Oliver terbangun dari tidur lelahnya dengan tubuh kaku. Laki-laki itu tidak merasakan pelukan Alesha sama sekali sejak semalam, namun Oliver kini menatap telapak tangannya yang terbungkus perban dengan sangat rapi. "Alesha," lirihnya dan tersenyum tipis. Segera Oliver menyibakkan selimutnya, ia berjalan ke kamar mandi untuk beberapa menit membersihkan tubuh dan bersiap sebelum turun ke lantai satu. Di sana, barulah Oliver menemukan Alesha yang tengah berdiri di teras bersama anjing kecilnya. "Apa yang dia lakukan?" gumam Oliver berjalan mendekatinya. "Alesha..." "Hem?" Gadis itu menoleh dengan cepat. "Kau sudah bangun, mau ke markas, ya?" Oliver mengangguk. "Nanti sore ada beberapa pembahasan penting. Sekarang aku masih ingin di rumah." Laki-laki itu duduk di bangku kayu dan menatap pepohonan pinus yang indah membuat ia teringat saat masih awal di kemiliteran. Kerinduan untuk berburu di hutan bersama Lionil, Lenard, dan yang lainnya menggedor hati Oliver ingin mengulang lagi.
Dua Minggu Kemudian..."Nyonya tidak papa? Kenapa pucat dan mual-mual sejak tadi? Nyonya tidak makan makan yang asam, kan?" Bibi Ruitz membantu Alesha bangkit dari lantai kamar mandi. Alesha selalu mual setiap selesai makan apapun, hingga ia terlihat pucat dan lemas meskipun tak ada yang dia muntahkan. "Pusing Bi, tubuhku seperti tak ada tulangnya," lirih Alesha berdiri memegangi lengan pelayannya. "Nyonya masuk angin, mari ke dalam kamar. Biar saya siapkan teh hangat, ya..." Alesha mengangguk dan segera mereka bergegas ke lantai dua di kamar Alesha. Di sana Bibi Ruitz meminta Alesha untuk segera berbaring dan berisitirahat. Pemandangan di luar sangat cerah, cahaya jingga di langit yang indah. Namun hari ini Alesha sangat sedih dan kecewa, pasalnya hari ini dia ingin menghabiskan waktu dengan Oliver, namun suaminya itu malah pergi berburu dengan beberapa rekannya di hutan. "Sekarang jam berapa Bi, kenapa Oliver belum juga pulang? Padahal aku sedang tidak enak badan begini," ger
Kehamilan Alesha membawa kebahagiaan tersendiri untuk Oliver yang sudah lama menantikan momen ini. Laki-laki itu menemani Alesha duduk di balkon, mendengarkan semua ocehan istrinya yang menceritakan ini dan itu, setelah seharian Alesha lemas, tapi malamnya dia tidak punya rasa ngantuk sama sekali. Mengoceh dan terus mengajak Oliver bercanda. "Kau tidak mengantuk, hem?" tanya Oliver mengusap pucuk kepala Alesha. "Masih belum ngantuk sama sekali. Lihatlah, pemandangan malam ini sangat bagus, langit yang cerah dan anginnya sejuk." Alesha memejamkan kedua matanya tersenyum mendongak menatap langit. Oliver menyergah napasnya panjang, dia mengupaskan buah jeruk untuk Alesha, untuk yang ke empat kalinya. "Jangan melakukan pekerjaan apapun sekalipun aku pergi bekerja, jangan mengerjakan pekerjaan rumah apapun besok," peringat Oliver lagi. "Iya, tenang saja. Aku itu ahlinya malas-malasan," jawab Alesha terkekeh geli, gadis itu memeluk tubuh Oliver dan mendongak tersenyum manis. Oliver m
