Saat pagi tiba, Alesha sudah bersiap-siap untuk pergi ke pesta yang diadakan di kediaman orang tuanya. Ulang tahun Ibunya bersamaan dengan hari pernikahan Rena dan Fredrick. Biasanya, kedua orang tua Alesha, akan mengundang banyak sekali orang. Lebih lagi mereka adalah petinggi kota, maka banyak yang datang sebagai tamu. Alesha berdiri di depan cermin dengan gaun panjangnya berwarna biru awan, rambut panjangnya digerai indah. "Alesha..." Oliver membuka pintu kamarnya, dia terkejut menatap Alesha yang kini begitu anggun dan cantik dengan dandannya. "Oliver lihat, apa aku cocok dengan gaun ini? Gaun hadiah dari Ibuku saat pernikahan kita," ujar Alesha tersenyum cantik. Laki-laki itu berjalan mendekatinya, ia menatap wajah Alesha yang berbunga-bunga. Haruskah ia berteriak dan mengatakan kalau Alesha sangat-sangat cantik sekarang ini?"Kenapa kau malah diam? Kau tidak suka dengan dandananku, ya?" tanya Alesha menundukkan kepalanya. "Sangat suka," jawab Oliver, dia mendekat sebelum
"Ayo kita mengambil foto, berdua saja. Sebelum kita ambil gambar bersama anak kita suatu saat nanti." Alesha mendongak menatap Oliver seraya memeluk lengan sang suami. Gadis cantik itu tersenyum begitu cerah ceria. Meskipun omongan-omongan orang terus terdengar di tengah pesta itu, mengatakan tentang Alesha yang begini dan begitu, namun sekuat mungkin dia menekan rasa tak enaknya. "Ayo Sayang," balas Oliver. Mereka mendekati tukang foto, di sana Alesha berdiri di samping Oliver yang duduk di sebuah kursi kayu ukiran. "Tersenyum lebih lebar lagi, Nyonya," pinta tukang potret itu memberikan instruksi. Alesha tersenyum manis, hingga cahaya flash bersinar dan tukang foto memberikan isyarat sudah selesai. Bersama Oliver yang memeluk lengannya, mereka berdua berjalan menikmati pesta itu. Semua orang melihat betapa romantisnya Oliver memperlakukan Alesha dengan baik dan romantis. "Apa kau mau menginap di sini?" tanya Alesha pada suaminya. "Tidak. Kita pulang saja, masih banyak peker
"Kumohon, datanglah ke rumah. Ayah sakit dan dia terus mencarimu, Oliver..." Seorang wanita dengan dress hijau muda menangis-nangis memegangi tangan Oliver dengan sudi. Dia biasanya menjadi wanita angkuh dan sombong, tapi kini dia seperti pengemis yang memohon. Sungguh mengganggu pagi hari yang cerah di kehidupan Oliver. Oliver menarik tangannya dan membiarkan Livia menangis sepuasnya."Untuk apa pula dia mencariku? Apa dia akan pura-pura mati lalu memintaku untuk mengembalikan kekuasaan atas Bank Mileno padanya?" Oliver tertawa lirih dan menggelengkan kepalanya. "Bukannya sampah ini sudah dibuang? Kau juga yang mengatakan kalau aku hanya anak haram yang tak beradab!"Livia mengeraskan suara tangisannya. Dia menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Brukk...Wanita menjatuhkan kedua lututnya dan memohon di hadapan Oliver. "Aku mohon, ini permintaan terakhir Ayah. Maafkan dia atas semua yang telah dia katakan padamu, kita saudara, kita satu Ibu meskipun kita berbeda Ayah, Oliver... Kumoho
