Livia duduk di ruang tunggu poli anak Alva Hospital dengan Gadis di dalam dekapannya. Wajah Livia terlihat tegang, pikirannya juga terusik. Sejak tadi beberapa kali ia merasa seperti sedang diawasi, namun tidak menemukan siapa pun yang mencurigakan. Diusapnya kepala Gadis yang tertidur pulas. Anak itu tampak begitu damai. Ia tidak tahu pada kekacauan yang terjadi di sekitarnya. "Livia!" Dengan refleks Livia menoleh. Di detik itu jantungnya seperti hampir terlepas dari rongganya ketika menyaksikan Rajendra berdiri di ambang ruang tunggu. Kedua mata lelaki itu menatapnya dengan lekat. Lalu dengan mantap langkahnya mendekat. "Rajendra ...," suara Livia begitu lirih dan hampir tidak terdengar. "Gimana kamu bisa--" "Ya aku tahu kamu ada di sini," sela Rajendra memutus perkataan Livia lalu duduk di sebelahnya. "Aku cuma mau kita bicara baik-baik. Aku nggak akan macam-macam," ucapnya dengan wajah terpaku di wajah Livia. Livia mendekap Gadis dengan lebih erat. Tubuhnya terasa kak
Livia susah payah menahan geram di saat melihat Rajendra masih berdiri di dekat pintu seperti seorang bodyguard.Livia sadar, semakin lama ia berada di sana semakin besar kemungkinan Rajendra mengejarnya.Menarik napas panjang, Livia memikirkan cara agar bisa pergi tanpa Rajendra yang terus membuntutinya.Sayangnya kondisi fisik Livia tidak mengizinkannya untuk berlari. Ia hanya bisa berjalan ke dalam lift. Dan seperti yang ia duga Rajendra mengikutinya."Tunggu aku, Livia!" panggil Rajendra. Tapi Livia tidak merespon. Ia terus berjalan dengan langkah tertatih.Livia menekan tombol lift dan menanti pintu terbuka. Ketika lift tiba ia masuk dengan cepat. Seperti yang bisa ditebak Rajendra juga ikut masuk. Livia menghentikannya."Jangan ikuti saya, Ndra. Saya ingin sendiri.""Aku hanya ingin memastikan kalian aman," balas Rajendra."Saya dan Gadis aman. Kamulah yang membuat kami jadi nggak nyaman. Jadi pergilah."Dengan perlahan pintu lift tertutup. Dan Rajendra tetap berada di dalam. Be
Sepeninggal Livia Rajendra termenung. Walaupun belum bisa menaklukkan Livia tapi ia senang melihat perempuan itu melunak karena janji pengobatannya tadi. Rajendra tidak main-main dengan ucapannya. Kalau Livia setuju ia akan langsung membawa perempuan itu berobat. Selanjutnya pikiran Rajendra tertuju pada perdebatan dengan Livia di ruang tunggu poli anak, mengenai nafkah. Rajendra baru sadar ia tidak memberikan sepeser uang pun pada Livia untuk biaya hidupnya dan Gadis. 'Wanita menyukai uang. Dia pasti takluk kalau aku kasih uang,' bisiknya di dalam hati. Tanpa berpikir panjang Rajendra membuka aplikasi M-banking di ponselnya. Ia mengetikkan sejumlah angka dengan nominal yang besar. Dalam sekejap mata uang sebesar seratus juta rupiah berpindah dari rekeningnya ke rekening Livia. Tanpa sadar bibir Rajendra menyimpul senyum. Setelah Livia kembali dari toilet nanti ia akan mengatakannya. Ia yakin Livia akan melunak dan jalannya untuk kembali pada perempuan itu akan terbuka lebar.
