Livia sedang duduk di kursi sambil menyusui Gadis. Peristiwa beberapa jam yang lalu masih melekat di benaknya.Rajendra memang sudah pergi, tapi barang-barang yang ia bawa masih ada di depan rumah. Lelaki itu meninggalkannya walau Livia dengan frontal menolak.Sambil terus memberi Gadis asupannya, satu ingatan muncul di kepala Livia. Ketika Rajendra membuang foto USG Gadis dan menganggapnya sebagai sampah. Dari sanalah rasa muaknya pada Rajendra muncul yang memicunya untuk bangkit dari cengkeraman dan penindasan laki-laki itu."Liv, itu di depan kenapa banyak barang-barang bayi? Kamu belanja lagi untuk Gadis?" suara Langit yang baru saja tiba menggilas habis lamunan Livia. Livia menoleh dan menemukan wajah heran Langit."Tadi Rajendra ke sini. Dia membawa barang-barang untuk Gadis seperti yang kamu lihat.""Terus kenapa masih ada di luar? Dia nggak membantu sekalian untuk memasukkannya ke dalam rumah?" tanya Langit lagi begitu ingat keadaan Livia yang tidak mungkin membawa barang-bar
Livia mencengkeram sprei di sisi badannya. Napasnya sesak akibat mencoba menahan bobot tubuh Rajendra yang berada di atasnya. Lelaki itu terus bergerak. Menghujam dengan kencang dan menghentak dengan cepat. Membuat Livia melenguh kesakitan. Namun, apa Rajendra peduli? Tentu tidak. Lelaki itu sibuk menikmati sendiri tanpa mau tahu perasaan Livia. Hujaman tajam terus diberikan, hentakan demi hentakan Livia terima. Hanya lirihan perih yang terus terlontar dari bibirnya. Sampai tubuh Rajendra mengejang. Lelaki itu mendapat pelepasannya. Beberapa detik setelah sensasi itu pergi Rajendra menarik diri. Ia buru-buru mengenakan pakaiannya. "Pergi! Tidur di sofa!" perintah lelaki itu pada Livia yang masih berbaring di tempat tidur. Suaranya sedingin tatapannya. Livia cepat mengenakan pakaiannya atau Rajendra akan marah. Diambilnya tongkat yang tersandar di sisi tempat tidur kemudian berjalan terpincang-pincang menuju sofa. Di sanalah Livia tidur setiap malam. Lebih tepatnya sejak i
Betapa terkejutnya Livia mendengar pengakuan perempuan yang kemudian ia ketahui bernama Utary itu.Bagaimana bisa perempuan itu hamil? Apa itu artinya Rajendra sudah mengkhianati Livia?Dengan hatinya yang hancur Livia menahan air matanya di depan Utary. Ia tidak boleh menangis menunjukkan kelemahannya."Nggak mungkin kamu mengandung anak Rajendra. Suami saya orangnya sangat setia. Dia nggak mungkin mengkhianati saya. Tolong jangan menipu.""Aku nggak menipu. Anak ini memang anak Rajendra. Kami melakukannya atas dasar perasaan cinta," ucap Utary bangga. "Justru aku yang harusnya meragukan kamu. Perempuan seperti kamu istrinya Rajendra? Nggak mungkin!" Utary memindai sekujur tubuh Livia dari puncak kepala hingga bawah kaki, menunjukkan betapa tidak percayanya dia. Perempuan itu terkejut ketika melihat Livia bertumpu pada sebuah tongkat. "Nggak mungkin kamu istrinya. Kamu hanya pembantu di rumah ini kan?" hinanya dengan pandangan merendahkan."Saya bukan pembantu. Saya istri Rajendra ya
Suara yang ditimbulkan kotak makan membuat Rajendra dan wanitanya terkejut. Keduanya sontak memisahkan diri setelah tadi larut dalam ciuman panas yang membara.Rajendra menggeram kesal menyadari Livialah yang datang. Apalagi perempuan itu langsung membuka pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Tadi saking asyik berciuman ia tidak tahu bahwa Livia sudah mengetuk pintu."Mau apa?" tanya lelaki itu dingin pada Livia yang berdiri membatu.Segala pertanyaan yang tersusun runut di benak Livia buyar begitu saja mengetahui perbuatan Rajendra dan wanita yang berciuman dengannya adalah Utary."Kamu lagi!" seru Utary jengkel. "Ndra, kenapa kamu biarkan perempuan itu datang ke sini? Tadi di rumah kamu dia mengaku-ngaku jadi istrimu. Tapi Tante Marina bilang dia hanya pembantu. Jadi mana yang benar?""Ya, dia hanya pembantu," kata Rendra menjawab sambil memandang Livia dengan tatapannya yang tajam. Ia benci Livia yang selalu saja datang ke kantornya untuk mengantar makanan.Hancur sudah hati Liv
