Tepat pukul sebelas siang, Risya berangkat ke kantor suaminya. Wajahnya berseri-seri membayangkan bagaimana bahagianya Abi menerima makanan darinya lalu menghabiskannya. Sejak kemarin, ia memang berniat akan datang ke kantor untuk menemani suaminya makan siang. Risya sengaja tak memberitahukan kedatangannya pada sang suami. Niatnya ini adalah kejutan sekaligus ingin memperkenalkan diri sebagai istri kedua Abisena. Saat turun dari dalam taksi, Risya yang baru menginjakkan kaki di gedung kantor Abi hanya bisa berdecak kagum. Bibirnya kembali tersenyum. Ia tak menyangka sang suami adalah pemilik perusahaan yang cukup ternama di negeri ini. "Wah, mas Abi ternyata seorang pengusaha kaya raya? Kenapa dia enggak pernah bilang ya?" gumamnya. Dengan langkah riang, Risya memasuki lobby kantor sambil membawa bungkusan makanan yang telah disiapkan dari rumah. Langkahnya terhenti di depan resepsionis untuk menanyakan dimana lantai tempat Abi bekerja. "Di lantai lima, Bu. Dekat dengan ruang me
Abi melahap makanan yang dibawa Risya dengan hikmat. Risya tentunya sangat bahagia. Bagaimana tidak, masakan yang ia bawa adalah kesukaan suaminya dan kini semuanya telah habis dilahap. Memang tak sepenuhnya itu adalah hasil racikan tangannya, tapi ia memiliki rasa puas saat Abi tanpa henti memasukkan makanannya ke dalam mulutnya. "Enak makanannya?" Abi mengangguk. "Syukurlah. Aku kira ini buruk di lidah mas." "Pasti resepnya dari bibik?" tanya Abi yang tebakannya benar. Risya mengerucutkan bibirnya lalu mengangguk pelan. Abi paham, istrinya itu pasti tengah berusaha untuk membuatnya bangga dengan masakannya. Tak masalah, ini baru permulaan untuknya. "Tapi ini enak kok." "Bibik yang kasih tahu bumbunya, aku yang masak. Jadi ya, sama saja itu bumbu hasil racikan bibik." Risya terdengar tak percaya diri dengan hasil masakannya karena tiba-tiba Abi bisa menebak jika itu resep dari bibik. "Aku menghargai jerih payahmu kok. Tidak usah sedih." Di luar gedung kantor, Carla yang tengah
Menjelang malam, Carla yang sudah bosan menunggu kedatangan Abi akhirnya menyerah dengan keadaan. Makanan di piring Adam pun telah habis tanpa sisa. Carla tersenyum senang melihatnya. Adam sama sekali tak terpengaruh dengan suasana hatinya yang sedang kacau. Lebih baik pulang saja, batin Carla. Saat akan bersiap-siap pulang, dari arah belakang seseorang yang ternyata mengenal Carla menepuk bahunya hingga wanita itu menoleh ke belakang dan menghentikan langkahnya. "Mas Vian?" Vian, pria yang diam-diam mengikuti Carla hingga ke dalam resto mengumbar senyumnya saat ditegur oleh Carla, pujaan hatinya. "Hai Carla. Makan di sini juga?" Carla mengangguk. "Sama siapa?" "Sama Adam anak aku," tunjuknya pada bocah kecil yang sedang sibuk mengunyah buah di tangannya. "Sudah mau pulang?" Carla mengangguk lagi. "Ayo aku antar pulang." Carla terdiam sejenak. Ia lupa jika telah menyuruh pak Ujang pulang tadi sore. Ia pikir Abi akan datang setelah mengirimkan pesan. Carla menepuk dahinya, membu
