Usai makan malam di kediaman Hubert, akhirnya kini Alesha dan Oliver pulang setelah jam menunjukkan hampir tengah malam. Alesha berjalan di belakang Oliver, mereka melewati jalanan sepi dan sedikit berundak, rerumputan indah, bunga-bunga liar, lampu jalanan bercahaya kuning, dan suara serangga yang menunjukkan betapa asrinya tempat itu. Oliver melirik istrinya yang berjalan di belakangnya dengan wajah memerah dan meracau. "Sayang, ayo..." Oliver mengulurkan tangannya. Gadis itu berjalan mendekat dan memeluknya, wajahnya memerah, dia tampak lesu. Oliver mengumpat kesal, teman-temannya membujuk Alesha untuk minum, meskipun sedikit, tapi gadis itu sudah mabuk. "Oliver, kepalaku pusing, semuanya seperti diputar-putar," ujar Alesha berjinjit memeluk leher Oliver. "Gendong, aku mau gendong!" "Siapa yang menyuruhmu minum, hem?" Oliver mengetuk pelan kening Alesha. "Ah, dasar jahat! Aku tidak mau pulang kalau begitu. Lebih baik aku kembali ke rumah Melod... Akhh, Oliver!" Alesha memek
Alesha dan Melody berjalan-jalan di tengah kota kecil yang ternyata memiliki banyak penduduk di sana. Setelah berkeliling dan membeli beberapa barang, mereka memutuskan untuk berhenti dan berisitirahat sejenak di sebuah kedai. Dan Melody memesan jus jeruk segar untuknya dan Alesha. "Sebenarnya Lenard melarangku untuk berjalan terlalu jauh," ujar Melody menyeruput jus jeruknya. "Hem, kenapa?" "Ini..." Melody mengusap perutnya. Kedua mata Alesha mengerjap, sejak semalam ia bertemu dengan Melody, baru kali ini Alesha melihat dengan jelas kalau perut wanita itu sedikit menyembul. "Wahh, kau sedang hamil?!" pekik Alesha berbinar-binar. "Sudah berjalan mau lima bulan. Tapi karena postur tubuhku yang tinggi, jadi tidak terlalu terlihat saat aku hamil, kan?" seru wanita itu terkekeh.Alesha mengangguk, membayangkannya saja sudah membuat ia merasa senang. "Kau segera menyusul ya, Alesha. Aku dengar-dengar dari suamiku, kau kehilangan bayimu yang berusia enam bulan, ya?" tanya Melody, d
Oliver terbangun dari tidur lelahnya dengan tubuh kaku. Laki-laki itu tidak merasakan pelukan Alesha sama sekali sejak semalam, namun Oliver kini menatap telapak tangannya yang terbungkus perban dengan sangat rapi. "Alesha," lirihnya dan tersenyum tipis. Segera Oliver menyibakkan selimutnya, ia berjalan ke kamar mandi untuk beberapa menit membersihkan tubuh dan bersiap sebelum turun ke lantai satu. Di sana, barulah Oliver menemukan Alesha yang tengah berdiri di teras bersama anjing kecilnya. "Apa yang dia lakukan?" gumam Oliver berjalan mendekatinya. "Alesha..." "Hem?" Gadis itu menoleh dengan cepat. "Kau sudah bangun, mau ke markas, ya?" Oliver mengangguk. "Nanti sore ada beberapa pembahasan penting. Sekarang aku masih ingin di rumah." Laki-laki itu duduk di bangku kayu dan menatap pepohonan pinus yang indah membuat ia teringat saat masih awal di kemiliteran. Kerinduan untuk berburu di hutan bersama Lionil, Lenard, dan yang lainnya menggedor hati Oliver ingin mengulang lagi.
