Pagi ini Rajendra bangun lebih awal daripada Livia. Sedangkan istrinya itu masih tertidur. Begitu pula dengan Gadis yang terbungkus selimut kecilnya. Udara dingin Ohio menambah keheningan pagi di apartemen itu.Rajendra melangkah ke balkon dengan tangan membawa secangkir kopi yang baru saja dibuatnya.Pandangannya tertuju pada Langit yang mulai cerah, berharap udara pagi bisa menjernihkan pikirannya. Namun, bayangan Sharon tetap menghantui meskipun Rajendra sudah bertekad tidak akan mengingat lagi perempuan itu dan memberikan hatinya sepenuhnya hanya untuk Livia.Tatapan Sharon yang sarat akan kesedihan yang berusaha ia sembunyikan di balik senyumnya membuat Rajendra terus berpikir, apa Sharon masih menyimpan luka yang ditinggalkannya dulu?Di sisi lain Rajendra sadar tidak ada gunanya membuka luka lama. Sharon sudah memiliki kehidupannya bersama Lunetta. Dan Rajendra juga sudah punya Livia dan Gadis."Ndraaa ..." Suara Livia terdengar memecah lamunan Rajendra.Rajendra menggerakkan k
Sharon refleks menoleh ke arah suara yang memanggil Rajendra. Ketika tatapannya tertuju pada Livia, ia tidak bisa menyembunyikan kekagetannya. Livia melangkah pelan, terpincang-pincang dengan bantuan tongkat. Kemarin Rajendra memang sudah menceritakan tujuan mereka datang ke Cleveland adalah untuk mengobati istrinya yang pincang. Tapi ketika menyaksikan sendiri penampakannya, Sharon melihat Livia begitu 'rendah' dan tidak pantas untuk mendampingi Rajendra.'Jadi ini istri Rajendra?' Sharon membatin sambil menjaga ekspresinya agar tidak berubah.Ia memindai sosok Livia saat itu juga. Tubuhnya ramping, langkahnya tertatih dan wajahnya sendu. Dia memang cantik. Fitur wajahnya persis seperti tokoh protagonis di drama Korea. Namun demikian Sharon tetap saja merasa tidak terima kalau Livialah yang menjadi istri Rajendra.Bagaimana bisa Rajendra, pria gagah dan mapan menikahi wanita seperti ini? Apa yang bisa wanita itu berikan? Berjalan saja tidak becus. Berdiri juga butuh bantuan.Tetapi
Setelah pintu ditutup Livia duduk di sofa ruang tamu. Wajahnya sedikit tampak tidak tenang. Hatinya gusar oleh percakapan bersama Sharon tadi.Rajendra mengikutinya dan ikut duduk di samping Livia."Kamu dan dia kayak udah akrab banget. Kalian udah lama kenal?" tanya Livia memulai obrolan."Nggak. Aku baru kenal dia kemarin." Rajendra menjawab, mencoba agar terdengar biasa."Tapi dia bilang kamu cerita banyak tentang saya. Itu benar?" Livia menatap lekat wajah Rajendra hingga hampir membuatnya grogi.Rajendra berdeham, mencoba menjaga situasi agar tetap tenang. "Jadi begini. Waktu kamu lagi di toilet kemarin, aku dan Gadis main di sini. Suara binatang dari buku Gadis menarik perhatian Lunetta. Sharon yang kehilangan Lunetta mencarinya sampai ke sini. Dari situ awalnya kami berkenalan. Dan aku menceritakan tujuan kita datang ke sini untuk pengobatan kamu.""Oh," respon Livia. "Tapi tadi dia bilang sesuatu yang menyentil saya. Tentang pekerjaan. Rasanya dia seperti sengaja menunjukkan k
