Selepas Lola pergi, Livia mengembuskan napas panjang. Rasanya begitu lega. Siapa pun yang ada kaitannya dengan Rajendra membuatnya tidak nyaman.Livia tidak percaya kalau Rajendra mencintainya seperti yang dikatakan Langit. Livia yakin di balik ingin kembalinya Rajendra hanya untuk menindas Livia. Livia masih ingat betul segala perkataan Rajendra dulu bahwa dia tidak ingin menceraikan Livia agar hidup Livia menderita karena Livia juga sudah membuatnya menderita. Gara-gara Livia Rajendra harus kehilangan wanita yang dicintainya. Lalu kini Livia menyimpulkan. Agar Livia menderita maka Rajendra sengaja mencari wanita lain untuk menyakitinya, yaitu Utary.Livia tidak ingin kejadian yang sama terulang dua kali. Livia tidak tahu siapa sesungguhnya wanita yang dicintai Rajendra. Entah wanita itu masih hidup atau sudah mati. Bisa saja sewaktu-waktu wanita itu muncul ke dalam kehidupannya dan Rajendra. Terlepas dari semua kejahatan Rajendra dulu, bagi Livia, inilah jalan terbaik. Hidup berdua
Rajendra mengemudi dengan kecepatan di atas normal. Rasa marah, frustrasi dan sedih bercampur menjadi satu mengisi hatinya.Setiap kali memikirkan bahwa Livia tinggal di bawah atap yang sama dengan Langit, emosinya naik ke ubun-ubun. Bagaimana mungkin wanita yang dulu menjadi istrinya menolaknya dengan keras, namun membiarkan lelaki lain masuk ke dalam kehidupannya?"Gue nggak bakal biarin ini berlangsung lebih lama," gumamnya sambil mencengkeram setir kuat-kuat.Setelah tiba di depan rumah Livia, Rajendra mematikan mesin mobil. Setelah turun dari sana, ia melangkah lebar ke depan pintu rumah Livia dan mengetuknya dengan kuat."Livia!" serunya keras. "Livia, buka pintunya atau aku dobrak!"Livia sedang menidurkan Gadis ketika mendengar suara keras itu. Ia terkejut mendengarnya. Gadis mengerjap kecil dengan setengah tertidur.Livia bangkit dari tempat tidur dan menarik napas panjang sebelum membuka pintu kamarnya.Langit yang juga mendengar keributan itu lebih dulu sampai ke ruang tamu
Livia mencengkeram sprei di sisi badannya. Napasnya sesak akibat mencoba menahan bobot tubuh Rajendra yang berada di atasnya. Lelaki itu terus bergerak. Menghujam dengan kencang dan menghentak dengan cepat. Membuat Livia melenguh kesakitan. Namun, apa Rajendra peduli? Tentu tidak. Lelaki itu sibuk menikmati sendiri tanpa mau tahu perasaan Livia. Hujaman tajam terus diberikan, hentakan demi hentakan Livia terima. Hanya lirihan perih yang terus terlontar dari bibirnya. Sampai tubuh Rajendra mengejang. Lelaki itu mendapat pelepasannya. Beberapa detik setelah sensasi itu pergi Rajendra menarik diri. Ia buru-buru mengenakan pakaiannya. "Pergi! Tidur di sofa!" perintah lelaki itu pada Livia yang masih berbaring di tempat tidur. Suaranya sedingin tatapannya. Livia cepat mengenakan pakaiannya atau Rajendra akan marah. Diambilnya tongkat yang tersandar di sisi tempat tidur kemudian berjalan terpincang-pincang menuju sofa. Di sanalah Livia tidur setiap malam. Lebih tepatnya sejak i
