Livia bangun lebih pagi walau tubuhnya masih terasa lelah oleh perjalanan panjang. Rasa antusiasmelah yang membuatnya bersemangat untuk membuka mata.Ketika memandang ke sebelahnya Livia tidak menemukan Gadis. Jantungnya berdegup kencang. Dengan cepat ia terduduk. "Gadis!!! Gadis!!!" serunya panik sambil turun dari tempat tidur."Halo Bunda, Gadis sudah siap mandi." Rajendra muncul dari arah kamar mandi bersama putri mereka yang tubuhnya terbalut handuk.Di detik itu Livia merasa lega. Ia pikir tadi Gadis ke mana."Kenapa sih? Kayak cemas banget?" tanya Rajendra melihat muka pucat Livia."Saya pikir Gadis ke mana," jawab Livia jujur."Aku tadi mandiin Gadis biar kamu nggak repot lagi. Kamu lupa nggak sendiri di sini? Ada aku. Kalau Gadis nggak ada di samping kamu itu artinya dia sedang bersamaku," jelas Rajendra menenangkan Livia.Livia terdiam. Ingatan membawanya pada kejadian kemarin. Mereka baru saja tiba di Cleveland lalu untuk pertama kalinya tidur bertiga."Kok ngelamun? Kamu n
Livia mencengkeram sprei di sisi badannya. Napasnya sesak akibat mencoba menahan bobot tubuh Rajendra yang berada di atasnya. Lelaki itu terus bergerak. Menghujam dengan kencang dan menghentak dengan cepat. Membuat Livia melenguh kesakitan. Namun, apa Rajendra peduli? Tentu tidak. Lelaki itu sibuk menikmati sendiri tanpa mau tahu perasaan Livia. Hujaman tajam terus diberikan, hentakan demi hentakan Livia terima. Hanya lirihan perih yang terus terlontar dari bibirnya. Sampai tubuh Rajendra mengejang. Lelaki itu mendapat pelepasannya. Beberapa detik setelah sensasi itu pergi Rajendra menarik diri. Ia buru-buru mengenakan pakaiannya. "Pergi! Tidur di sofa!" perintah lelaki itu pada Livia yang masih berbaring di tempat tidur. Suaranya sedingin tatapannya. Livia cepat mengenakan pakaiannya atau Rajendra akan marah. Diambilnya tongkat yang tersandar di sisi tempat tidur kemudian berjalan terpincang-pincang menuju sofa. Di sanalah Livia tidur setiap malam. Lebih tepatnya sejak i
Betapa terkejutnya Livia mendengar pengakuan perempuan yang kemudian ia ketahui bernama Utary itu.Bagaimana bisa perempuan itu hamil? Apa itu artinya Rajendra sudah mengkhianati Livia?Dengan hatinya yang hancur Livia menahan air matanya di depan Utary. Ia tidak boleh menangis menunjukkan kelemahannya."Nggak mungkin kamu mengandung anak Rajendra. Suami saya orangnya sangat setia. Dia nggak mungkin mengkhianati saya. Tolong jangan menipu.""Aku nggak menipu. Anak ini memang anak Rajendra. Kami melakukannya atas dasar perasaan cinta," ucap Utary bangga. "Justru aku yang harusnya meragukan kamu. Perempuan seperti kamu istrinya Rajendra? Nggak mungkin!" Utary memindai sekujur tubuh Livia dari puncak kepala hingga bawah kaki, menunjukkan betapa tidak percayanya dia. Perempuan itu terkejut ketika melihat Livia bertumpu pada sebuah tongkat. "Nggak mungkin kamu istrinya. Kamu hanya pembantu di rumah ini kan?" hinanya dengan pandangan merendahkan."Saya bukan pembantu. Saya istri Rajendra ya