Perkataan Livia spontan membuat Sharon terdiam. Senyumnya sedikit pudar dan ia mencoba untuk tetap tenang walau perkataan Livia mengenai Lunetta berhasil menyentuh titik sensitifnya. Sharon diam-diam menghela napasnya. Wanita itu menunduk sesaat kemudian menatap Livia dengan sorot mata yang sulit untuk diartikan."Okay, Livia. Aku harap kamu dan Rajendra selalu bahagia" ucapnya datar, kemudian memanggil Lunetta yang masih asyik bermain dengan Gadis. "Lunetta, sudah waktunya pulang!"Lunetta yang belum puas bermain terlihat enggan namun akhirnya tetap mengikuti keinginan sang ibu. "Bye, Gadis. See you tomorrow!" ucapnya ceria kemudian berlari ke arah Sharon.Sharon menggandeng tangan Lunetta menuju pintu. Sebelum keluar ia menoleh sekali lagi ke arah Livia. "Aku pulang dulu. Tapi, Livia, kamu jangan terlalu yakin dengan apa yang kamu miliki sekarang. Dunia seringkali tidak sebaik yang kita kira," ujarnya dengan kata penuh penekanan.Livia membalasnya dengan senyum tipis. Ia tidak ingin
"Nggak ada apa-apa, Liv," jawab Rajendra berbohong."Kalau memang nggak ada apa-apa kenapa tadi dia memanggil kamu?" tanya Livia tidak percaya.Rajendra menghela napas dalam diam sebelum menjawab, "Dokter bilang perkembangan kamu sangat bagus dan kamu sangat bersemangatm Tentang jadwalnya dokter Hailey bilang kamu harus terapi lima hari dalam seminggu."Livia tersenyum lebar dengan mata berbinar. "Serius, Ndra? Saya happy banget mendengarnya. Saya janji akan lebih giat lagi supaya bisa jalan bareng kamu tanpa membuat kamu malu.""Liv ..." Rajendra mencekal pelan lengan Livia hingga langkah Livia ikut terhenti."Iya?""Aku nggak suka mendengar kamu bilang kayak gitu lagi, Liv. Aku nggak malu jalan sama kamu apa pun keadaan kamu."Livia tersenyum getir teringat masa lalu, di mana Rajendra selalu menyembunyikan dirinya."Sejak kapan itu berubah, Ndra? Dulu kamu selalu mem--""Please, Liv, nggak usah bahas masa lalu." Rajendra segera memotong perkataan Livia sebelum ia selesai berbicara.
Rajendra membuka pintu kamar dengan hati-hati. Ia menatap Livia yang kini duduk di tepi tempat tidur."Siapa yang datang, Ndra?" Livia bertanya sambil menahan kantuknya.Rajendra menghampiri tempat tidur, duduk di tepinya dan menggenggam tangan Livia. "Liv, Sharon yang datang. Dia dengan Lunetta. Lunetta demam tinggi dan terus mengigau. Sharon minta aku buat nemenin ke rumah sakit.""Emangnya dia nggak punya orang lain yang bisa dimintai tolong? Kenapa harus kamu, Ndra?" Livia sedikit emosi mendengarnya."Karena kita tetangganya, Liv. Dia juga bilang nggak tahu lagi harus minta tolong ke siapa. Sejujurnya aku nggak tega ngeliat kondisi Lunetta. Badannya benar-benar panas," kata Rajendra menjelaskan.Livia terdiam mendengarnya. "Kalau kamu nggak mengizinkan aku nggak akan pergi, Liv."Livia membayangkan jika dirinya yang berada pada posisi Sharon. Ia hanya berdua dengan Gadis tanpa ada yang menemani. Tanpa ada Rajendra. Apakah ia tega?Livia menghela napasnya, mencoba menekan emosi ya
Rajendra merasakan tubuh Sharon melekat padanya, yang membuat lelaki itu kaku seketika. Ia menurunkan pandangannya memandang Sharon yang kini terisak dengan tubuh bergetar. Barusan dokter mengatakan Lunetta harus diopname karena ia mengidap tipes.Perasaan Rajendra jadi campur aduk. Rasa kasihan, kesal dan merasa bersalah muncul, yang tidak jelas dari mana asalnya.Rajendra menepuk punggung Sharon dengan hati-hati. Berusaha melepaskan pelukan itu dengan halus. "Sha, tenang dulu. Aku ngerti kamu lagi panik. Tapi jangan begini."Sharon mengangkat wajahnya yang penuh oleh air mata dari pundak Rajendra. "Aku nggak tahu lagi harus gimana, Ndra. Semua ini terlalu berat buat aku. Bulan lalu anak temanku ada yang meninggal karena tipes, aku takut kehilangan Lunetta," jelas Sharon tersedu-sedu."Aku paham kamu butuh support dan bantuan, Sha. Tapi aku nggak bisa selalu ada untuk kamu. Kamu harus kuat demi Lunetta. Aku sudah bantu kamu sebisa mungkin, tapi aku juga punya keluarga," kata Rajendra