Betapa terkejutnya Livia mendengar pengakuan perempuan yang kemudian ia ketahui bernama Utary itu.Bagaimana bisa perempuan itu hamil? Apa itu artinya Rajendra sudah mengkhianati Livia?Dengan hatinya yang hancur Livia menahan air matanya di depan Utary. Ia tidak boleh menangis menunjukkan kelemahannya."Nggak mungkin kamu mengandung anak Rajendra. Suami saya orangnya sangat setia. Dia nggak mungkin mengkhianati saya. Tolong jangan menipu.""Aku nggak menipu. Anak ini memang anak Rajendra. Kami melakukannya atas dasar perasaan cinta," ucap Utary bangga. "Justru aku yang harusnya meragukan kamu. Perempuan seperti kamu istrinya Rajendra? Nggak mungkin!" Utary memindai sekujur tubuh Livia dari puncak kepala hingga bawah kaki, menunjukkan betapa tidak percayanya dia. Perempuan itu terkejut ketika melihat Livia bertumpu pada sebuah tongkat. "Nggak mungkin kamu istrinya. Kamu hanya pembantu di rumah ini kan?" hinanya dengan pandangan merendahkan."Saya bukan pembantu. Saya istri Rajendra ya
Suara yang ditimbulkan kotak makan membuat Rajendra dan wanitanya terkejut. Keduanya sontak memisahkan diri setelah tadi larut dalam ciuman panas yang membara.Rajendra menggeram kesal menyadari Livialah yang datang. Apalagi perempuan itu langsung membuka pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Tadi saking asyik berciuman ia tidak tahu bahwa Livia sudah mengetuk pintu."Mau apa?" tanya lelaki itu dingin pada Livia yang berdiri membatu.Segala pertanyaan yang tersusun runut di benak Livia buyar begitu saja mengetahui perbuatan Rajendra dan wanita yang berciuman dengannya adalah Utary."Kamu lagi!" seru Utary jengkel. "Ndra, kenapa kamu biarkan perempuan itu datang ke sini? Tadi di rumah kamu dia mengaku-ngaku jadi istrimu. Tapi Tante Marina bilang dia hanya pembantu. Jadi mana yang benar?""Ya, dia hanya pembantu," kata Rendra menjawab sambil memandang Livia dengan tatapannya yang tajam. Ia benci Livia yang selalu saja datang ke kantornya untuk mengantar makanan.Hancur sudah hati Liv
Livia tidak punya tempat untuk berteduh. Ingin menginap di hotel tapi ia tidak punya uang lebih. Rajendra membatasi uang belanjanya yang hanya cukup untuk keperluan Livia sehari-hari. Jadi, Livia terpaksa pulang ke rumahnya setelah seharian ini berada di luar. Kepulangan Livia disambut oleh wajah masam mertuanya. "Dari mana kamu? Seharian keluar rumah sesukamu. Kamu pikir kamu siapa yang bisa seenaknya keluar masuk rumah ini?" "Maaf, Bu, tadi saya ke kantor mengantar makan siang untuk Rajendra." "Itu tadi siang. Apa kamu nggak tahu kalau sekarang sudah malam?" Livia hanya bisa menunduk mendengar perkataan mertuanya. Ia pikir dengan tidak meladeni Marina perempuan itu menganggap masalah selesai sampai di sana. Nyatanya Livia salah. Marina terus menyalahkannya. "Oh, jadi selain pincang kamu juga tuli sekarang?" kesalnya lantaran Livia tidak merespon perkataannya. Livia mengangkat wajah, mempertemukan tatapannya dengan sang mertua. "Maaf, Bu, saya salah," akunya tidak ingin
"Jangan harap. Itu nggak akan pernah terjadi. Bukan karena aku mencintai kamu, tapi karena aku ingin melihatmu menderita seperti yang selama ini kurasakan." Perkataan Rajendra kemarin malam yang menolak untuk menceraikannya terus terngiang-ngiang oleh Livia dan terbawa sampai hari ini. Livia tidak habis pikir. Bagaimana mungkin Rajendra bisa menderita? Lelaki itu mendapat apa pun dari Livia. Setiap kali Rajendra menginginkan tubuhnya Livia selalu bersedia. Pernah saat Livia sedang sakit ia tetap melayani Rajendra lantaran lelaki itu terus memaksa. Jadi, kalau pun ada yang menderita di dalam pernikahan ini, Livia adalah satu-satunya. Tapi, pernahkah Rajendra menyadari akan hal itu? "Aww!!!" Livia terpekik kesakitan. Akibat melamun tangannya jadi ikut teriris bersama bawang. Livia segera membersihkan jarinya yang berdarah dengan air di wastafel. Namun darahnya tetap keluar. Tadi ia mengiris terlalu kuat sehingga lukanya ikut dalam. 'Aku harus beli obat merah atau plester,' pik
