Oliver menarik lengan Alesha masuk ke dalam rumah dengan perasaan penuh amarah yang tak tertahan. Melihat istrinya berduaan dengan laki-laki lain, mengobrol dengan asiknya dan Alesha juga terlihat sangat akrab dengan laki-laki tersebut. Panas hati Oliver meskipun hanya dengan melihatnya saja. "Aduh, Oliver... Dengarkan aku dulu!" pekik Alesha menarik tangan sang suami. Oliver menyentak pelan lengan Alesha di ruang keluarga di lantai dua. "Apa! Ayo, sekarang aku dengarkan! Siapa laki-laki tadi dan kenapa kau pergi tidak berpamitan padaku! Jelaskan semuanya!" amuk laki-laki itu membuat tubuh Alesha gemetar seperti tidak bertulang. "Dia Bryan, teman kuliahku dulu. Dia seorang guru di salah satu sekolah dasar di kota, dia tidak sengaja bertemu denganku karena aku menunggu Bibi Ruitz. Aku baru saja membelikan hadiah untuk ulang tahun Ibu dan kemeja untukmu." Alesha menjelaskan sedetail-detailnya. Mata tajam iris biru itu seperti akan menerkam Alesha hidup-hidup. "Kau tidak berbohong
Saat pagi tiba, Alesha sudah bersiap-siap untuk pergi ke pesta yang diadakan di kediaman orang tuanya. Ulang tahun Ibunya bersamaan dengan hari pernikahan Rena dan Fredrick. Biasanya, kedua orang tua Alesha, akan mengundang banyak sekali orang. Lebih lagi mereka adalah petinggi kota, maka banyak yang datang sebagai tamu. Alesha berdiri di depan cermin dengan gaun panjangnya berwarna biru awan, rambut panjangnya digerai indah. "Alesha..." Oliver membuka pintu kamarnya, dia terkejut menatap Alesha yang kini begitu anggun dan cantik dengan dandannya. "Oliver lihat, apa aku cocok dengan gaun ini? Gaun hadiah dari Ibuku saat pernikahan kita," ujar Alesha tersenyum cantik. Laki-laki itu berjalan mendekatinya, ia menatap wajah Alesha yang berbunga-bunga. Haruskah ia berteriak dan mengatakan kalau Alesha sangat-sangat cantik sekarang ini?"Kenapa kau malah diam? Kau tidak suka dengan dandananku, ya?" tanya Alesha menundukkan kepalanya. "Sangat suka," jawab Oliver, dia mendekat sebelum
"Ayo kita mengambil foto, berdua saja. Sebelum kita ambil gambar bersama anak kita suatu saat nanti." Alesha mendongak menatap Oliver seraya memeluk lengan sang suami. Gadis cantik itu tersenyum begitu cerah ceria. Meskipun omongan-omongan orang terus terdengar di tengah pesta itu, mengatakan tentang Alesha yang begini dan begitu, namun sekuat mungkin dia menekan rasa tak enaknya. "Ayo Sayang," balas Oliver. Mereka mendekati tukang foto, di sana Alesha berdiri di samping Oliver yang duduk di sebuah kursi kayu ukiran. "Tersenyum lebih lebar lagi, Nyonya," pinta tukang potret itu memberikan instruksi. Alesha tersenyum manis, hingga cahaya flash bersinar dan tukang foto memberikan isyarat sudah selesai. Bersama Oliver yang memeluk lengannya, mereka berdua berjalan menikmati pesta itu. Semua orang melihat betapa romantisnya Oliver memperlakukan Alesha dengan baik dan romantis. "Apa kau mau menginap di sini?" tanya Alesha pada suaminya. "Tidak. Kita pulang saja, masih banyak peker
"Kumohon, datanglah ke rumah. Ayah sakit dan dia terus mencarimu, Oliver..." Seorang wanita dengan dress hijau muda menangis-nangis memegangi tangan Oliver dengan sudi. Dia biasanya menjadi wanita angkuh dan sombong, tapi kini dia seperti pengemis yang memohon. Sungguh mengganggu pagi hari yang cerah di kehidupan Oliver. Oliver menarik tangannya dan membiarkan Livia menangis sepuasnya."Untuk apa pula dia mencariku? Apa dia akan pura-pura mati lalu memintaku untuk mengembalikan kekuasaan atas Bank Mileno padanya?" Oliver tertawa lirih dan menggelengkan kepalanya. "Bukannya sampah ini sudah dibuang? Kau juga yang mengatakan kalau aku hanya anak haram yang tak beradab!"Livia mengeraskan suara tangisannya. Dia menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Brukk...Wanita menjatuhkan kedua lututnya dan memohon di hadapan Oliver. "Aku mohon, ini permintaan terakhir Ayah. Maafkan dia atas semua yang telah dia katakan padamu, kita saudara, kita satu Ibu meskipun kita berbeda Ayah, Oliver... Kumoho
