"Selamat pagi, Alesha..." Sapa seorang laki-laki dengan jas putih yang berdiri di depan pagar rumah milik Alesha. Alesha pun langsung berdiri dari duduknya, dia tersenyum melambaikan tangan pada Edwin. "Pagi Ed. Kau dari mana? Tumben sekali mampir?" tanya Alesha, dia akrab dengan dokter muda itu setelah beberapa hari mereka menjadi seorang teman. "Aku tidak sengaja ke kediaman Letnan Satu, Letnan Hubert, beliau kan pulang," ujar Edwin meletakkan tasnya yang berisi peralatan kesehatan. Wajah Alesha menjadi sedikit terkejut. "Letnan Hubert pulang?" ulangnya bertanya. Edwin mengangguk dan duduk di hadapan Alesha. Laki-laki berbalut snelli itu mengerutkan keningnya bingung dengan wajah tegang Alesha. "Oh... Tunggu Alesha, dia pulang bukan berarti tugasnya sudah selesai. Beliau mengalami cidera serius di kaki dan punggungnya. Juga lengan kirinya yang patah," jelas Edwin pada Alesha sebelum wanita hamil itu salah sangka. Helaan napas berat keluar dari bibir Alesha mendengar cerita
"Semuanya sudah siap. Aku yakin suamiku akan menyukai ini." Alesha tersenyum manis mengusap syal hasil rajutan tangannya. Wanita itu memasukkan syal dan kue keringnya di dalam sebuah kotak berwarna merah muda, dan menutupnya dengan simpul pita merah yang cantik. Setelah menyiapkan hadiahnya, Alesha yang baru saja bersiap akan berangkat ke rumah sakit untuk menemui Edwin. "Nyonya akan pergi sendiri? Bagaimana kalau saya temani?" tawar Bibi Ruitz. "Tidak usah Bi, aku pergi sendiri saja, berani kok," balas Alesha tersenyum manis. "Nyonya Alesha yakin?" Dan anggukan diberikan oleh Alesha. Dia kini sungguh tersenyum dengan manis dan mengambil tas miliknya. Alesha membawa kotak hadiahnya dan memeluk kotak itu dengan penuh kasih sayang. "Aku berangkat ya, Bi!" pamitnya saat di teras. "Hati-hati Nyonya, kalau ada apa-apa hubungi Bibi, ya!" pekik Bibi Ruitz tak tega. Alesha menjawabnya dengan acungan jempol dan senyuman lebar di bibirnya. Perjalanan dari rumahnya ke rumah sakit tida
Di tengah-tengah lautan luas Oliver menghabiskan waktunya berminggu-minggu menjaga perbatasan. Peperangan, darah, api, dan suara-suara menyeramkan yang tak lagi asing di telinganya. Laki-laki itu kini berada di pos, ia tengah diobati oleh seorang perawat perempuan karena punggungnya yang gak sengaja tertiban sedikit runtuhan tembok. "Kapten, kau baik-baik saja?!" Suara Habin berlari ke arah Oliver. "Tidak papa, hanya luka sedikit," jawab Oliver. "Beberapa prajurit masih dalam sandera musuh. Aku akan segera mengirim pesan ke markas, tapi aku bersyukur semalam kita mampu menenggelamkan dua kapal Cifton." Oliver menghela napasnya panjang, dia duduk di atas brankar dan membiarkan tubuh atasnya terbuka tanpa sehelai benang selain kain perban yang menyilang bahunya. Laki-laki itu menatap jam saku yang ia genggam sejak tadi. "Aku khawatir bila aku tidak lagi tepat janji pada Alesha," ujar Oliver. "Dua bulan lagi Alesha akan melahirkan, bukan?" tanya Lenard yang kini muncul. Oliver m
'Oliver-ku Sayang, ini hadiah musim dingin kedua yang aku berikan padamu. Aku tidak bisa memberikan ini secara langsung padamu. Tapi aku percaya kau akan menyukainya. Dan satu lagi, aku mengingatkanmu tentang anak kita yang dua bulan lagi akan lahir. Kami selalu mendoakanmu. Dari yang mencintaimu, Alesha.' Oliver berkali-kali membaca surat itu, di bawa langit yang menurunkan salju tipis, udara dingin, di atas tanah peperangan. Hati Oliver terasa seperti dinginnya hari ini. Laki-laki itu menyimpan surat yang Alesha berikan, ia duduk bersama Lionil yang kini merancang senjata yang akan mereka bawa nanti. "Kapt, pakai rompimu!" seru Lionil menyerahkan sebuah rompi pada Oliver. "Kapten Lionil..." "Hem? Apa lagi? Kau mau meledekku karena aku jomblo lagi?!" sahutnya kesal. "Sudah jomblo, perang, bagaimana kalau mati?! Apa tidak tambah ngenes?!" seru Lionil menirukan kata-kata Oliver biasanya. Hal itu membuat Oliver tertawa."Bukan, bukan itu!" "Lalu?" Lionil duduk di samping Oliver
Alesha membawa beberapa gulungan stiker dinding bergambar boneka, hiasan-hiasan lainnya. Ia berjalan bersama Bibi Ruitz memasuki kawasan perumahan setelah berbelanja semua perabotan untuk menghias kamar bayinya. "Nanti langsung kita pasang ya, Bi," pinta Alesha pada Bibi Ruitz. "Iya Nyonya jangan khawatir. Nanti Bibi bantu," jawab Bibi Ruitz membuka pintu rumah. Alesha langsung melangkah menuju ke lantai dua, ia membuka sebuah ruangan yang berada di samping kamar miliknya dan Oliver. Diletakkannya semua belanjaan yang barusan dia beli. Alesha membuka gorden dan jendelanya. Senyuman manis terukir lembut di bibir Alesha. "Tidak terasa, waktu berjalan secepat ini," gumamnya mengusap perutnya yang besar. "Kita sabar menunggu Papi ya, Sayang." Alesha tersenyum tipis, kembali menatap ruangan di belakangnya. Wanita itu membersihkan beberapa barang, dan dinding kamar itu sudah berwarna putih, tinggal Alesha dan Bibi Ruitz menghiasnya. "Apa bola dan boneka ini ditaruh di sini, Nyonya?"
