"Aku ada pertemuan dengan Laksamana Aderson siang nanti, jadi pagi ini aku ada urusan dengan istriku dan pergi ke suatu tempat." "Siap Kapt, sampai bertemu siang nanti." Oliver menutup telpon itu dan meletakkan gagang telepon duduk tersebut, sebelum akhirnya laki-laki itu membalikkan badannya dan menemukan Alesha yang baru saja bangun. Senyuman terukir di bibir Oliver. "Baru bangun, Nyonya... Lihat jamnya, sudah pukul setengah tujuh." Oliver mendekat dan mengusap pucuk kepala Alesha. "Cepat bersiap, sarapan, dan pergi ke pantai denganku. Jangan dengan Lionil, karena suamimu itu aku, bukan dia!" Saat itu juga Alesha merotasikan kedua bola matanya jengah. Ia merengut dengan bibir mencebik kesal. "Menyebalkan, suami menyebalkan!" "Jangan menggerutu, Sayang..." Oliver menarik kedua pipi gembil wanita itu dengan gemas. "Ingat, semalam kau yang mendatangiku dan memintaku untuk menemanimu, jadi kau sendiri yang mematahkan hukumannya, okay?!" "Aku kan tidak bilang begitu!" balas Ales
Hari demi hari berjalan dengan cepat. Kandungan Alesha sudah hampir memasuki bulan ke lima dan setiap harinya dia lewati dengan penuh kebahagiaan di dalamnya. Siang ini Alesha ditemani Oliver, Alesha pergi memeriksakan kandungannya. Beberapa hari Alesha merasa tidak enak badan. "Nyonya Alesha hanya kelelahan saja, ini bukan masalah yang serius. Cukup dengan banyak istirahat saja," ujar Dokter Mora usai memeriksa Alesha."Tapi dok, rasanya aneh sekali. Setiap malam aku selalu tidak bisa tidur, kalau di siang hari aku tak bertenaga seperti seorang pasien," ujar Alesha sedih. Dokter itu tersenyum. "Tidak papa Nyonya, semuanya akan baik-baik saja. Kalau begitu saya akan resepkan vitamin untuk Nyonya, tunggu sebentar." Sepeninggal Dokter Mora hanya ada Oliver dan Alesha di dalam ruangan itu. Wanita dengan perut berisi yang terbaring menatap langit-langit kamar dengan wajah mulai rileks. "Apa kubilang, tidak papa kan?" Oliver mengusap kening Alesha dan tersenyum tulus. "Tapi namanya
Alesha mengantar Oliver pergi ke pelabuhan pagi ini. Ia merasa sangat sedih saat suaminya pergi bertugas. "Jangan bersedih ya," bisik Oliver pada Alesha yang memeluknya. "Tidak. Aku kan sudah berjanji menunggumu untuk cepat pulang, semoga keributan itu segera berakhir," ujar Alesha tertunduk memegang kedua telapak tangan Oliver yang terbungkus sarung tangan putih. "Iya Sayang. Aku juga berharap demikian, semoga tidak lagi menelan korban," ujar Oliver menghela napasnya panjang. Alesha semakin erat memeluk tubuh sang suami. Hingga tak lama kemudian para rekan Oliver satu persatu naik ke dalam kapal dan bersiap untuk berangkat. Kali ini Oliver akan menjaga perbatasan laut yang cukup berbahaya. Serangan musuh yang datang kapan saja dan sudah menjatuhkan banyak sekali korban. Alesha berdoa semoga suaminya baik-baik saja. "Kapt! Ayo..." Suara Lionil membuat Oliver menoleh dan mengangguk. Alesha melepaskan genggaman tangannya. "Hati-hati Sayang," bisik Alesha. "Kau juga." Oliver me