"Makan malamnya sudah siap, sekarang aku tinggal menunggu Oliver pulang." Alesha tersenyum tipis menatap beberapa menu masakan yang sudah ia siapkan di atas meja makan. Gadis itu menggosok kedua telapak tangannya pelan dan melangkah ke depan. Seperti biasa kalau Alesha berdiri di ambang pintu menunggu suaminya sampai di rumah."Kenapa lama sekali?" cicit Alesha menatap jam dinding di ruang tamu. Alesha melangkah ke teras, dia duduk di kursi kayu dan menatap ke arah gerbang dengan bosan penuh penantian. Sampai akhirnya senyumannya mengembang saat mobil milik Oliver muncul dan masuk ke dalam pekarangan rumah. "Itu dia!" seru Alesha kesenangan. Oliver turun dari dalam mobilnya, dia tersenyum manis pada Alesha yang kini menyambutnya. "Kau terlambat," seru gadis itu cemberut. "Ada sesuatu yang harus aku urusi tadi..." Oliver mengusap pipi putih Alesha dan mengecup singkat bibirnya. Seragam berwarna navy yang Oliver bawa direbut oleh Alesha, gadis itu membawanya masuk ke dalam ruma
Satu Minggu Kemudian.Hari ini tepat Alesha dan Oliver baru saja sampai di tempat kawasan di mana Oliver dipindah tugaskan. Kawasan yang sangat indah, cukup berjarak dengan laut dan memiliki pemandangan yang sangat indah. Tempat yang menjadi kota kecil, daerah yang segar dan aroma pepohonan yang menyejukkan. Alesha sungguh terkagum-kagum dengan tempat itu. "Bagus sekali di sini, apa kita tinggal di rumah yang itu?" Alesha menunjukkan sebuah rumah, seraya menaiki anak-anak tangga. "Bukan Sayang, masih ada di sana tempat tinggal kita." Oliver menunjuk sebuah rumah berwarna cream yang memiliki gerbang tinggi. "Waahhh, aku akan betah tinggal di sini!" seru gadis itu tersenyum manis. Mereka sengaja berjalan kaki, karena Alesha ingin jalan-jalan. Tempat tinggal mereka juga masih dalam kawasan milik kemiliteran, hingga satu, dua rumah di kanan dan kirinya milik rekan Oliver yang akan ditempati. Pagar besi berwarna hitam itu terbuka, barang-barang milik mereka sudah ada di sana, Alesha
Usai makan malam di kediaman Hubert, akhirnya kini Alesha dan Oliver pulang setelah jam menunjukkan hampir tengah malam. Alesha berjalan di belakang Oliver, mereka melewati jalanan sepi dan sedikit berundak, rerumputan indah, bunga-bunga liar, lampu jalanan bercahaya kuning, dan suara serangga yang menunjukkan betapa asrinya tempat itu. Oliver melirik istrinya yang berjalan di belakangnya dengan wajah memerah dan meracau. "Sayang, ayo..." Oliver mengulurkan tangannya. Gadis itu berjalan mendekat dan memeluknya, wajahnya memerah, dia tampak lesu. Oliver mengumpat kesal, teman-temannya membujuk Alesha untuk minum, meskipun sedikit, tapi gadis itu sudah mabuk. "Oliver, kepalaku pusing, semuanya seperti diputar-putar," ujar Alesha berjinjit memeluk leher Oliver. "Gendong, aku mau gendong!" "Siapa yang menyuruhmu minum, hem?" Oliver mengetuk pelan kening Alesha. "Ah, dasar jahat! Aku tidak mau pulang kalau begitu. Lebih baik aku kembali ke rumah Melod... Akhh, Oliver!" Alesha memek
Alesha dan Melody berjalan-jalan di tengah kota kecil yang ternyata memiliki banyak penduduk di sana. Setelah berkeliling dan membeli beberapa barang, mereka memutuskan untuk berhenti dan berisitirahat sejenak di sebuah kedai. Dan Melody memesan jus jeruk segar untuknya dan Alesha. "Sebenarnya Lenard melarangku untuk berjalan terlalu jauh," ujar Melody menyeruput jus jeruknya. "Hem, kenapa?" "Ini..." Melody mengusap perutnya. Kedua mata Alesha mengerjap, sejak semalam ia bertemu dengan Melody, baru kali ini Alesha melihat dengan jelas kalau perut wanita itu sedikit menyembul. "Wahh, kau sedang hamil?!" pekik Alesha berbinar-binar. "Sudah berjalan mau lima bulan. Tapi karena postur tubuhku yang tinggi, jadi tidak terlalu terlihat saat aku hamil, kan?" seru wanita itu terkekeh.Alesha mengangguk, membayangkannya saja sudah membuat ia merasa senang. "Kau segera menyusul ya, Alesha. Aku dengar-dengar dari suamiku, kau kehilangan bayimu yang berusia enam bulan, ya?" tanya Melody, d
