'Oliver-ku Sayang, ini hadiah musim dingin kedua yang aku berikan padamu. Aku tidak bisa memberikan ini secara langsung padamu. Tapi aku percaya kau akan menyukainya. Dan satu lagi, aku mengingatkanmu tentang anak kita yang dua bulan lagi akan lahir. Kami selalu mendoakanmu. Dari yang mencintaimu, Alesha.' Oliver berkali-kali membaca surat itu, di bawa langit yang menurunkan salju tipis, udara dingin, di atas tanah peperangan. Hati Oliver terasa seperti dinginnya hari ini. Laki-laki itu menyimpan surat yang Alesha berikan, ia duduk bersama Lionil yang kini merancang senjata yang akan mereka bawa nanti. "Kapt, pakai rompimu!" seru Lionil menyerahkan sebuah rompi pada Oliver. "Kapten Lionil..." "Hem? Apa lagi? Kau mau meledekku karena aku jomblo lagi?!" sahutnya kesal. "Sudah jomblo, perang, bagaimana kalau mati?! Apa tidak tambah ngenes?!" seru Lionil menirukan kata-kata Oliver biasanya. Hal itu membuat Oliver tertawa."Bukan, bukan itu!" "Lalu?" Lionil duduk di samping Oliver
Alesha membawa beberapa gulungan stiker dinding bergambar boneka, hiasan-hiasan lainnya. Ia berjalan bersama Bibi Ruitz memasuki kawasan perumahan setelah berbelanja semua perabotan untuk menghias kamar bayinya. "Nanti langsung kita pasang ya, Bi," pinta Alesha pada Bibi Ruitz. "Iya Nyonya jangan khawatir. Nanti Bibi bantu," jawab Bibi Ruitz membuka pintu rumah. Alesha langsung melangkah menuju ke lantai dua, ia membuka sebuah ruangan yang berada di samping kamar miliknya dan Oliver. Diletakkannya semua belanjaan yang barusan dia beli. Alesha membuka gorden dan jendelanya. Senyuman manis terukir lembut di bibir Alesha. "Tidak terasa, waktu berjalan secepat ini," gumamnya mengusap perutnya yang besar. "Kita sabar menunggu Papi ya, Sayang." Alesha tersenyum tipis, kembali menatap ruangan di belakangnya. Wanita itu membersihkan beberapa barang, dan dinding kamar itu sudah berwarna putih, tinggal Alesha dan Bibi Ruitz menghiasnya. "Apa bola dan boneka ini ditaruh di sini, Nyonya?"
"Bangun, bangunlah kumohon. Aku sangat merindukanmu, kumohon buka matamu suamiku..." Suara lembut dan ringan itu samar jauh Oliver dengar. Seperti teriakan namun lembut memenuhi isi kepalanya. Perlahan ia merasakan getaran seseorang yang diguncang tangis berada di sampingnya. Sampai akhirnya kedua mata Oliver terbuka."Jangan tinggalkan aku, kumohon bangun. Oliver jangan membuatku takut." Ekor mata Oliver melirik ke sisi ranjang, ia melihat Alesha menangis menundukkan kepalanya dan memeluk erat lengan kirinya. Wanita cantik ini, sudah Oliver duga-duga kalau ia akan dibawa kembali oleh Laksamana Fredrick dan kabar ini membuat Alesha kaget juga bersedih. "Alesha," lirih Oliver memanggilnya. Tangisan Alesha saat itu juga langsung terhenti. Wanita cantik itu mengangkat wajahnya dan menatap Oliver yang kini benar-benar sudah terbangun. "Ka-kau sudah bangun?!" pekik Alesha berdiri menyeka air matanya. "Oliver sudah sadar... Oliver!" Dia nampak gugup, bingung, dan kaget melihat Olive
"Istriku akan kembali ke Ibu kota bersama Laksamana Fredrick. Aku tidak bisa menemaninya dan aku harap dia mengerti, ini akan menjadi tugas yang berat. Aku harus memalsukan kematianku agar Alesha tidak diburu musuh." Suara Oliver yang tengah berbincang dengan seseorang di telfon itu membuat Alesha menghentikan langkahnya. Wanita hamil itu berdiri di depan pintu kamar membawa sebuah selimut. Alesha terdiam menunduk dan ia tidak mungkin salah dengar apa yang dikatakan suaminya barusan. Tidak ada rasa lain di hatinya selain kaget luar biasa. "Me-Memalsukan kematian? Di-dia akan pergi dengan waktu yang lama?" lirih Alesha meremas selimut yang ia bawa. Setelah dia hari yang lalu Oliver kembali pulang ke rumah, tapi sesuatu yang mungkin memang Oliver sembunyikan dari Alesha kini didengar oleh wanita itu. Alesha membuka pintu kamarnya dirasa perbincangan Oliver dan temannya di telfon telah usai. "Sayang... Ayo istirahat dulu," ajak Oliver mengulurkan tangannya setelah mematikan peneran