Tak terasa sudah tujuh hari lamanya Oliver pergi bertugas. Alesha yang ditinggalkan pun selalu menunggunya pulang setiap hari. Pagi ini pun Alesha sudah berada di pantai sendirian. Dia pergi berjalan kaki setiap pagi hari ke tempat yang mengingatkannya tentang Oliver beberapa waktu lalu. "Dia sedang apa?" lirih Alesha menatap jauh ke arah lautan biru yang indah gemerlap. "Apa dia sudah sarapan? Apa Oliver baik-baik saja?" Alesha mengusap wajahnya, rasa rindu yang besar semakin hari membuat Alesha semakin besar pula melebarkan rasa sabarnya. Sampai perhatian Alesha teralihkan pada sepasang kekasih yang terlihat bermain di pantai. Seorang wanita yang memberikan sebuah syal pada lelaki yang dia cintai. "Syal," lirih Alesha terdiam berpikir. "Sebentar lagi akan memasuki musim dingin, aku bisa memberikan hadiah syal pada Oliver dan menitipkannya lewat para tenaga medis yang akan berangkat ke medan perang. Setidaknya... Dia mendapatkan barang kiriman dariku. Seperti yang Ibu lakukan d
"Selamat pagi, Alesha..." Sapa seorang laki-laki dengan jas putih yang berdiri di depan pagar rumah milik Alesha. Alesha pun langsung berdiri dari duduknya, dia tersenyum melambaikan tangan pada Edwin. "Pagi Ed. Kau dari mana? Tumben sekali mampir?" tanya Alesha, dia akrab dengan dokter muda itu setelah beberapa hari mereka menjadi seorang teman. "Aku tidak sengaja ke kediaman Letnan Satu, Letnan Hubert, beliau kan pulang," ujar Edwin meletakkan tasnya yang berisi peralatan kesehatan. Wajah Alesha menjadi sedikit terkejut. "Letnan Hubert pulang?" ulangnya bertanya. Edwin mengangguk dan duduk di hadapan Alesha. Laki-laki berbalut snelli itu mengerutkan keningnya bingung dengan wajah tegang Alesha. "Oh... Tunggu Alesha, dia pulang bukan berarti tugasnya sudah selesai. Beliau mengalami cidera serius di kaki dan punggungnya. Juga lengan kirinya yang patah," jelas Edwin pada Alesha sebelum wanita hamil itu salah sangka. Helaan napas berat keluar dari bibir Alesha mendengar cerita
"Semuanya sudah siap. Aku yakin suamiku akan menyukai ini." Alesha tersenyum manis mengusap syal hasil rajutan tangannya. Wanita itu memasukkan syal dan kue keringnya di dalam sebuah kotak berwarna merah muda, dan menutupnya dengan simpul pita merah yang cantik. Setelah menyiapkan hadiahnya, Alesha yang baru saja bersiap akan berangkat ke rumah sakit untuk menemui Edwin. "Nyonya akan pergi sendiri? Bagaimana kalau saya temani?" tawar Bibi Ruitz. "Tidak usah Bi, aku pergi sendiri saja, berani kok," balas Alesha tersenyum manis. "Nyonya Alesha yakin?" Dan anggukan diberikan oleh Alesha. Dia kini sungguh tersenyum dengan manis dan mengambil tas miliknya. Alesha membawa kotak hadiahnya dan memeluk kotak itu dengan penuh kasih sayang. "Aku berangkat ya, Bi!" pamitnya saat di teras. "Hati-hati Nyonya, kalau ada apa-apa hubungi Bibi, ya!" pekik Bibi Ruitz tak tega. Alesha menjawabnya dengan acungan jempol dan senyuman lebar di bibirnya. Perjalanan dari rumahnya ke rumah sakit tida
Di tengah-tengah lautan luas Oliver menghabiskan waktunya berminggu-minggu menjaga perbatasan. Peperangan, darah, api, dan suara-suara menyeramkan yang tak lagi asing di telinganya. Laki-laki itu kini berada di pos, ia tengah diobati oleh seorang perawat perempuan karena punggungnya yang gak sengaja tertiban sedikit runtuhan tembok. "Kapten, kau baik-baik saja?!" Suara Habin berlari ke arah Oliver. "Tidak papa, hanya luka sedikit," jawab Oliver. "Beberapa prajurit masih dalam sandera musuh. Aku akan segera mengirim pesan ke markas, tapi aku bersyukur semalam kita mampu menenggelamkan dua kapal Cifton." Oliver menghela napasnya panjang, dia duduk di atas brankar dan membiarkan tubuh atasnya terbuka tanpa sehelai benang selain kain perban yang menyilang bahunya. Laki-laki itu menatap jam saku yang ia genggam sejak tadi. "Aku khawatir bila aku tidak lagi tepat janji pada Alesha," ujar Oliver. "Dua bulan lagi Alesha akan melahirkan, bukan?" tanya Lenard yang kini muncul. Oliver m
