"Istriku akan kembali ke Ibu kota bersama Laksamana Fredrick. Aku tidak bisa menemaninya dan aku harap dia mengerti, ini akan menjadi tugas yang berat. Aku harus memalsukan kematianku agar Alesha tidak diburu musuh." Suara Oliver yang tengah berbincang dengan seseorang di telfon itu membuat Alesha menghentikan langkahnya. Wanita hamil itu berdiri di depan pintu kamar membawa sebuah selimut. Alesha terdiam menunduk dan ia tidak mungkin salah dengar apa yang dikatakan suaminya barusan. Tidak ada rasa lain di hatinya selain kaget luar biasa. "Me-Memalsukan kematian? Di-dia akan pergi dengan waktu yang lama?" lirih Alesha meremas selimut yang ia bawa. Setelah dia hari yang lalu Oliver kembali pulang ke rumah, tapi sesuatu yang mungkin memang Oliver sembunyikan dari Alesha kini didengar oleh wanita itu. Alesha membuka pintu kamarnya dirasa perbincangan Oliver dan temannya di telfon telah usai. "Sayang... Ayo istirahat dulu," ajak Oliver mengulurkan tangannya setelah mematikan peneran
Setelah beberapa hari lamanya Oliver pergi. Alesha menjalani harinya seperti biasa, karena dia tahu apa yang harus dia rahasiakan. Wanita itu tidak keluar rumah sama sekali setelah satu Minggu ini. Kabar kematian Kapten Oliver dan Lionil menggema di kota beberapa hari ini. Tak jarang juga seseorang datang ke rumah Alesha, namun Alesha tidak menemuinya. Meskipun berpura-pura, tapi ia sangat sedih dengan persembunyian identitas yang Oliver lakukan saat ini. "Nyonya Alesha," panggil Bibi Ruitz menatap Alesha yang kini duduk di balkon. "Ada orang yang datang lagi ya, Bi?" tanya Alesha tanpa menatap pembantunya. Suara derap langkah kaki cukup membantu Alesha menemukan jawaban dari panggilan Bibi Ruitz. "Alesha..." Suara Rena, Ibunya yang membuat Alesha sedikit terkejut dengan kedatangan wanita itu. "Ada perlu apa Ibu sampai ke sini?" tanya Alesha menoleh dengan ekspresi datar. Ibunya pun terdiam, dia mengetahui perasaan sedih Alesha. Rena mendekat dan memeluknya dengan erat. Member
"Mami... Louis mau jalan-jalan sama Opa! Ihhh, Mami nakal sekali!" Teriakan keras anak laki-laki berambut pirang dengan kemeja putih mungil dan dasi kupu-kupu biru yang dia pakai. Anak itu menangis ingin ikut dengan Fredrick, Opanya yang akan pergi ke Pangkalan. Namun Alesha melarangnya, dia tahu kalau putranya itu memiliki karakter yang tidak biasa. Louis Van Vorgath, anak yang nakal dan tantrum luar biasa. Dia selalu sukses membuat Alesha ikut menangis saat anak itu mengamuk. "Jangan ikut Opa! Opa itu sibuk, Sayang!" pekik Alesha menggendong si kecil yang menangis meronta-ronta dalam gendongan Alesha. Fredrick pun tertawa dengan tingkah nakal cucunya. Saat Alesha merasa lelah dengan anaknya yang nakal, tapi Laksamana Fredrick malah bangga dan menganggap Louis adalah anak yang cerdas, tanggap, pintar, persis seperti Papanya. "Sudah, sudah, ayo ikut Opa!" seru Fredrick menggendongnya. Anak laki-laki mungil itu menjulurkan lidahnya pada Alesha. "Byee... Byee... Mami galak!" peki
