"Kumohon, datanglah ke rumah. Ayah sakit dan dia terus mencarimu, Oliver..." Seorang wanita dengan dress hijau muda menangis-nangis memegangi tangan Oliver dengan sudi. Dia biasanya menjadi wanita angkuh dan sombong, tapi kini dia seperti pengemis yang memohon. Sungguh mengganggu pagi hari yang cerah di kehidupan Oliver. Oliver menarik tangannya dan membiarkan Livia menangis sepuasnya."Untuk apa pula dia mencariku? Apa dia akan pura-pura mati lalu memintaku untuk mengembalikan kekuasaan atas Bank Mileno padanya?" Oliver tertawa lirih dan menggelengkan kepalanya. "Bukannya sampah ini sudah dibuang? Kau juga yang mengatakan kalau aku hanya anak haram yang tak beradab!"Livia mengeraskan suara tangisannya. Dia menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Brukk...Wanita menjatuhkan kedua lututnya dan memohon di hadapan Oliver. "Aku mohon, ini permintaan terakhir Ayah. Maafkan dia atas semua yang telah dia katakan padamu, kita saudara, kita satu Ibu meskipun kita berbeda Ayah, Oliver... Kumoho
"Makan malamnya sudah siap, sekarang aku tinggal menunggu Oliver pulang." Alesha tersenyum tipis menatap beberapa menu masakan yang sudah ia siapkan di atas meja makan. Gadis itu menggosok kedua telapak tangannya pelan dan melangkah ke depan. Seperti biasa kalau Alesha berdiri di ambang pintu menunggu suaminya sampai di rumah."Kenapa lama sekali?" cicit Alesha menatap jam dinding di ruang tamu. Alesha melangkah ke teras, dia duduk di kursi kayu dan menatap ke arah gerbang dengan bosan penuh penantian. Sampai akhirnya senyumannya mengembang saat mobil milik Oliver muncul dan masuk ke dalam pekarangan rumah. "Itu dia!" seru Alesha kesenangan. Oliver turun dari dalam mobilnya, dia tersenyum manis pada Alesha yang kini menyambutnya. "Kau terlambat," seru gadis itu cemberut. "Ada sesuatu yang harus aku urusi tadi..." Oliver mengusap pipi putih Alesha dan mengecup singkat bibirnya. Seragam berwarna navy yang Oliver bawa direbut oleh Alesha, gadis itu membawanya masuk ke dalam ruma
Satu Minggu Kemudian.Hari ini tepat Alesha dan Oliver baru saja sampai di tempat kawasan di mana Oliver dipindah tugaskan. Kawasan yang sangat indah, cukup berjarak dengan laut dan memiliki pemandangan yang sangat indah. Tempat yang menjadi kota kecil, daerah yang segar dan aroma pepohonan yang menyejukkan. Alesha sungguh terkagum-kagum dengan tempat itu. "Bagus sekali di sini, apa kita tinggal di rumah yang itu?" Alesha menunjukkan sebuah rumah, seraya menaiki anak-anak tangga. "Bukan Sayang, masih ada di sana tempat tinggal kita." Oliver menunjuk sebuah rumah berwarna cream yang memiliki gerbang tinggi. "Waahhh, aku akan betah tinggal di sini!" seru gadis itu tersenyum manis. Mereka sengaja berjalan kaki, karena Alesha ingin jalan-jalan. Tempat tinggal mereka juga masih dalam kawasan milik kemiliteran, hingga satu, dua rumah di kanan dan kirinya milik rekan Oliver yang akan ditempati. Pagar besi berwarna hitam itu terbuka, barang-barang milik mereka sudah ada di sana, Alesha
Usai makan malam di kediaman Hubert, akhirnya kini Alesha dan Oliver pulang setelah jam menunjukkan hampir tengah malam. Alesha berjalan di belakang Oliver, mereka melewati jalanan sepi dan sedikit berundak, rerumputan indah, bunga-bunga liar, lampu jalanan bercahaya kuning, dan suara serangga yang menunjukkan betapa asrinya tempat itu. Oliver melirik istrinya yang berjalan di belakangnya dengan wajah memerah dan meracau. "Sayang, ayo..." Oliver mengulurkan tangannya. Gadis itu berjalan mendekat dan memeluknya, wajahnya memerah, dia tampak lesu. Oliver mengumpat kesal, teman-temannya membujuk Alesha untuk minum, meskipun sedikit, tapi gadis itu sudah mabuk. "Oliver, kepalaku pusing, semuanya seperti diputar-putar," ujar Alesha berjinjit memeluk leher Oliver. "Gendong, aku mau gendong!" "Siapa yang menyuruhmu minum, hem?" Oliver mengetuk pelan kening Alesha. "Ah, dasar jahat! Aku tidak mau pulang kalau begitu. Lebih baik aku kembali ke rumah Melod... Akhh, Oliver!" Alesha memek