'Oliver-ku Sayang, ini hadiah musim dingin kedua yang aku berikan padamu. Aku tidak bisa memberikan ini secara langsung padamu. Tapi aku percaya kau akan menyukainya. Dan satu lagi, aku mengingatkanmu tentang anak kita yang dua bulan lagi akan lahir. Kami selalu mendoakanmu. Dari yang mencintaimu, Alesha.' Oliver berkali-kali membaca surat itu, di bawa langit yang menurunkan salju tipis, udara dingin, di atas tanah peperangan. Hati Oliver terasa seperti dinginnya hari ini. Laki-laki itu menyimpan surat yang Alesha berikan, ia duduk bersama Lionil yang kini merancang senjata yang akan mereka bawa nanti. "Kapt, pakai rompimu!" seru Lionil menyerahkan sebuah rompi pada Oliver. "Kapten Lionil..." "Hem? Apa lagi? Kau mau meledekku karena aku jomblo lagi?!" sahutnya kesal. "Sudah jomblo, perang, bagaimana kalau mati?! Apa tidak tambah ngenes?!" seru Lionil menirukan kata-kata Oliver biasanya. Hal itu membuat Oliver tertawa."Bukan, bukan itu!" "Lalu?" Lionil duduk di samping Oliver
Cuaca pagi yang sangat cerah, Alesha berada di taman luas rumahnya bersama Baby Noah dan Leah. Setiap pagi ia selalu menghangatkan dua malaikat kecilnya. Udara sejuk yang tak terlalu dingin, aroma pepohonan pinus di sekitar sana masih khas dengan kesejukan di tempat itu, juga bunga-bunga bermekaran di musim ini. "Tak terasa waktu berjalan dengan sangat cepat," ucap wanita itu menunduk menatap bayi-bayi mungil yang kini terlelap. Dua bayi itu berada di dalam keranjang rajut dari rotan, dengan selimut tebal dan lembut sebagai alasnya. "Hai Sayang... Bangun juga akhirnya," bisik Alesha mengusap ujung jari telunjuknya di pipi Noah. Sedangkan Leah, bayi itu masih tertidur dan merasa nyaman dengan hangatnya sinar matahari. "Bangun Leah, kau tidur terus sepanjang hari, Cantik."Pipi gembil Leah yang memerah, persis seperti pipi milik Kakaknya, Louis. Alesha sangat yakin kedua anak ini akan tumbuh lucu dan menggemaskan. "Mami...!" Suara teriakan Louis membuat Alesha menoleh ke belakan
"Aiko... Aku punya dua adik sekarang! Adikku nangisnya lebih keras dari adikmu!" Louis menatap teman perempuannya yang kini duduk di sampingnya. Padahal sudah berbulan-bulan lamanya mereka membahas tentang adik, dan baru sekarang Louis menunjukkan adiknya, tepatnya setelah dua adik kembarnya lahir. Teman perempuannya itu menoleh dengan mata mengerjap. "Terus, mereka laki-laki atau perempuan, Louis?" tanya Aiko. "Laki-laki dan perempuan. Yang satu Noah dan yang satu Leah. Kau harus kenalan dengan adik-adikku!" Louis mengatakan dengan bangga. Aiko pun menganggukkan kepalanya. Mereka berdua tengah menunggu jemputan, Louis mengatakan pada semua teman-temannya hari ini kalau dia punya adik bayi. Ia sangat bangga dan senang, dirinya menjadi seorang Kakak. Selang beberapa menit, mobil putih berhenti di depan Louis dan Aiko. "Woii, Big Boss! Ayo masuk!" Suara Ares membuka kaca jendela mobil. Louis pun turun dari duduknya. "Aku duluan, Aiko!" "Iya Louis, hati-hati ya..." Anak peremp