Bocah laki-laki berusia empat tahun itu cemberut, Louis baru saja menangis malam ini setelah dinasihati Bibi Ruitz untuk tidak menjadikan mainannya sebagai mainan. Namun dia malah marah dan baru diam setelah Fredrick memberikannya beberapa lembar uang. Kini anak itu bersama Maminya di dalam kamar, Alesha baru saja menggantikan pakaian dengan piyama bergambar karakter Spongebob Squarepants kesukaannya. "Ayo bobo sekarang, nanti Bibi Yuitz marah lagi," seru Alesha."Bibi nakal, Louis tidak mau temenan sama Bibi!" pekiknya sesenggukan. Alesha tersenyum dan mendekap tubuh mungil Louis dalam pelukannya. Telapak tangannya mengusap lembut punggung sang putra. Anak itu diam menggigit ujung ibu jarinya, Alesha mengelus rambut pirang Louis, mata birunya yang tenang dan teduh, sungguh Oliver versi kecil ini membuat kehidupan Alesha menjadi berwarna. Tangan mungil Louis menyentuh rambut panjang sang Mami. "Mami, kok rambut kita beda? Bener ya kata Uncle Sam kalau Louis ini anak pungut?" tany
Louis pulang lebih dulu bersama dengan bawahan Fredrick setelah dia mengamuk karena kesal diikuti oleh laki-laki asing, yang padahal Papanya sendiri. Di dalam gendongan Diego, anak itu menangis merengek-rengek hingga Alesha yang mendengar suara rengekan Louis pun langsung berjalan cepat ke luar. "Loh kenapa menangis? Nakal lagi, ya?!" seru Alesha meraih anak itu dari gendongan Diego. "Tidak suka ikut Opa! Ada orang nakal ikutin Louis terus!" pekik anak itu meronta-ronta. "Orang nakal?" Alesha beralih menatap bawahan Ayahnya yang mengantarkan Louis pulang. "Orang nakal siapa?" "Tamunya Tuan Besar, Nyonya," jawab pemuda itu. Barulah Alesha mengangguk kecil, dia menatap sang buah hati yang kini memeluk lehernya dan menangis sesenggukan. Alesha menyeka air mata di pipi Louis dan menenangkannya. "Sudah besar Louis, jangan nangis..." "Loh ini kenapa lagi? Kok pakai nangis-nangis segala?" Suara Rena membuat Alesha menoleh dan tersenyum. "Digoda tamunya Ayah katanya Bu, tidak biasa
Hari sudah malam, sejak siang Oliver dan Alesha tertidur bersama dengan Louis juga. Anak itu kini memeluk Maminya dan mengerjapkan kedua matanya begitu dia terbangun. Alesha tidur di samping kiri dan Oliver di samping kanannya. Louis bangun perlahan, anak itu duduk dan menoleh ke kanan-kiri. "Mami... Louis mau ke kamar mandi," lirihnya sembari mengucek kedua matanya.Dia menoleh pada Alesha yang belum bangun. "Mami..." "Ada apa, Sayang?" Oliver pun bangun. Louis menoleh dan mengulurkan tangannya dengan wajah mengantuk. "Kau ke kamar mandi, anterin Louis," pintanya dengan nada manja. Saat itu juga Oliver langsung mengangkat tubuh mungil putranya. Mengajaknya masuk ke dalam kamar mandi. Oliver menyiapkan air hangat untuk Louis dan Alesha, mengetahui ada sebuah bak mandi kecil bergambar kartun milik putranya, anak itu langsung berendam di sana. "Papi tidak pergi lagi?" tanya Louis saat Oliver meraih handuk untuknya. Kegiatan Oliver terhenti. "Tidak, Papi akan di sini dengan Mami
"Ya ampun Mami, jadi ini yang namanya pasar wahana malam, ya?!" Suara decak kagum dengan tatapan mata berbinar-binar menjadi bukti betapa Louis menyukai pemandangan di depannya saat ini. Sebuah tempat yang penuh dengan wahana permainan, aneh macam orang berjualan dari makanan, aksesoris, hingga banyak hal lainnya. Tempat yang sangat ramai, Louis begitu kagum melihat keramaian ini. "Suka, Sayang?" tanya Alesha membungkukkan badannya. "Suka Mi! Ayo ke sana!" Anak itu langsung langsung menarik lengan Alesha. "Ehhh... Jangan! Gendong Mami saja, di sana ramai. Nanti Louis hilang!" seru Alesha mencekal pergelangan tangan mungil milik putranya. "Kita tunggu Papi sebentar." Tak berselang lama Oliver kembali muncul, laki-laki itu baru saja menjawab panggilan dari rekannya. Dan kini ia mendekati Alesha, mengambil alih Louis dari gendongan sang istri. "Maaf ya, lama menunggu," ujar Oliver merangkul pundak Alesha. "Tidak papa," jawab wanita itu tersenyum. "Pi ayo masuk ke dalam sana! Ma