Livia tidak punya tempat untuk berteduh. Ingin menginap di hotel tapi ia tidak punya uang lebih. Rajendra membatasi uang belanjanya yang hanya cukup untuk keperluan Livia sehari-hari. Jadi, Livia terpaksa pulang ke rumahnya setelah seharian ini berada di luar. Kepulangan Livia disambut oleh wajah masam mertuanya. "Dari mana kamu? Seharian keluar rumah sesukamu. Kamu pikir kamu siapa yang bisa seenaknya keluar masuk rumah ini?" "Maaf, Bu, tadi saya ke kantor mengantar makan siang untuk Rajendra." "Itu tadi siang. Apa kamu nggak tahu kalau sekarang sudah malam?" Livia hanya bisa menunduk mendengar perkataan mertuanya. Ia pikir dengan tidak meladeni Marina perempuan itu menganggap masalah selesai sampai di sana. Nyatanya Livia salah. Marina terus menyalahkannya. "Oh, jadi selain pincang kamu juga tuli sekarang?" kesalnya lantaran Livia tidak merespon perkataannya. Livia mengangkat wajah, mempertemukan tatapannya dengan sang mertua. "Maaf, Bu, saya salah," akunya tidak ingin
"Jangan harap. Itu nggak akan pernah terjadi. Bukan karena aku mencintai kamu, tapi karena aku ingin melihatmu menderita seperti yang selama ini kurasakan." Perkataan Rajendra kemarin malam yang menolak untuk menceraikannya terus terngiang-ngiang oleh Livia dan terbawa sampai hari ini. Livia tidak habis pikir. Bagaimana mungkin Rajendra bisa menderita? Lelaki itu mendapat apa pun dari Livia. Setiap kali Rajendra menginginkan tubuhnya Livia selalu bersedia. Pernah saat Livia sedang sakit ia tetap melayani Rajendra lantaran lelaki itu terus memaksa. Jadi, kalau pun ada yang menderita di dalam pernikahan ini, Livia adalah satu-satunya. Tapi, pernahkah Rajendra menyadari akan hal itu? "Aww!!!" Livia terpekik kesakitan. Akibat melamun tangannya jadi ikut teriris bersama bawang. Livia segera membersihkan jarinya yang berdarah dengan air di wastafel. Namun darahnya tetap keluar. Tadi ia mengiris terlalu kuat sehingga lukanya ikut dalam. 'Aku harus beli obat merah atau plester,' pik
Livia menatap lembaran uang yang dilempar Rajendra ke hadapannya dengan tatapan memburam akibat sepasang matanya yang berselimut kabut air mata. Hatinya sedih lantaran cara Rajendra memperlakukannya dan hanya menilainya sebatas uang. "Kenapa diam? Masih kurang uangnya? Berapa lagi yang kamu butuh, hah?" Rajendra membuka lagi dompetnya, mengambil kembali sejumlah uang dari sana, melemparnya ke muka Livia. "Kenapa kamu jahat sama saya, Ndra? Salah saya apa?" tanya Livia lirih dengan air mata yang hampir berderai. Rajendra berdecih. "Masih bisa bertanya salahmu apa?" "Saya memang nggak tahu, Ndra." "Itu karena kamu bodoh!" sergah Rajendra melampiaskan segala sakit hatinya. "Sekarang suruh orang itu pergi. Aku nggak mau ngeliat dia menginjakkan kaki di rumahku lagi!" Livia cepat menggelengkan kepalanya. "Saya sudah terlanjur menerima uang dari Pak Ryuga," dustanya. Yang sebenarnya ia belum menerima sepeser pun dari Ryuga. Mereka baru sekadar berkenalan. "Kembalikan!" Kata be