"Makan malamnya sudah siap, sekarang aku tinggal menunggu Oliver pulang." Alesha tersenyum tipis menatap beberapa menu masakan yang sudah ia siapkan di atas meja makan. Gadis itu menggosok kedua telapak tangannya pelan dan melangkah ke depan. Seperti biasa kalau Alesha berdiri di ambang pintu menunggu suaminya sampai di rumah."Kenapa lama sekali?" cicit Alesha menatap jam dinding di ruang tamu. Alesha melangkah ke teras, dia duduk di kursi kayu dan menatap ke arah gerbang dengan bosan penuh penantian. Sampai akhirnya senyumannya mengembang saat mobil milik Oliver muncul dan masuk ke dalam pekarangan rumah. "Itu dia!" seru Alesha kesenangan. Oliver turun dari dalam mobilnya, dia tersenyum manis pada Alesha yang kini menyambutnya. "Kau terlambat," seru gadis itu cemberut. "Ada sesuatu yang harus aku urusi tadi..." Oliver mengusap pipi putih Alesha dan mengecup singkat bibirnya. Seragam berwarna navy yang Oliver bawa direbut oleh Alesha, gadis itu membawanya masuk ke dalam ruma
Satu Minggu Kemudian.Hari ini tepat Alesha dan Oliver baru saja sampai di tempat kawasan di mana Oliver dipindah tugaskan. Kawasan yang sangat indah, cukup berjarak dengan laut dan memiliki pemandangan yang sangat indah. Tempat yang menjadi kota kecil, daerah yang segar dan aroma pepohonan yang menyejukkan. Alesha sungguh terkagum-kagum dengan tempat itu. "Bagus sekali di sini, apa kita tinggal di rumah yang itu?" Alesha menunjukkan sebuah rumah, seraya menaiki anak-anak tangga. "Bukan Sayang, masih ada di sana tempat tinggal kita." Oliver menunjuk sebuah rumah berwarna cream yang memiliki gerbang tinggi. "Waahhh, aku akan betah tinggal di sini!" seru gadis itu tersenyum manis. Mereka sengaja berjalan kaki, karena Alesha ingin jalan-jalan. Tempat tinggal mereka juga masih dalam kawasan milik kemiliteran, hingga satu, dua rumah di kanan dan kirinya milik rekan Oliver yang akan ditempati. Pagar besi berwarna hitam itu terbuka, barang-barang milik mereka sudah ada di sana, Alesha
Usai makan malam di kediaman Hubert, akhirnya kini Alesha dan Oliver pulang setelah jam menunjukkan hampir tengah malam. Alesha berjalan di belakang Oliver, mereka melewati jalanan sepi dan sedikit berundak, rerumputan indah, bunga-bunga liar, lampu jalanan bercahaya kuning, dan suara serangga yang menunjukkan betapa asrinya tempat itu. Oliver melirik istrinya yang berjalan di belakangnya dengan wajah memerah dan meracau. "Sayang, ayo..." Oliver mengulurkan tangannya. Gadis itu berjalan mendekat dan memeluknya, wajahnya memerah, dia tampak lesu. Oliver mengumpat kesal, teman-temannya membujuk Alesha untuk minum, meskipun sedikit, tapi gadis itu sudah mabuk. "Oliver, kepalaku pusing, semuanya seperti diputar-putar," ujar Alesha berjinjit memeluk leher Oliver. "Gendong, aku mau gendong!" "Siapa yang menyuruhmu minum, hem?" Oliver mengetuk pelan kening Alesha. "Ah, dasar jahat! Aku tidak mau pulang kalau begitu. Lebih baik aku kembali ke rumah Melod... Akhh, Oliver!" Alesha memek
Alesha dan Melody berjalan-jalan di tengah kota kecil yang ternyata memiliki banyak penduduk di sana. Setelah berkeliling dan membeli beberapa barang, mereka memutuskan untuk berhenti dan berisitirahat sejenak di sebuah kedai. Dan Melody memesan jus jeruk segar untuknya dan Alesha. "Sebenarnya Lenard melarangku untuk berjalan terlalu jauh," ujar Melody menyeruput jus jeruknya. "Hem, kenapa?" "Ini..." Melody mengusap perutnya. Kedua mata Alesha mengerjap, sejak semalam ia bertemu dengan Melody, baru kali ini Alesha melihat dengan jelas kalau perut wanita itu sedikit menyembul. "Wahh, kau sedang hamil?!" pekik Alesha berbinar-binar. "Sudah berjalan mau lima bulan. Tapi karena postur tubuhku yang tinggi, jadi tidak terlalu terlihat saat aku hamil, kan?" seru wanita itu terkekeh.Alesha mengangguk, membayangkannya saja sudah membuat ia merasa senang. "Kau segera menyusul ya, Alesha. Aku dengar-dengar dari suamiku, kau kehilangan bayimu yang berusia enam bulan, ya?" tanya Melody, d