Di dalam butik tersebut Rajendra menemukan Utary sedang mencoba sebuah kalung berlian mahal. Di samping perempuan itu Indra berdiri memuji kecantikan Utary."Kalungnya cantik banget, Tar.""Jadi cuma kalungnya doang nih yang cantik?" Utary pura-pura merajuk sambil menatap Indra dengan manja.Indra tertawa. "Dua-duanya dong. Ya kalungnya, ya orangnya. Tapi kalungnya jauh lebih cantik kalau kamu yang pakai. Kalau orang lain yang pakai belum tentu akan secantik ini."Utary tersipu-sipu mendengar pujian yang dilayangkan Indra padanya. "Pasti harganya mahal," ucapnya sambil menyentuh kalung itu dengan jemarinya.Rajendra yang sudah tidak tahan lagi menahan emosi, menampakkan dirinya di depan kedua manusia itu."Kalung itu memang mahal, bahkan sangat mahal. Tapi harga diri lo ternyata jauh lebih murah dari yang gue pikir."Utary dan Indra sama terkejutnya. Wajah Utary memucat ketika melihat Rajendra berdiri di depan mereka dengan tatapan tajam."Ra ... jendra ..." Utary tergagap. "Eh, lo d
Utary terduduk di lantai memegangi pergelangan kakinya yang terasa nyeri. Matanya mencari Indra, tetapi lelaki itu sudah menghilang di antara keramaian.Air mata yang sejak tadi ditahannya agar tidak tumpah akhirnya meleleh juga, bercampur dengan perasaan malu dan frustrasi.Rajendra masih berdiri di dekat Utary, menyaksikan pemandangan tersebut dengan ekspresi tanpa belas kasih. Tangannya bersedekap di dada, matanya menatap dingin ke arah wanita yang dulu pernah menjadi bagian hidupnya."Kenapa masih duduk di sana? Udah nggak sanggup berdiri?" ujar Rajendra mengejek.Utary mendongak dan menatap Rajendra dengan matanya yang basah. "Kamu nggak bakal ngerti perasaanku, Ndra."Rajendra tertawa mendengarnya. Sebuah kekehan yang lebih menyerupai cemoohan. "Gue nggak ngerti lo bilang? Ya emang gue nggak ngerti. Sekarang bilang ke gue siapa bapaknya Randu? Gue perlu tahu."Utary menggeleng pelan. Air matanya mengucur semakin kencang. "Aku nggak tahu, Ndra," lirihnya nyaris tak terdengar.Dah
Setelah dua hari berada di Singapura, Rajendra pulang ke Indonesia dengan membawa berbagai perasaan.Pengkhianatan Utary serta fakta yang ditemuinya mengenai perempuan itu membuat penyesalannya pada Livia menjadi semakin dalamSetelah tiba di bandara Geri sudah menunggu. Rajendra menyuruh menjemputnya. Sedangkan Tasia pulang naik taksi."Ke rumah Papi," kata Rajendra setelah mereka meninggalkan area bandara."Baik, Pak," jawab Geri.Rajendra bukan ingin bertemu dengan Erwin ataupun Lola. Ia hanya rindu pada Randu. Setelah fakta mengejutkan yang membuatnya syok ia menjadi sangat kasihan pada anak itu. Ia tidak akan pernah mengizinkan Randu hidup dengan perempuan seperti Utary."Pak, selama Bapak pergi saya sudah coba mencari ibu Livia," lapor Geri dari balik kemudi."Nggak usah dicari dulu. Biarin aja."Jawaban Rajendra membuat Geri mengerutkan keningnya. Biasanya Rajendralah yang paling antusias tapi kali ini tampak tidak bersemangat."Kenapa begitu, Pak?" tanya Geri penasaran."Saya
Di dalam taksi yang membawanya pulang Livia melihat buku tabungannya. Transaksi 100 juta itu terjadi tepat di hari Livia bertemu Rajendra di rumah sakit beberapa hari yang lalu. Namun kala itu Rajendra tidak mengatakan apa-apa padanya.Bagi Livia seratus juta adalah jumlah yang begitu besar. Dadanya bergejolak. Ia merasa terkejut, marah dan juga bingung.Apa maksud Rajendra mengirim uang itu? Apa Rajendra ingin membelinya dengan uang itu?Apa itu sebagai tanda permintaan maaf? Apa Rajendra pikir Livia bisa dibeli dengan uang?Livia tidak yakin tapi ia tidak suka dengan cara ini.Livia akan sangat marah dan tersinggung jika memang itu tujuan Rajendra.Setibanya di rumah Livia langsung membuka baby carrier. Ia meletakkan Gadis di atas tempat tidur. Kemudian Livia mengambil ponselnya. Ia termenung sesaat sebelum mengaktifkan SIM card 1 dan membuka blokiran Rajendra.Ia mengetikkan pesan ke lelaki itu."Saya nggak butuh uangmu, Rajendra. Jika ini caramu agar saya mau memaafkanmu, kamu s
