Pertanyaan ibu tirinya tentang sang istri seolah melempar pukulan tidak kasat mata pada Rajendra.Livia. Nama itu membuat dadanya sesak. Ia menunduk, menghindari tatapan Lola padanya. Sedangkan Erwin yang masih berdiri dengan tangan berkacak pinggang mendengkus keras."Liv ... Livia--" Rajendra membuka mulut tetapi kata-katanya terhenti begitu saja."Kenapa, Ndra? Livia baik-baik aja kan?" Lola bertanya lagi dengan penuh rasa ingin tahu."Livia nggak di rumah, Tante," jawab Rajendra pada akhirnya dengan suara seperti bisikan.Lola terlihat kaget. "Maksud kamu apa? Livia ke mana? Kenapa nggak ada di rumah?"Rajendra telan salivanya. Ia mencoba mengumpulkan keberanian untuk menjawab. "Livia ... pergi, Tante. Waktu itu aku salah paham tentang dia. Dan akhirnya dia pergi dari rumah."Erwin yang mendengarkan keterangan Rajendra spontan menggebrak meja di hadapannya. "Apaan lu, Ndra? Cewek yang benar malah lu usir, yang nipu malah lu sayang-sayang. Otak lu ditaruh di mana, hah? Atau jangan-
Napas Livia tertahan. Dadanya langsung sesak begitu melihat sosok yang telah ia coba lupakan berdiri tidak jauh dari tempatnya.Rajendra terlihat berbeda. Sosoknya lebih kurus dan wajahnya tampak lelah.Langit yang memerhatikan ekspresi Livia memegang tangannya dengan erat. "Kita pergi ke arah lain atau tunggu sampai mereka selesai?" tanyanya.Livia menggerakkan kepalanya ke arah Langit. "Kita hadapi saja. Mungkin sudah saatnya saya ketemu sama mereka.""Kamu yakin?"Livia mengangguk penuh keyakinan. Perutnya kembali ditendang dari dalam, membuatnya meringis kesakitan.Tangisan keras Randu tiba-tiba terdengar. Tangisan yang pernah mengisi hari-hari Livia. Membuat Livia tanpa sadar melangkah ke arah mereka. Dan Langit tidak sempat mencegah.Rajendra memandang ke sumber suara langkah yang menghampirinya. Kedua matanya refleks melebar ketika menyaksikan wanita yang selama ini ia cari ada di dekatnya. Seluruh badannya gemetar. Ia ingin melafalkan nama wanita itu tapi suaranya tercekat."L
Rajendra cuma bisa berdiri di depan pintu ruang bersalin yang tertutup rapat. Perasaan tidak karuan menghantamnya dari segala arah.Ia menyandarkan punggungnya ke dinding dengan tangan terkepal erat. Tatapannya kabur, bukan karena ia rabun, tetapi karena menahan air mata agar tidak jatuh.Dirinya laki-laki. Pantang baginya untuk menangis, namun ini terlalu menyakitkan. Dirinya yang punya anak dan akan menjadi bapak, tetapi kenapa orang lain yang harus mendampingi istrinya?Di dalam ruangan bersalin terdengar samar suara Livia yang mengerang menahan sakit. Ingin rasanya Rajendra menerobos masuk ke dalam ruangan itu dan mengatakan bahwa dirinyalah yang berhak mendampingi Livia, bukan Langit. Lola kemudian mendekat. Disentuhnya bahu Rajendra dengan lembut. "Nggak usah sedih, Ndra. Jangan pernah lupakan, sakit yang kamu rasakan nggak ada apa-apanya dengan yang dirasakan Livia dulu.""Tapi ini kelewatan, Tante. Aku yang seharusnya berada di sana, bukan laki-laki lain," lirih Rajendra putu
Rajendra tersentak mendengar perkataan Livia. Hatinya tersayat-sayat.Om Rajendra, bukan Ayah atau Papa.Sebutan itu memisahkannya dari Gadis, darah dagingnya sendiri.Langit menggeser diri ke pojok ruangan dan memalingkan wajah. Ia mencoba tidak terlibat dalam ketegangan antara Livia dan Rajendra. ia sadar diri, ini bukanlah ranahnya untuk ikut campur.Rajendra menatap bayi kecil itu dengan perasaan sedih. "Livia, aku nggak minta banyak. Aku cuma mau menggendong Gadis sekali aja, biar dia tahu kalau aku adalah ayahnya."Livia membalas tatapan Rajendra dengan sorot dingin. "Kamu bilang kamu ayahnya. Lupa apa yang kamu lakukan dulu? Kamu menuduh saya selingkuh. Kamu menolak anak ini sebagai darah dagingmu. Lalu sekarang kamu datang mengaku-ngaku sebagai ayahnya setelah saya melewati semuanya sendirian?"Rajendra tidak berani membalas kata-kata Livia ketika perempuan itu menghakiminya. Selama beberapa detik mereka terdiam. Hanya mata Rajendra yang menatap Gadis dengan pandangan sedih.
