Abi memandang datar pelaminan yang terhampar di depan matanya. Pelaminan berwarna biru emas itu tampak cantik dan anggun dipandang. Risya yang memilihnya. Wanita yang telah resmi menjadi istri Abi yang kedua itu tersenyum bahagia sejak dirinya berhak menyandang gelar nyonya Abi. Sebaliknya, Abi nampak bingung dan tegang saat dirinya jadi pusat perhatian para tamu undangan. Ini bukan pertama kalinya ia menikah, tapi mengapa rasanya berbeda?
Dua jam yang lalu...Abi menggenggam tangan ayah Risya lalu mengucapkan janji suci di hadapan penghulu. Bibirnya bergetar saat menyebutkan nama Risya. Ada perasaan bersalah yang diam-diam menghantui dirinya. Mengapa ia merasa telah mendorong jauh Carla dan Adam dari hidupnya?"Sah!" teriakan seksi dan para tamu undangan menyentak lamunannya. Abi tersenyum hampa. Ibu dan istrinya tampak bahagia dengan senyuman lebar menghiasi bibir mereka."Mas!" tiba-tiba saja suara Risya berdenging di telinganya. Rupanya diMalam harinya, Abi dan Risya yang sekarang resmi menyandang gelar suami istri merasakan kecanggungan saat keduanya duduk bersama di dalam kamar suit hotel yang mereka sewa selepas resepsi. Tak ada obrolan, tak ada saling menyapa. Keduanya terdiam tanpa kata. Abi memilih segera membersihkan diri dan duduk di depan televisi sambil memainkan ponsel. Sedangkan Risya masih duduk di atas ranjang dengan pandangan menunduk. Ia tak tahu dengan apa yang ia pikirkan dan rasakan. Satu sisi ia bahagia sudah menikah dan memiliki suami yang baik namun di sisi yang lainnya, ia sedih karena cinta sang suami lebih besar untuk istri pertamanya. Detik jam berganti, Risya pun segera membersihkan diri setelah lelah bergelut dengan pikirannya sendiri. Ia memilih membaringkan tubuhnya di atas ranjang hotel. Hawa pendingin ruangan makin membuat dingin hati Risya, beku karena kenyataan yang ada. Abi beranjak dari ruang tv menuju kamarnya. Ia berdiri di depan kaca yang menghadap
Pagi sekali Abi sudah bangun. Sebenarnya ia tak bisa tidur tadi malam. Pikiran tentang Carla bergelayut di kepalanya, membuat tidurnya tak tenang. Semalam ia memilih tidur satu kasur berdua dengan Carla. Tak ada kegiatan apapun, karena Abi lelah karena tenaganya terkuras habis untuk resepsi pernikahan. Setengah jam berada di kamar mandi, Abi pun keluar dengan handuk yang masih menutupi area pribadinya. Ia tadi lupa membawa pakaian ganti. Tak mungkin juga ia membangunkan istrinya yang masih nyenyak tidur. "Mas Abi sudah bangun?" suara serak Risya membuat langkah Abi terhenti. Namun tangannya sibuk mencari pakaian ganti untuk ia pakai hari ini. "Cari apa, Mas?" "Baju. Aku mau pulang cepat. Kepalaku sakit," keluhnya. Risya menghela napas kesal. Bagaimana tidak, niatnya tidur di hotel untuk bulan madu lalu berjalan-jalan menjadi tak terpenuhi karena suaminya memilih untuk pulang lebih dini. Dengan bibir yang mencebik dan te
Akhirnya, Abi dan Risya sampai juga di depan pintu gerbang yang akan mereka tempati. Rumah milik Abi dan Carla yang dibeli selama mereka menikah. Abi turun sambil memegangi pelipisnya. Dua koper ukuran kecil dikeluarkannya dari dalam bagasi taksi. Tak lama kemudian seorang penjaga gerbang datang lalu membawa koper tersebut ke dalam rumah. Abi masuk lebih dulu, diikuti oleh Risya yang mengikutinya dari belakang. "Eh, kalian sudah pulang? Bagaimana semalam?" senyum lebar diperlihatkan oleh Riandari sejak sepasang pengantin baru itu memasuki rumah. Abi tak menjawab, kepalanya pusing dan terasa berdenyut tak jelas. Sedangkan Risya hanya menjawab dengan senyuman sambil melirik Abi yang sibuk memijit pelipisnya. "Mas Abi lagi sakit, Bu. Jadi kita memutuskan untuk pulang." Risya menyenggol lengan Abi yang dibalas anggukan oleh pria itu. "Benar begitu?" Riandari memastikannya. Jika dilihat dari dekat, wajah Abi memang sedikit pucat. Riandari juga meme