Abi masuk rumah dengan tergesa-gesa. Tadi sempat melirik ke garasi rumahnya. Di sana ada mobil Carla teronggok tapi seperti biasanya. Ia berharap Carla sudah sampai dan tengah beristirahat sekarang. Namun, pemandangan yang didapat di dalam kamarnya tak sesuai ekspektasi di kepala. Carla tak ada di sana. Pikiran Abi langsung teringat pada Adam anaknya semata wayang. Ia membuka kamar bocah kecil itu perlahan-lahan. "Adam?" Abi masuk dan meraba ranjang Adam yang dingin. "Adam tidak ada? Kemana Carla membawanya?" Abi kembali ke dalam kamarnya dan mencoba menghubungi Carla. Tak ada jawaban sama sekali. Hatinya gelisah dan kepalanya ribut dengan berbagai macam pikiran buruk tentang Adam dan Carla. "Kumohon, jawab telponnya Carla." Abi berjalan mondar-mandir mengelilingi kamar. Sudah lima kali ia memanggil tapi tetap tak ada jawaban. "Kemana perginya dia?" Abi turun ke lantai bawah hendak mengambil air minum, tiba-tiba saja tenggo
Pagi sekali Vian datang menjemput Carla dan Adam. Tak lupa ia juga membawa keponakannya yang seusia dengan Adam ikut bersamanya. Carla tentunya senang karena Adam akan ada teman bermain di pantai. Wajah Adam terlihat bahagia saat Vian mengajaknya masuk ke dalam mobil. Tentu saja bahagia, karena hari ini ia akan bersenang-senang di pantai. Tempat yang sudah Adam impikan sejak liburan tahun lalu. "Adam, kenalin. Ini namanya Tasya. Keponakan om yang tinggal di Surabaya. Dia lagi main ke sini jenguk kakeknya," ujar Vian memperkenalkan keponakannya pada Adam. Adam yang memang senang dengan teman banyak mengulurkan tangannya mengajak berkenalan. Tasya yang masih malu-malu hanya menunduk lalu melengos ke arah jendela mobil. "Duh, Tasya masih malu-malu," ledek Vian yang dipelototi oleh Tasya. "Kita langsung ke pantai kan, Vian?" Carla yang duduk di samping Vian menoleh pelan. Saat melihat sosok Carla, mata Vian tak berhenti memandangnya. Ber
Abi tak nyenyak tidur sejak malam hingga menjelang pagi, hingga hari berikutnya pun sama. Carla terakhir kali mengirimkan pesan dua hari yang lalu sebelum makan malam lalu satu kali memanggil di sabtu pagi. Abi tak sempat membalasnya karena banyak sekali pekerjaan yang harus diselesaikannya kemarin. Abi berpikir tak masalah tak menghubungi balik Carla, karena istrinya itu adalah wanita yang mandiri. Namun tidak dengan Carla, ini semua tentang prioritas atau bukan.Minggu siang, Carla dan Adam kembali ke rumah dengan selamat. Ditemani oleh Vian dan keponakannya yang juga berniat akan pergi ke rumah neneknya. Abi yang memang sudah menunggu kepulangan Carla ke rumah, sejak satu jam yang lalu berdiri di depan pagar sambil mengawasi pekarangan rumahnya yang sedang dibersihkan.“Terima kasih sekali lagi, Vian. Maaf merepotkan,” ucap Carla sambil mengumbar senyum manisnya. Vian mengangguk dari balik kemudi. Adam yang tertidur di gendongan segera disambar oleh Abi yang ternyata telah mengamat
Abi membawa Carla ke rumah sakit bersama Adam yang memaksa ikut. Anak semata wayangnya itu terus menangis tak berhenti melihat ibunya dimasukkan ke sebuah ruangan darurat dengan keadaan pingsan. Pikiran buruk terus mengintai Abi. Ia takut kejadian Winda terulang lagi pada Carla.‘Tidak, tidak mungkin.’“Tolong jaga anak kita, Abi. Namanya Adam. Calon istrimu pasti wanita yang baik hati.” wajah Winda saat itu pucat. Seharusnya Abi paham mengapa mantan istrinya itu tiba-tiba menitipkan anak mereka yang baru berusia enam bulan saat itu.Mata Abi berbinar bahagia saat itu. Dua tahun menikah dengan Winda, akhirnya ia bisa memiliki buah hati yang diimpikannya selama pernikahan. Namun sayangnya, mereka berpisah sebelum mimpinya terwujud.“Mengapa kita harus berpisah, Winda.” Abi menyesal bertemu dengan Winda setelah perceraian. Semua sudah terlambat, pikirnya. Walaupun mereka kembali bersama, rasanya sudah tak sama seperti dul