Setelah dua hari berada di rumah sakit, hari ini Livia diizinkan pulang.Sejak pergi dari rumah Rajendra, Livia tinggal di rumah yang dicarikan Langit. Rumah itu berbentuk panjang ke belakang. Rencananya setelah melahirkan dan pulih Livia akan menjadikan bagian depannya sebagai toko. Ia akan menjual hasil rajutannya di sana."Welcome home, Sayang," ucap Livia yang menggendong Gadis begitu mereka masuk ke dalam rumah.Bayi berumur tiga hari itu terlelap dalam gendongannya.Livia melangkah pelan dan hati-hati memasuki rumah tempat ia dan putrinya memulai kehidupan baru. Aroma segar dari pewangi ruangan menyeruak ke dalam penciumannya.Langit berjalan di belakang Livia membawa tas dan perlengkapan yang mereka bawah dari rumah sakit. "Hati-hati, Liv, jangan banyak gerak dulu," kata Langit lembut sambil meletakkan tas. Ia menatap Livia yang masih tampak lelah. Tapi senyum di wajahnya menunjukkan kebahagiaan.Livia mengamati ruang depan rumah yang nantinya akan disulap menjadi toko. Bebera
Livia sedang duduk di kursi sambil menyusui Gadis. Peristiwa beberapa jam yang lalu masih melekat di benaknya.Rajendra memang sudah pergi, tapi barang-barang yang ia bawa masih ada di depan rumah. Lelaki itu meninggalkannya walau Livia dengan frontal menolak.Sambil terus memberi Gadis asupannya, satu ingatan muncul di kepala Livia. Ketika Rajendra membuang foto USG Gadis dan menganggapnya sebagai sampah. Dari sanalah rasa muaknya pada Rajendra muncul yang memicunya untuk bangkit dari cengkeraman dan penindasan laki-laki itu."Liv, itu di depan kenapa banyak barang-barang bayi? Kamu belanja lagi untuk Gadis?" suara Langit yang baru saja tiba menggilas habis lamunan Livia. Livia menoleh dan menemukan wajah heran Langit."Tadi Rajendra ke sini. Dia membawa barang-barang untuk Gadis seperti yang kamu lihat.""Terus kenapa masih ada di luar? Dia nggak membantu sekalian untuk memasukkannya ke dalam rumah?" tanya Langit lagi begitu ingat keadaan Livia yang tidak mungkin membawa barang-bar
Malam telah larut ketika Rajendra tiba di rumah. Seharian itu ia melalui waktu di kantor dengan pikiran kacau balau. Pembicaraan dengan Livia tadi siang masih terus melekat di benaknya. Termasuk sorot dingin wanita itu yang menyiratkan ketegasan agar menjauh dari hidupnya.Rajendra memarkir mobilnya di halaman rumah dengan rasa lelah. Setelah ia turun, matanya langsung menangkap pemandangan yang membuatnya kaget.Di depan rumahnya tampak perlengkapan bayi yang ia beli untuk Gadis."Apa-apaan?" gerutunya kesal.Rajendra melangkah mendekat dengan deru napas yang bertambah berat. Tangannya menyentuh satu demi satu barang-barang itu seakan ingin memastikan bahwa seluruh barang ini memang barang yang ia belikan untuk putrinya. Barang-barang yang dibawanya ke rumah Livia dengan harapan akan diterima. Yang terjadi, Livia menolak itu semua. Bukan hanya menolak, tapi juga meminta orang untuk mengembalikan ke rumah Rajendra.Terdengar embusan napas panjang dari mulut Rajendra. Kedua tangannya t
