Tok Tok Tok
"Assalamualaikum!" Tok Tok Tok "Assalamualaikum, Ara!" Tok Tok Tok "Assalamualaikum, Ara! Kamu di mana sih?!" Tok Tok Tok Teriakan dan ketukan keras di daun pintu tertutup berasal dari Bu Salamah, mertua Ara, terus bergema di depan teras mencoba mencari dan memanggil keberadaan sang menantu yang tidak kunjung membuka pintu rumah. "Ara! Di mana sih kamu?! Ya Allah, punya menantu kok budeg begini! Apa dia gak dengar saya terus teriak sedari tadi!" kesal Bu Salamah. Dia berkacak pinggang dengan bibir merengut kesal, mencoba sekali lagi mengetuk daun pintu tertutup yang ada di depannya. Tok Tok Tok "Assalamualaikum, Ara!" teriak Bu Salamah sekali lagi. "Wa'alaikum salam, Ma" jawab Ara menyahut salam ibu mertuanya, namun bukan dari dalam rumah, melainkan dari luar rumah di mana dia baru saja pulang dari warung. Bu Salamah berbalik badan, menatap menantunya yang terlihat sedang menenteng dua kantung plastik yang dia tebak berisi sayur dan ikan. "Mama kira kamu ada di dalam rumah, terus budeg gak denger panggilan mama sedari tadi. Oh, taunya kamu baru dari luar. Pantesan!" ujar Bu Salimah kepada menantunya. Ara menghela nafas panjang, beristighfar di dalam hati ketika mendengar ucapan mertuanya yang begitu enteng namun menyakitkan. Entah apa salahnya dan kurangnya sebagai menantu dari wanita paruh baya di depannya ini. Setelah menikah, seluruh hidupnya bukan hanya di baktikan kepada suaminya, namun kepada keluarga mertuanya juga. Tapi sepertinya, semua apa yang di lakukannya tidak pernah terlihat oleh keluarga mertuanya, terutama sang ibu mertua. "Astagfirullah hal adzim, tolong kuatkan hamba ya Allah. Kak Reno, tolong jemput Ara secepatnya. Ara udah gak kuat di sini" batin Ara menghela nafas lelah. Ara menghampiri ibu mertuanya, lalu bersalaman, mencium punggung tangan sang ibu mertua. "Ara abis ke warung, Mah. Ara belanja sayur sama ikan untuk makan siang Mas Dimas. Katanya Mas Dimas mau makan siang di rumah" jawab Ara. Bu Salamah mengangguk, namun dahinya sedikit mengeryit heran ketika melihat wajah menantunya dari dekat. Dia dapat melihat jika wajah menantunya terlihat begitu sembab, terutama mata Ara yang memerah seperti sehabis menangis. "Kelahi lagi kamu sama Dimas? Ck, apa kamu sama Dimas gak bisa akur sedikit aja? Gimana Dimas mau betah di rumah kalau istrinya hobi ngajak berantem. Mungkin karena Dimas gak betah sama kamu, kamu belum hamil juga sampai sekarang!" ujar Ibu Salamah mencibir menantunya, tidak menyadari perubahan raut wajah Ara yang terkejut sekaligus pucat. Ara menghirup nafas dalam untuk menenangkan hatinya yang di landa sakit hati akibat ucapan ibu mertuanya yang tidak berperasaan. Namun sepertinya kesabarannya lagi-lagi di uji ketika ibu mertuanya kembali membuka mulut, seakan belum puas menyakiti hatinya yang sudah tersiram air garam. "Kalau kamu lagi kondisi kaya gitu, mending gak usah keluar rumah! Malu-maluin aja! Gimana kalau tetangga lain liat? Gimana kalau ibu warung liat terus bergosip? Nanti di kira anak saya hobi nyiksa kamu! Araaaaa, Araaaa! Kamu ini kenapa sih, hobi banget bikin