Mata Abi masih merah, telinganya berdengung namun ia masih tetap bisa mendengar keributan yang terjadi di dalam kamarnya. Matanya terbuka perlahan melihat Carla yang sedang berdiri menatap Risya dengan tatapan bengis. Mereka sedang bertengkar. Dari sekilas yang Abi dengar, Carla tak menyukai kehadiran Risya di dalam kamarnya. Lalu tatapan Abi beralih pada Risya yang tiba-tiba berteriak memanggil nama ibunya. Abi merasakan pening di kepalanya semakin kuat menyiksanya. Tak lama kemudian terdengar suara ibunya datang, melerai keduanya. Abi mengabaikan pertengkaran itu. Namun pada titik sang ibu menyumpahi Carla, matanya terbelalak. Seketika ia terduduk tak menghiraukan rasa pening di kepalanya. "Apa maksud ibu?" Riandari terhenyak mendengar suara Abi yang ternyata telah bangun dari tidurnya. "Kenapa kamu masuk ke kamar ini? Siapa yang izinkan kamu?" Risya yang masih berdiri di depan kamar tiba-tiba merasakan suasana tegang diantara mereka berempat. Semua mata tertuju padanya, begitu
Malam harinya, Carla pulang bersama Adam yang sejak tadi siang merengek ingin ditemani membeli perlengkapan melukis di toko buku. Senyum Adam tak luntur saat ia berjalan menapaki lantai rumahnya. Tangannya penuh menjinjing dua tas ukuran sedang yang berisikan cat warna warni dan kuasnya. Ditemani pak Ujang yang membawa kanvas ukuran besar, mereka naik ke lantai dua. Tepatnya, kamar Adam yang bersampingan dengan kamar ayah dan ibunya. "Carla, dari mana saja kamu?" tegur Riandari yang baru muncul dari arah dapur. Carla menghentikan langkahnya sejenak. "Tadi sore keluarganya Risya datang. Niatnya mau bertemu dengan kamu tapi kamu malah pergi." "Ada keperluan apa ingin bertemu sama saya?" tanya Risya dengan angkuh. "Saya sudah ada janji lebih dulu sama Adam. Sampaikan saja permohonan maaf saya sama mereka. Permisi, Bu." Carla pun berniat melangkah lagi menuju kamarnya. "Tunggu!" lagi-lagi suara Riandari membuat Carla terdiam. Terlihat kesal, wajahnya masam mendengar suara mertuanya se
Sepasang pengantin baru itu keluar dari dalam kamar menjelang siang. Wajah Risya berseri-seri saat membuka pintu kamarnya hingga menuju ruang makan untuk bertemu dengannya ibu mertuanya dan juga Carla. Carla tampak sibuk menghubungi seseorang di seberang sana. Di sampingnya ada Adam yang sedang menikmati sarapan pagi sedangkan ibu mertuanya tampak tenang mengaduk minuman hangat yang dibuatnya. "Selamat pagi, Bu. Eh, ada mbak Carla dan Adam juga," sapa Risya. Ia menggeser kursi di seberang Carla. Berhadapan langsung dengan istri tua suaminya. "Hemm.." Carla membalasnya. Adam lebih memilih untuk menghabiskan makanannya tak menghiraukan kehadiran Risya yang mengharapkan balasan atas sapaannya. "Abi tadi malam tidur di kamar kamu ya?" Risya mengangguk dengan senyuman di bibirnya. "Wah, berarti lagi proses ya?' "Iya, Bu." Carla menjawab dengan malu-malu. "Ibu doakan biar cepat jadi. Ibu sudah enggak sabar ingin menimang cucu." R