Sudah dua minggu lamanya Gadis bernapas di dunia. Hampir setiap hari ada paket yang datang ke rumah melalui ekspedisi. Isinya adalah perlengkapan bayi seperti baju, selimut, dan yang lainnya. Tidak ada nama pengirim di sana. Tapi Livia yakin 100% bahwa yang mengirimnya adalah Rajendra. Kalau dulu Livia mengembalikan semua barang-barang yang diberi lelaki itu ke rumahnya, sekarang setiap ada paket yang datang berisi perlengkapan Gadis maka Livia akan membuangnya tanpa pikir panjang.Pintu rumah diketuk ketika Livia sedang merajut. Saat itu Gadis tengah tidur, jadi ia bisa memanfaatkan waktunya untuk berkarya.Livia mengembuskan napasnya. Ia curiga jangan-jangan pihak ekspedisi lagi yang datang untuk mengantar paket dari Rajendra.Meraih tongkatnya, Livia berjalan dengan terpincang-pincang untuk membuka pintu rumah. Ia sudah bersiap-siap menolak jika paket itu tanpa nama. Namun yang dilihatnya bukan tukang paket, melainkan Lola, mertua tirinya."Tante Lola?" Livia terkejut atas banyak
Rajendra berlari keluar dari apartemennya dan terus berteriak-teriak memanggil nama Livia dan Gadis. Membuat orang-orang keheranan akan tingkahnya.Tanpa alas kaki Rajendra berdiri di lobi melihat ke sekelilingnya kalau saja ada Livia. Ia juga bertanya pada sekuriti namun pria penjaga keamanan itu mengatakan padanya bahwa sejak tadi bayak orang yang keluar masuk apartemen itu dan dia tidak terlalu memerhatikannya.Rajendra mengesah kecewa. Setelah puas mencari Livia dan tetap tidak menemukan sang istri, Rajendra kembali ke unit apartemennya. Kemungkinan sekarang Livia sedang dalam perjalanan ke bandara lalu pulang ke Indonesia. Ia harus bergegas ke bandara dan mencegah Livia pergi.Rajendra menemukan Lunetta sedang menangis ketika ia tiba di unitnya."Papa ... Aku lapar. Aku mau sarapan ..." Lunetta merengek saat melihat Rajendra muncul."Ambil aja apa yang ada di kulkas, Om buru-buru," kata Rajendra yang langsung masuk ke kamar.Rajendra akan mengambil kunci mobil di nakas. Tapi sesu
Setelah Livia mengunci pintu kamar, tubuhnya lemas dan ia merosot ke lantai dengan punggung bersandar pada pintu. Tangisnya pecah dan tidak mampu lagi untuk ia tahan. Hatinya hancur berkeping-keping. Kehancurannya kali ini lebih parah dari kehancuran apa pun yang pernah ia rasakan.'Kenapa ini semua terjadi padaku?' pikir Livia sambil memeluk lututnya, membiarkan perasaan sakit menguasainya.Dari balik pintu, Livia mendengar Rajendra mengetuk dengan panik. Suaranya begitu penuh dengan permohonan. "Liv, aku mohon buka pintunya dulu. Kita bisa bicara baik-baik, Sayang "Livia menutup kedua telinganya dengan kedua telapak tangan. Ia tidak ingin mendengar apa pun dari Rajendra. Semua yang keluar dari mulut lelaki itu hanyalah dusta belaka.Kenangan demi kenangan mengenai pernikahan mereka mulai bermunculan di benak Livia bagaikan film yang diputar ulang. Janji-janji Rajendra, senyumnya yang menawan, caranya mencumbu, serta sentuhannya yang begitu lembut, saat ini terasa begitu palsu.Li
Suasana di ruangan itu mendadak mencekam. Pernyataan Sharon membuat Livia mengernyitkan dahinya dan menatap Rajendra dengan sorot penuh tanda tanya."Maksudnya apa, Ndra? Kenapa dia bilang kamu akan kabur dari dia?" tanya Livia dengan perasaan tidak enak.Rajendra tidak sanggup berkata sepatah kata pun, seperti ada gumpalan besar yang menyumbat tenggorokannya."Livia, aku bisa jelasin nanti. Kita bicara berdua, Sayang," ucap Rajendra akhirnya tanpa bisa menyembunyikan rasa panik di