nama anak saya jelek di mata orang?! Seneng kamu ya, kalau anak saya jadi bahan gosip?!" kesal Ibu Salamah kembali mencibir sikap menantunya. Meskipun dia melihat wajah menantunya begitu sembab, tidak ada rasa iba sama sekali di hatinya, kecuali hanya memikirkan reputasi anak laki-lakinya. Ara memegang kantong kresek di kedua tangannya dengan erat, menghirup nafas dalam-dalam agar tidak terpengaruh oleh ucapan kejam mertuanya. Cukup tadi pagi saja dia bertengkar dengan suaminya. Dia sudah tidak punya tenaga lagi untuk bertengkar dengan mertuanya. "Astagfirullah, Ma. Kok Mama ngomongnya kaya gitu? Ara gak pernah punya pikiran sedikit-pun untuk menjelek-jelekkan suami Ara sendiri. Ara emang nangis, tapi Ara nangis karena sedih denger kondisi ibu di kampung yang makin parah. Ara mau pulang, tapi Mas Dimas gak ngizinin. Ara bingung. Ara mau liat kondisi ibu, tapi kalau Mas Dimas gak ngasih izin ke Ara untuk pulang, Ara gak bisa pergi. Kalau bisa, Ara mau minta tolong sama Mama untuk ngomong ke Mas Dimas untuk ngizinin Ara pulang ke kampung sebentar aja untuk nengok Ibu" ujar Ara berharap ibu mertuanya bisa mengerti kondisinya, jika sang suami tidak bisa mengerti kekhawatiran yang sedang di rasakannya saat ini. Bu Salamah mendengus."Ibu kamu itu penyakitan banget sih! Liat nih Mama yang udah tua, tapi masih sehat bugar! Udahlah, kamu ngapain sedih?! Ingat apa kata Dimas! Kalau suami kamu gak ngizinin pulang, ya kamu gak usah pulang! Jangan bangkang! Surga istri ada di suami. Mama yakin ibu kamu cuma sakit biasa. Dimas nyuruh kamu kirim uang untuk ibu kamu berobat kan? Kalau udah di kasih uang, Mama pikir gak perlu lagi kamu datang ke kampung!" jawabnya. "Mas Dimas cuma nyuruh kirim dua ratus ribu buat ibu...." "Cuma, kamu bilang? Cuma?! Dua ratus ribu itu uang, Ara! Jangan nyepelein pemberian suami! Durhaka kamu! Jangan jadi istri durhaka yang kufur nikmat, Araaaaaa. Walau cuma dua ratus ribu, itu tetap uang! Mama rasa, uang segitu udah cukup untuk nunjukin kasih sayang Dimas sama mertuanya" ujar Bu Salamah menyela ucapan menantunya. Ara menggertakkan gigi, mencoba menahan amarah."Mama jangan keterlaluan..."ujarnya berusaha sebisa mungkin untuk tidak menaikkan nada suaranya di depan ibu mertuanya. Ibu mertuanya memang menyebalkan! Sangat menyebalkan! Tapi bukan berarti itu bisa menjadi alasan untuknya melampaui batas. Setidaknya tidak untuk saat ini. Bu Salamah mendelik tajam menatap menantunya tidak suka."Siapa yang keterlaluan? Jangan drama, Ara! Ibu ngomong bener kok! Kamu dan keluargamu aja yang gak bisa bersyukur dengan pemberian Dimas!" jawab Bu Salamah. Ara menutup matanya, menghela nafas kesal, lalu membuka matanya, menatap ibu mertuanya tajam."Mama, Ara mohon jaga ucapan Mama. Mama tau selama Ara menikah dengan Mas Dimas, mas Dimas gak pernah ngasih apapun sama Ara, apalagi sama keluarga Ara! Kecuali, uang mahar di saat pernikahan, uang duka di saat kematian Abah, itu-pun cuma tiga ratus ribu! Terakhir kali mas Dimas ngasih uang untuk keluarga Ara, hanya seratus ribu pas ibu sakit sekitar tiga tahun lalu, dan dua