Malam harinya, Carla pulang bersama Adam yang sejak tadi siang merengek ingin ditemani membeli perlengkapan melukis di toko buku. Senyum Adam tak luntur saat ia berjalan menapaki lantai rumahnya. Tangannya penuh menjinjing dua tas ukuran sedang yang berisikan cat warna warni dan kuasnya. Ditemani pak Ujang yang membawa kanvas ukuran besar, mereka naik ke lantai dua. Tepatnya, kamar Adam yang bersampingan dengan kamar ayah dan ibunya. "Carla, dari mana saja kamu?" tegur Riandari yang baru muncul dari arah dapur. Carla menghentikan langkahnya sejenak. "Tadi sore keluarganya Risya datang. Niatnya mau bertemu dengan kamu tapi kamu malah pergi." "Ada keperluan apa ingin bertemu sama saya?" tanya Risya dengan angkuh. "Saya sudah ada janji lebih dulu sama Adam. Sampaikan saja permohonan maaf saya sama mereka. Permisi, Bu." Carla pun berniat melangkah lagi menuju kamarnya. "Tunggu!" lagi-lagi suara Riandari membuat Carla terdiam. Terlihat kesal, wajahnya masam mendengar suara mertuanya se
Sepasang pengantin baru itu keluar dari dalam kamar menjelang siang. Wajah Risya berseri-seri saat membuka pintu kamarnya hingga menuju ruang makan untuk bertemu dengannya ibu mertuanya dan juga Carla. Carla tampak sibuk menghubungi seseorang di seberang sana. Di sampingnya ada Adam yang sedang menikmati sarapan pagi sedangkan ibu mertuanya tampak tenang mengaduk minuman hangat yang dibuatnya. "Selamat pagi, Bu. Eh, ada mbak Carla dan Adam juga," sapa Risya. Ia menggeser kursi di seberang Carla. Berhadapan langsung dengan istri tua suaminya. "Hemm.." Carla membalasnya. Adam lebih memilih untuk menghabiskan makanannya tak menghiraukan kehadiran Risya yang mengharapkan balasan atas sapaannya. "Abi tadi malam tidur di kamar kamu ya?" Risya mengangguk dengan senyuman di bibirnya. "Wah, berarti lagi proses ya?' "Iya, Bu." Carla menjawab dengan malu-malu. "Ibu doakan biar cepat jadi. Ibu sudah enggak sabar ingin menimang cucu." R
Sejak menikah, Carla dan Abi berbagi harta bersama. Carla yang telah cukup lama berkecimpung di dunia bisnis menyerahkan sebagian asetnya untuk dikelola oleh Abi. Salah satunya pabrik minuman ringan dan kemasan yang produknya diminati pasar. Abi ditunjuk jadi direktur eksekutif yang menangani seluruh divisi. Selama Abi masih bekerja di perusahaan milik orang lain, untuk sementara Carla yang menanganinya. Namun, kini semua menjadi tanggung jawab Abi semenjak suaminya itu resign dari pekerjaannya. "Selamat pagi pak Abi. Selamat datang," sapa Anita, sekretaris Carla yang mulai sekarang membantunya. "Selamat pagi. Bu Carla sudah datang?" tanya Abi yang dijawab gelengan kepala oleh Anita. Dahi Abi berkerut. Ia melirik jam dinding yang ada di depannya. Biasanya ia selalu sampai di kantor tepat pukul setengah sembilan. "Kemana ya dia?" "Mungkin sedang mengantar Adam ke sekolah. Biasanya seperti itu, Pak." Abi menganggukkan kepalanya. Ia baru teringat