Cici menyadari kebimbangan di wajah Livia. Gadis itu pun mencoba meyakinkan mantan pasien yang pernah ditanganinya."Mbak, saya tahu mungkin saja saat ini banyak hal yang menyita waktu dan pikiran Mbak. Tapi percayalah, Mbak, fisioterapi itu bukan hanya soal fisik tapi juga tentang kepercayaan diri. Kalau Mbak Livia rajin terapi, kaki Mbak akan pulih. Mbak akan bisa berjalan normal seperti sebelum kecalakaan itu."Livia menerbitkan senyum tipis dari bibirnya. "Terima kasih, Ci, tapi saya belum tahu kapan bisa meluangkan waktu untuk fisioterapi lagi. Apalagi sekarang saya sedang punya bayi."Mata Cici refleks terpaku pada bayi mungil yang berada di dalam gendongan Livia. "Jadi ini anak, Mbak? Dia cantik kayak Mbak Livia.""Terima kasih, Ci," jawab Livia atas pujian itu.Perbincangan keduanya terhenti sesaat ketika seseorang masuk ke dalam toilet."Mbak, ini nomor handphone saya. Kalau Mbak berubah pikiran hubungi saya ya. Nggak usah sungkan." Cici memberi kartu namanya pada Livia."Ter
"Kok aku bawaannya pengen nyium celana dalam kamu terus ya, Liv?" "Apa sih, Ndra?" Livia mendelik malu, mukanya sedikit memerah."Iya, Sayang, aku serius," jawab Rajendra sungguh-sungguh. "Sini!" Rajendra merenggut celana dalam bekas pakai Livia setelah Livia membukanya. Saat itu mereka akan mandi berdua.Livia terpaksa memberikannya pada Rajendra. Lelaki itu langsung mencium dan menjilatinya tepat di bagian kewanitaan Livia."Astaga, Ndra!" Livia geleng-geleng kepala melihat tingkah suaminya. Ternyata Rajendra kalau bucin gini amat ya?"Wanginya khas, aku suka," kata Rajendra yang membuat Livia bertambah malu."Sini, Ndra! Balikin nggak?" Livia berusaha merebut dari tangan Rajendra tapi Rajendra menjauhkan celana dalam itu dengan mengangkatnya tinggi-tinggi."Cuma celana dalam aja, Sayang. Pelit banget sih." Rajendra tertawa melihat ekspresi Livia yang sudah kehabisan akal."Tapi kamu itu aneh. Masa maunya celana dalam aku. Nggak cukup apa nyium yang ini?" Livia menunjuk organ vital
lHari demi hari berlangsung dengan damai. Kehidupan rumah tangga Livia dan Rajendra berlangsung harmonis bersama anak-anak mereka. Sesekali Rajendra menelepon Lunetta, namun gadis kecil itu tidak ingin berbicara dengannya. Lunetta masih merajuk lantaran Rajendra meninggalkannya di tempat sang nenek.Sementara itu Rajendra menjadi ayah yang siaga untuk Ananta. Hampir setiap malam Rajendra menemani Livia begadang untuk menyusui atau mengurus Ananta jika anak itu tidak mau tidur. Mereka saling bahu membahu dan berbagi tugas. Setiap tumbuh kembang Ananta tidak lepas dari perhatian Rajendra. Rajendra tidak ingin kehilangan momen-momen penting itu karena tidak akan bisa diulang kembali. Tanpa terasa sekarang Ananta sudah berusia satu tahun. Anak itu sudah bisa berjalan walau kakinya belum terlalu kokoh. Sore itu Rajendra pulang lebih cepat dari biasanya sehingga ia punya banyak waktu bermain dengan Ananta."Ndra, tolong jagain Ananta sebentar ya, aku mau nyiapin makanannya," ujar Livia."