ratus ribu waktu Mas Dimas nyuruh aku transfer tadi pagi. Apa Mama pikir itu pantas di berikan seorang menantu dengan jabatan seorang manajer? Saudara yang lain saja, yang hanya seorang karyawan biasa, bisa memberikan uang duka lima juta karena menghargai almarhum Abah selama masih hidup. Bukan aku ingin membandingkan suamiku, apalagi sampai aku ingin kufur nikmat dengan pemberian suamiku. Tapi selama ini, aku selalu menahannya dan tidak pernah melakukan protes apapun kepada Mas Dimas. Sekarang, aku ingin mengatakan kepada Mama, jika aku menahan malu kepada keluargaku sendiri atas tingkah polah Mas Dimas! Mama, Mama tau walau aku gadis kampung, keluargaku bukan orang miskin! Apa Mama kira uang yang Mas Dimas kasih itu ada nilainya untuk kami? Ya Allah, Maaaa.... Kalau aja keluargaku gak ngeliat Mas Dimas sebagai suamiku, dan mereka masih menghargai aku, sejujurnya aku malu sama keluargaku sendiri melihat tingkah Mas Dimas!" "Ara, jangan keterlaluan! Apa maksud kamu ngomong kaya gitu tentang Dimas, hah?! Kamu mau ngomong kalau Dimas itu suami yang pelit?! Berhak apa kamu ngomong kaya gitu ke anak Mama!" teriak Bu Salamah tidak terima ketika mendengar menantunya yang biasanya begitu diam dan penurut, sekarang terlihat membangkang ucapannya terlebih menjelekkan Dimas putranya. Ara melengos ke arah lain, enggan melihat ibu mertuanya. Dia kembali menatap ibu mertuanya dengan acuh tak acuh. Sisa kemarahan masih terlihat begitu jelas di matanya, begitu juga di mata ibu mertuanya. "Ada apa Mama ke sini? Ara sedang sibuk. Ara mau masuk ke dalam untuk beres-beres rumah. Kalau Mama ke sini cuma buat ngajak Ara berantem, lebih baik Mama pulang" ujar Ara. Bu Salamah melotot menatap Ara tajam."Kamu! Mama aduin kamu sama Dimas!" tunjuknya dengan jari mengacung ke wajah Ara. Ara menghela nafas lelah."Silahkan Ma. Ara cape. Ara mau pisah dari Mas Dimas" jawabnya, lalu berjalan gontai memasuki rumahnya, meninggalkan Bu Salamah yang masih mematung di depan teras setelah mendengar ucapan menantunya."Ara!""Ara!""Ara! Buka pintunya!"Tok Tok Tok"Ar...."CeklekUcapan Dimas terhenti saat dia melihat wajah istrinya yang baru saja membuka pintu.Dimas langsung merangsek masuk ke dalam rumah, menutup pintu di belakangnya dengan kasar hingga terdengar bantingan yang begitu keras."Kamu udah pulang Mas?" tanya Ara terdengar acuh, namun tetap mengulurkan tangannya untuk mencium punggung tangan suaminya seperti yang biasa dia lakukan.Dimas menghempaskan tangan istrinya begitu saja. Enggan di sentuh oleh sang istri yang sudah membuatnya dan ibunya marah.Ara menjerit pelan ketika tangannya di hempas begitu saja dengan kasar oleh suaminya. Dia mendongak menatap suaminya."Kamu kenapa Mas? Kenapa baru dateng udah marah-marah?" tanya Ara berpura-pura tidak mengetahui apa yang terjadi kepada suaminya yang pulang dalam keadaan marah. Padahal lebih dari siapapun, dialah yang paling mengetahui alasan di balik kemarahan suaminya.Siapa lagi jika bukan karena ibu mertuanya. Wanita paruh baya it