"Kapten! Kapten Lionil... Kau ada di rumah kan?! Kapten!" Suara teriakan Alesha yang keras membuat pemilik rumah itu bergegas membukakan pintu. Nampak Lionil kini membuka pintu kayu rumahnya dan mengerjapkan kedua matanya menatap Alesha yang tengah berdiri dengan wajah memerah menahan marah. "Non-""Panggil saja namaku, Alesha, begitu!" pekik gadis itu. Lionil mengerjap kedua matanya bingung, tidak bisanya Alesha datang ke tempatnya apalah seorang diri. "Aku boleh masuk, tidak?" tanya gadis itu lagi. "Oh ya, silakan. Silakan masuk," balas Lionil. Mereka pun masuk dan Lionil menoleh ke sekitar rumahnya, tidak ada tanda-tanda Oliver, sungguhkah Alesha ke rumahnya sendirian?Di dalam rumah itu Alesha duduk di sofa ruang tamu. Wajahnya benar-benar kesal hingga Lionil terkekeh kecil melihatnya. 'Bocah pendek ini pasti ribut dengan Kapten Oliver,' batin Lionil tertawa. "Emm, Kapten Lionil..." Alesha menatapnya ragu-ragu. "Ya? Ada apa, Alesha? Kau ribut dengan Oliver?" tanya Lionil
"Aku tidak sedang berkencan dengan Fransisca, aku dan dia sedang membicarakan tentang beberapa prajurit yang masuk rumah sakit dan beberapa orang yang terluka, Alesha!" Oliver menatap Alesha dengan putus asa dan sebal. Namun istrinya itu mengabaikannya dan asik menikmati sarapannya. Kekesalan sore kemarin membuat Alesha malas berbicara sekalipun Oliver menjelaskan semuanya dengan jujur, tapi tetap saja dia bohong. "Sayang, kau dengar penjelasanku, kan? Ayolah... Jangan marah. Hari ini ke pantai, aku libur hari ini!" seru Oliver meraih tangan Alesha yang memegang piring. Kedua mata wanita itu melebar dan melotot pada tangan Oliver yang mencekal pergelangan tangannya. "Aku kan sudah bilang, jangan pegang!" pekik Alesha memukul tangan Oliver. "Tapi dengarkan penjelasanku! Kau tidak bisa marah seperti ini, jangan seenakmu sendiri mengabaikan aku!" Oliver sudah kepalang kesal. "Empat bulan kau abaikan aku juga tidak mengeluh sepertimu kok." Alesha menunduk menatap sepiring buah ang
"Aku ada pertemuan dengan Laksamana Aderson siang nanti, jadi pagi ini aku ada urusan dengan istriku dan pergi ke suatu tempat." "Siap Kapt, sampai bertemu siang nanti." Oliver menutup telpon itu dan meletakkan gagang telepon duduk tersebut, sebelum akhirnya laki-laki itu membalikkan badannya dan menemukan Alesha yang baru saja bangun. Senyuman terukir di bibir Oliver. "Baru bangun, Nyonya... Lihat jamnya, sudah pukul setengah tujuh." Oliver mendekat dan mengusap pucuk kepala Alesha. "Cepat bersiap, sarapan, dan pergi ke pantai denganku. Jangan dengan Lionil, karena suamimu itu aku, bukan dia!" Saat itu juga Alesha merotasikan kedua bola matanya jengah. Ia merengut dengan bibir mencebik kesal. "Menyebalkan, suami menyebalkan!" "Jangan menggerutu, Sayang..." Oliver menarik kedua pipi gembil wanita itu dengan gemas. "Ingat, semalam kau yang mendatangiku dan memintaku untuk menemanimu, jadi kau sendiri yang mematahkan hukumannya, okay?!" "Aku kan tidak bilang begitu!" balas Ales
Hari demi hari berjalan dengan cepat. Kandungan Alesha sudah hampir memasuki bulan ke lima dan setiap harinya dia lewati dengan penuh kebahagiaan di dalamnya. Siang ini Alesha ditemani Oliver, Alesha pergi memeriksakan kandungannya. Beberapa hari Alesha merasa tidak enak badan. "Nyonya Alesha hanya kelelahan saja, ini bukan masalah yang serius. Cukup dengan banyak istirahat saja," ujar Dokter Mora usai memeriksa Alesha."Tapi dok, rasanya aneh sekali. Setiap malam aku selalu tidak bisa tidur, kalau di siang hari aku tak bertenaga seperti seorang pasien," ujar Alesha sedih. Dokter itu tersenyum. "Tidak papa Nyonya, semuanya akan baik-baik saja. Kalau begitu saya akan resepkan vitamin untuk Nyonya, tunggu sebentar." Sepeninggal Dokter Mora hanya ada Oliver dan Alesha di dalam ruangan itu. Wanita dengan perut berisi yang terbaring menatap langit-langit kamar dengan wajah mulai rileks. "Apa kubilang, tidak papa kan?" Oliver mengusap kening Alesha dan tersenyum tulus. "Tapi namanya
