Dua Minggu Kemudian..."Nyonya tidak papa? Kenapa pucat dan mual-mual sejak tadi? Nyonya tidak makan makan yang asam, kan?" Bibi Ruitz membantu Alesha bangkit dari lantai kamar mandi. Alesha selalu mual setiap selesai makan apapun, hingga ia terlihat pucat dan lemas meskipun tak ada yang dia muntahkan. "Pusing Bi, tubuhku seperti tak ada tulangnya," lirih Alesha berdiri memegangi lengan pelayannya. "Nyonya masuk angin, mari ke dalam kamar. Biar saya siapkan teh hangat, ya..." Alesha mengangguk dan segera mereka bergegas ke lantai dua di kamar Alesha. Di sana Bibi Ruitz meminta Alesha untuk segera berbaring dan berisitirahat. Pemandangan di luar sangat cerah, cahaya jingga di langit yang indah. Namun hari ini Alesha sangat sedih dan kecewa, pasalnya hari ini dia ingin menghabiskan waktu dengan Oliver, namun suaminya itu malah pergi berburu dengan beberapa rekannya di hutan. "Sekarang jam berapa Bi, kenapa Oliver belum juga pulang? Padahal aku sedang tidak enak badan begini," ger
Kehamilan Alesha membawa kebahagiaan tersendiri untuk Oliver yang sudah lama menantikan momen ini. Laki-laki itu menemani Alesha duduk di balkon, mendengarkan semua ocehan istrinya yang menceritakan ini dan itu, setelah seharian Alesha lemas, tapi malamnya dia tidak punya rasa ngantuk sama sekali. Mengoceh dan terus mengajak Oliver bercanda. "Kau tidak mengantuk, hem?" tanya Oliver mengusap pucuk kepala Alesha. "Masih belum ngantuk sama sekali. Lihatlah, pemandangan malam ini sangat bagus, langit yang cerah dan anginnya sejuk." Alesha memejamkan kedua matanya tersenyum mendongak menatap langit. Oliver menyergah napasnya panjang, dia mengupaskan buah jeruk untuk Alesha, untuk yang ke empat kalinya. "Jangan melakukan pekerjaan apapun sekalipun aku pergi bekerja, jangan mengerjakan pekerjaan rumah apapun besok," peringat Oliver lagi. "Iya, tenang saja. Aku itu ahlinya malas-malasan," jawab Alesha terkekeh geli, gadis itu memeluk tubuh Oliver dan mendongak tersenyum manis. Oliver m
"Kapten! Kapten Lionil... Kau ada di rumah kan?! Kapten!" Suara teriakan Alesha yang keras membuat pemilik rumah itu bergegas membukakan pintu. Nampak Lionil kini membuka pintu kayu rumahnya dan mengerjapkan kedua matanya menatap Alesha yang tengah berdiri dengan wajah memerah menahan marah. "Non-""Panggil saja namaku, Alesha, begitu!" pekik gadis itu. Lionil mengerjap kedua matanya bingung, tidak bisanya Alesha datang ke tempatnya apalah seorang diri. "Aku boleh masuk, tidak?" tanya gadis itu lagi. "Oh ya, silakan. Silakan masuk," balas Lionil. Mereka pun masuk dan Lionil menoleh ke sekitar rumahnya, tidak ada tanda-tanda Oliver, sungguhkah Alesha ke rumahnya sendirian?Di dalam rumah itu Alesha duduk di sofa ruang tamu. Wajahnya benar-benar kesal hingga Lionil terkekeh kecil melihatnya. 'Bocah pendek ini pasti ribut dengan Kapten Oliver,' batin Lionil tertawa. "Emm, Kapten Lionil..." Alesha menatapnya ragu-ragu. "Ya? Ada apa, Alesha? Kau ribut dengan Oliver?" tanya Lionil
"Aku tidak sedang berkencan dengan Fransisca, aku dan dia sedang membicarakan tentang beberapa prajurit yang masuk rumah sakit dan beberapa orang yang terluka, Alesha!" Oliver menatap Alesha dengan putus asa dan sebal. Namun istrinya itu mengabaikannya dan asik menikmati sarapannya. Kekesalan sore kemarin membuat Alesha malas berbicara sekalipun Oliver menjelaskan semuanya dengan jujur, tapi tetap saja dia bohong. "Sayang, kau dengar penjelasanku, kan? Ayolah... Jangan marah. Hari ini ke pantai, aku libur hari ini!" seru Oliver meraih tangan Alesha yang memegang piring. Kedua mata wanita itu melebar dan melotot pada tangan Oliver yang mencekal pergelangan tangannya. "Aku kan sudah bilang, jangan pegang!" pekik Alesha memukul tangan Oliver. "Tapi dengarkan penjelasanku! Kau tidak bisa marah seperti ini, jangan seenakmu sendiri mengabaikan aku!" Oliver sudah kepalang kesal. "Empat bulan kau abaikan aku juga tidak mengeluh sepertimu kok." Alesha menunduk menatap sepiring buah ang