"Louis maunya gimana sih, Sayang? Tidur tidak mau, tapi nangis terus!" Alesha putus asa dengan anaknya yang merengek-rengek. Padahal Oliver sudah tidur di sofa, laki-laki itu berbaring di sana dan menyaksikan saingan kecilnya yang sedang membuat pusing Maminya. "Mau tidur sama Papi di sofa?" tawar Oliver. "Ih siapa sih, tidak kenal... Tidak kenal..." Louis berdiri di atas ranjang mengejeknya. Andai bocah itu bukan putranya, mungkin Oliver akan mengikat anak itu di tiang kanopi ranjang dan menarik-narik pipi gembilnya. Sungguh, karakter Louis membuat Oliver kembali mengingat dirinya dulu saat rebutan Bibi Ruitz bersama dengan Reis, saudara sepupunya yang telah meninggal dunia. Oliver dulu juga nakal seperti Louis, malah dia lebih parah. Hingga melihat putranya yang super nakal ini membuat Oliver menganggapnya lumrah, Louis menurun padanya. "Sekarang tidur atau Mami keluar!" ancam Alesha pada putranya ini. Louis langsung berbaring, dia memeluk tubuh Alesha dan menyembunyikan tubu
Cuaca pagi yang sangat cerah, Alesha berada di taman luas rumahnya bersama Baby Noah dan Leah. Setiap pagi ia selalu menghangatkan dua malaikat kecilnya. Udara sejuk yang tak terlalu dingin, aroma pepohonan pinus di sekitar sana masih khas dengan kesejukan di tempat itu, juga bunga-bunga bermekaran di musim ini. "Tak terasa waktu berjalan dengan sangat cepat," ucap wanita itu menunduk menatap bayi-bayi mungil yang kini terlelap. Dua bayi itu berada di dalam keranjang rajut dari rotan, dengan selimut tebal dan lembut sebagai alasnya. "Hai Sayang... Bangun juga akhirnya," bisik Alesha mengusap ujung jari telunjuknya di pipi Noah. Sedangkan Leah, bayi itu masih tertidur dan merasa nyaman dengan hangatnya sinar matahari. "Bangun Leah, kau tidur terus sepanjang hari, Cantik."Pipi gembil Leah yang memerah, persis seperti pipi milik Kakaknya, Louis. Alesha sangat yakin kedua anak ini akan tumbuh lucu dan menggemaskan. "Mami...!" Suara teriakan Louis membuat Alesha menoleh ke belakan
"Aiko... Aku punya dua adik sekarang! Adikku nangisnya lebih keras dari adikmu!" Louis menatap teman perempuannya yang kini duduk di sampingnya. Padahal sudah berbulan-bulan lamanya mereka membahas tentang adik, dan baru sekarang Louis menunjukkan adiknya, tepatnya setelah dua adik kembarnya lahir. Teman perempuannya itu menoleh dengan mata mengerjap. "Terus, mereka laki-laki atau perempuan, Louis?" tanya Aiko. "Laki-laki dan perempuan. Yang satu Noah dan yang satu Leah. Kau harus kenalan dengan adik-adikku!" Louis mengatakan dengan bangga. Aiko pun menganggukkan kepalanya. Mereka berdua tengah menunggu jemputan, Louis mengatakan pada semua teman-temannya hari ini kalau dia punya adik bayi. Ia sangat bangga dan senang, dirinya menjadi seorang Kakak. Selang beberapa menit, mobil putih berhenti di depan Louis dan Aiko. "Woii, Big Boss! Ayo masuk!" Suara Ares membuka kaca jendela mobil. Louis pun turun dari duduknya. "Aku duluan, Aiko!" "Iya Louis, hati-hati ya..." Anak peremp