Sejak menikah, Carla dan Abi berbagi harta bersama. Carla yang telah cukup lama berkecimpung di dunia bisnis menyerahkan sebagian asetnya untuk dikelola oleh Abi. Salah satunya pabrik minuman ringan dan kemasan yang produknya diminati pasar. Abi ditunjuk jadi direktur eksekutif yang menangani seluruh divisi. Selama Abi masih bekerja di perusahaan milik orang lain, untuk sementara Carla yang menanganinya. Namun, kini semua menjadi tanggung jawab Abi semenjak suaminya itu resign dari pekerjaannya. "Selamat pagi pak Abi. Selamat datang," sapa Anita, sekretaris Carla yang mulai sekarang membantunya. "Selamat pagi. Bu Carla sudah datang?" tanya Abi yang dijawab gelengan kepala oleh Anita. Dahi Abi berkerut. Ia melirik jam dinding yang ada di depannya. Biasanya ia selalu sampai di kantor tepat pukul setengah sembilan. "Kemana ya dia?" "Mungkin sedang mengantar Adam ke sekolah. Biasanya seperti itu, Pak." Abi menganggukkan kepalanya. Ia baru teringat
Memang salahnya yang tak mengatakan dengan lengkap jika ingin dijemput oleh suaminya. Ia pikir, Abi paham maksud kalimatnya tadi siang. Ternyata tidak. Abi tidak sepeka itu memahami keinginan istrinya. Sungguh kecewa sekali Carla, baru kali ini ia merasa tersisihkan kembali setelah drama menjelang pernikahan kemarin. Saat memasuki rumah, suasana ruang tamu begitu sepi dan gelap. Tidak biasanya bibik mematikan lampu tengah. Carla berjalan sambil meraba dinding lalu menyalakan lampu yang saklarnya berada di dekat pintu. "Bu, maaf bibik baru mau nyalain lampunya. Mau disiapin makanan?" Carla menggelengkan kepalanya. "Tadi siang, Bu Risya mengeluh sakit perut setelah makan rujak mangga. Terus dianterin pak Ujang sama ibu Riandari ke rumah sakit." "Menginap?" bibik menggelengkan kepalanya. "Saya mau mandi dulu terus mau ke rumah teman. Bibik makan malam sendiri saja." "Iya, Bu." Malam ini, Carla akan ke rumah Rayya. Ia ingin melepas kepen
Ucapan ibu Carla terus terngiang-ngiang di telinga Abi. Tak disangka olehnya, ujung kehidupan rumah tangganya akan ditentukan ibu mertuanya itu. Ditengah kebimbangannya, ia masih sempat memikirkan Carla. Besok adalah hari perayaan pernikahan mereka yang ketujuh. Seharusnya, semua berjalan dengan normal seperti biasanya tapi kenapa malah jadi berantakan. Setiap tahunnya, Abi dan Carla akan liburan ke luar kota untuk merayakan ulang tahun pernikahan mereka. Terakhir saat mereka akan merayakannya tahun kemarin, Carla malah memberikan sebuah kado yang mengejutkan untuknya. "Mas, kamu harus menikah lagi. Ibu sudah mendesaknya, kumohon turuti perintahnya," desak Carla dua minggu sebelum ulang tahun pernikahan mereka. Carla memang tengah frustasi saat itu. Riandari terus mendesaknya untuk memeriksakan kesehatan rahimnya tanpa memperdulikan perasaannya sebagai menantu. "Aku tidak mau, Carla. Bagiku, hanya kamu satu-satunya istriku." Carla terus memaks
Pagi sekali Abi terbangun dari tidur nyenyaknya semalam. Hari libur yang telah ditunggunya setelah peristiwa hari itu. Memarnya mulai menghilang, tapi sakit hatinya tidak. Bila mengingat bagaimana bahagianya Carla dan pria itu berpegangan tangan, rasanya ia ingin menghancurkan segala benda di hadapannya. Abi menoleh ke samping, tampak Risya sedang tidur dalam damainya. Tadi malam wanita itu kebingungan saat anaknya terbangun dan menangis. Wanita itu tak mau menyusui anak mereka. Katanya, itu merepotkan. Abi masih ingat kata-katanya semalam saat menolak menyusui Fariska, anaknya. Risya berkata dengan angkuhnya di hadapan bayu mungil itu. "Aku enggak mau nyusuin dia. Sakit tahu. Nanti dada aku enggak bisa sebagus dulu kalau disusui dia."Hati ayah mana yang tak sakit? Walaupun Abi belum sama sekali mencintai Risya sebesar cintanya pada Carla, tapi tidak dengan anak itu. Sejak bertengkar di malam Carla membawa teman-temannya, ia sadar jika belum bisa menjadi ayah yang baik untuk anakny