Livia menatap lembaran uang yang dilempar Rajendra ke hadapannya dengan tatapan memburam akibat sepasang matanya yang berselimut kabut air mata. Hatinya sedih lantaran cara Rajendra memperlakukannya dan hanya menilainya sebatas uang. "Kenapa diam? Masih kurang uangnya? Berapa lagi yang kamu butuh, hah?" Rajendra membuka lagi dompetnya, mengambil kembali sejumlah uang dari sana, melemparnya ke muka Livia. "Kenapa kamu jahat sama saya, Ndra? Salah saya apa?" tanya Livia lirih dengan air mata yang hampir berderai. Rajendra berdecih. "Masih bisa bertanya salahmu apa?" "Saya memang nggak tahu, Ndra." "Itu karena kamu bodoh!" sergah Rajendra melampiaskan segala sakit hatinya. "Sekarang suruh orang itu pergi. Aku nggak mau ngeliat dia menginjakkan kaki di rumahku lagi!" Livia cepat menggelengkan kepalanya. "Saya sudah terlanjur menerima uang dari Pak Ryuga," dustanya. Yang sebenarnya ia belum menerima sepeser pun dari Ryuga. Mereka baru sekadar berkenalan. "Kembalikan!" Kata be
Rajendra mengemudi dengan kecepatan di atas normal. Rasa marah, frustrasi dan sedih bercampur menjadi satu mengisi hatinya.Setiap kali memikirkan bahwa Livia tinggal di bawah atap yang sama dengan Langit, emosinya naik ke ubun-ubun. Bagaimana mungkin wanita yang dulu menjadi istrinya menolaknya dengan keras, namun membiarkan lelaki lain masuk ke dalam kehidupannya?"Gue nggak bakal biarin ini berlangsung lebih lama," gumamnya sambil mencengkeram setir kuat-kuat.Setelah tiba di depan rumah Livia, Rajendra mematikan mesin mobil. Setelah turun dari sana, ia melangkah lebar ke depan pintu rumah Livia dan mengetuknya dengan kuat."Livia!" serunya keras. "Livia, buka pintunya atau aku dobrak!"Livia sedang menidurkan Gadis ketika mendengar suara keras itu. Ia terkejut mendengarnya. Gadis mengerjap kecil dengan setengah tertidur.Livia bangkit dari tempat tidur dan menarik napas panjang sebelum membuka pintu kamarnya.Langit yang juga mendengar keributan itu lebih dulu sampai ke ruang tamu
Selepas Lola pergi, Livia mengembuskan napas panjang. Rasanya begitu lega. Siapa pun yang ada kaitannya dengan Rajendra membuatnya tidak nyaman.Livia tidak percaya kalau Rajendra mencintainya seperti yang dikatakan Langit. Livia yakin di balik ingin kembalinya Rajendra hanya untuk menindas Livia. Livia masih ingat betul segala perkataan Rajendra dulu bahwa dia tidak ingin menceraikan Livia agar hidup Livia menderita karena Livia juga sudah membuatnya menderita. Gara-gara Livia Rajendra harus kehilangan wanita yang dicintainya. Lalu kini Livia menyimpulkan. Agar Livia menderita maka Rajendra sengaja mencari wanita lain untuk menyakitinya, yaitu Utary.Livia tidak ingin kejadian yang sama terulang dua kali. Livia tidak tahu siapa sesungguhnya wanita yang dicintai Rajendra. Entah wanita itu masih hidup atau sudah mati. Bisa saja sewaktu-waktu wanita itu muncul ke dalam kehidupannya dan Rajendra. Terlepas dari semua kejahatan Rajendra dulu, bagi Livia, inilah jalan terbaik. Hidup berdua