Setelah beberapa hari lamanya Oliver pergi. Alesha menjalani harinya seperti biasa, karena dia tahu apa yang harus dia rahasiakan. Wanita itu tidak keluar rumah sama sekali setelah satu Minggu ini. Kabar kematian Kapten Oliver dan Lionil menggema di kota beberapa hari ini. Tak jarang juga seseorang datang ke rumah Alesha, namun Alesha tidak menemuinya. Meskipun berpura-pura, tapi ia sangat sedih dengan persembunyian identitas yang Oliver lakukan saat ini. "Nyonya Alesha," panggil Bibi Ruitz menatap Alesha yang kini duduk di balkon. "Ada orang yang datang lagi ya, Bi?" tanya Alesha tanpa menatap pembantunya. Suara derap langkah kaki cukup membantu Alesha menemukan jawaban dari panggilan Bibi Ruitz. "Alesha..." Suara Rena, Ibunya yang membuat Alesha sedikit terkejut dengan kedatangan wanita itu. "Ada perlu apa Ibu sampai ke sini?" tanya Alesha menoleh dengan ekspresi datar. Ibunya pun terdiam, dia mengetahui perasaan sedih Alesha. Rena mendekat dan memeluknya dengan erat. Member
"Mami... Louis mau jalan-jalan sama Opa! Ihhh, Mami nakal sekali!" Teriakan keras anak laki-laki berambut pirang dengan kemeja putih mungil dan dasi kupu-kupu biru yang dia pakai. Anak itu menangis ingin ikut dengan Fredrick, Opanya yang akan pergi ke Pangkalan. Namun Alesha melarangnya, dia tahu kalau putranya itu memiliki karakter yang tidak biasa. Louis Van Vorgath, anak yang nakal dan tantrum luar biasa. Dia selalu sukses membuat Alesha ikut menangis saat anak itu mengamuk. "Jangan ikut Opa! Opa itu sibuk, Sayang!" pekik Alesha menggendong si kecil yang menangis meronta-ronta dalam gendongan Alesha. Fredrick pun tertawa dengan tingkah nakal cucunya. Saat Alesha merasa lelah dengan anaknya yang nakal, tapi Laksamana Fredrick malah bangga dan menganggap Louis adalah anak yang cerdas, tanggap, pintar, persis seperti Papanya. "Sudah, sudah, ayo ikut Opa!" seru Fredrick menggendongnya. Anak laki-laki mungil itu menjulurkan lidahnya pada Alesha. "Byee... Byee... Mami galak!" peki
Bocah laki-laki berusia empat tahun itu cemberut, Louis baru saja menangis malam ini setelah dinasihati Bibi Ruitz untuk tidak menjadikan mainannya sebagai mainan. Namun dia malah marah dan baru diam setelah Fredrick memberikannya beberapa lembar uang. Kini anak itu bersama Maminya di dalam kamar, Alesha baru saja menggantikan pakaian dengan piyama bergambar karakter Spongebob Squarepants kesukaannya. "Ayo bobo sekarang, nanti Bibi Yuitz marah lagi," seru Alesha."Bibi nakal, Louis tidak mau temenan sama Bibi!" pekiknya sesenggukan. Alesha tersenyum dan mendekap tubuh mungil Louis dalam pelukannya. Telapak tangannya mengusap lembut punggung sang putra. Anak itu diam menggigit ujung ibu jarinya, Alesha mengelus rambut pirang Louis, mata birunya yang tenang dan teduh, sungguh Oliver versi kecil ini membuat kehidupan Alesha menjadi berwarna. Tangan mungil Louis menyentuh rambut panjang sang Mami. "Mami, kok rambut kita beda? Bener ya kata Uncle Sam kalau Louis ini anak pungut?" tany
Louis pulang lebih dulu bersama dengan bawahan Fredrick setelah dia mengamuk karena kesal diikuti oleh laki-laki asing, yang padahal Papanya sendiri. Di dalam gendongan Diego, anak itu menangis merengek-rengek hingga Alesha yang mendengar suara rengekan Louis pun langsung berjalan cepat ke luar. "Loh kenapa menangis? Nakal lagi, ya?!" seru Alesha meraih anak itu dari gendongan Diego. "Tidak suka ikut Opa! Ada orang nakal ikutin Louis terus!" pekik anak itu meronta-ronta. "Orang nakal?" Alesha beralih menatap bawahan Ayahnya yang mengantarkan Louis pulang. "Orang nakal siapa?" "Tamunya Tuan Besar, Nyonya," jawab pemuda itu. Barulah Alesha mengangguk kecil, dia menatap sang buah hati yang kini memeluk lehernya dan menangis sesenggukan. Alesha menyeka air mata di pipi Louis dan menenangkannya. "Sudah besar Louis, jangan nangis..." "Loh ini kenapa lagi? Kok pakai nangis-nangis segala?" Suara Rena membuat Alesha menoleh dan tersenyum. "Digoda tamunya Ayah katanya Bu, tidak biasa