"Loh, kamu kok ada di sini, Dimas? Kamu udah pulang? Udah kasih pelajaran sama si Ara?" tanya Bu Salamah kepada anak laki-lakinya yang baru saja datang ke rumahnya, kini duduk bersandar di kursi ruang tamu."Dimas! Mama ngomong sama kamu, kok gak di saut!" kesal Bu Salamah ikut duduk di sebelah anaknya yang berwajah kusut."Istri kamu ngebangkang ya? Udah berani dia sama kamu? Sama kaya tadi Ara yang berani banget ngomong sama, Mama soal......, bla bla bla bla" ujar Ibu Salamah dengan sinis menceritakan kembali kepada anaknya tentang Ara yang berdebat dengannya mengenai Dimas dan keluarganya.Tentu saja di setiap ceritanya di tambahi sedikit bumbu agar hati Dimas semakin panas dan memberi pelajaran yang pantas untuk menantunya itu."Dimas, kamu denger ibu gak sih?! Ibu udah cape ngomong tapi kamu kaya gak dengerin!" kesal Bu Salamah menggeplak lengan anaknya yang malah asyik melamun.Dimas menatap wajah ibunya acuh."Ma, bisa gak Mama jangan ngomong atau tanya-tanya dulu sama Dimas! D
"Dimas, apa-apaan sih pertanyaan kamu itu? Kok, kamu kaya gak ngerti sama keadaan Papa dan Mama yang gak bisa nolong kamu waktu itu. Soal Sinta? Ya mana Mama Papa tau, kalau tuh anak kuliahnya gak bener. Orang dulu adekmu yang kekeuh mau kuliah kedokteran.Mama dan Papa kira selama dia mau, Sinta bakal mampu ngikutin pelajaran akademisnya, meski awalnya masuk emang harus pake jalur nyogok.Dimas, jangan pernah bilang kalau Mama gak sayang kamu. Kalau Mama gak sayang, mana mungkin Mama mau restuin kamu nikah siri sama si Cika jabl*y itu. Gara-gara kamu, Mama harus ikutan nyembunyiin status kamu yang udah nikah lagi itu dari Ara dan semua orang!Kalau gak inget kamu itu anak Mama dan udah ngehamilin tuh mantan pacar kamu yang lont*, udah Mama bejek kamu dan gak akan Mama dan Papa kasih warisan.Biar istrimu kampungan begitu, seenggaknya mantu Mama yang nyebelin itu, anak perempuan baik-baik dan dari keluarga baik-baik. Udahlah, Mama mending masuk ke kamar! Pusing kepala Mama mikirin kam
"Astagfirullahal' adzim. Astagfirullah, astagfirullah" gumam Ara terus beristighfar meminta ampun kepada yang maha kuasa setelah dia tersadar jika dirinya terlalu di liputi emosi hingga tidak sadar menaikkan nada suaranya di depan sang suami."Ya, Allah, hamba khilaf, ya Allah. Hamba tidak bermaksud durhaka kepada suami hamba" lirih Ara dengan wajah tertunduk dan terisak di atas lantai dingin. Lantai yang menjadi saksi bisu ketika dia menjerit dan berteriak di depan suaminya, melampiaskan semua kekesalan hatinya yang selama ini dia tahan. "Ya, Allah. Maafkan hamba, ya Allah. Hamba tidak bermaksud durhaka kepada suami hamba, hiks" lirih Ara kembali. Ara terus menangis sampai dirinya merasa lelah. Lelah karena batinnya terus tersiksa dan di lukai oleh kata-kata pedas suaminya dan ibu mertuanya."Mas, sampai kapan kamu tidak mau menerimaku menjadi istrimu sepenuhnya? Mas, apa salahku, hiks" lirih Ara dengan suara bergetar putus asa. Dia sudah berusaha menjadi yang terbaik. Menjadi yan