wajahnya.Mendengarnya, membuat Sharon tertawa kecil. "Dia memang selalu mengatakan itu, Liv. Nanti, sebentar, besok dan banyak lagi lainnya. Padahal dia hanya ingin lari dari masalah.""Masalah apa?" Livia menatap Sharon dengan tatapan menusuk. "Boleh aku bicara?" Sharon pura-pura meminta izin."Bicaralah," jawab livia tidak sabar."Oke. Tapi aku tidak tahu harus mulai dari mana." Lalu Sharon menatap Rajendra. "Aku harus mulai dari mana ya, Ndra? Apa semuanya harus kuceritakan?"Rajendra menggeram kesal n
Livia dan Rajendra mulai berbenah barang-barang mereka. Lusa mereka akan pulang ke Indonesia.Sebenarnya Livia masih ingin berada lebih lama di Ohio, tapi alasan yang disampaikan Rajendra membuatnya menyerah pada keinginan lelaki itu.Jauh di dalam hatinya Rajendra merasa bersalah. Uangnya masih banyak untuk biaya hidup di Ohio. Ia hanya ingin lari dari semua kenyataan ini. Ia tidak ingin Livia tahu fakta mengenai Lunetta yang merupakan darah dagingnya.Sementara itu Sharon terus mendesak. Lantaran Rajendra tidak mau menjawab panggilan darinya setiap kali Sharon menelepon, wanita itu memborbardirnya dengan pesan."Rajendra sayang, aku tidak bisa menunggu sampai enam hari lagi. Kepalaku semakin sering sakit. Dokter bilang aku harus dirawat di rumah sakit untuk sementara waktu. Bagaimana dengan Lunetta? Apa aku harus mengantarnya ke apartemenmu?"Rajendra mendengkus membaca pesan itu lalu dengan kasar menghentakkan jarinya di layar gawai."Aku bilang tunggu dulu. Enam hari lagi nggak la
Rajendra mengemudikan mobilnya pulang dengan perasaan kacau. Amplop hasil tes DNA tergelak di dashboard, seakan menjadi pengingat atas kesalahan dan kebohongan yang selama ini ia simpan. Wajah Sharon dan Lunetta terus berkelindan di pikirannya. Tapi bayangan Livia yang tersenyum lembut selalu muncul di atas segalanya.Setibanya di hunian mereka Livia ternyata sudah pulang. Perempuan itu tersenyum ceria."Ndra, kata dokter Justin progress aku sudah 95%. Sebentar lagi aku bisa jalan kayak kamu, Ndra.""Syukurlah, Sayang," jawab Rajendra sambil memaksakan sebuah senyuman sambil menahan kecamuk di dadanya."Tadi kamu jalan-jalan ke mana sama Gadis?""Aku ajak dia ke playground. Dia happy di sana. Sampai nggak mau pulang," dusta Rajendra."Iya ya, Nak?" Livia terkikik sambil menggelitik Gadis yang membuatnya tertawa.Rajendra menatap interaksi ibu dan anak itu yang begitu bahagia. Akankah kebahagiaan tersebut tetap ada setelah Livia tahu kenyataan yang sebenarnya? ***Malamnya Rajendra me
"Ndra, tahu nggak, dokter aku udah ganti lagi. Namanya dokter Justin. Dia yang bakal menangani aku sampai sembuh. Dia bilang sebentar lagi aku bisa berjalan."Baru saja Rajendra tiba di apartemen ia disambut oleh ocehan Livia yang tampak begitu ceria.Rajendra terdiam sesaat. Ini membuatnya bingung. Dokter Hailey bilang kesempatan Livia untuk berjalan normal lagi sangat kecil, tapi dokter Justin mengatakan sebaliknya. Apa ini bukan hanya untuk menambah semangat Livia saja?"Ndra, kok diam?" Livia mengguncang tangan Rajendra yang terpaku."Eh, iya, Sayang. Aku ikut senang." Rajendra tersenyum kikuk. "Aaa ... aku udah nggak sabar. Coba deh kamu lihat."Livia kemudian melangkah di hadapan Rajendra setapak demi setapak. Rajendra memerhatikannya. Livia memang masih pincang tapi tidak separah dulu."Gimana, Ndra?" tanyanya setelah melakukan 'pertunjukan' berjalannya di hadapan Rajendra."Hebat, Sayang. Pincangnya udah nggak terlalu kelihatan. Aku yakin ini memang nggak bakal lama." Raje