Abi duduk di tepi ranjang rumah sakit sambil menggenggam tangan Carla yang terasa dingin. Setengah jam yang lalu ia tersadar lalu dibawa oleh perawat ke ruangan ini. Bersama Abi, ada Adam yang sejak tadi ikut sibuk membantu ayahnya mengurus perawatan sang ibu. Hati anak yang mana tak akan hancur melihat ibunya tengah berada dalam keadaan menahan sakit hingga tak sadarkan diri. "Pa, mama akan sembuh kan?" tanya Adam memelas. Abi tersenyum lalu mengangguk. Satu tangannya menarik pinggang putra kesayangannya untuk duduk di pangkuannya. Adam menuruti keinginan ayahnya. Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Abi untuk memeluknya. "Mama pasti sembuh. Mama hanya capek," bisik Abi di telinga Adam untuk menyemangatinya. Adam mencebikkan bibirnya. Ia merasa bersalah melihat ibunya jatuh sakit setelah pergi seharian bermain dengannya. Padahal, kemarin ibunya baik-baiknya saja saat bersamanya. "Harusnya kita berdua tidak main ke pantai kemarin. Mama kenapa
"Tadi mertuanya Carla kesini." Al menghentikan langkahnya lalu menoleh. "Tapi tante tidak bolehkan dia ketemu sama Carla." "Sepupunya Abisena juga ke kantor. Dia mengancam Al untuk melaporkan Vian ke polisi," ujar Al tenang. Hani menghela napas kasar. Sudah diduga olehnya, keluarga kurang belaian itu pasti datang menemui keluarga besarnya hanya untuk mengancam. Anehnya, mereka tak merasa bersalah dan tetap pada keinginan mereka untuk menghancurkan Carla. "Keluarga enggak jelas," umpat Hani. "Adam mana, tante?" Hani menunjuk ke kamar lantai dua tempat Adam berada. "Tadi dia ketemu sama neneknya?" "Enggak. Lagipula kalau dia tahu, enggak akan mungkin mau nemuin. Itu anak, pikirannya dewasa sekali. Dia benar-benar enggak mau ketemu sama nenek dan ibu tirinya," ujar Hani yang diangguki Al. "Memang. Itu yang diharapkan Carla." Al memang tak menyukai Abisena yang selalu bertindak seenaknya pada adik sepupunya tapi ia tak bisa memungkiri bahwa Adam adalah anak yang cerdas. Anak itu se
Dua hari setelah peristiwa itu, Abi dan Carla terlibat perang dingin yang membuat kedua keluarga besar saling panas memanasi. Diawali dengan kehadiran sepupu Abisena yang datang ke kantor untuk bertemu dengan Al selalu kakak sepupu Carla. Ia tak terima setelah mendengar tragedi pemukulan Abi yang dilakukan oleh Vian. Menurut mereka, seharusnya Vian diproses secara hukum karena telah memukul Abi tanpa sebab. Inginnya Al mengabaikan mereka, tapi saat mereka memaksa masuk ke dalam ruanganya mau tak mau ia harus menghadapinya. "Kenapa tidak dibawa ke kantor polisi dan rumah sakit? Kamu bisa dituduh berkomplot untuk mencelakakan sepupu saya kalau begitu," tuduh Galih, sepupu Abi yang tiba-tiba masuk ke ruangannya tanpa permisi. Galih tidak sendiri, ia datang bersama satu orang temannya yang bisa Al yakini bertugas sebagai eksekutor. Bisa saja habis ini dirinya akan dipukuli oleh mereka jika tak diladeni. "Kamu mau saya lapor polisi?" tanya Al meyakinkan kedua orang di hadapannya serius