Alesha dan Melody berjalan-jalan di tengah kota kecil yang ternyata memiliki banyak penduduk di sana. Setelah berkeliling dan membeli beberapa barang, mereka memutuskan untuk berhenti dan berisitirahat sejenak di sebuah kedai. Dan Melody memesan jus jeruk segar untuknya dan Alesha. "Sebenarnya Lenard melarangku untuk berjalan terlalu jauh," ujar Melody menyeruput jus jeruknya. "Hem, kenapa?" "Ini..." Melody mengusap perutnya. Kedua mata Alesha mengerjap, sejak semalam ia bertemu dengan Melody, baru kali ini Alesha melihat dengan jelas kalau perut wanita itu sedikit menyembul. "Wahh, kau sedang hamil?!" pekik Alesha berbinar-binar. "Sudah berjalan mau lima bulan. Tapi karena postur tubuhku yang tinggi, jadi tidak terlalu terlihat saat aku hamil, kan?" seru wanita itu terkekeh.Alesha mengangguk, membayangkannya saja sudah membuat ia merasa senang. "Kau segera menyusul ya, Alesha. Aku dengar-dengar dari suamiku, kau kehilangan bayimu yang berusia enam bulan, ya?" tanya Melody, d
Oliver terbangun dari tidur lelahnya dengan tubuh kaku. Laki-laki itu tidak merasakan pelukan Alesha sama sekali sejak semalam, namun Oliver kini menatap telapak tangannya yang terbungkus perban dengan sangat rapi. "Alesha," lirihnya dan tersenyum tipis. Segera Oliver menyibakkan selimutnya, ia berjalan ke kamar mandi untuk beberapa menit membersihkan tubuh dan bersiap sebelum turun ke lantai satu. Di sana, barulah Oliver menemukan Alesha yang tengah berdiri di teras bersama anjing kecilnya. "Apa yang dia lakukan?" gumam Oliver berjalan mendekatinya. "Alesha..." "Hem?" Gadis itu menoleh dengan cepat. "Kau sudah bangun, mau ke markas, ya?" Oliver mengangguk. "Nanti sore ada beberapa pembahasan penting. Sekarang aku masih ingin di rumah." Laki-laki itu duduk di bangku kayu dan menatap pepohonan pinus yang indah membuat ia teringat saat masih awal di kemiliteran. Kerinduan untuk berburu di hutan bersama Lionil, Lenard, dan yang lainnya menggedor hati Oliver ingin mengulang lagi.
Dua Minggu Kemudian..."Nyonya tidak papa? Kenapa pucat dan mual-mual sejak tadi? Nyonya tidak makan makan yang asam, kan?" Bibi Ruitz membantu Alesha bangkit dari lantai kamar mandi. Alesha selalu mual setiap selesai makan apapun, hingga ia terlihat pucat dan lemas meskipun tak ada yang dia muntahkan. "Pusing Bi, tubuhku seperti tak ada tulangnya," lirih Alesha berdiri memegangi lengan pelayannya. "Nyonya masuk angin, mari ke dalam kamar. Biar saya siapkan teh hangat, ya..." Alesha mengangguk dan segera mereka bergegas ke lantai dua di kamar Alesha. Di sana Bibi Ruitz meminta Alesha untuk segera berbaring dan berisitirahat. Pemandangan di luar sangat cerah, cahaya jingga di langit yang indah. Namun hari ini Alesha sangat sedih dan kecewa, pasalnya hari ini dia ingin menghabiskan waktu dengan Oliver, namun suaminya itu malah pergi berburu dengan beberapa rekannya di hutan. "Sekarang jam berapa Bi, kenapa Oliver belum juga pulang? Padahal aku sedang tidak enak badan begini," ger
Kehamilan Alesha membawa kebahagiaan tersendiri untuk Oliver yang sudah lama menantikan momen ini. Laki-laki itu menemani Alesha duduk di balkon, mendengarkan semua ocehan istrinya yang menceritakan ini dan itu, setelah seharian Alesha lemas, tapi malamnya dia tidak punya rasa ngantuk sama sekali. Mengoceh dan terus mengajak Oliver bercanda. "Kau tidak mengantuk, hem?" tanya Oliver mengusap pucuk kepala Alesha. "Masih belum ngantuk sama sekali. Lihatlah, pemandangan malam ini sangat bagus, langit yang cerah dan anginnya sejuk." Alesha memejamkan kedua matanya tersenyum mendongak menatap langit. Oliver menyergah napasnya panjang, dia mengupaskan buah jeruk untuk Alesha, untuk yang ke empat kalinya. "Jangan melakukan pekerjaan apapun sekalipun aku pergi bekerja, jangan mengerjakan pekerjaan rumah apapun besok," peringat Oliver lagi. "Iya, tenang saja. Aku itu ahlinya malas-malasan," jawab Alesha terkekeh geli, gadis itu memeluk tubuh Oliver dan mendongak tersenyum manis. Oliver m