"Selamat malam, Bu Livia, saya mengantar Hazel les," kata Ryuga setelah Livia muncul dan duduk di hadapannya."Selamat malam, Pak Ryuga," jawab Livia ramah. Ekspresinya begitu ceria. Tidak ada yang tahu jika sesaat yang lalu Livia baru bertengkar hebat dengan suaminya. "Hazel silakan ditinggal ya, Pak. Nanti Bapak bisa jemput satu setengah jam lagi," sambung perempuan itu."Baiklah, Bu." Ryuga lantas berdiri, bersiap untuk pergi."Papa, jangan telat jemput aku ya, Pa," kata Hazel sebelum ayahnya meninggalkannya dengan Livia."Tentu, Sayang, Papa akan tepat waktu," janji pria itu.Sepeninggal Ryuga, Livia mengajak Hazel ke ruangan lain yang berada tepat di depan kamarnya. Di sanalah aktivitas belajar mengajar diselenggarakan.Hari pertama Livia mengajarkan matematika. Tadi Ryuga sempat bercerita padanya bahwa sang putri lemah dalam bidang pelajaran itu."Hazel, Bu Livia tinggal sebentar ya. Sekarang coba kamu kerjakan soal-soal ini dari nomor satu sampai sepuluh," kata Livia memberi in
Livia sedang duduk di kursi sambil menyusui Gadis. Peristiwa beberapa jam yang lalu masih melekat di benaknya.Rajendra memang sudah pergi, tapi barang-barang yang ia bawa masih ada di depan rumah. Lelaki itu meninggalkannya walau Livia dengan frontal menolak.Sambil terus memberi Gadis asupannya, satu ingatan muncul di kepala Livia. Ketika Rajendra membuang foto USG Gadis dan menganggapnya sebagai sampah. Dari sanalah rasa muaknya pada Rajendra muncul yang memicunya untuk bangkit dari cengkeraman dan penindasan laki-laki itu."Liv, itu di depan kenapa banyak barang-barang bayi? Kamu belanja lagi untuk Gadis?" suara Langit yang baru saja tiba menggilas habis lamunan Livia. Livia menoleh dan menemukan wajah heran Langit."Tadi Rajendra ke sini. Dia membawa barang-barang untuk Gadis seperti yang kamu lihat.""Terus kenapa masih ada di luar? Dia nggak membantu sekalian untuk memasukkannya ke dalam rumah?" tanya Langit lagi begitu ingat keadaan Livia yang tidak mungkin membawa barang-bar
Setelah dua hari berada di rumah sakit, hari ini Livia diizinkan pulang.Sejak pergi dari rumah Rajendra, Livia tinggal di rumah yang dicarikan Langit. Rumah itu berbentuk panjang ke belakang. Rencananya setelah melahirkan dan pulih Livia akan menjadikan bagian depannya sebagai toko. Ia akan menjual hasil rajutannya di sana."Welcome home, Sayang," ucap Livia yang menggendong Gadis begitu mereka masuk ke dalam rumah.Bayi berumur tiga hari itu terlelap dalam gendongannya.Livia melangkah pelan dan hati-hati memasuki rumah tempat ia dan putrinya memulai kehidupan baru. Aroma segar dari pewangi ruangan menyeruak ke dalam penciumannya.Langit berjalan di belakang Livia membawa tas dan perlengkapan yang mereka bawah dari rumah sakit. "Hati-hati, Liv, jangan banyak gerak dulu," kata Langit lembut sambil meletakkan tas. Ia menatap Livia yang masih tampak lelah. Tapi senyum di wajahnya menunjukkan kebahagiaan.Livia mengamati ruang depan rumah yang nantinya akan disulap menjadi toko. Bebera
Rajendra tersentak mendengar perkataan Livia. Hatinya tersayat-sayat.Om Rajendra, bukan Ayah atau Papa.Sebutan itu memisahkannya dari Gadis, darah dagingnya sendiri.Langit menggeser diri ke pojok ruangan dan memalingkan wajah. Ia mencoba tidak terlibat dalam ketegangan antara Livia dan Rajendra. ia sadar diri, ini bukanlah ranahnya untuk ikut campur.Rajendra menatap bayi kecil itu dengan perasaan sedih. "Livia, aku nggak minta banyak. Aku cuma mau menggendong Gadis sekali aja, biar dia tahu kalau aku adalah ayahnya."Livia membalas tatapan Rajendra dengan sorot dingin. "Kamu bilang kamu ayahnya. Lupa apa yang kamu lakukan dulu? Kamu menuduh saya selingkuh. Kamu menolak anak ini sebagai darah dagingmu. Lalu sekarang kamu datang mengaku-ngaku sebagai ayahnya setelah saya melewati semuanya sendirian?"Rajendra tidak berani membalas kata-kata Livia ketika perempuan itu menghakiminya. Selama beberapa detik mereka terdiam. Hanya mata Rajendra yang menatap Gadis dengan pandangan sedih.