Rajendra tertidur tanpa menyadari situasi di sekelilingnya. Wajahnya terlihat tenang meski ada gurat kelelahan yang membayang.Sharon yang tadinya tampak terguncang kini merasa lega. Ia menatap Rajendra dengan perasaan mendamba. Ini adalah momen di mana ia bisa sedikit lebih dekat dengan lelaki itu."Akhirnya kita bisa sedekat ini lagi, Ndra. Aku tahu caraku salah, tapi hanya ini satu-satunya jalan untuk dekat denganmu." Sharon menggumam pelan penuh rasa syukur.Tangannya membelai lembut pipi Rajendra. Meski ia tahu ini salah, namun ia memilih untuk mengabaikan suara hati yang menyuruhnya untuk berhenti.Sambil terus membelai-belai pipi Rajendra, pikiran Sharon terbang ke masa lalu. Dulu dirinya adalah yang tersayang. Rajendra sangat mencintainya. Mereka bahkan sudah merencanakan pernikahan. Dan ya ... Rajendra memang menikah, tapi dengan perempuan lain. Sejak saat itu Sharon menghilang dari hidup Rajendra membawa luka dan kenyataan pahit. Siapa sangka semesta berkonspirasi mempertemu
Rajendra berlari keluar dari apartemennya dan terus berteriak-teriak memanggil nama Livia dan Gadis. Membuat orang-orang keheranan akan tingkahnya.Tanpa alas kaki Rajendra berdiri di lobi melihat ke sekelilingnya kalau saja ada Livia. Ia juga bertanya pada sekuriti namun pria penjaga keamanan itu mengatakan padanya bahwa sejak tadi bayak orang yang keluar masuk apartemen itu dan dia tidak terlalu memerhatikannya.Rajendra mengesah kecewa. Setelah puas mencari Livia dan tetap tidak menemukan sang istri, Rajendra kembali ke unit apartemennya. Kemungkinan sekarang Livia sedang dalam perjalanan ke bandara lalu pulang ke Indonesia. Ia harus bergegas ke bandara dan mencegah Livia pergi.Rajendra menemukan Lunetta sedang menangis ketika ia tiba di unitnya."Papa ... Aku lapar. Aku mau sarapan ..." Lunetta merengek saat melihat Rajendra muncul."Ambil aja apa yang ada di kulkas, Om buru-buru," kata Rajendra yang langsung masuk ke kamar.Rajendra akan mengambil kunci mobil di nakas. Tapi sesu
Setelah Livia mengunci pintu kamar, tubuhnya lemas dan ia merosot ke lantai dengan punggung bersandar pada pintu. Tangisnya pecah dan tidak mampu lagi untuk ia tahan. Hatinya hancur berkeping-keping. Kehancurannya kali ini lebih parah dari kehancuran apa pun yang pernah ia rasakan.'Kenapa ini semua terjadi padaku?' pikir Livia sambil memeluk lututnya, membiarkan perasaan sakit menguasainya.Dari balik pintu, Livia mendengar Rajendra mengetuk dengan panik. Suaranya begitu penuh dengan permohonan. "Liv, aku mohon buka pintunya dulu. Kita bisa bicara baik-baik, Sayang "Livia menutup kedua telinganya dengan kedua telapak tangan. Ia tidak ingin mendengar apa pun dari Rajendra. Semua yang keluar dari mulut lelaki itu hanyalah dusta belaka.Kenangan demi kenangan mengenai pernikahan mereka mulai bermunculan di benak Livia bagaikan film yang diputar ulang. Janji-janji Rajendra, senyumnya yang menawan, caranya mencumbu, serta sentuhannya yang begitu lembut, saat ini terasa begitu palsu.Li