"Lho, Papa kenapa udah pulang? Katanya Papa pergi liburan?" Gadis tercengang ketika sore itu melihat Rajendra sudah ada di rumah."Papa nggak jadi liburan, Papa tadi pagi cuma mengantar Kak Lunetta ke rumah kakek dan neneknya.""Apa, Pa? Berarti Papa bohongin kita? Kata Papa bohong itu dosa," mulut Gadis mengerucut.Rajendra tertawa karenanya. "Papa nggak bohong, Nak. Papa cuma nggak ingin bikin Adis sedih.""Emangnya Lunetta nggak bakal ke sini lagi ya, Pa?" tanya Randu menimpali.Rajendra menggelengkan kepalanya. "Untuk saat ini nggak. Lunetta tinggal dan sekolah di Surabaya. Nanti kalau liburan dia baru ke sini.""Kasihan Kak Lunetta. Kalau tahu dia mau pergi Adis kan bisa kasih hadiah perpisahan. Lagian emangnya di sana Kak Lunetta main sama siapa, Pa? Kak Lunetta kan nggak punya teman.""Ada, Sayang. Nanti kalau Kak Lunetta sudah sekolah temannya juga banyak seperti di sini. Adis nggak usah khawatir ya." Rajendra me
Taksi berhenti di depan sebuah rumah bercat putih berpagar hitam. Rajendra dan Lunetta turun. Sebelah tangan Rajendra menggeret koper sedangkan sebelahnya lagi menggandeng tangan Lunetta."Papa, kenapa hotelnya kayak gini? Kenapa nggak bagus?" tanya Lunetta keheranan. Matanya mengelana ke sekeliling."Ini bukan hotel, Sayang. Ini rumah nenek dan kakek, orang tuanya mommy Sharon."Lunetta terdiam sejenak sebelum kembali bertanya. "Kita ngapain di sini, Pa?""Kita ngunjungin nenek dan kakek. Selama ini mereka nggak tahu Lunetta itu yang mana. Ayo kita masuk."Berhubung pagar yang tidak dikunci memudahkan Rajendra untuk masuk ke dalam pekarangan. Tepat di depan pintu Rajendra menekan bel. Hanya dalam beberapa detik seorang wanita berusia enam puluhan keluar."Tante Ratih, masih ingat saya?" kata Rajendra mengawali.Wanita itu mengerutkan dahinya seolah sedang berpikir. Setelah ingatannya pulih ia berkata, "Rajendra?""Iya, Tante. Ini saya.""Sudah lama sekali saya tidak ketemu kamu," uja
Pagi itu Gadis keheranan menyaksikan Lunetta yang tidak mengenakan seragam sekolah seperti dirinya."Kak Lunetta mau ke mana?" tanyanya."Mau liburan sama Papa. Kamu nggak diajak ya?" ucap Lunetta bangga lantaran hanya dirinya yang ikut pergi dengan Rajendra."Liburan? Kita kan sekolah. Lagian Papa kok nggak ngajak Adis?""Aku juga nggak diajak." Randu menimpali.Keheranan mereka semakin kentara saat melihat Rajendra muncul dengan membawa koper Lunetta. Koper itu besar seperti digunakan untuk perjalanan jauh."Papa mau liburan ke mana sama Kak Lunetta? Kenapa Adis dan Bang Randu nggak diajak?" Gadis memprotes tindakan ayahnya."Papa ke Surabaya sama Kak Lunetta. Kali ini Adis dan Bang Randu nggak usah ikut ya. Temenin Bunda di rumah jaga adek.""Yaaa ... kita nggak liburan bareng-bareng dong."Lunetta tersenyum puas melihat kekecewaan Gadis."Tapi nggak apa-apa, Pa, ketimbang liburan, Adis lebi
Rajendra mengetuk pintu kamar Lunetta. Pertama-tama tidak ada jawaban sampai Rajendra mengetuk dengan lebih keras lagi."Lunetta, ini Papa. Tolong buka pintunya dulu."Beberapa detik setelahnya daun pintu terbuka bersamaan dengan sosok Lunetta yang muncul dengan wajah masam."Ada apa, Pa?" tanyanya sambil berdiri di celah pintu yang tidak sepenuhnya terbuka. Lunetta hanya membuka setengahnya."Kamu lagi apa? Boleh Papa masuk ke dalam?"Lunetta terpaksa menganggukkan kepalanya dan membiarkan Rajendra melangkahkan kakinya masuk.Rajendra duduk di tepi tempat tidur sedangkan Lunetta berdiri dengan tangan bersedekap seolah-olah sedang menginterogasi Rajendra. Anak itu benar-benar tidak sopan."Lunetta, turunkan tangan kamu lalu duduk di sini." Rajendra menepuk permukaan kasur yang kosong di sebelahnya.Lunetta melakukan apa yang diperintahkan Rajendra, menunggu apa yang akan disampaikan berikutnya."Lunetta, besok Papa mau pergi ke Surabaya. Kamu mau ikut Papa?""Ke Surabaya, Pa?" ulang a