Rajendra cuma bisa berdiri di depan pintu ruang bersalin yang tertutup rapat. Perasaan tidak karuan menghantamnya dari segala arah.Ia menyandarkan punggungnya ke dinding dengan tangan terkepal erat. Tatapannya kabur, bukan karena ia rabun, tetapi karena menahan air mata agar tidak jatuh.Dirinya laki-laki. Pantang baginya untuk menangis, namun ini terlalu menyakitkan. Dirinya yang punya anak dan akan menjadi bapak, tetapi kenapa orang lain yang harus mendampingi istrinya?Di dalam ruangan bersalin terdengar samar suara Livia yang mengerang menahan sakit. Ingin rasanya Rajendra menerobos masuk ke dalam ruangan itu dan mengatakan bahwa dirinyalah yang berhak mendampingi Livia, bukan Langit. Lola kemudian mendekat. Disentuhnya bahu Rajendra dengan lembut. "Nggak usah sedih, Ndra. Jangan pernah lupakan, sakit yang kamu rasakan nggak ada apa-apanya dengan yang dirasakan Livia dulu.""Tapi ini kelewatan, Tante. Aku yang seharusnya berada di sana, bukan laki-laki lain," lirih Rajendra putu
Napas Livia tertahan. Dadanya langsung sesak begitu melihat sosok yang telah ia coba lupakan berdiri tidak jauh dari tempatnya.Rajendra terlihat berbeda. Sosoknya lebih kurus dan wajahnya tampak lelah.Langit yang memerhatikan ekspresi Livia memegang tangannya dengan erat. "Kita pergi ke arah lain atau tunggu sampai mereka selesai?" tanyanya.Livia menggerakkan kepalanya ke arah Langit. "Kita hadapi saja. Mungkin sudah saatnya saya ketemu sama mereka.""Kamu yakin?"Livia mengangguk penuh keyakinan. Perutnya kembali ditendang dari dalam, membuatnya meringis kesakitan.Tangisan keras Randu tiba-tiba terdengar. Tangisan yang pernah mengisi hari-hari Livia. Membuat Livia tanpa sadar melangkah ke arah mereka. Dan Langit tidak sempat mencegah.Rajendra memandang ke sumber suara langkah yang menghampirinya. Kedua matanya refleks melebar ketika menyaksikan wanita yang selama ini ia cari ada di dekatnya. Seluruh badannya gemetar. Ia ingin melafalkan nama wanita itu tapi suaranya tercekat."L
Pertanyaan ibu tirinya tentang sang istri seolah melempar pukulan tidak kasat mata pada Rajendra.Livia. Nama itu membuat dadanya sesak. Ia menunduk, menghindari tatapan Lola padanya. Sedangkan Erwin yang masih berdiri dengan tangan berkacak pinggang mendengkus keras."Liv ... Livia--" Rajendra membuka mulut tetapi kata-katanya terhenti begitu saja."Kenapa, Ndra? Livia baik-baik aja kan?" Lola bertanya lagi dengan penuh rasa ingin tahu."Livia nggak di rumah, Tante," jawab Rajendra pada akhirnya dengan suara seperti bisikan.Lola terlihat kaget. "Maksud kamu apa? Livia ke mana? Kenapa nggak ada di rumah?"Rajendra telan salivanya. Ia mencoba mengumpulkan keberanian untuk menjawab. "Livia ... pergi, Tante. Waktu itu aku salah paham tentang dia. Dan akhirnya dia pergi dari rumah."Erwin yang mendengarkan keterangan Rajendra spontan menggebrak meja di hadapannya. "Apaan lu, Ndra? Cewek yang benar malah lu usir, yang nipu malah lu sayang-sayang. Otak lu ditaruh di mana, hah? Atau jangan-