Suara yang ditimbulkan kotak makan membuat Rajendra dan wanitanya terkejut. Keduanya sontak memisahkan diri setelah tadi larut dalam ciuman panas yang membara.Rajendra menggeram kesal menyadari Livialah yang datang. Apalagi perempuan itu langsung membuka pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Tadi saking asyik berciuman ia tidak tahu bahwa Livia sudah mengetuk pintu."Mau apa?" tanya lelaki itu dingin pada Livia yang berdiri membatu.Segala pertanyaan yang tersusun runut di benak Livia buyar begitu saja mengetahui perbuatan Rajendra dan wanita yang berciuman dengannya adalah Utary."Kamu lagi!" seru Utary jengkel. "Ndra, kenapa kamu biarkan perempuan itu datang ke sini? Tadi di rumah kamu dia mengaku-ngaku jadi istrimu. Tapi Tante Marina bilang dia hanya pembantu. Jadi mana yang benar?""Ya, dia hanya pembantu," kata Rendra menjawab sambil memandang Livia dengan tatapannya yang tajam. Ia benci Livia yang selalu saja datang ke kantornya untuk mengantar makanan.Hancur sudah hati Liv
Livia tidak punya tempat untuk berteduh. Ingin menginap di hotel tapi ia tidak punya uang lebih. Rajendra membatasi uang belanjanya yang hanya cukup untuk keperluan Livia sehari-hari. Jadi, Livia terpaksa pulang ke rumahnya setelah seharian ini berada di luar. Kepulangan Livia disambut oleh wajah masam mertuanya. "Dari mana kamu? Seharian keluar rumah sesukamu. Kamu pikir kamu siapa yang bisa seenaknya keluar masuk rumah ini?" "Maaf, Bu, tadi saya ke kantor mengantar makan siang untuk Rajendra." "Itu tadi siang. Apa kamu nggak tahu kalau sekarang sudah malam?" Livia hanya bisa menunduk mendengar perkataan mertuanya. Ia pikir dengan tidak meladeni Marina perempuan itu menganggap masalah selesai sampai di sana. Nyatanya Livia salah. Marina terus menyalahkannya. "Oh, jadi selain pincang kamu juga tuli sekarang?" kesalnya lantaran Livia tidak merespon perkataannya. Livia mengangkat wajah, mempertemukan tatapannya dengan sang mertua. "Maaf, Bu, saya salah," akunya tidak ingin
"Jangan harap. Itu nggak akan pernah terjadi. Bukan karena aku mencintai kamu, tapi karena aku ingin melihatmu menderita seperti yang selama ini kurasakan." Perkataan Rajendra kemarin malam yang menolak untuk menceraikannya terus terngiang-ngiang oleh Livia dan terbawa sampai hari ini. Livia tidak habis pikir. Bagaimana mungkin Rajendra bisa menderita? Lelaki itu mendapat apa pun dari Livia. Setiap kali Rajendra menginginkan tubuhnya Livia selalu bersedia. Pernah saat Livia sedang sakit ia tetap melayani Rajendra lantaran lelaki itu terus memaksa. Jadi, kalau pun ada yang menderita di dalam pernikahan ini, Livia adalah satu-satunya. Tapi, pernahkah Rajendra menyadari akan hal itu? "Aww!!!" Livia terpekik kesakitan. Akibat melamun tangannya jadi ikut teriris bersama bawang. Livia segera membersihkan jarinya yang berdarah dengan air di wastafel. Namun darahnya tetap keluar. Tadi ia mengiris terlalu kuat sehingga lukanya ikut dalam. 'Aku harus beli obat merah atau plester,' pik
Livia menatap lembaran uang yang dilempar Rajendra ke hadapannya dengan tatapan memburam akibat sepasang matanya yang berselimut kabut air mata. Hatinya sedih lantaran cara Rajendra memperlakukannya dan hanya menilainya sebatas uang. "Kenapa diam? Masih kurang uangnya? Berapa lagi yang kamu butuh, hah?" Rajendra membuka lagi dompetnya, mengambil kembali sejumlah uang dari sana, melemparnya ke muka Livia. "Kenapa kamu jahat sama saya, Ndra? Salah saya apa?" tanya Livia lirih dengan air mata yang hampir berderai. Rajendra berdecih. "Masih bisa bertanya salahmu apa?" "Saya memang nggak tahu, Ndra." "Itu karena kamu bodoh!" sergah Rajendra melampiaskan segala sakit hatinya. "Sekarang suruh orang itu pergi. Aku nggak mau ngeliat dia menginjakkan kaki di rumahku lagi!" Livia cepat menggelengkan kepalanya. "Saya sudah terlanjur menerima uang dari Pak Ryuga," dustanya. Yang sebenarnya ia belum menerima sepeser pun dari Ryuga. Mereka baru sekadar berkenalan. "Kembalikan!" Kata be