Oliver terbangun dari tidur lelahnya dengan tubuh kaku. Laki-laki itu tidak merasakan pelukan Alesha sama sekali sejak semalam, namun Oliver kini menatap telapak tangannya yang terbungkus perban dengan sangat rapi. "Alesha," lirihnya dan tersenyum tipis. Segera Oliver menyibakkan selimutnya, ia berjalan ke kamar mandi untuk beberapa menit membersihkan tubuh dan bersiap sebelum turun ke lantai satu. Di sana, barulah Oliver menemukan Alesha yang tengah berdiri di teras bersama anjing kecilnya. "Apa yang dia lakukan?" gumam Oliver berjalan mendekatinya. "Alesha..." "Hem?" Gadis itu menoleh dengan cepat. "Kau sudah bangun, mau ke markas, ya?" Oliver mengangguk. "Nanti sore ada beberapa pembahasan penting. Sekarang aku masih ingin di rumah." Laki-laki itu duduk di bangku kayu dan menatap pepohonan pinus yang indah membuat ia teringat saat masih awal di kemiliteran. Kerinduan untuk berburu di hutan bersama Lionil, Lenard, dan yang lainnya menggedor hati Oliver ingin mengulang lagi.
Cuaca pagi yang sangat cerah, Alesha berada di taman luas rumahnya bersama Baby Noah dan Leah. Setiap pagi ia selalu menghangatkan dua malaikat kecilnya. Udara sejuk yang tak terlalu dingin, aroma pepohonan pinus di sekitar sana masih khas dengan kesejukan di tempat itu, juga bunga-bunga bermekaran di musim ini. "Tak terasa waktu berjalan dengan sangat cepat," ucap wanita itu menunduk menatap bayi-bayi mungil yang kini terlelap. Dua bayi itu berada di dalam keranjang rajut dari rotan, dengan selimut tebal dan lembut sebagai alasnya. "Hai Sayang... Bangun juga akhirnya," bisik Alesha mengusap ujung jari telunjuknya di pipi Noah. Sedangkan Leah, bayi itu masih tertidur dan merasa nyaman dengan hangatnya sinar matahari. "Bangun Leah, kau tidur terus sepanjang hari, Cantik."Pipi gembil Leah yang memerah, persis seperti pipi milik Kakaknya, Louis. Alesha sangat yakin kedua anak ini akan tumbuh lucu dan menggemaskan. "Mami...!" Suara teriakan Louis membuat Alesha menoleh ke belakan
"Aiko... Aku punya dua adik sekarang! Adikku nangisnya lebih keras dari adikmu!" Louis menatap teman perempuannya yang kini duduk di sampingnya. Padahal sudah berbulan-bulan lamanya mereka membahas tentang adik, dan baru sekarang Louis menunjukkan adiknya, tepatnya setelah dua adik kembarnya lahir. Teman perempuannya itu menoleh dengan mata mengerjap. "Terus, mereka laki-laki atau perempuan, Louis?" tanya Aiko. "Laki-laki dan perempuan. Yang satu Noah dan yang satu Leah. Kau harus kenalan dengan adik-adikku!" Louis mengatakan dengan bangga. Aiko pun menganggukkan kepalanya. Mereka berdua tengah menunggu jemputan, Louis mengatakan pada semua teman-temannya hari ini kalau dia punya adik bayi. Ia sangat bangga dan senang, dirinya menjadi seorang Kakak. Selang beberapa menit, mobil putih berhenti di depan Louis dan Aiko. "Woii, Big Boss! Ayo masuk!" Suara Ares membuka kaca jendela mobil. Louis pun turun dari duduknya. "Aku duluan, Aiko!" "Iya Louis, hati-hati ya..." Anak peremp
