Sepasang pengantin baru itu keluar dari dalam kamar menjelang siang. Wajah Risya berseri-seri saat membuka pintu kamarnya hingga menuju ruang makan untuk bertemu dengannya ibu mertuanya dan juga Carla. Carla tampak sibuk menghubungi seseorang di seberang sana. Di sampingnya ada Adam yang sedang menikmati sarapan pagi sedangkan ibu mertuanya tampak tenang mengaduk minuman hangat yang dibuatnya. "Selamat pagi, Bu. Eh, ada mbak Carla dan Adam juga," sapa Risya. Ia menggeser kursi di seberang Carla. Berhadapan langsung dengan istri tua suaminya. "Hemm.." Carla membalasnya. Adam lebih memilih untuk menghabiskan makanannya tak menghiraukan kehadiran Risya yang mengharapkan balasan atas sapaannya. "Abi tadi malam tidur di kamar kamu ya?" Risya mengangguk dengan senyuman di bibirnya. "Wah, berarti lagi proses ya?' "Iya, Bu." Carla menjawab dengan malu-malu. "Ibu doakan biar cepat jadi. Ibu sudah enggak sabar ingin menimang cucu." R
Sejak menikah, Carla dan Abi berbagi harta bersama. Carla yang telah cukup lama berkecimpung di dunia bisnis menyerahkan sebagian asetnya untuk dikelola oleh Abi. Salah satunya pabrik minuman ringan dan kemasan yang produknya diminati pasar. Abi ditunjuk jadi direktur eksekutif yang menangani seluruh divisi. Selama Abi masih bekerja di perusahaan milik orang lain, untuk sementara Carla yang menanganinya. Namun, kini semua menjadi tanggung jawab Abi semenjak suaminya itu resign dari pekerjaannya. "Selamat pagi pak Abi. Selamat datang," sapa Anita, sekretaris Carla yang mulai sekarang membantunya. "Selamat pagi. Bu Carla sudah datang?" tanya Abi yang dijawab gelengan kepala oleh Anita. Dahi Abi berkerut. Ia melirik jam dinding yang ada di depannya. Biasanya ia selalu sampai di kantor tepat pukul setengah sembilan. "Kemana ya dia?" "Mungkin sedang mengantar Adam ke sekolah. Biasanya seperti itu, Pak." Abi menganggukkan kepalanya. Ia baru teringat
Memang salahnya yang tak mengatakan dengan lengkap jika ingin dijemput oleh suaminya. Ia pikir, Abi paham maksud kalimatnya tadi siang. Ternyata tidak. Abi tidak sepeka itu memahami keinginan istrinya. Sungguh kecewa sekali Carla, baru kali ini ia merasa tersisihkan kembali setelah drama menjelang pernikahan kemarin. Saat memasuki rumah, suasana ruang tamu begitu sepi dan gelap. Tidak biasanya bibik mematikan lampu tengah. Carla berjalan sambil meraba dinding lalu menyalakan lampu yang saklarnya berada di dekat pintu. "Bu, maaf bibik baru mau nyalain lampunya. Mau disiapin makanan?" Carla menggelengkan kepalanya. "Tadi siang, Bu Risya mengeluh sakit perut setelah makan rujak mangga. Terus dianterin pak Ujang sama ibu Riandari ke rumah sakit." "Menginap?" bibik menggelengkan kepalanya. "Saya mau mandi dulu terus mau ke rumah teman. Bibik makan malam sendiri saja." "Iya, Bu." Malam ini, Carla akan ke rumah Rayya. Ia ingin melepas kepen