Ara masih terduduk sedih di tempatnya, dengan pikiran yang melayang mengingat memori masa lalu.Wajah dan suara abahnya yang begitu berat, penuh penyesalan, namun enggan mundur dari perjodohan yang sudah di lakukan."Demi Allah, tidak pernah Abah berpikir untuk menjualmu, Ara. Untuk apa Abah melakukan itu, di saat Abah sendiri masih mampu untuk mengurusmu sebagai anak perempuan Abah satu-satunya.Hati Abah juga berat untuk melakukan ini. Abah hanya ingin menjalankan wasiat mendiang kakekmu. Mungkin wasiat ini memang bisa di batalkan, tapi itu berarti Abah melanggar janji Abah kepada mendiang kakekmu.Sebagai seorang laki-laki dan seorang anak, Abah malu jika tidak bisa mewujudkan keinginan kakekmu, di tambah Abah sudah berjanji. Selain itu, ternyata keluarga Buwono yang datang sendiri untuk menagih janji atas wasiat perjodohan yang pernah di sepakati di antara kedua keluarga.Meski begitu, Abah janji sama kamu, Ara. Abah janji akan mencarikan jodoh yang terbaik untukmu. Jika Dimas pri
Plak!"M-mas, kamu kok diem aja! Tuh mbak Ara pergi tau! Bu-bukannya di kejar!" ujar Sinta yang lebih dulu tersadar dari keterkejutannya, memukul lengan kakak sulungnya untuk segera mengejar kakak iparnya sebelum semuanya semakin kacau.Dimas mengerjapkan mata, menatap linglung adiknya, sebelum akhirnya melangkah pergi untuk mengejar istrinya.Langkahnya terhenti sejenak di depan pintu rumah, berbalik menatap adiknya tajam saat dirinya sadar jika Ara mengetahui perselingkuhan dan pernikahan sirinya akibat mulut adiknya yang tidak sengaja membongkar tingkah buruknya di belakang Ara."Urusan kita belum selesai! Mas bakal kasih pelajaran sama kamu setelah urusan Mas sama Mbak ipar kamu selesai!" peringat Dimas menatap tajam adiknya.Sinta meneguk ludah kasar, rasa takut mulai membanjiri hatinya ketika melihat raut kemarahan di wajah kakak sulungnya. Dia memegang tasnya erat, enggan mengakui kesalahan atau-pun kekalahan.Sinta mendongakkan wajahnya angkuh, memberanikan diri membalas ucapa
"Astagfirullah. Astagfirullahal' adzim. Ya Allah. Ya Allah, hamba gak kuat ya Allah. Astagfirullah. Ibu, Abah, Mas , Ara mau pulang! Ara udah gak kuat lagi terus berada di dekat Mas Dimas. Mas Dimas bukan suami yang baik lagi.Astagfirullahal'adzim!" batin Ara menangis pilu sepanjang jalan ketika dia baru saja mendengar ucapan adik iparnya yang begitu menyakiti hatinya.Ucapan di mana adik iparnya dengan lantang menyebutkan kesalahan suaminya yang selama ini lakukan di belakang punggungnya.Perzinahan, menghamili wanita lain dan menikahi wanita itu adalah hal yang paling tidak bisa di terima oleh dirinya.Lagi-lagi banyak hal berkecamuk di dalam pikirannya, tentang apa salah dan kurangnya dia sebagai seorang istri.Dia selalu berusaha taat kepada suaminya sebaik mungkin, meskipun suaminya selalu menjadi sosok yang menyakiti hatinya.Tidak terkecuali, saat dirinya di suruh diam di rumah oleh sang suami, ketika abahnya berada di rumah sakit sedang meregang nyawa.Tidak pernah dia memban