Alesha mengantar Oliver pergi ke pelabuhan pagi ini. Ia merasa sangat sedih saat suaminya pergi bertugas. "Jangan bersedih ya," bisik Oliver pada Alesha yang memeluknya. "Tidak. Aku kan sudah berjanji menunggumu untuk cepat pulang, semoga keributan itu segera berakhir," ujar Alesha tertunduk memegang kedua telapak tangan Oliver yang terbungkus sarung tangan putih. "Iya Sayang. Aku juga berharap demikian, semoga tidak lagi menelan korban," ujar Oliver menghela napasnya panjang. Alesha semakin erat memeluk tubuh sang suami. Hingga tak lama kemudian para rekan Oliver satu persatu naik ke dalam kapal dan bersiap untuk berangkat. Kali ini Oliver akan menjaga perbatasan laut yang cukup berbahaya. Serangan musuh yang datang kapan saja dan sudah menjatuhkan banyak sekali korban. Alesha berdoa semoga suaminya baik-baik saja. "Kapt! Ayo..." Suara Lionil membuat Oliver menoleh dan mengangguk. Alesha melepaskan genggaman tangannya. "Hati-hati Sayang," bisik Alesha. "Kau juga." Oliver me
Cuaca pagi yang sangat cerah, Alesha berada di taman luas rumahnya bersama Baby Noah dan Leah. Setiap pagi ia selalu menghangatkan dua malaikat kecilnya. Udara sejuk yang tak terlalu dingin, aroma pepohonan pinus di sekitar sana masih khas dengan kesejukan di tempat itu, juga bunga-bunga bermekaran di musim ini. "Tak terasa waktu berjalan dengan sangat cepat," ucap wanita itu menunduk menatap bayi-bayi mungil yang kini terlelap. Dua bayi itu berada di dalam keranjang rajut dari rotan, dengan selimut tebal dan lembut sebagai alasnya. "Hai Sayang... Bangun juga akhirnya," bisik Alesha mengusap ujung jari telunjuknya di pipi Noah. Sedangkan Leah, bayi itu masih tertidur dan merasa nyaman dengan hangatnya sinar matahari. "Bangun Leah, kau tidur terus sepanjang hari, Cantik."Pipi gembil Leah yang memerah, persis seperti pipi milik Kakaknya, Louis. Alesha sangat yakin kedua anak ini akan tumbuh lucu dan menggemaskan. "Mami...!" Suara teriakan Louis membuat Alesha menoleh ke belakan
"Aiko... Aku punya dua adik sekarang! Adikku nangisnya lebih keras dari adikmu!" Louis menatap teman perempuannya yang kini duduk di sampingnya. Padahal sudah berbulan-bulan lamanya mereka membahas tentang adik, dan baru sekarang Louis menunjukkan adiknya, tepatnya setelah dua adik kembarnya lahir. Teman perempuannya itu menoleh dengan mata mengerjap. "Terus, mereka laki-laki atau perempuan, Louis?" tanya Aiko. "Laki-laki dan perempuan. Yang satu Noah dan yang satu Leah. Kau harus kenalan dengan adik-adikku!" Louis mengatakan dengan bangga. Aiko pun menganggukkan kepalanya. Mereka berdua tengah menunggu jemputan, Louis mengatakan pada semua teman-temannya hari ini kalau dia punya adik bayi. Ia sangat bangga dan senang, dirinya menjadi seorang Kakak. Selang beberapa menit, mobil putih berhenti di depan Louis dan Aiko. "Woii, Big Boss! Ayo masuk!" Suara Ares membuka kaca jendela mobil. Louis pun turun dari duduknya. "Aku duluan, Aiko!" "Iya Louis, hati-hati ya..." Anak peremp