Suasana di ruangan itu mendadak mencekam. Pernyataan Sharon membuat Livia mengernyitkan dahinya dan menatap Rajendra dengan sorot penuh tanda tanya."Maksudnya apa, Ndra? Kenapa dia bilang kamu akan kabur dari dia?" tanya Livia dengan perasaan tidak enak.Rajendra tidak sanggup berkata sepatah kata pun, seperti ada gumpalan besar yang menyumbat tenggorokannya."Livia, aku bisa jelasin nanti. Kita bicara berdua, Sayang," ucap Rajendra akhirnya tanpa bisa menyembunyikan rasa panik di wajahnya.Mendengarnya, membuat Sharon tertawa kecil. "Dia memang selalu mengatakan itu, Liv. Nanti, sebentar, besok dan banyak lagi lainnya. Padahal dia hanya ingin lari dari masalah.""Masalah apa?" Livia menatap Sharon dengan tatapan menusuk. "Boleh aku bicara?" Sharon pura-pura meminta izin."Bicaralah," jawab livia tidak sabar."Oke. Tapi aku tidak tahu harus mulai dari mana." Lalu Sharon menatap Rajendra. "Aku harus mulai dari mana ya, Ndra? Apa semuanya harus kuceritakan?"Rajendra menggeram kesal n
Livia dan Rajendra mulai berbenah barang-barang mereka. Lusa mereka akan pulang ke Indonesia.Sebenarnya Livia masih ingin berada lebih lama di Ohio, tapi alasan yang disampaikan Rajendra membuatnya menyerah pada keinginan lelaki itu.Jauh di dalam hatinya Rajendra merasa bersalah. Uangnya masih banyak untuk biaya hidup di Ohio. Ia hanya ingin lari dari semua kenyataan ini. Ia tidak ingin Livia tahu fakta mengenai Lunetta yang merupakan darah dagingnya.Sementara itu Sharon terus mendesak. Lantaran Rajendra tidak mau menjawab panggilan darinya setiap kali Sharon menelepon, wanita itu memborbardirnya dengan pesan."Rajendra sayang, aku tidak bisa menunggu sampai enam hari lagi. Kepalaku semakin sering sakit. Dokter bilang aku harus dirawat di rumah sakit untuk sementara waktu. Bagaimana dengan Lunetta? Apa aku harus mengantarnya ke apartemenmu?"Rajendra mendengkus membaca pesan itu lalu dengan kasar menghentakkan jarinya di layar gawai."Aku bilang tunggu dulu. Enam hari lagi nggak la
Rajendra mengemudikan mobilnya pulang dengan perasaan kacau. Amplop hasil tes DNA tergelak di dashboard, seakan menjadi pengingat atas kesalahan dan kebohongan yang selama ini ia simpan. Wajah Sharon dan Lunetta terus berkelindan di pikirannya. Tapi bayangan Livia yang tersenyum lembut selalu muncul di atas segalanya.Setibanya di hunian mereka Livia ternyata sudah pulang. Perempuan itu tersenyum ceria."Ndra, kata dokter Justin progress aku sudah 95%. Sebentar lagi aku bisa jalan kayak kamu, Ndra.""Syukurlah, Sayang," jawab Rajendra sambil memaksakan sebuah senyuman sambil menahan kecamuk di dadanya."Tadi kamu jalan-jalan ke mana sama Gadis?""Aku ajak dia ke playground. Dia happy di sana. Sampai nggak mau pulang," dusta Rajendra."Iya ya, Nak?" Livia terkikik sambil menggelitik Gadis yang membuatnya tertawa.Rajendra menatap interaksi ibu dan anak itu yang begitu bahagia. Akankah kebahagiaan tersebut tetap ada setelah Livia tahu kenyataan yang sebenarnya? ***Malamnya Rajendra me
"Ndra, tahu nggak, dokter aku udah ganti lagi. Namanya dokter Justin. Dia yang bakal menangani aku sampai sembuh. Dia bilang sebentar lagi aku bisa berjalan."Baru saja Rajendra tiba di apartemen ia disambut oleh ocehan Livia yang tampak begitu ceria.Rajendra terdiam sesaat. Ini membuatnya bingung. Dokter Hailey bilang kesempatan Livia untuk berjalan normal lagi sangat kecil, tapi dokter Justin mengatakan sebaliknya. Apa ini bukan hanya untuk menambah semangat Livia saja?"Ndra, kok diam?" Livia mengguncang tangan Rajendra yang terpaku."Eh, iya, Sayang. Aku ikut senang." Rajendra tersenyum kikuk. "Aaa ... aku udah nggak sabar. Coba deh kamu lihat."Livia kemudian melangkah di hadapan Rajendra setapak demi setapak. Rajendra memerhatikannya. Livia memang masih pincang tapi tidak separah dulu."Gimana, Ndra?" tanyanya setelah melakukan 'pertunjukan' berjalannya di hadapan Rajendra."Hebat, Sayang. Pincangnya udah nggak terlalu kelihatan. Aku yakin ini memang nggak bakal lama." Raje