Sudah dua minggu lamanya Gadis bernapas di dunia. Hampir setiap hari ada paket yang datang ke rumah melalui ekspedisi. Isinya adalah perlengkapan bayi seperti baju, selimut, dan yang lainnya. Tidak ada nama pengirim di sana. Tapi Livia yakin 100% bahwa yang mengirimnya adalah Rajendra. Kalau dulu Livia mengembalikan semua barang-barang yang diberi lelaki itu ke rumahnya, sekarang setiap ada paket yang datang berisi perlengkapan Gadis maka Livia akan membuangnya tanpa pikir panjang.Pintu rumah diketuk ketika Livia sedang merajut. Saat itu Gadis tengah tidur, jadi ia bisa memanfaatkan waktunya untuk berkarya.Livia mengembuskan napasnya. Ia curiga jangan-jangan pihak ekspedisi lagi yang datang untuk mengantar paket dari Rajendra.Meraih tongkatnya, Livia berjalan dengan terpincang-pincang untuk membuka pintu rumah. Ia sudah bersiap-siap menolak jika paket itu tanpa nama. Namun yang dilihatnya bukan tukang paket, melainkan Lola, mertua tirinya."Tante Lola?" Livia terkejut atas banyak
Malam telah larut ketika Rajendra tiba di rumah. Seharian itu ia melalui waktu di kantor dengan pikiran kacau balau. Pembicaraan dengan Livia tadi siang masih terus melekat di benaknya. Termasuk sorot dingin wanita itu yang menyiratkan ketegasan agar menjauh dari hidupnya.Rajendra memarkir mobilnya di halaman rumah dengan rasa lelah. Setelah ia turun, matanya langsung menangkap pemandangan yang membuatnya kaget.Di depan rumahnya tampak perlengkapan bayi yang ia beli untuk Gadis."Apa-apaan?" gerutunya kesal.Rajendra melangkah mendekat dengan deru napas yang bertambah berat. Tangannya menyentuh satu demi satu barang-barang itu seakan ingin memastikan bahwa seluruh barang ini memang barang yang ia belikan untuk putrinya. Barang-barang yang dibawanya ke rumah Livia dengan harapan akan diterima. Yang terjadi, Livia menolak itu semua. Bukan hanya menolak, tapi juga meminta orang untuk mengembalikan ke rumah Rajendra.Terdengar embusan napas panjang dari mulut Rajendra. Kedua tangannya t
Livia sedang duduk di kursi sambil menyusui Gadis. Peristiwa beberapa jam yang lalu masih melekat di benaknya.Rajendra memang sudah pergi, tapi barang-barang yang ia bawa masih ada di depan rumah. Lelaki itu meninggalkannya walau Livia dengan frontal menolak.Sambil terus memberi Gadis asupannya, satu ingatan muncul di kepala Livia. Ketika Rajendra membuang foto USG Gadis dan menganggapnya sebagai sampah. Dari sanalah rasa muaknya pada Rajendra muncul yang memicunya untuk bangkit dari cengkeraman dan penindasan laki-laki itu."Liv, itu di depan kenapa banyak barang-barang bayi? Kamu belanja lagi untuk Gadis?" suara Langit yang baru saja tiba menggilas habis lamunan Livia. Livia menoleh dan menemukan wajah heran Langit."Tadi Rajendra ke sini. Dia membawa barang-barang untuk Gadis seperti yang kamu lihat.""Terus kenapa masih ada di luar? Dia nggak membantu sekalian untuk memasukkannya ke dalam rumah?" tanya Langit lagi begitu ingat keadaan Livia yang tidak mungkin membawa barang-bar
Setelah dua hari berada di rumah sakit, hari ini Livia diizinkan pulang.Sejak pergi dari rumah Rajendra, Livia tinggal di rumah yang dicarikan Langit. Rumah itu berbentuk panjang ke belakang. Rencananya setelah melahirkan dan pulih Livia akan menjadikan bagian depannya sebagai toko. Ia akan menjual hasil rajutannya di sana."Welcome home, Sayang," ucap Livia yang menggendong Gadis begitu mereka masuk ke dalam rumah.Bayi berumur tiga hari itu terlelap dalam gendongannya.Livia melangkah pelan dan hati-hati memasuki rumah tempat ia dan putrinya memulai kehidupan baru. Aroma segar dari pewangi ruangan menyeruak ke dalam penciumannya.Langit berjalan di belakang Livia membawa tas dan perlengkapan yang mereka bawah dari rumah sakit. "Hati-hati, Liv, jangan banyak gerak dulu," kata Langit lembut sambil meletakkan tas. Ia menatap Livia yang masih tampak lelah. Tapi senyum di wajahnya menunjukkan kebahagiaan.Livia mengamati ruang depan rumah yang nantinya akan disulap menjadi toko. Bebera