"Selamat malam, Bu Livia, saya mengantar Hazel les," kata Ryuga setelah Livia muncul dan duduk di hadapannya."Selamat malam, Pak Ryuga," jawab Livia ramah. Ekspresinya begitu ceria. Tidak ada yang tahu jika sesaat yang lalu Livia baru bertengkar hebat dengan suaminya. "Hazel silakan ditinggal ya, Pak. Nanti Bapak bisa jemput satu setengah jam lagi," sambung perempuan itu."Baiklah, Bu." Ryuga lantas berdiri, bersiap untuk pergi."Papa, jangan telat jemput aku ya, Pa," kata Hazel sebelum ayahnya meninggalkannya dengan Livia."Tentu, Sayang, Papa akan tepat waktu," janji pria itu.Sepeninggal Ryuga, Livia mengajak Hazel ke ruangan lain yang berada tepat di depan kamarnya. Di sanalah aktivitas belajar mengajar diselenggarakan.Hari pertama Livia mengajarkan matematika. Tadi Ryuga sempat bercerita padanya bahwa sang putri lemah dalam bidang pelajaran itu."Hazel, Bu Livia tinggal sebentar ya. Sekarang coba kamu kerjakan soal-soal ini dari nomor satu sampai sepuluh," kata Livia memberi in
Livia bangun lebih pagi walau tubuhnya masih terasa lelah oleh perjalanan panjang. Rasa antusiasmelah yang membuatnya bersemangat untuk membuka mata.Ketika memandang ke sebelahnya Livia tidak menemukan Gadis. Jantungnya berdegup kencang. Dengan cepat ia terduduk. "Gadis!!! Gadis!!!" serunya panik sambil turun dari tempat tidur."Halo Bunda, Gadis sudah siap mandi." Rajendra muncul dari arah kamar mandi bersama putri mereka yang tubuhnya terbalut handuk.Di detik itu Livia merasa lega. Ia pikir tadi Gadis ke mana."Kenapa sih? Kayak cemas banget?" tanya Rajendra melihat muka pucat Livia."Saya pikir Gadis ke mana," jawab Livia jujur."Aku tadi mandiin Gadis biar kamu nggak repot lagi. Kamu lupa nggak sendiri di sini? Ada aku. Kalau Gadis nggak ada di samping kamu itu artinya dia sedang bersamaku," jelas Rajendra menenangkan Livia.Livia terdiam. Ingatan membawanya pada kejadian kemarin. Mereka baru saja tiba di Cleveland lalu untuk pertama kalinya tidur bertiga."Kok ngelamun? Kamu n
Pesawat yang membawa Livia dan Rajendra baru saja lepas landas.Livia mendekap erat putri kecilnya yang kini berusia empat bulan. Sementara hatinya berbisik, "Selamat tinggal Indonesia. Semoga setelah kembali nanti aku benar-benar sehat dan bisa berjalan seperti dulu."Di kursi sebelahnya Rajendra duduk diam dengan pandangan lurus ke depan. Sesekali ia melirik Livia dan Gadis yang tertidur di pelukan ibunya. Pesawat terus naik membawa mereka menjauh dari tanah air. Suara deru mesin pesawat menggema di kabin. Sementara para penumpang mulai menyesuaikan diri dengan perjalanan panjang yang akan mereka tempuh.Rajendra membuka percakapan. "Gadis kelihatannya nyaman ya, dia nggak rewel. Nggak banyak anak kecil yang kayak dia," ujarnya pelan.Livia mengangguk. Ia bersyukur Gadis tidak banyak tingkah.Di tengah penerbangan pramugari datang membawa makanan. Livia mencobanya sedikit tapi selera makannya lenyap sejak pagi. Gadis juga mulai gelisah dalam tidurnya. Livia mengayun pelan tubuh an