Memang salahnya yang tak mengatakan dengan lengkap jika ingin dijemput oleh suaminya. Ia pikir, Abi paham maksud kalimatnya tadi siang. Ternyata tidak. Abi tidak sepeka itu memahami keinginan istrinya. Sungguh kecewa sekali Carla, baru kali ini ia merasa tersisihkan kembali setelah drama menjelang pernikahan kemarin. Saat memasuki rumah, suasana ruang tamu begitu sepi dan gelap. Tidak biasanya bibik mematikan lampu tengah. Carla berjalan sambil meraba dinding lalu menyalakan lampu yang saklarnya berada di dekat pintu. "Bu, maaf bibik baru mau nyalain lampunya. Mau disiapin makanan?" Carla menggelengkan kepalanya. "Tadi siang, Bu Risya mengeluh sakit perut setelah makan rujak mangga. Terus dianterin pak Ujang sama ibu Riandari ke rumah sakit." "Menginap?" bibik menggelengkan kepalanya. "Saya mau mandi dulu terus mau ke rumah teman. Bibik makan malam sendiri saja." "Iya, Bu." Malam ini, Carla akan ke rumah Rayya. Ia ingin melepas kepen
Carla tidak benar-benar datang ke club seperti yang Abi tuduhkan. Ia tadi hanya duduk di pinggir jalan yang cukup ramai. Kebetulan, di sana ada pertunjukkan musik yang biasa digelar oleh anak muda di dalam sebuah cafe kecil. Hingar bingar itu terdengar hingga ke jalanan dan membuat suara bisingnya menimbulkan kecurigaan Abi di ujung telepon.Setelah mendapat telepon dari Abi, ia tak bergegas pulang seperti yang diminta suaminya itu. Ia kembali melajukan mobilnya ke rumah Rayya yang tak jauh dari tempat ia duduk tadi. Hatinya sedih, ia merasa disisihkan tapi harus berusaha tegar. Abi mulai menunjukkan keberpihakannya walau terkadang masih sering membelanya di depan ibunya.Andai saja waktu dapat diputar lagi, mungkin saja Carla akan dengan tegas menolak keinginan ibu mertuanya untuk menikahkan Abi dengan calon istri pilihannya.Tiba di depan rumah Rayya, Carla segera turun dari mobilnya menuju teras rumah yang terang benderang. Rayya biasa mengumpulkan anak kecil yang tinggal di dekat
Carla pulang ke rumah tepat pukul sepuluh malam. Keadaan rumah sangat sepi, rumah tamu gelap dan hanya ada suara radio yang sayup-sayup terdengar dari arah pos satpam di depan rumah. Carla sangat lelah. Jiwa dan raganya sesak tak terkatakan. Entah sampai kapan dirinya akan terus menerus menerimanya. Saat Carla masuk ke dalam kamarnya, Abi yang masih terjaga berdiri dari posisi duduknya. Sekilas Carla melihat suaminya itu sedang sibuk membuka ponsel dengan kacamata menggantung di hidungnya. Abi memang sering membalas pesan bisnis di ponselnya sampai tengah malam. Namun baru kali ini Carla melihatnya sangat serius. "Kamu sudah pulang, Carla? Dari mana saja?" tegur Abi yang kini telah menutup ponselnya. Carla tak menjawabnya. Ia malah sibuk membuka lemari pakaian lalu masuk ke kamar mandi. Tak berapa lama, Carla keluar dengan wajah yang segar. "Aku minta maaf." "Wajar kok. Kamu kan antar istri ke dokter karena dia lagi sakit. Apalah aku yang hanya minta dijemput padahal bisa saja pul
"Ayo ngaku saja, pasti kamu yang makan kan?" Suara ribut-ribut itu terdengar nyaring dari ruang dapur yang terletak di lantai satu. Riandari dengan tangan berada di pinggang dan tatapan mata yang penuh emosi mencoba mengintimidasi bibik yang sedang sibuk membuat sarapan pagi untuk anggota rumah. Bibik menggelengkan kepalanya. "Demi tuhan, saya tidak tahu tentang makanan itu. Bibik tidur setelah masak makan malam sekitar jam enam. Ibu dan pak Abi kan belum pulang," jelas bibik beralibi membela dirinya. "Bohong. Pasti kamu bangun malam-malam terus makan makanan itu kan?" tuduh Riandari yang tak memberi bibik kesempatan sama sekali untuk dipercaya. Bibik menggelengkan kepalanya sekali lagi. Sudah hampir sepuluh tahun ia bekerja di rumah ini, belum sama sekali Carla pernah menuduhnya mencuri makanan. Karena tak merasa mencurinya, bibik kembali melawan. "Nyonya jangan tuduh saya sembarangan. Saya memang orang miskin, tapi saya punya harga diri. Saya paling pantang makan makanan curia
