagi hiasan yang menandakan bahwa baru saja dilangsungkan sebuah acara pernikahan.Rumah besar ini sudah kembali sepi, hanya ada pengawal yang berjaga di beberapa bagian. Itu pun, mereka tidak benar-benar terlihat.Sedangkan Adrian, ia mengantar Bintang kembali ke rumah sakit, dan Bibi Megan lebih memilih menginap di hotel. Serta para pengawal yang sempat datang menghadiri pernikahan, sudah kembali ke tempat masing-masing untuk melaksanakan tugasnya.Pelaksanaan pernikahan yang begitu singkat, hanya sesaat. Setelah itu, semuanya selesai. Luna bahkan masih bingung, mereka seperti bermain-main saja, alih-alih melangsungkan pernikahan sungguhan."Ada apa, hm? Tanyakan saja jika ada yang mengganggu pikiranmu." Brian mengusap tengkuknya, merasa canggung saat hanya berdua dengan Luna. Duduk saling berdekatan, di sebuah bangku yang
"Aku akan menunjukkan kamarmu," ujar Brian sembari memegang tangan Luna. Mereka berjalan beriringan masuk ke dalam rumah. Hingga mereka sampai di depan sebuah pintu kayu berwarna hitam."Ini kamarmu," ujar Brian, menggeser pintu tersebut hingga menampilkan nuansa kamar tidur yang sangat elegan, tidak banyak hiasan berlebihan. Namun, mampu membuat Luna menatap takjub."Di sebelah kamar ini adalah kamar Bintang," jelas Brian lagi.Luna hanya terus mengangguk saat Brian berbicara, menunjukkan semuanya pada Luna. Seperti kamar mandi, tempat berganti pakaian, dan juga segala keperluan Luna yang sudah tersedia.Hingga tatapan Luna tertuju pada sebuah foto, seorang perempuan yang tersenyum memamerkan giginya. Rambutnya pendek, seperti rambut Luna."Apa dia ibu Bintang?" Luna hendak mengambil foto yang berada di atas meja itu, namun belum juga Luna menyentuhnya, suara Brian lebih dulu menghentikan Luna."Jangan pernah menyentuh fotonya! Apa lagi kalau kau sampai menyingkirkannya!"Luna cukup
Luna mundur beberapa langkah, saat tangannya tidak sengaja mengenai sebuah foto yang membuat foto tersebut jatuh dan menghantam lantai yang keras. Bingkai kayu yang membungkusnya patah, kaca yang menjadi pelindungnya berhamburan menjadi serpihan-serpihan kecil. Luna tidak sengaja menjatuhkannya saat meletakkan semangkuk bubur di atas meja."Apa yang kau lakukan!"Luna yang berjongkok untuk memungut serpihan-serpihan keca itu, menoleh saat mendengar suara berat Brian yang tertahan.Brian menarik tangan Luna untuk berdiri, membuat serpihan kaca yang sudah ia kumpulkan di tangannya kembali jatuh berhamburan."Aku... aku tidak sengaja." Luna berucap gugup, tidak berani menatap Brian yang menggeram marah melihat foto Bella dengan serpihan-serpihan kaca di atasnya."Aku sudah memintamu untuk tidak menyentuhnya, bukan! Kau hanya harus melakukan tugasmu!" tekan Brian dengan amarah yang tertahan.Brian berjongkok untuk mengambil foto itu, lalu ia kembali berdiri dan berdiri menatap Luna yang ha
"Tidak ada!" jawab Brian, berbohong."Benarkah, jika ternyata Anda berbohong, jangan membuat saya harus menyelesaikannya jika nanti ada masalah. Karena Anda bahkan tidak memberitahukan pada saya," ucap Adrian lugas.Adrian hanya ingin tahu, setidaknya Adrian bisa menyiapkan antisipasi untuk masalah apa pun itu nantinya. Karena bagaimanapun juga, Brian sudah pasti akan selalu menyeret Adrian dalam masalah yang ia timbulkan sendiri."Sebenarnya, aku membuat perjanjian dengan Luna," ujar Brian, "Seperti yang kau tahu, aku tidak akan membiarkan Luna hidup menderita di luar sana, aku harus bertanggung jawab atas dia. Karena itulah, aku berjanji akan melepaskannya, saat dia benar-benar sudah menemukan seseorang yang bisa menjaga dan melindunginya. Kami sepakat akan berpisah saat itu terjadi.""Apakah Anda yakin? Bagaimana jika Luna tidak akan pernah menemukan orang itu? Haruskah dia terus berada dalam pengawasan Anda?"Brian menghela napas, ia mulai ragu dengan perjanjian yang ia buat sendir
Baru saja matahari terbit, jelas bersinar sang surya, saat itu berjalanlah seorang perempuan, berdiri di ujung tangga di atas sana. Pandangannya mengarah ke bawah, melihat kesibukan orang-orang yang begitu ramai.Setiap sudut ruangan telah dihiasi dengan bunga mekar yang begitu segar, mengeluarkan aroma harum yang menyerbak ke penjuru rumah. Ribuan hiasan berkilau layaknya permata yang menyejukkan mata. Sorot lampu bercahaya keemasan menyinari setiap ruang. "Sayang, mengapa berdiri di sini, hm?" Dengan lembut, melingkarkan tangannya di perut sang istri. Dagunya bertumpu pada bagian pundak, membuat pipi mereka saling bersentuhan."Brian, kamu meninggalkan Bara sendirian?" tanya Luna, menoleh untuk melihat wajah sang suami yang masih diselimuti rasa kantuk."Ada Bintang yang menemaninya, sayang. Bara juga belum bangun. Sekarang jawab pertanyaan aku, mengapa berdiri di sini?" tanya balik Brian yang masih menuntut jawaban atas pertanyaannya.