Besok adalah hari keberangkatan Livia dan Rajendra ke Amerika. Keduanya sudah mempersiapkan segalanya. Persiapan tersebut tidak mudah terutama bagi Livia. Selain fisik ia harus menyiapkan mentalnya juga. Ia juga harus memastikan bahwa Gadis merasa nyaman dalam perjalanan tersebut.Sementara Rajendra mengambil alih semua proses administrasi. Mulai dari mengurus tiket pesawat, visa, hingga memastikan kalau Livia sudah terdaftar di pusat rehabilitasi rumah sakit di Amerika. Livia hanya fokuspada kebutuhan pribadinya dan Gadis. Seperti pakaian, obat-obatan, serta mainan yang bisa membuat Gadis merasa nyaman di tempat yang baru.Randu terheran-heran melihat tiga koper besar yang baru saja dikeluarkan Rajendra dari kamar. Anak itu mendekati Rajendra dan menatapnya penuh tanda tanya."Pa ... pa ... wu na?" (Papa mau ke mana?)Rajendra bersimpuh di lantai agar bisa sejajar dengan Randu. Ditatapnya anak itu dengan perasaan sedih."Papa mau pergi bawa Bunda berobat. Randu tinggal dulu di sini
Rajendra berdiri di balkon lantai dua rumahnya. Ia memandang kosong ke arah lampu-lampu kota yang berkerlipan. Ia tengah memikirkan pembicaraan terakhirnya bersama Livia. Sampai saat ini Rajendra masih menantikan jawaban Livia atas tawaran pengobatan itu. Livia berjanji akan menjawabnya malam ini. Rajendra sangat berharap Livia akan mengatakan iya.Di dalam kamarnya Livia duduk di pinggir tempat tidur sambil memandangi foto demi foto Gadis yang berada di dalam galeri ponselnya. Anak itu adalah segalanya baginya. Ia ingin memberikan yang terbaik untuk Gadis.Tawaran Rajendra untuk pergi ke Amerika demi pengobatan kakinya memang sangat menggiurkan, tapi Livia tidak ingin memberikan kesempatan pada Rajendra untuk mengendalikan hidupnya lagi.Pintu kamar diketuk. Livia tahu itu adalah Rajendra. Ia menyuruh lelaki itu masuk."Gimana, Liv? Kamu sudah ada keputusannya?" tuntut Rajendra begitu ia masuk.Livia mengangguk yang membuat senyum Rajendra mengembang. "Tapi saya punya syarat untuk
"Tante dengar katanya Rajendra mau mengajak kamu ke Amerika buat berobat. Itu benar, Liv?" tanya Lola satu minggu setelah penawaran Rajendra waktu itu.Saat itu Livia dan Lola sedang duduk santai di beranda. Gadis sedang bersantai di bouncernya sedangkan Randu asyik menendang bola dengan kakinya yang belum kokoh."Benar, Tante," jawab Livia mengiakan."Lalu apa lagi yang kamu pikirkan? Kapan kalian akan berangkat?"Livia terdiam. Sejujurnya keinginan untuk sembuh semakin besar. Dulu Cici bilang sebentar lagi Livia akan bisa berjalan tanpa tongkat, tapi nyatanya sampai saat ini ia masih butuh benda itu."Saya masih memikirkannya, Tante.""Ada yang membuat kamu ragu? Kenapa berpikirnya sampai selama itu? Gadis akan semakin besar. Tenaga kamu akan semakin banyak dibutuhkan," ucap Lola sambil melirik ke arah Gadis yang anteng di atas bouncernya. Livia ikut memandang ke arah yang sama. Yang dikatakan Lola tidak salah. Semakin bertambah usia Gadis maka ia akan membutuhkan perhatian dan ten
Saat mesin mobil sudah menyala Rajendra melirik ke arah Livia dan menemukan istrinya itu tengah melamun. Mungkin saja Livia sedang memikirkan tawarannya tadi. "Liv ...," panggil Rajendra yang berhasil mengeluarkan Livia dari lamunannya. Livia tampak tersentak. Khayalan indahnya buyar. "Aku serius soal pengobatan di Amerika. Peluang kesembuhan kaki kamu sangat besar kalau menjalani terapi intensif di sana." Rajendra meyakinkan sekali lagi. Livia menarik napas dalam-dalam seraya menyandarkan tubuhnya ke jok. Sepasang matanya memandang ke luar jendela. Sejujurnya Livia merasa bimbang. Ia sangat ingin kembali sehat dan berjalan dengan normal, tapi Livia tahu semua ini 'tidak gratis'. Ada pembalasan yang harus Livia lakukan, yaitu kembali ke pelukan Rajendra dan membina rumah tangga dengannya. Livia tidak siap. Sisa-sisa trauma itu masih ada. Ia ingat ada petuah yang mengatakan bahwa selingkuh ibarat penyakit yang susah sembuh. Sekali saja sudah selingkuh maka bukan tidak mungkin or