"Tadi mertuanya Carla kesini." Al menghentikan langkahnya lalu menoleh. "Tapi tante tidak bolehkan dia ketemu sama Carla." "Sepupunya Abisena juga ke kantor. Dia mengancam Al untuk melaporkan Vian ke polisi," ujar Al tenang. Hani menghela napas kasar. Sudah diduga olehnya, keluarga kurang belaian itu pasti datang menemui keluarga besarnya hanya untuk mengancam. Anehnya, mereka tak merasa bersalah dan tetap pada keinginan mereka untuk menghancurkan Carla. "Keluarga enggak jelas," umpat Hani. "Adam mana, tante?" Hani menunjuk ke kamar lantai dua tempat Adam berada. "Tadi dia ketemu sama neneknya?" "Enggak. Lagipula kalau dia tahu, enggak akan mungkin mau nemuin. Itu anak, pikirannya dewasa sekali. Dia benar-benar enggak mau ketemu sama nenek dan ibu tirinya," ujar Hani yang diangguki Al. "Memang. Itu yang diharapkan Carla." Al memang tak menyukai Abisena yang selalu bertindak seenaknya pada adik sepupunya tapi ia tak bisa memungkiri bahwa Adam adalah anak yang cerdas. Anak itu se
Dua hari setelah peristiwa itu, Abi dan Carla terlibat perang dingin yang membuat kedua keluarga besar saling panas memanasi. Diawali dengan kehadiran sepupu Abisena yang datang ke kantor untuk bertemu dengan Al selalu kakak sepupu Carla. Ia tak terima setelah mendengar tragedi pemukulan Abi yang dilakukan oleh Vian. Menurut mereka, seharusnya Vian diproses secara hukum karena telah memukul Abi tanpa sebab. Inginnya Al mengabaikan mereka, tapi saat mereka memaksa masuk ke dalam ruanganya mau tak mau ia harus menghadapinya. "Kenapa tidak dibawa ke kantor polisi dan rumah sakit? Kamu bisa dituduh berkomplot untuk mencelakakan sepupu saya kalau begitu," tuduh Galih, sepupu Abi yang tiba-tiba masuk ke ruangannya tanpa permisi. Galih tidak sendiri, ia datang bersama satu orang temannya yang bisa Al yakini bertugas sebagai eksekutor. Bisa saja habis ini dirinya akan dipukuli oleh mereka jika tak diladeni. "Kamu mau saya lapor polisi?" tanya Al meyakinkan kedua orang di hadapannya serius
"Kita berpisah."Dua kata yang keluar dari bibir Abi terus terngiang di telinga Carla. Wanita itu melihat kepergian Abi dengan mata sendu yang menyiratkan kepedihan. Apa yang terjadi di depan matanya, bukanlah seperti apa yang dipikirkannya.Tubuh Carla serasa kosong tanpa nyawa. Abi, suaminya yang selama ini dicintainya semudah itu memberikan kata pisah untuk hubungan mereka yang telah berjalan lebih dari tujuh tahun.Semua berawal dari kesalahpahaman antara dirinya dan Vian."Aku menyesal tadi. Aku seperti orang ketiga yang telah membuat hubungan kalian berdua renggang," ujar Vian.Vian hanya refleks memegang tangan Carla saat keluar dari mobil. Seharusnya ia menunggu hingga Kesya keluar dan membantunya. Tak pernah terpikir olehnya akan menjadi suatu masalah besar bagi rumah tangga Carla dan Abi.Sejak pengakuan Carla tempo hari yang memintanya untuk menunggu, Vian semakin menggebu-gebu untuk memiliki Carla. Seharusnya ia sadar jika saat itu Carla hanya sedang bimbang dengan kehidup