Carla tidak benar-benar datang ke club seperti yang Abi tuduhkan. Ia tadi hanya duduk di pinggir jalan yang cukup ramai. Kebetulan, di sana ada pertunjukkan musik yang biasa digelar oleh anak muda di dalam sebuah cafe kecil. Hingar bingar itu terdengar hingga ke jalanan dan membuat suara bisingnya menimbulkan kecurigaan Abi di ujung telepon.Setelah mendapat telepon dari Abi, ia tak bergegas pulang seperti yang diminta suaminya itu. Ia kembali melajukan mobilnya ke rumah Rayya yang tak jauh dari tempat ia duduk tadi. Hatinya sedih, ia merasa disisihkan tapi harus berusaha tegar. Abi mulai menunjukkan keberpihakannya walau terkadang masih sering membelanya di depan ibunya.Andai saja waktu dapat diputar lagi, mungkin saja Carla akan dengan tegas menolak keinginan ibu mertuanya untuk menikahkan Abi dengan calon istri pilihannya.Tiba di depan rumah Rayya, Carla segera turun dari mobilnya menuju teras rumah yang terang benderang. Rayya biasa mengumpulkan anak kecil yang tinggal di dekat
Carla pulang ke rumah tepat pukul sepuluh malam. Keadaan rumah sangat sepi, rumah tamu gelap dan hanya ada suara radio yang sayup-sayup terdengar dari arah pos satpam di depan rumah. Carla sangat lelah. Jiwa dan raganya sesak tak terkatakan. Entah sampai kapan dirinya akan terus menerus menerimanya. Saat Carla masuk ke dalam kamarnya, Abi yang masih terjaga berdiri dari posisi duduknya. Sekilas Carla melihat suaminya itu sedang sibuk membuka ponsel dengan kacamata menggantung di hidungnya. Abi memang sering membalas pesan bisnis di ponselnya sampai tengah malam. Namun baru kali ini Carla melihatnya sangat serius. "Kamu sudah pulang, Carla? Dari mana saja?" tegur Abi yang kini telah menutup ponselnya. Carla tak menjawabnya. Ia malah sibuk membuka lemari pakaian lalu masuk ke kamar mandi. Tak berapa lama, Carla keluar dengan wajah yang segar. "Aku minta maaf." "Wajar kok. Kamu kan antar istri ke dokter karena dia lagi sakit. Apalah aku yang hanya minta dijemput padahal bisa saja pul
"Ayo ngaku saja, pasti kamu yang makan kan?" Suara ribut-ribut itu terdengar nyaring dari ruang dapur yang terletak di lantai satu. Riandari dengan tangan berada di pinggang dan tatapan mata yang penuh emosi mencoba mengintimidasi bibik yang sedang sibuk membuat sarapan pagi untuk anggota rumah. Bibik menggelengkan kepalanya. "Demi tuhan, saya tidak tahu tentang makanan itu. Bibik tidur setelah masak makan malam sekitar jam enam. Ibu dan pak Abi kan belum pulang," jelas bibik beralibi membela dirinya. "Bohong. Pasti kamu bangun malam-malam terus makan makanan itu kan?" tuduh Riandari yang tak memberi bibik kesempatan sama sekali untuk dipercaya. Bibik menggelengkan kepalanya sekali lagi. Sudah hampir sepuluh tahun ia bekerja di rumah ini, belum sama sekali Carla pernah menuduhnya mencuri makanan. Karena tak merasa mencurinya, bibik kembali melawan. "Nyonya jangan tuduh saya sembarangan. Saya memang orang miskin, tapi saya punya harga diri. Saya paling pantang makan makanan curia
Tepat pukul sebelas siang, Risya berangkat ke kantor suaminya. Wajahnya berseri-seri membayangkan bagaimana bahagianya Abi menerima makanan darinya lalu menghabiskannya. Sejak kemarin, ia memang berniat akan datang ke kantor untuk menemani suaminya makan siang. Risya sengaja tak memberitahukan kedatangannya pada sang suami. Niatnya ini adalah kejutan sekaligus ingin memperkenalkan diri sebagai istri kedua Abisena. Saat turun dari dalam taksi, Risya yang baru menginjakkan kaki di gedung kantor Abi hanya bisa berdecak kagum. Bibirnya kembali tersenyum. Ia tak menyangka sang suami adalah pemilik perusahaan yang cukup ternama di negeri ini. "Wah, mas Abi ternyata seorang pengusaha kaya raya? Kenapa dia enggak pernah bilang ya?" gumamnya. Dengan langkah riang, Risya memasuki lobby kantor sambil membawa bungkusan makanan yang telah disiapkan dari rumah. Langkahnya terhenti di depan resepsionis untuk menanyakan dimana lantai tempat Abi bekerja. "Di lantai lima, Bu. Dekat dengan ruang me