Beberapa hari Alesha berada di rumah sakit. Hari ini ia sudah diizinkan pulang oleh dokter. Di rumah, ia disambut dengan hangat oleh putranya. Louis meminta Ares untuk menghias kamar adik bayinya, itu semua juga pemerintah Oliver pada mulanya. "Horee... Adik pulang! Akhirnya kita sampai rumah, Leah dan Noah harus lihat kamar barunya, Kakak kerja keras buat menghias kamar kalian!" seru Louis berjalan mengekori Rena yang kini menggendong satu bayi milik Alesha. "Benarkah Kakak yang menghias kamar adik?" tanya Alesha pada si kecil. Louis dengan antusias menganggukkan kepalanya. "Iya Mami, tanya saja pada Papi! Louis yang menghias kamar adik, sekarang jadi bagus sekali!" seru anak itu mengacungkan jempolnya. "Wahh, terima kasih banyak, Kakak Louis." Mereka masuk ke dalam kamar, Alesha dibantu oleh Oliver duduk di tepi ranjang. Dua bayinya berada di sampingnya dan Louis juga mendusal pada Alesha terus-menerus. Oliver sibuk sendiri, dia menjadi super aktif menangani ini dan itu. Bahk
Louis datang ke rumah sakit bersama dengan Ares, di sana ia bertemu dengan Papinya yang kini melambaikan tangan ke arah anak itu. "Papi...! Mana adikku?!" pekik Louis mengulurkan kedua tangannya. "Adik masih di dalam," jawab Oliver tersenyum mengecup pipi Louis. "Wahhh, mereka seperti apa Pi? Lucu mana sama Louis?" tanya anak itu terus tak sabaran. Oliver terkekeh. "Sama-sama lucu!" jawab Laki-laki itu. Ares dan Lilith tersenyum manis mendengar ocehan Louis. Anak itu sangat penasaran dengan adik kembarnya. "Laksamana Fredrick tidak ke sini, Tuan?" tanya Ares pada Oliver. "Ke sini, tapi mereka sudah pulang. Sebentar lagi ke sini lagi membawa peralatan bayi, aku tidak bisa meninggalkan Alesha." Oliver menoleh dan menatap Ares. Akhirnya, pintu di depan mereka terbuka. Dan muncul seorang suster menatap Oliver yang berdiri paling depan. "Tuan, silakan masuk," ucap suster itu mempersilakan Oliver masuk ke dalam sana. Oliver pun langsung bergegas masuk ke dalam ruangan tersebut. Lo
"Mami... Mami kenapa?!" Louis membuka pintu kamar orang tuanya dan anak itu mendapati Maminya yang kini nampak kesakitan di atas ranjang. Dia berlari mendekati Alesha dengan wajah panik dan ketakutan. "Mami... Huwaa Mami kenapa sih, Mi?!" pekik Louis berteriak. "Louis, tolong panggilkan Papi ya," pinta Alesha kesakitan. "Iya Mi." Anak laki-laki itu berlari keluar secepatnya. Papinya yang kini tengah berada di dalam ruangan kerja bersama dengan Ares. "Papi! Huwaa Papi ihhh ke mana sih..!" Louis berteriak sekeras-kerasnya. Oliver dan Ares berjalan keluar dan melihat Louis berdiri di depan pintu kamar Alesha dengan wajah setengah menangis. Bocah manis itu menunjuk ke dalam kamar. "Mami nangis, perut Mami sakit!" teriaknya sambil menangis. "Ya Tuhan, Alesha!" Oliver bergegas masuk ke dalam kamar. Sementara Louis digendong oleh Ares. Anak itu menangis ketakutan, baru kali ini Louis melihat Maminya kesakitan sampai menangis. "Res, aku titip Louis padamu. Aku akan membawa Alesha
Hari demi hari berjalan dengan cepat. Pagi ini Alesha duduk di kursi kayu ukiran yang berada di teras samping rumahnya. Wanita cantik dengan perut besar itu memperhatikan suami dan putranya yang tengah bermain di taman. Louis mengamuk ingin bermain bersama Oliver, hingga mau tidak mau waktu kerja pun tersita. "Huhhh, Papi curang! Louis kalah!" teriak anak itu marah saat bola yang ia lemparkan tertangkap oleh Oliver."Ya sudah kalau tidak mau kalah jangan main!" balas Oliver mengusap rambut pirang Louis. Bibir anak itu langsung cemberut seketika. Alesha yang melihat mereka berdua pun hanya tersenyum saja. Lucu sekali Papa dan anak itu. Louis berlari ke arahnya, ia mengambil botol minum di pangkuan Alesha. "Kalau kalah tidak boleh marah, Sayang..." "Emmm, tidak mau pokoknya!" serunya memeluk perut besar sang Mami. "Nanti kalau adik sudah lahir, kalau Louis masih nakal seperti ini, bagaimana?" Alesha mengusap pipi basah Louis karena keringat. Oliver terkekeh mendekati mereka, lak