"Kita berpisah."Dua kata yang keluar dari bibir Abi terus terngiang di telinga Carla. Wanita itu melihat kepergian Abi dengan mata sendu yang menyiratkan kepedihan. Apa yang terjadi di depan matanya, bukanlah seperti apa yang dipikirkannya.Tubuh Carla serasa kosong tanpa nyawa. Abi, suaminya yang selama ini dicintainya semudah itu memberikan kata pisah untuk hubungan mereka yang telah berjalan lebih dari tujuh tahun.Semua berawal dari kesalahpahaman antara dirinya dan Vian."Aku menyesal tadi. Aku seperti orang ketiga yang telah membuat hubungan kalian berdua renggang," ujar Vian.Vian hanya refleks memegang tangan Carla saat keluar dari mobil. Seharusnya ia menunggu hingga Kesya keluar dan membantunya. Tak pernah terpikir olehnya akan menjadi suatu masalah besar bagi rumah tangga Carla dan Abi.Sejak pengakuan Carla tempo hari yang memintanya untuk menunggu, Vian semakin menggebu-gebu untuk memiliki Carla. Seharusnya ia sadar jika saat itu Carla hanya sedang bimbang dengan kehidup
"Mas Abi, mau kemana?"Abi yang sedang merapikan kemeja dan jas menoleh. Risya tersenyum menatap suaminya yang terlihat tampan dengan setelan kas kantornya.Keduanya berdiri berhadapan dengan mata yang saling menatap satu sama lain.Cupp...Risya mencium bibir Abi yang mengatup rapat sebelum membalas sapaannya tadi."Mau ke kantor, kenapa?" Abi menyambut ciuman itu dan membalasnya dengan ciuman lembut lagi."Mas, kata Anna mbak Carla tuh akan pulang hari ini. Kamu enggak mau jenguk dia di rumah ibunya?" tanya Risya sambil memainkan dasi yang menjulur di atas kemeja suaminya. "Kamu enggak mau baikan sama mbak Carla? Kan kalian selama ini tuh kurang komunikasi."Abi melirik Risya sekilas. Mata jernih Risya membuatnya terhanyut. Kata-kata yang meluncur dari mulut istrinya bagaikan magnet dengan jutaan listrik di dalamnya."Anna tahu dari mana?" tanya Abi sambil mengerutkan dahinya.Sedikit kebingungan, Risya pun berpikir sejenak untuk mencari alasan. Ia pun tersenyum, kembali memainkan d
Setelah sempat mengalami koma selama dua hari, akhirnya Carla terbangun di hari ketiganya berada di ruangan ICU. Wajahnya sedikit tirus dan pucat tapi tak menghilangkan sama sekali rona cantiknya. Matanya menatap ke sekeliling ruangan putih yang telah berubah. Ia dipindahkan kemarin malam setelah sadar lebih dari lima jam.Di dalam ruangan hanya ada Al dan Kesya yang sedang duduk berdiskusi. Carla sempat menoleh ke arah jendela kamarnya. Ini sudah hampir malam tapi kedua orang itu tak hentinya bekerja. Ada sesuatu yang penting hingga mereka melupakan apa yang namanya istirahat?"Sepertinya ada yang sangat penting sekali?" tanya Carla memecahkan keheningan. Kedua orang yang sedang fokus dengan data di layar laptop langsung menoleh bersamaan ke arah Carla. "Ada masalah dengan kantor?""Ada laporan kebocoran dana. Katanya, ada penyalahgunaan rekening perusahaan. Kamu tenang saja, ini semua bisa diperbaiki. Kesya hanya memberi laporan sekalian perkembangan masalah pribadi kamu dan Abisena
“Bagaimana?” Riandari menaikturunkan alisnya, bertanya penasaran pada sang menantu yang sedang duduk santai di taman belakang rumah. Risya tersenyum mendengar pertanyaan itu. “Abi mau kan maafin kamu?”“Ibu tenang saja. Dia mau kok memaafkan aku.”Riandari bernapas lega. Sejak kemarin malam, dirinya tak henti memutar isi kepala memikirkan bagaimana caranya agar Risya dan Abi kembali bersama. Pertengkaran yang dimulai karena kesalahan teman Risya itu hampir membuat keduanya bubar. Riandari tidak mau. Ia masih ingin memiliki menantu yang bisa dicekoki dengan pemikirannya. Winda dan Carla terlalu mandiri, jadinya sulit untuk diperdaya seperti Risya.“Syukurlah.”“Ibu yakin kalau mbak Carla akan diceraikan oleh mas Abi?” tanya Risya. Riandari mengangguk semangat. Dia tahu watak anaknya. Kalau sudah tak suka, dia pasti melepaskannya. Sama seperti waktu bersama Winda dulu.“Yakin. Carla sudah sulit dikendalikan. Apalagi dia berniat untuk mengusir kita sekeluarga. Beuh, berasa ratu kerajaan