Abi melahap makanan yang dibawa Risya dengan hikmat. Risya tentunya sangat bahagia. Bagaimana tidak, masakan yang ia bawa adalah kesukaan suaminya dan kini semuanya telah habis dilahap. Memang tak sepenuhnya itu adalah hasil racikan tangannya, tapi ia memiliki rasa puas saat Abi tanpa henti memasukkan makanannya ke dalam mulutnya. "Enak makanannya?" Abi mengangguk. "Syukurlah. Aku kira ini buruk di lidah mas." "Pasti resepnya dari bibik?" tanya Abi yang tebakannya benar. Risya mengerucutkan bibirnya lalu mengangguk pelan. Abi paham, istrinya itu pasti tengah berusaha untuk membuatnya bangga dengan masakannya. Tak masalah, ini baru permulaan untuknya. "Tapi ini enak kok." "Bibik yang kasih tahu bumbunya, aku yang masak. Jadi ya, sama saja itu bumbu hasil racikan bibik." Risya terdengar tak percaya diri dengan hasil masakannya karena tiba-tiba Abi bisa menebak jika itu resep dari bibik. "Aku menghargai jerih payahmu kok. Tidak usah sedih." Di luar gedung kantor, Carla yang tengah
"Kamu kenapa sih?" Abi membantu istrinya berdiri yang terus menggerutu menyebut nama Carla. Entah apa yang terjadi pada mereka berdua tadi, hanya saja memang Risya terlalu berlebihan dalam menanggapi sesuatu. "Sehari aja enggak gangguin Carla, enggak bisa? Kamu dendam apa sama dia?" Abi kembali memarahi Risya yang sejak tadi tak berhenti mengomel. "Kamu terus saja belain dia. Tadi rambut aku dijambak. Lihat kan tadi aku jatuh? Mana lagi hamil pula," gerutu Risya yang masih saja tak terima dirinya kalah dari Carla. "Carla enggak mungkin duluan kalau bukan kamu yang mulai. Aku jauh-jauh dari kantor ke sini hanya untuk melihat hal memalukan. Kamu ternyata enggak berubah." Abi meninggalkan Risya yang masih berdiri di ruang ukur. Carla telah turun lebih dulu. Abi berniat mengejar Carla untuk meminta maaf padanya. Risya mengikuti Abi dari belakang. Kakinya dihentak-hentak kasar, menunjukkan ia tengah kesal karena suaminya ternyata lebih membela mantan istrinya. Di lantai bawah, Abi be
"Aduh." Terlihat seorang wanita tengah kesusahan memijat pergelangan kakinya yang baru saja tak sengaja menginjak sebuah kain. Ia terduduk sambil menundukkan wajahnya yang mengerang kesakitan. Kain yang terjulur itu adalah kain milik Carla yang tengah dipasangkan di tubuhnya oleh staf butik tante Leni. Staf itu tak melihat jika ada seseorang tengah melintas di belakangnya. "Bu, maaf. Tadi enggak sengaja. Saya tidak melihat—" "Kalau kerja itu pakai mata! Mentang-mentang kamu lagi sibuk sama pelanggan satunya, jangan lupakan juga ada pelanggan yang lain," bentak wanita itu. Carla yang merasa familiar dengan suara itu seketika menoleh dengan cepat ke arahnya. Matanya terbelalak, ternyata benar orang yang ada di pikirannya itu tengah berada di tempat yang sama dengannya. Ia menghela napas kasarnya. Baru saja ia terbebas dari masalah di acara pertunangan Kesya kemarin, kini harus dipertemukan lagi dengan wanita itu. Entah apa rencana tuhan yang sebenarnya dengan mereka berdua. Takdi