Rajendra tersentak mendengar perkataan Livia. Hatinya tersayat-sayat.Om Rajendra, bukan Ayah atau Papa.Sebutan itu memisahkannya dari Gadis, darah dagingnya sendiri.Langit menggeser diri ke pojok ruangan dan memalingkan wajah. Ia mencoba tidak terlibat dalam ketegangan antara Livia dan Rajendra. ia sadar diri, ini bukanlah ranahnya untuk ikut campur.Rajendra menatap bayi kecil itu dengan perasaan sedih. "Livia, aku nggak minta banyak. Aku cuma mau menggendong Gadis sekali aja, biar dia tahu kalau aku adalah ayahnya."Livia membalas tatapan Rajendra dengan sorot dingin. "Kamu bilang kamu ayahnya. Lupa apa yang kamu lakukan dulu? Kamu menuduh saya selingkuh. Kamu menolak anak ini sebagai darah dagingmu. Lalu sekarang kamu datang mengaku-ngaku sebagai ayahnya setelah saya melewati semuanya sendirian?"Rajendra tidak berani membalas kata-kata Livia ketika perempuan itu menghakiminya. Selama beberapa detik mereka terdiam. Hanya mata Rajendra yang menatap Gadis dengan pandangan sedih.
Rajendra cuma bisa berdiri di depan pintu ruang bersalin yang tertutup rapat. Perasaan tidak karuan menghantamnya dari segala arah.Ia menyandarkan punggungnya ke dinding dengan tangan terkepal erat. Tatapannya kabur, bukan karena ia rabun, tetapi karena menahan air mata agar tidak jatuh.Dirinya laki-laki. Pantang baginya untuk menangis, namun ini terlalu menyakitkan. Dirinya yang punya anak dan akan menjadi bapak, tetapi kenapa orang lain yang harus mendampingi istrinya?Di dalam ruangan bersalin terdengar samar suara Livia yang mengerang menahan sakit. Ingin rasanya Rajendra menerobos masuk ke dalam ruangan itu dan mengatakan bahwa dirinyalah yang berhak mendampingi Livia, bukan Langit. Lola kemudian mendekat. Disentuhnya bahu Rajendra dengan lembut. "Nggak usah sedih, Ndra. Jangan pernah lupakan, sakit yang kamu rasakan nggak ada apa-apanya dengan yang dirasakan Livia dulu.""Tapi ini kelewatan, Tante. Aku yang seharusnya berada di sana, bukan laki-laki lain," lirih Rajendra putu
Napas Livia tertahan. Dadanya langsung sesak begitu melihat sosok yang telah ia coba lupakan berdiri tidak jauh dari tempatnya.Rajendra terlihat berbeda. Sosoknya lebih kurus dan wajahnya tampak lelah.Langit yang memerhatikan ekspresi Livia memegang tangannya dengan erat. "Kita pergi ke arah lain atau tunggu sampai mereka selesai?" tanyanya.Livia menggerakkan kepalanya ke arah Langit. "Kita hadapi saja. Mungkin sudah saatnya saya ketemu sama mereka.""Kamu yakin?"Livia mengangguk penuh keyakinan. Perutnya kembali ditendang dari dalam, membuatnya meringis kesakitan.Tangisan keras Randu tiba-tiba terdengar. Tangisan yang pernah mengisi hari-hari Livia. Membuat Livia tanpa sadar melangkah ke arah mereka. Dan Langit tidak sempat mencegah.Rajendra memandang ke sumber suara langkah yang menghampirinya. Kedua matanya refleks melebar ketika menyaksikan wanita yang selama ini ia cari ada di dekatnya. Seluruh badannya gemetar. Ia ingin melafalkan nama wanita itu tapi suaranya tercekat."L