Beberapa hari Alesha berada di rumah sakit. Hari ini ia sudah diizinkan pulang oleh dokter. Di rumah, ia disambut dengan hangat oleh putranya. Louis meminta Ares untuk menghias kamar adik bayinya, itu semua juga pemerintah Oliver pada mulanya. "Horee... Adik pulang! Akhirnya kita sampai rumah, Leah dan Noah harus lihat kamar barunya, Kakak kerja keras buat menghias kamar kalian!" seru Louis berjalan mengekori Rena yang kini menggendong satu bayi milik Alesha. "Benarkah Kakak yang menghias kamar adik?" tanya Alesha pada si kecil. Louis dengan antusias menganggukkan kepalanya. "Iya Mami, tanya saja pada Papi! Louis yang menghias kamar adik, sekarang jadi bagus sekali!" seru anak itu mengacungkan jempolnya. "Wahh, terima kasih banyak, Kakak Louis." Mereka masuk ke dalam kamar, Alesha dibantu oleh Oliver duduk di tepi ranjang. Dua bayinya berada di sampingnya dan Louis juga mendusal pada Alesha terus-menerus. Oliver sibuk sendiri, dia menjadi super aktif menangani ini dan itu. Bahk
Louis datang ke rumah sakit bersama dengan Ares, di sana ia bertemu dengan Papinya yang kini melambaikan tangan ke arah anak itu. "Papi...! Mana adikku?!" pekik Louis mengulurkan kedua tangannya. "Adik masih di dalam," jawab Oliver tersenyum mengecup pipi Louis. "Wahhh, mereka seperti apa Pi? Lucu mana sama Louis?" tanya anak itu terus tak sabaran. Oliver terkekeh. "Sama-sama lucu!" jawab Laki-laki itu. Ares dan Lilith tersenyum manis mendengar ocehan Louis. Anak itu sangat penasaran dengan adik kembarnya. "Laksamana Fredrick tidak ke sini, Tuan?" tanya Ares pada Oliver. "Ke sini, tapi mereka sudah pulang. Sebentar lagi ke sini lagi membawa peralatan bayi, aku tidak bisa meninggalkan Alesha." Oliver menoleh dan menatap Ares. Akhirnya, pintu di depan mereka terbuka. Dan muncul seorang suster menatap Oliver yang berdiri paling depan. "Tuan, silakan masuk," ucap suster itu mempersilakan Oliver masuk ke dalam sana. Oliver pun langsung bergegas masuk ke dalam ruangan tersebut. Lo
"Mami... Mami kenapa?!" Louis membuka pintu kamar orang tuanya dan anak itu mendapati Maminya yang kini nampak kesakitan di atas ranjang. Dia berlari mendekati Alesha dengan wajah panik dan ketakutan. "Mami... Huwaa Mami kenapa sih, Mi?!" pekik Louis berteriak. "Louis, tolong panggilkan Papi ya," pinta Alesha kesakitan. "Iya Mi." Anak laki-laki itu berlari keluar secepatnya. Papinya yang kini tengah berada di dalam ruangan kerja bersama dengan Ares. "Papi! Huwaa Papi ihhh ke mana sih..!" Louis berteriak sekeras-kerasnya. Oliver dan Ares berjalan keluar dan melihat Louis berdiri di depan pintu kamar Alesha dengan wajah setengah menangis. Bocah manis itu menunjuk ke dalam kamar. "Mami nangis, perut Mami sakit!" teriaknya sambil menangis. "Ya Tuhan, Alesha!" Oliver bergegas masuk ke dalam kamar. Sementara Louis digendong oleh Ares. Anak itu menangis ketakutan, baru kali ini Louis melihat Maminya kesakitan sampai menangis. "Res, aku titip Louis padamu. Aku akan membawa Alesha
Hari demi hari berjalan dengan cepat. Pagi ini Alesha duduk di kursi kayu ukiran yang berada di teras samping rumahnya. Wanita cantik dengan perut besar itu memperhatikan suami dan putranya yang tengah bermain di taman. Louis mengamuk ingin bermain bersama Oliver, hingga mau tidak mau waktu kerja pun tersita. "Huhhh, Papi curang! Louis kalah!" teriak anak itu marah saat bola yang ia lemparkan tertangkap oleh Oliver."Ya sudah kalau tidak mau kalah jangan main!" balas Oliver mengusap rambut pirang Louis. Bibir anak itu langsung cemberut seketika. Alesha yang melihat mereka berdua pun hanya tersenyum saja. Lucu sekali Papa dan anak itu. Louis berlari ke arahnya, ia mengambil botol minum di pangkuan Alesha. "Kalau kalah tidak boleh marah, Sayang..." "Emmm, tidak mau pokoknya!" serunya memeluk perut besar sang Mami. "Nanti kalau adik sudah lahir, kalau Louis masih nakal seperti ini, bagaimana?" Alesha mengusap pipi basah Louis karena keringat. Oliver terkekeh mendekati mereka, lak