Setelah dirawat di rumah sakit akhirnya Livia diizinkan pulang. Kondisinya sudah jauh membaik. Baik dari segi fisik maupun ingatannya.Ketika masuk ke dalam rumah Livia merasakan kehangatan yang familier. Tidak ada yang berubah dari rumah itu dari terakhir kali yang ia ingat."Welcome home, Love." Rajendra merangkul pinggul Livia untuk memasuki rumah tersebut. Sedangkan Gadis dan Randu membantu mendorong stroller yang berisi Ananta. Di belakang kedua anak itu ada Lunetta yang merasa tidak senang. Kehadiran Ananta merenggut perhatian semua orang, terutama Rajendra. Livia tersenyum sambil mengedarkan pandangannya ke seisi rumah. Tidak ada yang berubah di rumah itu. "Ndra, aku jadi kangen pengen ngerajut. Rasanya udah satu abad aku nggak ngelakuin itu."Rajendra terkekeh mendengarnya. "Kamu bisa ngerajut yang banyak, tapi nanti ya. Ananta lebih butuh perhatian kamu."Livia dan Rajendra masuk ke kamar pribadi mereka. Setelah memberikan Ananta dan bercanda dengannya Gadis dan Randu keluar
Hari-hari berlalu tanpa kepastian. Livia masih terbaring lemah tidak sadarkan diri. Gadis terus menanyakan kapan bundanya akan bangun. Anak itu juga menangis karena takut kehilangan Livia. Sama dengan Rajendra yang tidak berhenti mengeluarkan air matanya.Para kolega bisnis dan bawahannya berdatangan menyampaikan empati. Hanya saja mereka dilarang masuk ke ruangan Livia. Mereka hanya bertemu dengan baby Ananta yang saat ini sudah berumur tujuh hari.Langit adalah salah satu dari orang yang datang menghibur Rajendra. Walaupun selama ini ia menjauh namun ia tidak bisa tinggal diam mendengar musibah yang dialami Rajendra."Gue ikut sedih, Ndra. Gue cuma bisa bantu doa biar Livia cepat sadar. Lo yang sabar ya," kata Langit menghibur Rajendra."Gue udah lebih dari sabar," jawab Rajendra. "Gue udah sabar menunggu Livia sadar dan menanggung rasa takut ini sendirian." Suara Rajendra terdengar serak. Matanya pun memerah. Langit tahu Rajendra adalah orang yang tidak mudah menunjukkan kelemahan
Suara bip mesin pemantau detak jantung memenuhi ruang operasi. Begitu pun dengan cahaya lampu bedah yang terang ikut menyorot tubuh Livia yang terbaring lemah di atas meja operasi. Para dokter dan asistennya bekerja dengan sigap. Livia yang seharusnya akan melahirkan satu minggu lagi terpaksa harus menjalani operasi caesar saat ini demi menyelamatkan bayinya. Sedangkan Livia sendiri berada dalam keadaan tidak sadarkan diri.Di luar ruang operasi Rajendra menunggu dengan gelisah. Perasaannya tidak tenang. Hatinya kalut. Dari tadi yang dilakukannya hanya mondar-mandir di depan ruang operasi sambil berharap operasi selesai lalu dokter atau siapa pun keluar untuk memberi kabar baik."Ndra, udah, yang tenang, jangan mondar-mandir melulu. Duduk di sini," kata Erwin yang juga berada di tempat yang sama. Pria itu langsung meluncur ke rumah sakit setelah Rajendra mengabarinya."Gimana aku bisa tenang, Pi? Gimana kalau Livia nggak akan bangun lagi?" ucap Rajendra emosional. Matanya memerah mena