"Bangun, bangunlah kumohon. Aku sangat merindukanmu, kumohon buka matamu suamiku..." Suara lembut dan ringan itu samar jauh Oliver dengar. Seperti teriakan namun lembut memenuhi isi kepalanya. Perlahan ia merasakan getaran seseorang yang diguncang tangis berada di sampingnya. Sampai akhirnya kedua mata Oliver terbuka."Jangan tinggalkan aku, kumohon bangun. Oliver jangan membuatku takut." Ekor mata Oliver melirik ke sisi ranjang, ia melihat Alesha menangis menundukkan kepalanya dan memeluk erat lengan kirinya. Wanita cantik ini, sudah Oliver duga-duga kalau ia akan dibawa kembali oleh Laksamana Fredrick dan kabar ini membuat Alesha kaget juga bersedih. "Alesha," lirih Oliver memanggilnya. Tangisan Alesha saat itu juga langsung terhenti. Wanita cantik itu mengangkat wajahnya dan menatap Oliver yang kini benar-benar sudah terbangun. "Ka-kau sudah bangun?!" pekik Alesha berdiri menyeka air matanya. "Oliver sudah sadar... Oliver!" Dia nampak gugup, bingung, dan kaget melihat Olive
"Istriku akan kembali ke Ibu kota bersama Laksamana Fredrick. Aku tidak bisa menemaninya dan aku harap dia mengerti, ini akan menjadi tugas yang berat. Aku harus memalsukan kematianku agar Alesha tidak diburu musuh." Suara Oliver yang tengah berbincang dengan seseorang di telfon itu membuat Alesha menghentikan langkahnya. Wanita hamil itu berdiri di depan pintu kamar membawa sebuah selimut. Alesha terdiam menunduk dan ia tidak mungkin salah dengar apa yang dikatakan suaminya barusan. Tidak ada rasa lain di hatinya selain kaget luar biasa. "Me-Memalsukan kematian? Di-dia akan pergi dengan waktu yang lama?" lirih Alesha meremas selimut yang ia bawa. Setelah dia hari yang lalu Oliver kembali pulang ke rumah, tapi sesuatu yang mungkin memang Oliver sembunyikan dari Alesha kini didengar oleh wanita itu. Alesha membuka pintu kamarnya dirasa perbincangan Oliver dan temannya di telfon telah usai. "Sayang... Ayo istirahat dulu," ajak Oliver mengulurkan tangannya setelah mematikan peneran
Setelah beberapa hari lamanya Oliver pergi. Alesha menjalani harinya seperti biasa, karena dia tahu apa yang harus dia rahasiakan. Wanita itu tidak keluar rumah sama sekali setelah satu Minggu ini. Kabar kematian Kapten Oliver dan Lionil menggema di kota beberapa hari ini. Tak jarang juga seseorang datang ke rumah Alesha, namun Alesha tidak menemuinya. Meskipun berpura-pura, tapi ia sangat sedih dengan persembunyian identitas yang Oliver lakukan saat ini. "Nyonya Alesha," panggil Bibi Ruitz menatap Alesha yang kini duduk di balkon. "Ada orang yang datang lagi ya, Bi?" tanya Alesha tanpa menatap pembantunya. Suara derap langkah kaki cukup membantu Alesha menemukan jawaban dari panggilan Bibi Ruitz. "Alesha..." Suara Rena, Ibunya yang membuat Alesha sedikit terkejut dengan kedatangan wanita itu. "Ada perlu apa Ibu sampai ke sini?" tanya Alesha menoleh dengan ekspresi datar. Ibunya pun terdiam, dia mengetahui perasaan sedih Alesha. Rena mendekat dan memeluknya dengan erat. Member