Beberapa hari Alesha berada di rumah sakit. Hari ini ia sudah diizinkan pulang oleh dokter. Di rumah, ia disambut dengan hangat oleh putranya. Louis meminta Ares untuk menghias kamar adik bayinya, itu semua juga pemerintah Oliver pada mulanya. "Horee... Adik pulang! Akhirnya kita sampai rumah, Leah dan Noah harus lihat kamar barunya, Kakak kerja keras buat menghias kamar kalian!" seru Louis berjalan mengekori Rena yang kini menggendong satu bayi milik Alesha. "Benarkah Kakak yang menghias kamar adik?" tanya Alesha pada si kecil. Louis dengan antusias menganggukkan kepalanya. "Iya Mami, tanya saja pada Papi! Louis yang menghias kamar adik, sekarang jadi bagus sekali!" seru anak itu mengacungkan jempolnya. "Wahh, terima kasih banyak, Kakak Louis." Mereka masuk ke dalam kamar, Alesha dibantu oleh Oliver duduk di tepi ranjang. Dua bayinya berada di sampingnya dan Louis juga mendusal pada Alesha terus-menerus. Oliver sibuk sendiri, dia menjadi super aktif menangani ini dan itu. Bahk
Louis datang ke rumah sakit bersama dengan Ares, di sana ia bertemu dengan Papinya yang kini melambaikan tangan ke arah anak itu. "Papi...! Mana adikku?!" pekik Louis mengulurkan kedua tangannya. "Adik masih di dalam," jawab Oliver tersenyum mengecup pipi Louis. "Wahhh, mereka seperti apa Pi? Lucu mana sama Louis?" tanya anak itu terus tak sabaran. Oliver terkekeh. "Sama-sama lucu!" jawab Laki-laki itu. Ares dan Lilith tersenyum manis mendengar ocehan Louis. Anak itu sangat penasaran dengan adik kembarnya. "Laksamana Fredrick tidak ke sini, Tuan?" tanya Ares pada Oliver. "Ke sini, tapi mereka sudah pulang. Sebentar lagi ke sini lagi membawa peralatan bayi, aku tidak bisa meninggalkan Alesha." Oliver menoleh dan menatap Ares. Akhirnya, pintu di depan mereka terbuka. Dan muncul seorang suster menatap Oliver yang berdiri paling depan. "Tuan, silakan masuk," ucap suster itu mempersilakan Oliver masuk ke dalam sana. Oliver pun langsung bergegas masuk ke dalam ruangan tersebut. Lo
"Mami... Mami kenapa?!" Louis membuka pintu kamar orang tuanya dan anak itu mendapati Maminya yang kini nampak kesakitan di atas ranjang. Dia berlari mendekati Alesha dengan wajah panik dan ketakutan. "Mami... Huwaa Mami kenapa sih, Mi?!" pekik Louis berteriak. "Louis, tolong panggilkan Papi ya," pinta Alesha kesakitan. "Iya Mi." Anak laki-laki itu berlari keluar secepatnya. Papinya yang kini tengah berada di dalam ruangan kerja bersama dengan Ares. "Papi! Huwaa Papi ihhh ke mana sih..!" Louis berteriak sekeras-kerasnya. Oliver dan Ares berjalan keluar dan melihat Louis berdiri di depan pintu kamar Alesha dengan wajah setengah menangis. Bocah manis itu menunjuk ke dalam kamar. "Mami nangis, perut Mami sakit!" teriaknya sambil menangis. "Ya Tuhan, Alesha!" Oliver bergegas masuk ke dalam kamar. Sementara Louis digendong oleh Ares. Anak itu menangis ketakutan, baru kali ini Louis melihat Maminya kesakitan sampai menangis. "Res, aku titip Louis padamu. Aku akan membawa Alesha
Hari demi hari berjalan dengan cepat. Pagi ini Alesha duduk di kursi kayu ukiran yang berada di teras samping rumahnya. Wanita cantik dengan perut besar itu memperhatikan suami dan putranya yang tengah bermain di taman. Louis mengamuk ingin bermain bersama Oliver, hingga mau tidak mau waktu kerja pun tersita. "Huhhh, Papi curang! Louis kalah!" teriak anak itu marah saat bola yang ia lemparkan tertangkap oleh Oliver."Ya sudah kalau tidak mau kalah jangan main!" balas Oliver mengusap rambut pirang Louis. Bibir anak itu langsung cemberut seketika. Alesha yang melihat mereka berdua pun hanya tersenyum saja. Lucu sekali Papa dan anak itu. Louis berlari ke arahnya, ia mengambil botol minum di pangkuan Alesha. "Kalau kalah tidak boleh marah, Sayang..." "Emmm, tidak mau pokoknya!" serunya memeluk perut besar sang Mami. "Nanti kalau adik sudah lahir, kalau Louis masih nakal seperti ini, bagaimana?" Alesha mengusap pipi basah Louis karena keringat. Oliver terkekeh mendekati mereka, lak