Beberapa hari Alesha berada di rumah sakit. Hari ini ia sudah diizinkan pulang oleh dokter. Di rumah, ia disambut dengan hangat oleh putranya. Louis meminta Ares untuk menghias kamar adik bayinya, itu semua juga pemerintah Oliver pada mulanya. "Horee... Adik pulang! Akhirnya kita sampai rumah, Leah dan Noah harus lihat kamar barunya, Kakak kerja keras buat menghias kamar kalian!" seru Louis berjalan mengekori Rena yang kini menggendong satu bayi milik Alesha. "Benarkah Kakak yang menghias kamar adik?" tanya Alesha pada si kecil. Louis dengan antusias menganggukkan kepalanya. "Iya Mami, tanya saja pada Papi! Louis yang menghias kamar adik, sekarang jadi bagus sekali!" seru anak itu mengacungkan jempolnya. "Wahh, terima kasih banyak, Kakak Louis." Mereka masuk ke dalam kamar, Alesha dibantu oleh Oliver duduk di tepi ranjang. Dua bayinya berada di sampingnya dan Louis juga mendusal pada Alesha terus-menerus. Oliver sibuk sendiri, dia menjadi super aktif menangani ini dan itu. Bahk
Louis datang ke rumah sakit bersama dengan Ares, di sana ia bertemu dengan Papinya yang kini melambaikan tangan ke arah anak itu. "Papi...! Mana adikku?!" pekik Louis mengulurkan kedua tangannya. "Adik masih di dalam," jawab Oliver tersenyum mengecup pipi Louis. "Wahhh, mereka seperti apa Pi? Lucu mana sama Louis?" tanya anak itu terus tak sabaran. Oliver terkekeh. "Sama-sama lucu!" jawab Laki-laki itu. Ares dan Lilith tersenyum manis mendengar ocehan Louis. Anak itu sangat penasaran dengan adik kembarnya. "Laksamana Fredrick tidak ke sini, Tuan?" tanya Ares pada Oliver. "Ke sini, tapi mereka sudah pulang. Sebentar lagi ke sini lagi membawa peralatan bayi, aku tidak bisa meninggalkan Alesha." Oliver menoleh dan menatap Ares. Akhirnya, pintu di depan mereka terbuka. Dan muncul seorang suster menatap Oliver yang berdiri paling depan. "Tuan, silakan masuk," ucap suster itu mempersilakan Oliver masuk ke dalam sana. Oliver pun langsung bergegas masuk ke dalam ruangan tersebut. Lo
"Mami... Mami kenapa?!" Louis membuka pintu kamar orang tuanya dan anak itu mendapati Maminya yang kini nampak kesakitan di atas ranjang. Dia berlari mendekati Alesha dengan wajah panik dan ketakutan. "Mami... Huwaa Mami kenapa sih, Mi?!" pekik Louis berteriak. "Louis, tolong panggilkan Papi ya," pinta Alesha kesakitan. "Iya Mi." Anak laki-laki itu berlari keluar secepatnya. Papinya yang kini tengah berada di dalam ruangan kerja bersama dengan Ares. "Papi! Huwaa Papi ihhh ke mana sih..!" Louis berteriak sekeras-kerasnya. Oliver dan Ares berjalan keluar dan melihat Louis berdiri di depan pintu kamar Alesha dengan wajah setengah menangis. Bocah manis itu menunjuk ke dalam kamar. "Mami nangis, perut Mami sakit!" teriaknya sambil menangis. "Ya Tuhan, Alesha!" Oliver bergegas masuk ke dalam kamar. Sementara Louis digendong oleh Ares. Anak itu menangis ketakutan, baru kali ini Louis melihat Maminya kesakitan sampai menangis. "Res, aku titip Louis padamu. Aku akan membawa Alesha
Hari demi hari berjalan dengan cepat. Pagi ini Alesha duduk di kursi kayu ukiran yang berada di teras samping rumahnya. Wanita cantik dengan perut besar itu memperhatikan suami dan putranya yang tengah bermain di taman. Louis mengamuk ingin bermain bersama Oliver, hingga mau tidak mau waktu kerja pun tersita. "Huhhh, Papi curang! Louis kalah!" teriak anak itu marah saat bola yang ia lemparkan tertangkap oleh Oliver."Ya sudah kalau tidak mau kalah jangan main!" balas Oliver mengusap rambut pirang Louis. Bibir anak itu langsung cemberut seketika. Alesha yang melihat mereka berdua pun hanya tersenyum saja. Lucu sekali Papa dan anak itu. Louis berlari ke arahnya, ia mengambil botol minum di pangkuan Alesha. "Kalau kalah tidak boleh marah, Sayang..." "Emmm, tidak mau pokoknya!" serunya memeluk perut besar sang Mami. "Nanti kalau adik sudah lahir, kalau Louis masih nakal seperti ini, bagaimana?" Alesha mengusap pipi basah Louis karena keringat. Oliver terkekeh mendekati mereka, lak