Kabar kehamilan Risya mampir di telinga Carla. Ini semua karena ulah bibik yang sering bergosip dengan asisten yang lain saat sedang santai. Curi dengar itu membuat hati Carla tercubit. Dua kali dirinya mendengar kabar bahagia kehamilan orang di dekatnya tapi dirinya sendiri masih belum juga memiliki satupun. Carla berjalan bolak-balik di belakang rumah hanya untuk memastikan apa yang didengarnya tidaklah salah. Ia bahkan rela duduk sambil mengunyah makanan agar gosip yang terdengar itu semakin seru. 'Ternyata, dia memang sudah hamil lagi?' Lalu, Carla mengusap perutnya. Datar, tanpa isi kecuali lemak. Carla menghela napas kasarnya. Ia beranjak dari duduknya menuju dapur. Tenggorokannya haus sejak tadi. Jus melon adalah pilihan bagus untuknya. "Mama!" teriak Adam dan Tasya yang berlarian masuk ke dalam rumah. "Adam minggu depan libur." "Tasya juga." Keduanya menunjukkan sebuah surat himbauan dari sekolah. Carla membacanya dengan seksama lalu mengangguk paham. "Satu bulan libur
"Kesya, sini nak." Kesya berlari kecil ke arah ibunya yang memanggil dari kejauhan. Al sudah tak tahu kemana, sepertinya sedang berbincang dengan teman-temannya yang datang ke acaranya. Kesya tentunya tak tahu siapa yang berada di samping ibunya, karena posisi mereka yang dekat dengan lorong tempat lalu lalang orang. Dengan senyum manisnya Kesya memeluk ibunya dari samping. Ia belum sadar dengan siapa ibunya tengah berbincang. Hingga suara ibunya menyadarkan dirinya dan akhirnya membuat batinnya sedikit terguncang. 'Abi?' "Ini loh saudara jauh kamu yang sering main ke rumah lama kita di Semarang. Kamu pasti sudah lupa. Namanya Risya dan ini suaminya." Kesya meringis tak tahu harus menjawab apa. Ia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan keduanya. "Kamu ngobrol dulu. Ibu mau cek barang-barang hantaran tadi." "Dunia sempit ya? Aku enggak tahu kalau ternyata Risya itu sepupuku," sinis Kesya tak suka. Merasa diremehkan membuat Risya menaikkan wajahnya seolah sedang menant
Setelah pemeriksaan ke dokter kandungan, Abi dan Risya memutuskan untuk merayakan perayaan kehamilan kedua dengan makan bersama di kafe milik Vian. Abi memilih kafe itu karena ada memori tersendiri yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Risya tampak bahagia. Pasalnya, ia membawa keluarga besarnya untuk ikut merayakan pesta itu. Abi pun tak keberatan sama sekali. "Makan yang banyak, Ma. Kita makan enak malam ini," ujar Risya pada ibunya yang juga datang. Abi tersenyum datar melihat suasana akrab itu. Sekedar mencari angin, Abi memilih keluar dari dalam ruangan untuk duduk di dekat anak tangga belakang. Ia ingin merilekskan otaknya sejenak menatap kolam ikan yang sepi. Pikirannya berkelana ke beberapa waktu silam saat ia melihat Adam berada di sana. Dia sedang apa sekarang ? Pesan yang dikirim tiga hari lalu masih saja diabaikan. "Adam mau dibawakan apa? Udang asam manis atau cumi pedas?" Abi menoleh ke belakang, asal su
"Mau kemana kamu?" Abi turun dari tangga langsung mendapati Risya yang sedang mengendap-endap ingin pergi ke suatu tempat. Pakaiannya rapi dan ini masih pagi. Seharusnya wanita itu mengurusi anaknya atau setidaknya memasak untuk suaminya. "Mau kemana?" tanya Abi lagi. "Mau ke butik tantenya Indah. Aku mau ambil pesanan minggu lalu untuk lamaran dan pernikahan anaknya om aku yang tinggal di luar kota. Dia minggu ini anaknya lamaran dan aku belum pernah ketemu lagi dari SMP. Pas kita nikah dia juga enggak bisa datang karena sakit. Boleh ya?" ujar Risya panjang lebar menceritakan rencananya hari ini. "Katanya mau periksa kandungan? Aku udah telpon dokternya." Abi menyilangkan dadanya di depan Risya. Istrinya itu menelan ludah kasar. Abi jika dalam model seperti ini sulit untuk ditolak pesonanya. "Kamu enggak lagi coba berbohong sama aku kan?" "Demi tuhan, aku enggak bohong. Janjian ke dokternya jam berapa?" tanya Risya. "Sore jam tiga." Risya tersenyum senang. Berarti pagi ini dia