Oliver melangkah santai masuk ke dalam rumah. Sudut bibirnya terangkat begitu senang melihat kepulangannya kali ini disambut oleh istrinya tercinta yang tengah berdiri di ambang pintu. "Hemm, tumben menyambutku di depan pintu langsung seperti ini, hem?" Alesha masih bergeming, ia mendorong pipi suaminya saat Oliver hendak mengecupnya hingga laki-laki itu langsung mengerutkan keningnya. "Kenapa lagi, Sayang?" tanya Oliver bernada lelah. "Mau mau tanya dulu, kau sering menghukum anak kita, ya?! Menjewernya? Memintanya angkat tangan, berapa jam?!" pekik Alesha berkacak pinggang. Wanita cantik ini menunjukkan sisi garang dan galaknya sebagai seorang istri sekaligus Ibu. Alesha yang sedang hamil memang sangat sensitif dan agresif, bahkan dia tidak sungkan mendorong dan memukul Oliver sekuat tenaganya. "Hooohh ayolah! Jangan bilang si bocah itu mengadu, heh?" Oliver menantang. Alesha berdecak kesal dan ia memukul dada bidang Oliver dengan kuat. "Astaga Alesha..." "Aku kan sudah bil
Hari sudah gelap, Alesha berjalan keluar dari dalam kamarnya. Wanita itu melangkah menuju ke kamar milik Louis. Alesha membuka pintu kamar putranya pelan-pelan dan ia melihat putranya yang tertidur sendirian di atas ranjang. Perasaan tak tega menyelimuti Alesha, baginya Louis terlalu kecil untuk punya adik, namun bagi Oliver anak itu bisa dilatih untuk lebih bertanggung jawab sejak dini. "Louis," lirih Alesha mendekati ranjang. Jemari tangan Alesha mengusap rambut pirang Louis dan mengecup lembut pipi putranya. "Maafkan Mami ya Sayang, Mami tidak bisa mengurus Louis sepenuh hati seperti dulu," ujar Alesha sedih. "Mami akan tetap menjadi sandaran terbaik buat Louis, jangan khawatir." Kecupan lembut Alesha berikan di pipi Louis. Ia tidak ingin beranjak pergi saat ini, Alesha memutuskan untuk berbaring di sana, di samping Louis. Alesha memeluk tubuh mungil putranya hingga gerakan lembutnya membuat Louis terbangun. "Mami..." "Iya Sayang, Mami di sini." Kedua mata indah Louis terb
"Mami mau diambilkan air minum?" Louis mendekati Alesha yang duduk di sofa ruang keluarga di lantai dua. Wanita itu tersenyum dengan kebaikan hati putranya. "Tidak usah Sayang, nanti Mami ambil sendiri saja." "Emm, Mami jangan jalan-jalan, nanti adikku sakit!" seru Louis berlari lebih dulu mengambil botol minum. Alesha merasa tersentuh, setiap hari selama ia hamil Louis dan Oliver seperti sengaja berlomba-lomba untuk membantunya dan mendapat hatinya. Baru saja Alesha selesai makan siang, Louis pun langsung mengambilkan air minum untuknya dan membawa piringnya ke dapur di lantai satu. Alesha terdiam memperhatikan. 'Apa ini ajaran Oliver? Kalau Louis kelelahan nanti dia bisa sakit,' batin Alesha. "Ck! Jangan-jangan sungguh Oliver yang mengajarkannya!" Saat itu juga Alesha langsung melangkah turun ke lantai satu, ia melihat Louis di dapur bersama Bibi Ruitz, anak itu nampak memakan roti selai yang ia buat sendiri. Bibi Ruitz di sampingnya terlihat seperti membujuk Louis untuk