Oliver melangkah santai masuk ke dalam rumah. Sudut bibirnya terangkat begitu senang melihat kepulangannya kali ini disambut oleh istrinya tercinta yang tengah berdiri di ambang pintu. "Hemm, tumben menyambutku di depan pintu langsung seperti ini, hem?" Alesha masih bergeming, ia mendorong pipi suaminya saat Oliver hendak mengecupnya hingga laki-laki itu langsung mengerutkan keningnya. "Kenapa lagi, Sayang?" tanya Oliver bernada lelah. "Mau mau tanya dulu, kau sering menghukum anak kita, ya?! Menjewernya? Memintanya angkat tangan, berapa jam?!" pekik Alesha berkacak pinggang. Wanita cantik ini menunjukkan sisi garang dan galaknya sebagai seorang istri sekaligus Ibu. Alesha yang sedang hamil memang sangat sensitif dan agresif, bahkan dia tidak sungkan mendorong dan memukul Oliver sekuat tenaganya. "Hooohh ayolah! Jangan bilang si bocah itu mengadu, heh?" Oliver menantang. Alesha berdecak kesal dan ia memukul dada bidang Oliver dengan kuat. "Astaga Alesha..." "Aku kan sudah bil
Hari sudah gelap, Alesha berjalan keluar dari dalam kamarnya. Wanita itu melangkah menuju ke kamar milik Louis. Alesha membuka pintu kamar putranya pelan-pelan dan ia melihat putranya yang tertidur sendirian di atas ranjang. Perasaan tak tega menyelimuti Alesha, baginya Louis terlalu kecil untuk punya adik, namun bagi Oliver anak itu bisa dilatih untuk lebih bertanggung jawab sejak dini. "Louis," lirih Alesha mendekati ranjang. Jemari tangan Alesha mengusap rambut pirang Louis dan mengecup lembut pipi putranya. "Maafkan Mami ya Sayang, Mami tidak bisa mengurus Louis sepenuh hati seperti dulu," ujar Alesha sedih. "Mami akan tetap menjadi sandaran terbaik buat Louis, jangan khawatir." Kecupan lembut Alesha berikan di pipi Louis. Ia tidak ingin beranjak pergi saat ini, Alesha memutuskan untuk berbaring di sana, di samping Louis. Alesha memeluk tubuh mungil putranya hingga gerakan lembutnya membuat Louis terbangun. "Mami..." "Iya Sayang, Mami di sini." Kedua mata indah Louis terb
"Mami mau diambilkan air minum?" Louis mendekati Alesha yang duduk di sofa ruang keluarga di lantai dua. Wanita itu tersenyum dengan kebaikan hati putranya. "Tidak usah Sayang, nanti Mami ambil sendiri saja." "Emm, Mami jangan jalan-jalan, nanti adikku sakit!" seru Louis berlari lebih dulu mengambil botol minum. Alesha merasa tersentuh, setiap hari selama ia hamil Louis dan Oliver seperti sengaja berlomba-lomba untuk membantunya dan mendapat hatinya. Baru saja Alesha selesai makan siang, Louis pun langsung mengambilkan air minum untuknya dan membawa piringnya ke dapur di lantai satu. Alesha terdiam memperhatikan. 'Apa ini ajaran Oliver? Kalau Louis kelelahan nanti dia bisa sakit,' batin Alesha. "Ck! Jangan-jangan sungguh Oliver yang mengajarkannya!" Saat itu juga Alesha langsung melangkah turun ke lantai satu, ia melihat Louis di dapur bersama Bibi Ruitz, anak itu nampak memakan roti selai yang ia buat sendiri. Bibi Ruitz di sampingnya terlihat seperti membujuk Louis untuk