Setengah jam setelah kepergian Lola, Gema mengambil handphonenya. Ia tidak tahan lagi untuk tetap diam. Ia harus menghubungi anaknya sekarang. Gema tidak terima Langit dianggap sebagai orang ketiga.Gema mencari nomor Langit di daftar kontak lalu menekan tanda panggil. Ia harus menunggu beberapa detik sebelum akhirnya Langit menjawab telepon darinya."Halo, Ma. Tumben nelepon aku pagi-pagi. Kenapa, Ma?" suara Langit terdengar heran di seberang sana."Kamu di mana, Lang?" "Di kantor, Ma.""Sibuk nggak? Mama mau bicara sebentar.""Nggak, Ma, bicara aja. Mama butuh duit?""Nggak, bukan itu," bantah Gema cepat. "Tapi ini soal Livia."Jantung Langit berdetak cepat ketika nama Livia disebut. Ada apa dengan Livia? Apa yang terjadi? Dan kenapa ibunya tiba-tiba membicarakan Livia? Berbagai pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya."Tadi Tante Lola datang ke sini sama anak Livia. Dia meminta Mama menyampaikan ke kamu untuk menjauhi Livia."Di balik ponselnya Langit tertegun. Tidak mengerti k
Rajendra terkantuk-kantuk mengemudikan mobilnya. Beberapa kali ia menutup mulutnya yang menguap. Akibat menjaga Gadis semalaman ia jadi kurang tidur. Ditambah lagi pagi ini ia harus mengantar Livia ke rumah sakit untuk fisioterapi. Tadinya Livia ingin berangkat dengan taksi. Tapi Lola meminta agar Rajendra yang mengantar dan menemaninya."Nguap melulu dari tadi? Ngantuk banget? Kalau nggak sanggup nyetir biar saya turun dan naik taksi saja," sindir Livia pada Rajendra yang terkantuk-kantuk dan sibuk menutup mulutnya.Rajendra memandang sekilas pada Livia lalu kembali fokus pada jalanan di hadapannya. "Nggak usah khawatir, Liv. Aku masih bisa nyetir. Semalam aku cuma kurang tidur karena Gadis," jawabnya sambil tersenyum sedikit dengan wajah yang tampak lelah."Emangnya Gadis ngapain?" Livia bersikap pura-pura tidak tahu."Setelah dia pup kemarin aku kasih susu, terus dia nangis lagi dan aku buatin susu tambahan karena mengira dia masih lapar. Tapi ternyata dia nggak mau. Aku gendong d
Baru saja Rajendra hendak memejamkan matanya, rengekan Gadis menggagalkan niat itu. Rajendra bangkit dengan cepat dan melihat di atas tempat tidur Gadis sedang menangis. Di saat yang sama Livia juga terbangun."Biar aku yang urus Gadis, Liv. Kamu tidur aja." Rajendra mencegah Livia sebelum perempuan itu melakukan apa pun.Livia terlihat ragu tapi akhirnya ia menyerah. Ia ingin tahu apa Rajendra benar-benar bisa mengurus Gadis seperti yang dijanjikan laki-laki itu. Semua laki-laki mungkin bisa menggendong anak mereka, tapi tidak semua laki-laki mau membersihkan kotoran anak mereka.Livia membenahi selimutnya lalu memejamkan mata. Berpura-pura kembali tertidur. Tapi sebenarnya ia sedang mengintip apa yang Rajendra lakukan pada putri mereka.Rajendra mendekati Gadis yang sedang menangis. Tubuh mungilnya bergerak-gerak gelisah di atas tempat tidur. Rajendra mengusap-usap kepala Gadis namun tangis anak itu malah semakin keras."Kenapa, Sayang? Papa ada di sini," bisik Rajendra dengan lemb