Dua Minggu Kemudian..."Nyonya tidak papa? Kenapa pucat dan mual-mual sejak tadi? Nyonya tidak makan makan yang asam, kan?" Bibi Ruitz membantu Alesha bangkit dari lantai kamar mandi. Alesha selalu mual setiap selesai makan apapun, hingga ia terlihat pucat dan lemas meskipun tak ada yang dia muntahkan. "Pusing Bi, tubuhku seperti tak ada tulangnya," lirih Alesha berdiri memegangi lengan pelayannya. "Nyonya masuk angin, mari ke dalam kamar. Biar saya siapkan teh hangat, ya..." Alesha mengangguk dan segera mereka bergegas ke lantai dua di kamar Alesha. Di sana Bibi Ruitz meminta Alesha untuk segera berbaring dan berisitirahat. Pemandangan di luar sangat cerah, cahaya jingga di langit yang indah. Namun hari ini Alesha sangat sedih dan kecewa, pasalnya hari ini dia ingin menghabiskan waktu dengan Oliver, namun suaminya itu malah pergi berburu dengan beberapa rekannya di hutan. "Sekarang jam berapa Bi, kenapa Oliver belum juga pulang? Padahal aku sedang tidak enak badan begini," ger
Kehamilan Alesha membawa kebahagiaan tersendiri untuk Oliver yang sudah lama menantikan momen ini. Laki-laki itu menemani Alesha duduk di balkon, mendengarkan semua ocehan istrinya yang menceritakan ini dan itu, setelah seharian Alesha lemas, tapi malamnya dia tidak punya rasa ngantuk sama sekali. Mengoceh dan terus mengajak Oliver bercanda. "Kau tidak mengantuk, hem?" tanya Oliver mengusap pucuk kepala Alesha. "Masih belum ngantuk sama sekali. Lihatlah, pemandangan malam ini sangat bagus, langit yang cerah dan anginnya sejuk." Alesha memejamkan kedua matanya tersenyum mendongak menatap langit. Oliver menyergah napasnya panjang, dia mengupaskan buah jeruk untuk Alesha, untuk yang ke empat kalinya. "Jangan melakukan pekerjaan apapun sekalipun aku pergi bekerja, jangan mengerjakan pekerjaan rumah apapun besok," peringat Oliver lagi. "Iya, tenang saja. Aku itu ahlinya malas-malasan," jawab Alesha terkekeh geli, gadis itu memeluk tubuh Oliver dan mendongak tersenyum manis. Oliver m
"Kapten! Kapten Lionil... Kau ada di rumah kan?! Kapten!" Suara teriakan Alesha yang keras membuat pemilik rumah itu bergegas membukakan pintu. Nampak Lionil kini membuka pintu kayu rumahnya dan mengerjapkan kedua matanya menatap Alesha yang tengah berdiri dengan wajah memerah menahan marah. "Non-""Panggil saja namaku, Alesha, begitu!" pekik gadis itu. Lionil mengerjap kedua matanya bingung, tidak bisanya Alesha datang ke tempatnya apalah seorang diri. "Aku boleh masuk, tidak?" tanya gadis itu lagi. "Oh ya, silakan. Silakan masuk," balas Lionil. Mereka pun masuk dan Lionil menoleh ke sekitar rumahnya, tidak ada tanda-tanda Oliver, sungguhkah Alesha ke rumahnya sendirian?Di dalam rumah itu Alesha duduk di sofa ruang tamu. Wajahnya benar-benar kesal hingga Lionil terkekeh kecil melihatnya. 'Bocah pendek ini pasti ribut dengan Kapten Oliver,' batin Lionil tertawa. "Emm, Kapten Lionil..." Alesha menatapnya ragu-ragu. "Ya? Ada apa, Alesha? Kau ribut dengan Oliver?" tanya Lionil
"Aku tidak sedang berkencan dengan Fransisca, aku dan dia sedang membicarakan tentang beberapa prajurit yang masuk rumah sakit dan beberapa orang yang terluka, Alesha!" Oliver menatap Alesha dengan putus asa dan sebal. Namun istrinya itu mengabaikannya dan asik menikmati sarapannya. Kekesalan sore kemarin membuat Alesha malas berbicara sekalipun Oliver menjelaskan semuanya dengan jujur, tapi tetap saja dia bohong. "Sayang, kau dengar penjelasanku, kan? Ayolah... Jangan marah. Hari ini ke pantai, aku libur hari ini!" seru Oliver meraih tangan Alesha yang memegang piring. Kedua mata wanita itu melebar dan melotot pada tangan Oliver yang mencekal pergelangan tangannya. "Aku kan sudah bilang, jangan pegang!" pekik Alesha memukul tangan Oliver. "Tapi dengarkan penjelasanku! Kau tidak bisa marah seperti ini, jangan seenakmu sendiri mengabaikan aku!" Oliver sudah kepalang kesal. "Empat bulan kau abaikan aku juga tidak mengeluh sepertimu kok." Alesha menunduk menatap sepiring buah ang
"Aku ada pertemuan dengan Laksamana Aderson siang nanti, jadi pagi ini aku ada urusan dengan istriku dan pergi ke suatu tempat." "Siap Kapt, sampai bertemu siang nanti." Oliver menutup telpon itu dan meletakkan gagang telepon duduk tersebut, sebelum akhirnya laki-laki itu membalikkan badannya dan menemukan Alesha yang baru saja bangun. Senyuman terukir di bibir Oliver. "Baru bangun, Nyonya... Lihat jamnya, sudah pukul setengah tujuh." Oliver mendekat dan mengusap pucuk kepala Alesha. "Cepat bersiap, sarapan, dan pergi ke pantai denganku. Jangan dengan Lionil, karena suamimu itu aku, bukan dia!" Saat itu juga Alesha merotasikan kedua bola matanya jengah. Ia merengut dengan bibir mencebik kesal. "Menyebalkan, suami menyebalkan!" "Jangan menggerutu, Sayang..." Oliver menarik kedua pipi gembil wanita itu dengan gemas. "Ingat, semalam kau yang mendatangiku dan memintaku untuk menemanimu, jadi kau sendiri yang mematahkan hukumannya, okay?!" "Aku kan tidak bilang begitu!" balas Ales