"Mengapa tidak pernah mengatakan padaku, bahwa Bibi Megan yang selama ini mengancam kamu?" sesal Brian, menyayangkan sikap Luna yang menyembunyikan kejahatan Bibi Megan selama ini. Sehingga Brian tetap berpikir kalau Bibi Megan adalah orang yang sangat baik."Maaf, Bibi Megan mengancam aku. Dan, aku tidak ingin kehilangan rumah itu, karena hanya itulah satu-satunya peninggalan orang tuaku," cicit Luna, turut merasa bersalah."Jadi kamu rela menukar aku dengan rumah panggung itu?" tanya Brian yang berpura-pura merajuk, namun sebenarnya ia hanya bergurau saja.Luna tertawa, beberapa hari ini Brian sering mengungkit-ungkit kalau Luna rela menukar suaminya demi harta. Hal itu membuat Luna merasa geli sendiri, apalagi mengingat wajah Brian yang seolah begitu kesal saat mengatakan itu. Seolah Brian tidak memiliki harga sedikit pun jika dibandingkan dengan rumah panggung peninggalan orang tua Luna."Bukan seperti itu, sayang." Luna mengusap wajah Brian y
"Jadi, sebenarnya Adrian menyadari perasaan Sely, tapi dia memilih acuh dan pura-pura tidak tahu?" tanya Luna, masih tidak menyangka."Hm," jawab Brian bergumam, ia semakin erat memeluk perut Luna sembari melabuhkan beberapa kecupan.Saat sebelum tidur, Brian lebih sering mensejajarkan tubuhnya tepat di depan perut Luna, agar ia lebih muda mengusap-usap perut Luna saat tiba-tiba Luna merasa keram. Sebelum itu, Brian juga selalu menyempatkan diri untuk memberi pijatan di seluruh tubuh Luna, karena Luna yang hampir setiap saat mengeluh karena merasa pegal pada seluruh tubuhnya."Sayang, jawab yang benar. Jangan hm, hm, saja," protes Luna sembari meminta Brian untuk menatapnya."Iya, sayang. Adrian tahu kalau Sely suka sama dia.""Terus, kenapa dia diam saja? Mengapa tidak mengungkapkan perasaannya? Atau, jangan bilang Adrian menunggu Sely yang mengungkapkan perasaan lebih dulu." Luna tidak habis pikir jika memang Adrian melakukan itu.
"Seperti yang saya duga, Anda yang akan telat."Brian berpura-pura tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Adrian. Brian baru keluar dari kamar utama setelah selesai mandi, dan ternyata sudah banyak orang yang menunggunya."Kau seperti tidak tahu saja, orang yang lagi melepas rindu itu seperti apa," balas Dokter Rio yang juga berada di sana."Memangnya, Anda tahu?" balas Adrian yang balik bertanya."Sepertinya, kau juga tidak tahu."Meski hubungan Adrian dan Dokter Rio sudah tidak seburuk dulu, namun yang sekarang tidak bisa juga disimpulkan sebagai hubungan yang terjalin dengan baik. Karena mereka belum bisa mengobrol dengan santai, dan lebih sering berdebat."Mengapa malah kalian yang jadi berisik!" tegur Sely saat Adrian dan juga Dokter Rio masih juga berdebat, "kalian tidak dipanggil ke sini untuk memperdebatkan hal yang tidak jelas!"Adrian dan Dokter Rio sontak menutup rapat mulut mereka. Namun, mereka saling melem
Luna masih berdiri di tempatnya, meragukan pengelihatannya atas sambutan yang baru saja ia dapatkan saat turun dari mobil. Luna bahkan merasa kalau kesadarannya belum sepenuhnya terkumpul."Selamat datang kembali, sayang." Brian memeluk Luna dari belakang, melingkarkan tangan di perut besar Luna, mengusapnya pelan."Selamat datang di rumah, Baby," bisik Brian.Namun, Luna masih juga diam. Ia hanya berfokus pada sosok anak kecil yang begitu ia rindukan, Bintang. Dia ada di sana, menyambut Luna dengan sebuah buket bunga yang jauh lebih besar dari tubuhnya."Mama…." lirih Bintang, berjalan dengan pelan menghampiri Luna dengan membawa buket bunga besar itu."Mama…." Luna tak sanggup lagi, ia melepaskan diri dari Brian, merentangkan tangan, menunggu Bintang datang dalam dekapannya."Mama kemana saja? Bintang menunggu Mama, Bintang rindu dengan Mama, Bintang hanya ingin Mama Luna, bukan Bibi Sely. Maafkan Bintang, Mama." Bint