Lelah menghampiri Abi yang baru saja menyelesaikan pekerjaan hari ini. Setelah libur selama dua hari akhir pekan kemarin, sulit baginya untuk sekedar bersantai sejenak. Hal yang membuatnya lelah hari ini adalah audit keuangan perusahaan yang tiba-tiba tanpa ada pemberitahuan sebelumnya. Al yang memanggil tim audit. Ini semua demi pengetatan anggaran yang tak perlu dan mencari pelaku pelanggaran yang menyebabkan kebocoran keuangan perusahaan. Al mencurigai banyak pihak telah berbuat curang. Al mencurigai Abi, lebih tepatnya. "Aku tahu kau sangat curiga denganku. Iya, kan?" tanya Abi setelah diperbolehkan masuk ke dalam ruangan minimalis milik Al. Ia menaikkan satu sudut bibirnya, tersenyum sinis setelahnya. "Ow, kau merasa ya? Padahal aku hanya ingin audit biasa saja. Ah, bukankah kamu pernah membuat kebijakan bagi karyawan untuk memakai uang perusahaan dengan cara pinjaman seperti student loan misalnya. Pengabdian dengan separuh gaji jika mema
Keesokan harinya, Risya bermaksud meminta pertanggung jawaban Nanda yang telah menipunya hingga berujung malu di depan banyak orang. Bahkan ia sudah bersiap untuk memberikan tamparan pada temannya itu. Segera ia pergi ke studio musik milik Nanda untuk menemuinya. Di dalam studio itu, ia melihat Nanda dan Gane sedang tertawa lepas mendengar cerita salah seorang staf studio musik itu. Risya berdiri di dekat pintu masuk yang terbuka di satu sisinya. Dari situ ia bisa melihat dengan jelas apa yang sedang dilakukan mereka bertiga. "Mertua si bodoh itu viral? Sudah kuduga. Wanita itu memang picik dan senang membuat keributan," ujar Nanda yang diangguki oleh Gane. "Iya. Pantas saja mantan menantunya tidak kuat. Kalau jadi Carla, aku sudah kasih itu racun ke makanannya si mertua jahanam itu," tambah Gane yang dibalas kekehan kasar dari Nanda. "Orang seperti itu harus kita kerjain sekali-kali. Aku pernah kasih semangat untuk Carla menjelang sidang perceraiannya. Dia terlihat sedih tapi ber
Carla tak habis pikir. Dirinya sudah menjauh dari kehidupan Abi tapi tetap saja masih bertemu dengan mereka di sela kesibukannya. Tak ada lagi nama Abi, tak ada lagi komunikasi apapun dengan pria itu. Tapi takdir selalu mempertemukan mereka berdua. Sepertinya, memang itu semua sudah digariskan dari tuhan. "Untuk tuan Abi, tolong beritahukan pada keluarga anda untuk tidak menganggu kehidupan saya lagi. Dunia tak berputar hanya sekitar mereka saja. Kalau mereka butuh pengakuan lebih, berbuatlah sesuatu yang bisa membanggakan. Jangan bertingkah seperti tadi." Carla menggandeng tangan Vian keluar dari gedung acara. Ia tak ingin mendengar segala omong kosong yang keluar dari mulut mantan suaminya itu. Rasa kesal dan benci menguar dari dalam dirinya. Padahal, rasa itu telah dikuburnya dalam-dalam. "Aku, minta maaf Carla." Abi berteriak memanggil Carla yang hampir mencapai pintu keluar. "Atas nama keluargaku, aku minta maaf. Aku akan peringatkan mereka untuk t