"Mas Abi, mau kemana?"Abi yang sedang merapikan kemeja dan jas menoleh. Risya tersenyum menatap suaminya yang terlihat tampan dengan setelan kas kantornya.Keduanya berdiri berhadapan dengan mata yang saling menatap satu sama lain.Cupp...Risya mencium bibir Abi yang mengatup rapat sebelum membalas sapaannya tadi."Mau ke kantor, kenapa?" Abi menyambut ciuman itu dan membalasnya dengan ciuman lembut lagi."Mas, kata Anna mbak Carla tuh akan pulang hari ini. Kamu enggak mau jenguk dia di rumah ibunya?" tanya Risya sambil memainkan dasi yang menjulur di atas kemeja suaminya. "Kamu enggak mau baikan sama mbak Carla? Kan kalian selama ini tuh kurang komunikasi."Abi melirik Risya sekilas. Mata jernih Risya membuatnya terhanyut. Kata-kata yang meluncur dari mulut istrinya bagaikan magnet dengan jutaan listrik di dalamnya."Anna tahu dari mana?" tanya Abi sambil mengerutkan dahinya.Sedikit kebingungan, Risya pun berpikir sejenak untuk mencari alasan. Ia pun tersenyum, kembali memainkan d
Setelah sempat mengalami koma selama dua hari, akhirnya Carla terbangun di hari ketiganya berada di ruangan ICU. Wajahnya sedikit tirus dan pucat tapi tak menghilangkan sama sekali rona cantiknya. Matanya menatap ke sekeliling ruangan putih yang telah berubah. Ia dipindahkan kemarin malam setelah sadar lebih dari lima jam.Di dalam ruangan hanya ada Al dan Kesya yang sedang duduk berdiskusi. Carla sempat menoleh ke arah jendela kamarnya. Ini sudah hampir malam tapi kedua orang itu tak hentinya bekerja. Ada sesuatu yang penting hingga mereka melupakan apa yang namanya istirahat?"Sepertinya ada yang sangat penting sekali?" tanya Carla memecahkan keheningan. Kedua orang yang sedang fokus dengan data di layar laptop langsung menoleh bersamaan ke arah Carla. "Ada masalah dengan kantor?""Ada laporan kebocoran dana. Katanya, ada penyalahgunaan rekening perusahaan. Kamu tenang saja, ini semua bisa diperbaiki. Kesya hanya memberi laporan sekalian perkembangan masalah pribadi kamu dan Abisena
“Bagaimana?” Riandari menaikturunkan alisnya, bertanya penasaran pada sang menantu yang sedang duduk santai di taman belakang rumah. Risya tersenyum mendengar pertanyaan itu. “Abi mau kan maafin kamu?”“Ibu tenang saja. Dia mau kok memaafkan aku.”Riandari bernapas lega. Sejak kemarin malam, dirinya tak henti memutar isi kepala memikirkan bagaimana caranya agar Risya dan Abi kembali bersama. Pertengkaran yang dimulai karena kesalahan teman Risya itu hampir membuat keduanya bubar. Riandari tidak mau. Ia masih ingin memiliki menantu yang bisa dicekoki dengan pemikirannya. Winda dan Carla terlalu mandiri, jadinya sulit untuk diperdaya seperti Risya.“Syukurlah.”“Ibu yakin kalau mbak Carla akan diceraikan oleh mas Abi?” tanya Risya. Riandari mengangguk semangat. Dia tahu watak anaknya. Kalau sudah tak suka, dia pasti melepaskannya. Sama seperti waktu bersama Winda dulu.“Yakin. Carla sudah sulit dikendalikan. Apalagi dia berniat untuk mengusir kita sekeluarga. Beuh, berasa ratu kerajaan
Abi terduduk di pinggir jalan raya arah menuju ke rumahnya. Kepalanya menengadah ke langit memperhatikan bintang yang kelap-kelip indah di atas sana. Keheningan pun menemaninya. Bosan, ia mengeluarkan sebungkus rokok yang setengah jam lalu ia beli dari minimarket sebelum kembali. Tak lama kemudian, asap pun mengepul di udara. Hari ini kacau, itu yang ia rasakan. Sejak pagi, masalah terus silih berganti menyiksanya. Dari masalah Carla, keributan rumah, hingga Risya yang tak tahu malu bertingkah mesra dengan sahabatnya di depan mata. Seharusnya, hari ini ia bisa dengan tenang menimang anaknya. Namun kekacauan itu membuat akal sehatnya hilang entah kemana. Ting! Suara ponsel Abi berbunyi. Abi terlonjak kaget mendengarnya. Matanya mengintip dari balik tangannya yang mengusap wajah lelahnya. [Pulang! Ibu sudah tahu masalahnya. Risya mau minta maaf sama kamu.] Cih. Abi mendecih membaca pesan yang dikirimkan ibunya. Pasti permintaan maaf itu tidak tulus. "Nanti. Abi lagi di pinggir j