Tepat pukul sebelas siang, Risya berangkat ke kantor suaminya. Wajahnya berseri-seri membayangkan bagaimana bahagianya Abi menerima makanan darinya lalu menghabiskannya. Sejak kemarin, ia memang berniat akan datang ke kantor untuk menemani suaminya makan siang. Risya sengaja tak memberitahukan kedatangannya pada sang suami. Niatnya ini adalah kejutan sekaligus ingin memperkenalkan diri sebagai istri kedua Abisena. Saat turun dari dalam taksi, Risya yang baru menginjakkan kaki di gedung kantor Abi hanya bisa berdecak kagum. Bibirnya kembali tersenyum. Ia tak menyangka sang suami adalah pemilik perusahaan yang cukup ternama di negeri ini. "Wah, mas Abi ternyata seorang pengusaha kaya raya? Kenapa dia enggak pernah bilang ya?" gumamnya. Dengan langkah riang, Risya memasuki lobby kantor sambil membawa bungkusan makanan yang telah disiapkan dari rumah. Langkahnya terhenti di depan resepsionis untuk menanyakan dimana lantai tempat Abi bekerja. "Di lantai lima, Bu. Dekat dengan ruang me
"Tadi mertuanya Carla kesini." Al menghentikan langkahnya lalu menoleh. "Tapi tante tidak bolehkan dia ketemu sama Carla." "Sepupunya Abisena juga ke kantor. Dia mengancam Al untuk melaporkan Vian ke polisi," ujar Al tenang. Hani menghela napas kasar. Sudah diduga olehnya, keluarga kurang belaian itu pasti datang menemui keluarga besarnya hanya untuk mengancam. Anehnya, mereka tak merasa bersalah dan tetap pada keinginan mereka untuk menghancurkan Carla. "Keluarga enggak jelas," umpat Hani. "Adam mana, tante?" Hani menunjuk ke kamar lantai dua tempat Adam berada. "Tadi dia ketemu sama neneknya?" "Enggak. Lagipula kalau dia tahu, enggak akan mungkin mau nemuin. Itu anak, pikirannya dewasa sekali. Dia benar-benar enggak mau ketemu sama nenek dan ibu tirinya," ujar Hani yang diangguki Al. "Memang. Itu yang diharapkan Carla." Al memang tak menyukai Abisena yang selalu bertindak seenaknya pada adik sepupunya tapi ia tak bisa memungkiri bahwa Adam adalah anak yang cerdas. Anak itu se
Dua hari setelah peristiwa itu, Abi dan Carla terlibat perang dingin yang membuat kedua keluarga besar saling panas memanasi. Diawali dengan kehadiran sepupu Abisena yang datang ke kantor untuk bertemu dengan Al selalu kakak sepupu Carla. Ia tak terima setelah mendengar tragedi pemukulan Abi yang dilakukan oleh Vian. Menurut mereka, seharusnya Vian diproses secara hukum karena telah memukul Abi tanpa sebab. Inginnya Al mengabaikan mereka, tapi saat mereka memaksa masuk ke dalam ruanganya mau tak mau ia harus menghadapinya. "Kenapa tidak dibawa ke kantor polisi dan rumah sakit? Kamu bisa dituduh berkomplot untuk mencelakakan sepupu saya kalau begitu," tuduh Galih, sepupu Abi yang tiba-tiba masuk ke ruangannya tanpa permisi. Galih tidak sendiri, ia datang bersama satu orang temannya yang bisa Al yakini bertugas sebagai eksekutor. Bisa saja habis ini dirinya akan dipukuli oleh mereka jika tak diladeni. "Kamu mau saya lapor polisi?" tanya Al meyakinkan kedua orang di hadapannya serius