Rajendra bangun lebih cepat dari Livia. Ia lalu duduk di pinggir tempat tidur sambil menatap kosong ke arah jendela yang tirainya masih tertutup rapat.Livia masih pulas dalam tidurnya. Ekspresinya begitu tenang seolah tidak ada masalah yang membebani hidup mereka.Tapi lain halnya bagi Rajendra. Hari ini terasa bagaikan medan perang.Rajendra mengisi paru-parunya dengan udara baru lalu melangkah keluar kamar dengan hati-hati agar tidak membangunkan Livia.Ia melangkah ke dapur, menuang segelas air putih lalu meneguknya. Setelahnya ia duduk di kursi meja makan dengan kepala tertunduk.Pikirannya mengelana tentang tes DNA hari ini. Wajah Lunetta muncul tiba-tiba, disusul oleh tawa manis Gadis dan senyum lembut Livia. Skenario terburuk tentang bagaimana reaksi Livia jika semua ini terungkap terus mengejarnya.Mengusap wajah dengan kasar, Rajendra bangkit dari duduknya. Ia harus membantu Livia membuat sarapan untuk Gadis.Rajendra menyibukkan dirinya di dapur membuat mashed potato untuk
Rajendra membeku di bangku taman setelah Sharon pergi. Wajahnya tegang, sorot matanya kosong. Udara dingin semakin menusuk kulit tetapi tidak ia rasakan. Yang ada hanyalah suara-suara yang bergema di kepalanya dan menyiksa batinnya tanpa henti. 'Lunetta anak gue? Apa memang itu faktanya? Tapi kenapa bisa?' Rajendra mendengkus menertawakan kebodohannya sendiri. Bagaimana bisa ia seceroboh itu? 'Kalau memang semua ini benar, gue mesti ngapain?' Wajah lembut Livia melintas tepat di depan matanya. Livia telah melalui begitu banyak hal bersamanya. Tidak hanya rasa sakit fisik tapi juga luka batin yang mungkin saat ini belum sembuh sepenuhnya. Rajendra baru saja mendapat kepercayaan dari Livia. Lantas bagaimana ia harus menjelaskan semua ini pada Livia? Bagaimana caranya mengatakan pada Livia bahwa Sharon adalah mantannya dan mereka memiliki seorang anak gara-gara hubungan di masa lalu? Sungguh, Rajendra tidak sanggup untuk berterus terang. Rajendra tidak ingin kehilangan Livia. R
Rajendra memandang arlojinya yang melingkar di pergelangan kiri. Sudah lima belas menit lamanya ia menunggu di sebuah taman kecil di dekat danau. Udara dingin menerpa kulit. Daun-daun berguguran menutupi jalan setapak. Rajendra duduk di bangku taman di dekat pohon dengan tangan dimasukkan ke dalam saku jaketnya. Tatapannya begitu gelisah. Ketika ia bermaksud mengambil ponsel untuk menghubungi orang yang akan bertemu dengannya saat ini, terdengar langkah kaki mendekat. Sharon muncul. Wanita itu mengenakan mantel panjang berwarna coklat. Wajahnya tampak pucat. Ia berjalan pelan ke arah Rajendra dengan sebuah tas tersampir di bahunya. "Hai, Ndra, long time no see," ucapnya sambil tersenyum. "Langsung saja, Sha. Kamu ingin bicara apa?" balas Rajendra dengan nada dingin. Ia tidak ingin berlama-lama berurusan dengan Sharon. "Kamu nggak mau menyilakanku duduk dulu?" "Kamu bisa duduk sendiri kalau kamu mau." Nada suara Rajendra masih sedingin tadi. Sharon tersenyum getir melihat R