"Aku ada pertemuan dengan Laksamana Aderson siang nanti, jadi pagi ini aku ada urusan dengan istriku dan pergi ke suatu tempat." "Siap Kapt, sampai bertemu siang nanti." Oliver menutup telpon itu dan meletakkan gagang telepon duduk tersebut, sebelum akhirnya laki-laki itu membalikkan badannya dan menemukan Alesha yang baru saja bangun. Senyuman terukir di bibir Oliver. "Baru bangun, Nyonya... Lihat jamnya, sudah pukul setengah tujuh." Oliver mendekat dan mengusap pucuk kepala Alesha. "Cepat bersiap, sarapan, dan pergi ke pantai denganku. Jangan dengan Lionil, karena suamimu itu aku, bukan dia!" Saat itu juga Alesha merotasikan kedua bola matanya jengah. Ia merengut dengan bibir mencebik kesal. "Menyebalkan, suami menyebalkan!" "Jangan menggerutu, Sayang..." Oliver menarik kedua pipi gembil wanita itu dengan gemas. "Ingat, semalam kau yang mendatangiku dan memintaku untuk menemanimu, jadi kau sendiri yang mematahkan hukumannya, okay?!" "Aku kan tidak bilang begitu!" balas Ales
Hari demi hari berjalan dengan cepat. Kandungan Alesha sudah hampir memasuki bulan ke lima dan setiap harinya dia lewati dengan penuh kebahagiaan di dalamnya. Siang ini Alesha ditemani Oliver, Alesha pergi memeriksakan kandungannya. Beberapa hari Alesha merasa tidak enak badan. "Nyonya Alesha hanya kelelahan saja, ini bukan masalah yang serius. Cukup dengan banyak istirahat saja," ujar Dokter Mora usai memeriksa Alesha."Tapi dok, rasanya aneh sekali. Setiap malam aku selalu tidak bisa tidur, kalau di siang hari aku tak bertenaga seperti seorang pasien," ujar Alesha sedih. Dokter itu tersenyum. "Tidak papa Nyonya, semuanya akan baik-baik saja. Kalau begitu saya akan resepkan vitamin untuk Nyonya, tunggu sebentar." Sepeninggal Dokter Mora hanya ada Oliver dan Alesha di dalam ruangan itu. Wanita dengan perut berisi yang terbaring menatap langit-langit kamar dengan wajah mulai rileks. "Apa kubilang, tidak papa kan?" Oliver mengusap kening Alesha dan tersenyum tulus. "Tapi namanya
Alesha mengantar Oliver pergi ke pelabuhan pagi ini. Ia merasa sangat sedih saat suaminya pergi bertugas. "Jangan bersedih ya," bisik Oliver pada Alesha yang memeluknya. "Tidak. Aku kan sudah berjanji menunggumu untuk cepat pulang, semoga keributan itu segera berakhir," ujar Alesha tertunduk memegang kedua telapak tangan Oliver yang terbungkus sarung tangan putih. "Iya Sayang. Aku juga berharap demikian, semoga tidak lagi menelan korban," ujar Oliver menghela napasnya panjang. Alesha semakin erat memeluk tubuh sang suami. Hingga tak lama kemudian para rekan Oliver satu persatu naik ke dalam kapal dan bersiap untuk berangkat. Kali ini Oliver akan menjaga perbatasan laut yang cukup berbahaya. Serangan musuh yang datang kapan saja dan sudah menjatuhkan banyak sekali korban. Alesha berdoa semoga suaminya baik-baik saja. "Kapt! Ayo..." Suara Lionil membuat Oliver menoleh dan mengangguk. Alesha melepaskan genggaman tangannya. "Hati-hati Sayang," bisik Alesha. "Kau juga." Oliver me
Tak terasa sudah tujuh hari lamanya Oliver pergi bertugas. Alesha yang ditinggalkan pun selalu menunggunya pulang setiap hari. Pagi ini pun Alesha sudah berada di pantai sendirian. Dia pergi berjalan kaki setiap pagi hari ke tempat yang mengingatkannya tentang Oliver beberapa waktu lalu. "Dia sedang apa?" lirih Alesha menatap jauh ke arah lautan biru yang indah gemerlap. "Apa dia sudah sarapan? Apa Oliver baik-baik saja?" Alesha mengusap wajahnya, rasa rindu yang besar semakin hari membuat Alesha semakin besar pula melebarkan rasa sabarnya. Sampai perhatian Alesha teralihkan pada sepasang kekasih yang terlihat bermain di pantai. Seorang wanita yang memberikan sebuah syal pada lelaki yang dia cintai. "Syal," lirih Alesha terdiam berpikir. "Sebentar lagi akan memasuki musim dingin, aku bisa memberikan hadiah syal pada Oliver dan menitipkannya lewat para tenaga medis yang akan berangkat ke medan perang. Setidaknya... Dia mendapatkan barang kiriman dariku. Seperti yang Ibu lakukan d