Abi terduduk di pinggir jalan raya arah menuju ke rumahnya. Kepalanya menengadah ke langit memperhatikan bintang yang kelap-kelip indah di atas sana. Keheningan pun menemaninya. Bosan, ia mengeluarkan sebungkus rokok yang setengah jam lalu ia beli dari minimarket sebelum kembali. Tak lama kemudian, asap pun mengepul di udara. Hari ini kacau, itu yang ia rasakan. Sejak pagi, masalah terus silih berganti menyiksanya. Dari masalah Carla, keributan rumah, hingga Risya yang tak tahu malu bertingkah mesra dengan sahabatnya di depan mata. Seharusnya, hari ini ia bisa dengan tenang menimang anaknya. Namun kekacauan itu membuat akal sehatnya hilang entah kemana. Ting! Suara ponsel Abi berbunyi. Abi terlonjak kaget mendengarnya. Matanya mengintip dari balik tangannya yang mengusap wajah lelahnya. [Pulang! Ibu sudah tahu masalahnya. Risya mau minta maaf sama kamu.] Cih. Abi mendecih membaca pesan yang dikirimkan ibunya. Pasti permintaan maaf itu tidak tulus. "Nanti. Abi lagi di pinggir j
"Kalian, keluar dari rumah saya!" Suasana ruang tamu Risya terasa mencekam seketika. Wajah marah dan penuh emosi milik Abisena tak bisa dipandang sebelah mata. Pria yang biasanya ramah dan sering senyum itu tiba-tiba berubah menjadi sangar seperti singa mengamuk. Risya dan teman-temannya langsung terdiam. Gane mematikan siaran langsungnya. Ia menyimpan ponsel yang tadi dipakai ke dalam tasnya sementara yang lain sibuk membereskan barang-barang mereka. Wajah ketakutan teman-teman Risya terlihat jelas diantara barang-barang yang tersusun di ruang tamu. Mereka menunduk, Abi masih bisa melihatnya dengan jelas. Risya mengangkat wajahnya hendak melayangkan protes namun tak jadi karena mata Abi melotot tajam ke arahnya memintanya untuk diam. "Kamu, masuk kamar!" Abi memerintah Risya dengan bentakannya yang terdengar menggelegar. Habis sudah kesabaran seorang Abisena hari ini. Istrinya itu hanya terdiam. Ia beranjak pergi dari tempatnya, menuruti perintah sang suami yang tak bisa dibant
Carla kembali jatuh pingsan. Setelah pulang dari rumah Abi, tiba-tiba saja tubuhnya lemas tak sadarkan diri. Sepanjang perjalanan, bibik yang menjaganya di kursi belakang terus menerus menangis melihat nona mudanya pingsan. Vian yang duduk di depan ikut cemas dengan keadaan Carla. Berkali-kali dirinya menoleh ke belakang hanya untuk memastikan keadaan Carla baik-baik saja.“Bik, Carla pingsan?” bibik mengangguk. “Saya langsung ke rumah sakit. Bibik bisa telepon Al?” Vian menyerahkan ponselnya yang terbuka pada bibik.“Halo tuan Al, ini bibik.”[Kenapa, bik? Ada apa dengan Carla?]Al curiga dengan suara bibik yang terdengar gelisah. Ada juga suara Vian yang mengumpat sesekali.“Non Carla pingsan. Saya sama tuan Vian mau ke rumah sakit.” isakan bibik terdengar.[Pingsan? Kenapa bisa pingsan? Apa yang terjadi?]“Al, jangan banyak tanya. Langsung ke rumah sakit Medika. Nanti aku ceritakan di sana,” teriak Vian dari kejauhan.Al membelalakkan matanya. Segera ia tutup laptop dan mengakhiri