Rajendra bangun lebih cepat dari Livia. Ia lalu duduk di pinggir tempat tidur sambil menatap kosong ke arah jendela yang tirainya masih tertutup rapat.Livia masih pulas dalam tidurnya. Ekspresinya begitu tenang seolah tidak ada masalah yang membebani hidup mereka.Tapi lain halnya bagi Rajendra. Hari ini terasa bagaikan medan perang.Rajendra mengisi paru-parunya dengan udara baru lalu melangkah keluar kamar dengan hati-hati agar tidak membangunkan Livia.Ia melangkah ke dapur, menuang segelas air putih lalu meneguknya. Setelahnya ia duduk di kursi meja makan dengan kepala tertunduk.Pikirannya mengelana tentang tes DNA hari ini. Wajah Lunetta muncul tiba-tiba, disusul oleh tawa manis Gadis dan senyum lembut Livia. Skenario terburuk tentang bagaimana reaksi Livia jika semua ini terungkap terus mengejarnya.Mengusap wajah dengan kasar, Rajendra bangkit dari duduknya. Ia harus membantu Livia membuat sarapan untuk Gadis.Rajendra menyibukkan dirinya di dapur membuat mashed potato untuk
Rajendra membeku di bangku taman setelah Sharon pergi. Wajahnya tegang, sorot matanya kosong. Udara dingin semakin menusuk kulit tetapi tidak ia rasakan. Yang ada hanyalah suara-suara yang bergema di kepalanya dan menyiksa batinnya tanpa henti. 'Lunetta anak gue? Apa memang itu faktanya? Tapi kenapa bisa?' Rajendra mendengkus menertawakan kebodohannya sendiri. Bagaimana bisa ia seceroboh itu? 'Kalau memang semua ini benar, gue mesti ngapain?' Wajah lembut Livia melintas tepat di depan matanya. Livia telah melalui begitu banyak hal bersamanya. Tidak hanya rasa sakit fisik tapi juga luka batin yang mungkin saat ini belum sembuh sepenuhnya. Rajendra baru saja mendapat kepercayaan dari Livia. Lantas bagaimana ia harus menjelaskan semua ini pada Livia? Bagaimana caranya mengatakan pada Livia bahwa Sharon adalah mantannya dan mereka memiliki seorang anak gara-gara hubungan di masa lalu? Sungguh, Rajendra tidak sanggup untuk berterus terang. Rajendra tidak ingin kehilangan Livia. R
Rajendra memandang arlojinya yang melingkar di pergelangan kiri. Sudah lima belas menit lamanya ia menunggu di sebuah taman kecil di dekat danau. Udara dingin menerpa kulit. Daun-daun berguguran menutupi jalan setapak. Rajendra duduk di bangku taman di dekat pohon dengan tangan dimasukkan ke dalam saku jaketnya. Tatapannya begitu gelisah. Ketika ia bermaksud mengambil ponsel untuk menghubungi orang yang akan bertemu dengannya saat ini, terdengar langkah kaki mendekat. Sharon muncul. Wanita itu mengenakan mantel panjang berwarna coklat. Wajahnya tampak pucat. Ia berjalan pelan ke arah Rajendra dengan sebuah tas tersampir di bahunya. "Hai, Ndra, long time no see," ucapnya sambil tersenyum. "Langsung saja, Sha. Kamu ingin bicara apa?" balas Rajendra dengan nada dingin. Ia tidak ingin berlama-lama berurusan dengan Sharon. "Kamu nggak mau menyilakanku duduk dulu?" "Kamu bisa duduk sendiri kalau kamu mau." Nada suara Rajendra masih sedingin tadi. Sharon tersenyum getir melihat R