Akhirnya malam itu Rajendra membawa Randu kembali bersamanya. Sepanjang malam ia hampir tidak bisa tidur memikirkan keputusan besar yang yang telah diputuskannya.Membiarkan Randu tetap bersamanya sama artinya dengan berkomitmen ia akan mengurus, menjaga dan merawat anak itu. Ia akan menjadi bapak dari anak itu.Keesokan harinya Rajendra terbangun dengan kepala berat, sebab ia hanya tidur beberapa jam saja. Randu sudah terbangun lebih dulu. Anak itu mengoceh sendirian sambil mencolek-colek tangan Rajendra."Hai, kamu mau bangunin Papa ya?"Randu terus mengoceh tanpa tahu kekalutan hati Rajendra."Papa harus kerja hari ini. Di rumah ini nggak ada siapa-siapa. Papa juga belum sempat nyari pengasuh buat kamu. Dan kamu nggak mungkin Papa tinggalin sendiri di rumah."Rajendra menghela napas panjang memikirkan segala keruwetan itu. Ia tidak mungkin membawa Randu ke kantor. Para pegawainya pasti heboh. Ia juga tidak yakin mendapatkan pengasuh secepat ia mendapatkan Asih dulu."Coba kalau ada
"Persetan dengan semuanya. Anak ini bukan anak gue. Gue nggak ada sangkut pautnya sama dia. Dia cuma bakal jadi beban buat gue. Masalah gue udah banyak, gue nggak mau nambah lagi." Itulah kesimpulan Rajendra setelah mempertimbangkan apakah akan meletakkan Randu ke panti asuhan.Randu membelokkan mobilnya ke apartemen. Ia akan mengambil perlengkapan Randu di sana seperti pakaian, selimut dan susu. "Shit!" makinya ketika sepatunya menginjak pecahan kaca besar yang hampir membuatnya tersandung.Sejak ngamuk waktu itu Rajendra membiarkan apartemennya porak poranda. Nggak ada gunanya juga dibersihkan.Ia menendang pecahan kaca di lantai dengan jengkel, yang membuat bunyi berderak, memecah keheningan apartemen. Tempat yang kacau balau tersebut lebih mirip dengan area perperangan ketimbang sebagai kediaman. Serpihan-serpihan kaca, potongan-potongan foto, dan barang yang berserakan di mana-mana menjadi reminder kemarahannya beberapa hari yang lalu.Rajendra membawa langkahnya menuju kamar u
Sudah tiga hari pasca operasi Randu dirawat di rumah sakit. Hari ini anak itu sudah boleh dibawa pulang. Tapi Rajendra masih bingung. Ia tidak tahu akan membawa Randu ke mana. Sebenarnya Rajendra bisa saja meninggalkan Randu di rumah sakit, tapi pasti pihak rumah sakit akan mencarinya karena data-data Rajendra sebagai orang tua Randu tercantum di sana.Rajendra memandang Randu yang terbaring di ranjang rumah sakit. Anak itu begitu kecil dan rapuh. Kalau ingin mengikuti keegoisan hatinya Rajendra bisa saja membuangnya di jalan."Mau gue bawa ke mana anak ini?" Rajendra bergumam dalam kebingungan. Ia sudah mencoba mencari Utary dengan menghubungi teman-teman perempuan itu. Namun tidak satu pun yang mengetahui keberadaan Utary. Atau mungkin mereka berbohong? Entahlah."Pak Rajendra," suara pelan seorang perawat mengeluarkan Rajendra dari lamunannya.Rajendra menoleh."Apa sudah ada yang akan menjemput atau mengantar Bapak dan Randu pulang ke rumah?"Rajendra termangu dalam keterdiaman.