Tuuuuut Tuuuuut"Nomor yang anda tuju, tidak bisa di hubungi!" "Si*l! Di mana sih kamu, Ara! Benar-benar pembangkang! Suami telepon malah di matiin! Durhaka! Pergi gak izin, juga gak bilang-bilang! Malah ngasih kunci ke tetangga. Bikin malu aja! Aaaargh" teriak Dimas geram, ingin sekali membanting ponselnya jika tidak ingat ponselnya adalah merk mahal dan keluaran terbaru."Aaargh! Si*l! Si*l! Si*l!" teriak Dimas frustasi menjambak rambutnya, melempar dan menendang barang yang ada di dekatnya.BrakBughPrang Pyar!Dimas menendang kursi dan meja, melempar bantal sofa, vas bunga keramik-pun tidak lolos dari jangkauan tangannya hingga terlempar ke dinding lalu hancur berkeping-keping, menimbulkan suara nyaring. "Araaaaa, kamu gak boleh pergi! Gak boleh pergi! Kamu gak boleh pergi tanpa izin aku! Aku gak ridho, Ara! Berdosa kamu! Berdosa kamu jadi perempuan!" teriak Dimas geram dengan nafas tersengal penuh rasa amarah dan frustasi.Gigi Dimas bergemalatuk, dengan mata menajam, mencoba
Pak Doni tertegun ditempatnya, hampir kehilangan kata-kata saat mendengar ucapan Ara. Dia ingat, selama ini dia jarang membela membantunya yang ditindas oleh istri dan anaknya. Ada-pun saat dia pernah membela Ara, sepertinya masih bisa di hitung jari. Sudah dia bilang sebelumnya jika dia bukan tidak ingin membela Ara, dia hanya malas bertengkar dengan istrinya yang cerewet jika sedang membela menantunya ini. Istrinya memang takut padanya. Tapi, bukan takut yang sampai tidak bisa melawan. Istrinya ini wanita yang keras kepala. Bahkan sifat Dimas tidak berbeda jauh dengan istrinya, hingga dia tidak terlalu menyukai Dimas, dan lebih menyukai dan menyayangi Shinta sebagai putrinya. Meskipun dia tidak terlalu menyukai Dimas karena hal lain. "Ara, Papa enggak bermaksud mengabaikan kamu selama ini. Papa..." ucapan pak Doni terbata-bata saat menjawab menantunya. Belum selesai dia berbicara dan membela diri, Reno sudah menyela ucapannya. Reno memegang tangan adiknya, menatap keluarga Dimas
Leher Dimas menciut tidak berani berbicara apapun lagi di depan Reno setelah melihat wajah dingin kakak iparnya yang membuatnya menggigil tanpa sadar. Meskipun dia enggan mengakui, namun aura yang dikeluarkan saat ini benar-benar menyeramkan hingga dia tidak bernyali. "A-aku.., aku..." Dimas meneguk ludah kasar berujar dengan terbata-bata. Saat ini, dia seakan kehilangan suaranya, padahal sebelumnya dia berbicara dengan sangat lantang. Wajah Reno semakin merah padam akibat marah, sedangkan wajah pak Doni merah padam karena menanggung malu. Saat ini Dimas layaknya sebuah kerupuk yang tersiram air dihadapan Reno. Ara segera memegang lengan kakaknya ketika melihat situasi semakin menegangkan. Dia memang sebal dan marah dengan suaminya, namun bukan berarti dia ingin Dimas dipukuli oleh kakaknya. Biar kakaknya hanya seorang pemuda dari desa, namun kakaknya ini mendapatkan pendidikan tidak kalah dari orang-orang di kota, hingga Reno memiliki ilmu bela diri yang mumpuni. Kakaknya