"Kita berpisah."Dua kata yang keluar dari bibir Abi terus terngiang di telinga Carla. Wanita itu melihat kepergian Abi dengan mata sendu yang menyiratkan kepedihan. Apa yang terjadi di depan matanya, bukanlah seperti apa yang dipikirkannya.Tubuh Carla serasa kosong tanpa nyawa. Abi, suaminya yang selama ini dicintainya semudah itu memberikan kata pisah untuk hubungan mereka yang telah berjalan lebih dari tujuh tahun.Semua berawal dari kesalahpahaman antara dirinya dan Vian."Aku menyesal tadi. Aku seperti orang ketiga yang telah membuat hubungan kalian berdua renggang," ujar Vian.Vian hanya refleks memegang tangan Carla saat keluar dari mobil. Seharusnya ia menunggu hingga Kesya keluar dan membantunya. Tak pernah terpikir olehnya akan menjadi suatu masalah besar bagi rumah tangga Carla dan Abi.Sejak pengakuan Carla tempo hari yang memintanya untuk menunggu, Vian semakin menggebu-gebu untuk memiliki Carla. Seharusnya ia sadar jika saat itu Carla hanya sedang bimbang dengan kehidup
"Mas Abi, mau kemana?"Abi yang sedang merapikan kemeja dan jas menoleh. Risya tersenyum menatap suaminya yang terlihat tampan dengan setelan kas kantornya.Keduanya berdiri berhadapan dengan mata yang saling menatap satu sama lain.Cupp...Risya mencium bibir Abi yang mengatup rapat sebelum membalas sapaannya tadi."Mau ke kantor, kenapa?" Abi menyambut ciuman itu dan membalasnya dengan ciuman lembut lagi."Mas, kata Anna mbak Carla tuh akan pulang hari ini. Kamu enggak mau jenguk dia di rumah ibunya?" tanya Risya sambil memainkan dasi yang menjulur di atas kemeja suaminya. "Kamu enggak mau baikan sama mbak Carla? Kan kalian selama ini tuh kurang komunikasi."Abi melirik Risya sekilas. Mata jernih Risya membuatnya terhanyut. Kata-kata yang meluncur dari mulut istrinya bagaikan magnet dengan jutaan listrik di dalamnya."Anna tahu dari mana?" tanya Abi sambil mengerutkan dahinya.Sedikit kebingungan, Risya pun berpikir sejenak untuk mencari alasan. Ia pun tersenyum, kembali memainkan d
Setelah sempat mengalami koma selama dua hari, akhirnya Carla terbangun di hari ketiganya berada di ruangan ICU. Wajahnya sedikit tirus dan pucat tapi tak menghilangkan sama sekali rona cantiknya. Matanya menatap ke sekeliling ruangan putih yang telah berubah. Ia dipindahkan kemarin malam setelah sadar lebih dari lima jam.Di dalam ruangan hanya ada Al dan Kesya yang sedang duduk berdiskusi. Carla sempat menoleh ke arah jendela kamarnya. Ini sudah hampir malam tapi kedua orang itu tak hentinya bekerja. Ada sesuatu yang penting hingga mereka melupakan apa yang namanya istirahat?"Sepertinya ada yang sangat penting sekali?" tanya Carla memecahkan keheningan. Kedua orang yang sedang fokus dengan data di layar laptop langsung menoleh bersamaan ke arah Carla. "Ada masalah dengan kantor?""Ada laporan kebocoran dana. Katanya, ada penyalahgunaan rekening perusahaan. Kamu tenang saja, ini semua bisa diperbaiki. Kesya hanya memberi laporan sekalian perkembangan masalah pribadi kamu dan Abisena
“Bagaimana?” Riandari menaikturunkan alisnya, bertanya penasaran pada sang menantu yang sedang duduk santai di taman belakang rumah. Risya tersenyum mendengar pertanyaan itu. “Abi mau kan maafin kamu?”“Ibu tenang saja. Dia mau kok memaafkan aku.”Riandari bernapas lega. Sejak kemarin malam, dirinya tak henti memutar isi kepala memikirkan bagaimana caranya agar Risya dan Abi kembali bersama. Pertengkaran yang dimulai karena kesalahan teman Risya itu hampir membuat keduanya bubar. Riandari tidak mau. Ia masih ingin memiliki menantu yang bisa dicekoki dengan pemikirannya. Winda dan Carla terlalu mandiri, jadinya sulit untuk diperdaya seperti Risya.“Syukurlah.”“Ibu yakin kalau mbak Carla akan diceraikan oleh mas Abi?” tanya Risya. Riandari mengangguk semangat. Dia tahu watak anaknya. Kalau sudah tak suka, dia pasti melepaskannya. Sama seperti waktu bersama Winda dulu.“Yakin. Carla sudah sulit dikendalikan. Apalagi dia berniat untuk mengusir kita sekeluarga. Beuh, berasa ratu kerajaan