Ucapan permohonan maaf dan juga pelaksanaan sangsi atas pelanggan hukum adat yang telah dilakukan oleh Luna dan Baim, berlangsung dengan lancar. Penanaman seratus pohon tanaman selesai hanya dalam sekejap, karena dilakukan oleh puluhan orang pengawal gabungan milik Brian dan juga Baim."Terima kasih, sudah menjaga Luna disaat aku tidak ada di sampingnya," ucap Brian."Hm, aku harap kau tidak melakukan itu lagi. Atau kau akan benar-benar kehilangan Luna selamanya!""Sekarang, Luna adalah adikku. Jadi, jangan mencoba untuk menyakitinya, atau kau tidak akan bertemu lagi dengannya!"Brian hanya tersenyum, karena tanpa Baim mengancam seperti itu pun, Brian tidak akan pernah menyakiti Luna. Brian tidak akan pernah melepas Luna dari genggamannya."Aku dengar, kau sudah menikah. Apakah itu pernikahan yang sengaja tidak kau ungkap ke publik?"Brian cukup tahu dengan Baim sebagai sesama rekan kerja, jadi seharusnya Brian mendapatkan undangan atas pernikahan Baim. Namun, Brian bahkan tidak perna
Brian duduk termenung, memandangi permukaan jari manisnya, dimana sebuah cincin mengikat di sana. Cincin pernikahannya dengan Luna."Aku begitu mencintaimu Luna, hingga melupakan satu hal. Bahwa aku akan melepaskanmu setelah kamu menemukan sosok pria yang bisa kamu jadikan rumah yang nyaman, yang akan melindungimu setiap saat," gumam Brian."Apakah sekarang sudah waktunya?""Apakah, dia orang yang akhirnya kamu pilih?"Brian menghela napas, perasaannya tak menentu. Apakah Brian bisa melepaskan Luna untuk orang lain? Bagaimana dengan anak yang dikandung Luna, bukankah itu anak Brian?"Anda hanya membuang-buang waktu di sini, saat istri Anda sedang kesakitan karena merasa keram pada perutnya."Adrian yang sedari tadi menatap Brian dari jarak yang cukup jauh, memutuskan untuk langsung menghampiri Brian. Adrian ingin merasa kasihan, namun disisi lain Adrian juga merasa kesal dengan sikap tidak sabaran Brian. Hingga ia terus menerus s
Suasana di rumah pemangku adat sedang ramai-ramainya, para warga berkumpul untuk memastikan berita burung yang sudah menyebar.Luna, perempuan yang baru pindah ke kampung mereka, diberitakan melakukan pelanggaran adat. Tantu saja hal ini menjadi buah bibir yang mengantarkan banyak warga menuju rumah pemangku adat, untuk memastikan bagaimana kebenarannya.Luna memang sudah dikenal oleh beberapa orang, termasuk orang tuanya, mengingat Luna dan orang tuanya pernah tinggal di kampung ini sewaktu Luna masih kecil. Dan Luna baru kembali lagi menampakkan diri selama beberapa bulan ini, dengan Luna yang berstatus sebagai istri dari Baim yang bekerja di kota."Jadi, Nak Luna bisa jelaskan dulu, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya sang pemangku adat, "apakah berita itu benar, bahwa kamu selingkuh disaat suami kamu sedang bekerja di kota?""Kami tidak selingkuh, dia istri saya!" tegas Brian.Brian tidak suka mendengar nama Luna disertakan sebagai istri dari pria lain, karena Luna hanyalah istrin
Brian mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan yang ada di dalam rumah, meski terlihat sederhana, namun di sini benar-benar nyaman. Akan tetapi, bukan itu yang sekarang mengganggu pikiran Brian. Kemana saja Brian selama ini, membiarkan istrinya tinggal sendirian, merasakan kesulitan sendirian, di saat Luna tengah mengandung anaknya. Brian benar-benar dipenuhi rasa bersalah.Seandainya Brian tidak berlarut-larut dalam kesedihan dan sempat menaruh rasa benci pada Luna, semua ini pasti tidak akan terjadi. Luna tidak akan menderita sendirian, karena Brian pasti akan menemukannya saat itu juga. 'Semua ini, salahku!' pikir Brian."Brian!""Brian!"Brian terkejut, sontak ia menoleh ke arah Luna yang duduk di dekatnya. Padahal mereka hanya berjarak beberapa sentimeter, mengapa Luna harus berteriak segala."Aku bicara padamu! Mengapa hanya diam saja." Luna melotot, kesal saat ia bercerita panjang lebar tapi Brian hanya diam, sibuk dengan pikirannya sendiri."Maaf, sayang. Aku tidak menden