Oliver melangkah santai masuk ke dalam rumah. Sudut bibirnya terangkat begitu senang melihat kepulangannya kali ini disambut oleh istrinya tercinta yang tengah berdiri di ambang pintu. "Hemm, tumben menyambutku di depan pintu langsung seperti ini, hem?" Alesha masih bergeming, ia mendorong pipi suaminya saat Oliver hendak mengecupnya hingga laki-laki itu langsung mengerutkan keningnya. "Kenapa lagi, Sayang?" tanya Oliver bernada lelah. "Mau mau tanya dulu, kau sering menghukum anak kita, ya?! Menjewernya? Memintanya angkat tangan, berapa jam?!" pekik Alesha berkacak pinggang. Wanita cantik ini menunjukkan sisi garang dan galaknya sebagai seorang istri sekaligus Ibu. Alesha yang sedang hamil memang sangat sensitif dan agresif, bahkan dia tidak sungkan mendorong dan memukul Oliver sekuat tenaganya. "Hooohh ayolah! Jangan bilang si bocah itu mengadu, heh?" Oliver menantang. Alesha berdecak kesal dan ia memukul dada bidang Oliver dengan kuat. "Astaga Alesha..." "Aku kan sudah bil
Hari sudah gelap, Alesha berjalan keluar dari dalam kamarnya. Wanita itu melangkah menuju ke kamar milik Louis. Alesha membuka pintu kamar putranya pelan-pelan dan ia melihat putranya yang tertidur sendirian di atas ranjang. Perasaan tak tega menyelimuti Alesha, baginya Louis terlalu kecil untuk punya adik, namun bagi Oliver anak itu bisa dilatih untuk lebih bertanggung jawab sejak dini. "Louis," lirih Alesha mendekati ranjang. Jemari tangan Alesha mengusap rambut pirang Louis dan mengecup lembut pipi putranya. "Maafkan Mami ya Sayang, Mami tidak bisa mengurus Louis sepenuh hati seperti dulu," ujar Alesha sedih. "Mami akan tetap menjadi sandaran terbaik buat Louis, jangan khawatir." Kecupan lembut Alesha berikan di pipi Louis. Ia tidak ingin beranjak pergi saat ini, Alesha memutuskan untuk berbaring di sana, di samping Louis. Alesha memeluk tubuh mungil putranya hingga gerakan lembutnya membuat Louis terbangun. "Mami..." "Iya Sayang, Mami di sini." Kedua mata indah Louis terb
"Mami mau diambilkan air minum?" Louis mendekati Alesha yang duduk di sofa ruang keluarga di lantai dua. Wanita itu tersenyum dengan kebaikan hati putranya. "Tidak usah Sayang, nanti Mami ambil sendiri saja." "Emm, Mami jangan jalan-jalan, nanti adikku sakit!" seru Louis berlari lebih dulu mengambil botol minum. Alesha merasa tersentuh, setiap hari selama ia hamil Louis dan Oliver seperti sengaja berlomba-lomba untuk membantunya dan mendapat hatinya. Baru saja Alesha selesai makan siang, Louis pun langsung mengambilkan air minum untuknya dan membawa piringnya ke dapur di lantai satu. Alesha terdiam memperhatikan. 'Apa ini ajaran Oliver? Kalau Louis kelelahan nanti dia bisa sakit,' batin Alesha. "Ck! Jangan-jangan sungguh Oliver yang mengajarkannya!" Saat itu juga Alesha langsung melangkah turun ke lantai satu, ia melihat Louis di dapur bersama Bibi Ruitz, anak itu nampak memakan roti selai yang ia buat sendiri. Bibi Ruitz di sampingnya terlihat seperti membujuk Louis untuk