Abi terduduk di pinggir jalan raya arah menuju ke rumahnya. Kepalanya menengadah ke langit memperhatikan bintang yang kelap-kelip indah di atas sana. Keheningan pun menemaninya. Bosan, ia mengeluarkan sebungkus rokok yang setengah jam lalu ia beli dari minimarket sebelum kembali. Tak lama kemudian, asap pun mengepul di udara. Hari ini kacau, itu yang ia rasakan. Sejak pagi, masalah terus silih berganti menyiksanya. Dari masalah Carla, keributan rumah, hingga Risya yang tak tahu malu bertingkah mesra dengan sahabatnya di depan mata. Seharusnya, hari ini ia bisa dengan tenang menimang anaknya. Namun kekacauan itu membuat akal sehatnya hilang entah kemana. Ting! Suara ponsel Abi berbunyi. Abi terlonjak kaget mendengarnya. Matanya mengintip dari balik tangannya yang mengusap wajah lelahnya. [Pulang! Ibu sudah tahu masalahnya. Risya mau minta maaf sama kamu.] Cih. Abi mendecih membaca pesan yang dikirimkan ibunya. Pasti permintaan maaf itu tidak tulus. "Nanti. Abi lagi di pinggir j
"Kalian, keluar dari rumah saya!" Suasana ruang tamu Risya terasa mencekam seketika. Wajah marah dan penuh emosi milik Abisena tak bisa dipandang sebelah mata. Pria yang biasanya ramah dan sering senyum itu tiba-tiba berubah menjadi sangar seperti singa mengamuk. Risya dan teman-temannya langsung terdiam. Gane mematikan siaran langsungnya. Ia menyimpan ponsel yang tadi dipakai ke dalam tasnya sementara yang lain sibuk membereskan barang-barang mereka. Wajah ketakutan teman-teman Risya terlihat jelas diantara barang-barang yang tersusun di ruang tamu. Mereka menunduk, Abi masih bisa melihatnya dengan jelas. Risya mengangkat wajahnya hendak melayangkan protes namun tak jadi karena mata Abi melotot tajam ke arahnya memintanya untuk diam. "Kamu, masuk kamar!" Abi memerintah Risya dengan bentakannya yang terdengar menggelegar. Habis sudah kesabaran seorang Abisena hari ini. Istrinya itu hanya terdiam. Ia beranjak pergi dari tempatnya, menuruti perintah sang suami yang tak bisa dibant
Carla kembali jatuh pingsan. Setelah pulang dari rumah Abi, tiba-tiba saja tubuhnya lemas tak sadarkan diri. Sepanjang perjalanan, bibik yang menjaganya di kursi belakang terus menerus menangis melihat nona mudanya pingsan. Vian yang duduk di depan ikut cemas dengan keadaan Carla. Berkali-kali dirinya menoleh ke belakang hanya untuk memastikan keadaan Carla baik-baik saja.“Bik, Carla pingsan?” bibik mengangguk. “Saya langsung ke rumah sakit. Bibik bisa telepon Al?” Vian menyerahkan ponselnya yang terbuka pada bibik.“Halo tuan Al, ini bibik.”[Kenapa, bik? Ada apa dengan Carla?]Al curiga dengan suara bibik yang terdengar gelisah. Ada juga suara Vian yang mengumpat sesekali.“Non Carla pingsan. Saya sama tuan Vian mau ke rumah sakit.” isakan bibik terdengar.[Pingsan? Kenapa bisa pingsan? Apa yang terjadi?]“Al, jangan banyak tanya. Langsung ke rumah sakit Medika. Nanti aku ceritakan di sana,” teriak Vian dari kejauhan.Al membelalakkan matanya. Segera ia tutup laptop dan mengakhiri