Oliver melangkah santai masuk ke dalam rumah. Sudut bibirnya terangkat begitu senang melihat kepulangannya kali ini disambut oleh istrinya tercinta yang tengah berdiri di ambang pintu. "Hemm, tumben menyambutku di depan pintu langsung seperti ini, hem?" Alesha masih bergeming, ia mendorong pipi suaminya saat Oliver hendak mengecupnya hingga laki-laki itu langsung mengerutkan keningnya. "Kenapa lagi, Sayang?" tanya Oliver bernada lelah. "Mau mau tanya dulu, kau sering menghukum anak kita, ya?! Menjewernya? Memintanya angkat tangan, berapa jam?!" pekik Alesha berkacak pinggang. Wanita cantik ini menunjukkan sisi garang dan galaknya sebagai seorang istri sekaligus Ibu. Alesha yang sedang hamil memang sangat sensitif dan agresif, bahkan dia tidak sungkan mendorong dan memukul Oliver sekuat tenaganya. "Hooohh ayolah! Jangan bilang si bocah itu mengadu, heh?" Oliver menantang. Alesha berdecak kesal dan ia memukul dada bidang Oliver dengan kuat. "Astaga Alesha..." "Aku kan sudah bil
Hari sudah gelap, Alesha berjalan keluar dari dalam kamarnya. Wanita itu melangkah menuju ke kamar milik Louis. Alesha membuka pintu kamar putranya pelan-pelan dan ia melihat putranya yang tertidur sendirian di atas ranjang. Perasaan tak tega menyelimuti Alesha, baginya Louis terlalu kecil untuk punya adik, namun bagi Oliver anak itu bisa dilatih untuk lebih bertanggung jawab sejak dini. "Louis," lirih Alesha mendekati ranjang. Jemari tangan Alesha mengusap rambut pirang Louis dan mengecup lembut pipi putranya. "Maafkan Mami ya Sayang, Mami tidak bisa mengurus Louis sepenuh hati seperti dulu," ujar Alesha sedih. "Mami akan tetap menjadi sandaran terbaik buat Louis, jangan khawatir." Kecupan lembut Alesha berikan di pipi Louis. Ia tidak ingin beranjak pergi saat ini, Alesha memutuskan untuk berbaring di sana, di samping Louis. Alesha memeluk tubuh mungil putranya hingga gerakan lembutnya membuat Louis terbangun. "Mami..." "Iya Sayang, Mami di sini." Kedua mata indah Louis terb
"Mami mau diambilkan air minum?" Louis mendekati Alesha yang duduk di sofa ruang keluarga di lantai dua. Wanita itu tersenyum dengan kebaikan hati putranya. "Tidak usah Sayang, nanti Mami ambil sendiri saja." "Emm, Mami jangan jalan-jalan, nanti adikku sakit!" seru Louis berlari lebih dulu mengambil botol minum. Alesha merasa tersentuh, setiap hari selama ia hamil Louis dan Oliver seperti sengaja berlomba-lomba untuk membantunya dan mendapat hatinya. Baru saja Alesha selesai makan siang, Louis pun langsung mengambilkan air minum untuknya dan membawa piringnya ke dapur di lantai satu. Alesha terdiam memperhatikan. 'Apa ini ajaran Oliver? Kalau Louis kelelahan nanti dia bisa sakit,' batin Alesha. "Ck! Jangan-jangan sungguh Oliver yang mengajarkannya!" Saat itu juga Alesha langsung melangkah turun ke lantai satu, ia melihat Louis di dapur bersama Bibi Ruitz, anak itu nampak memakan roti selai yang ia buat sendiri. Bibi Ruitz di sampingnya terlihat seperti membujuk Louis untuk