PlakTangan Dimas melayang namun bukan menampar wajah Ara, melainkan ke arah lain, karena dokter Handi lebih dulu bergerak cepat untuk menepis tangan Dimas sehingga tidak sempat menyentuh kulit Ara. "Dimas!" semua orang yang ada di dalam ruangan dokter Handi terkejut ketika mereka melihat apa yang baru saja dilakukan oleh Dimas. "Dimas! Berani kamu main tangan sama adik saya!" bentak Reno yang baru saja memasuki ruangan dokter Handi dengan wajah merah padam menatap adik iparnya tajam sekaligus tidak percaya.Dia baru saja dikabari oleh Handi tentang keadaan adiknya yang sedang dihadapkan dengan Dimas dan keluarga besannya ini hingga dia harus berjalan cepat untuk datang ke tempat ini dan meninggalkan ibunya yang kini di jaga oleh Bima seorang diri. Dia pikir Dimas dan keluarganya kemari untuk menemui Ara atau mungkin ingin menjenguk ibunya mengingat mereka sudah mengetahui keberadaan keluarganya di rumah sakit ini. Namun, tidak di sangka, alih-alih Dimas datang untuk melihat keadaa
Dimas tertegun ditempatnya saat mendengar ucapan Ara yang mengatakan membencinya. Shinta mencibir kelakuan kakaknya. Padahal Dimas sudah diwanti-wanti oleh mereka sepanjang perjalanan menuju kemari agar tidak membuat masalah. Hanya karena beberapa ucapan Ara yang masih marah dengan kakaknya ini, Dimas sudah kehilangan kendali."Mas, aku enggak mau ya sampai enggak bisa kuliah cuma gara-gara Mas yang buat ulah dan bikin rencana kita untuk membujuk Mbak Ara gagal. Kalau itu terjadi, lihat aja! Shinta bakal bilang sama Papa untuk marahin Mas kalau perlu usir Mas Dimas! Shinta enggak mau liat orang yang udah buat Shinta enggak bisa kuliah gara-gara keluarga kita bangkrut!" kesal Shinta di telinga Dimas hingga membuat wajah Dimas terlihat semakin jelek dan memerah karena kesal. Pak Doni menatap Dimas kesal, namun memilih untuk tidak mengatakan apa-apa. Dia sudah lelah memarahi Dimas namun anaknya ini tetap masih bebal dan terus mengulangi kesalahan yang sama. Dia menatap istrinya yang
"Aku enggak hamil!" ujar Ara membantah ucapan Shinta. Dia tidak ingin kehadirannya disalahpahami oleh suami dan keluarga mertuanya. Dia tidak ingin hal seperti ini nantinya dijadikan alasan untuk mencegahnya berpisah dari suaminya. Dia sudah tidak sanggup hidup bersama dengan Dimas. Sekarang keluarganya sudah mendukungnya untuk berpisah, jadi dia merasa tidak ada yang perlu dipertahankan lagi. Dia ingin hidup bahagia dengan keluarganya sendiri, atau suami masa depannya yang benar-benar mencintainya.Mata Shinta menyipit."Kalau enggak hamil, kenapa mbak Ara ada di sini? Ini poli kandungan bukan? Aku tau mbak masih marah sama Mas Dimas, tapi untuk hal sebesar ini, jangan di tutup-tutupi. Kasihan anak mbak dan Mas Dimas nanti kalau punya orang tua yang enggak akur, apalagi sampai pisah nantinya. Mas Dimas dan kita semua udah datang ke sini jauh-jauh untuk jemput Mbak dan jenguk ibu Widya" ujarnya. Bu Salamah yang melihat ada celah Ara bisa kembali kepada putranya segera menimpali ucapan
Ara duduk dengan wajah tegang di ruang praktik dokter Handi, menunggu hasil pemeriksaan kesuburan dirinya. Dokter Handi menghela napas dalam, sebelum membuka berkas hasil pemeriksaan. Dia menatap Ara rumit, sebelum akhirnya tersenyum tipis menyampaikan hasil pemeriksaan yang ada ditangannya kepada Ara, yang hari ini menjadi salah satu pasiennya."Ara, kamu lihat jika hasil pemeriksaan mu sudah keluar dan hasilnya ada ditangan saya. Biarkan Mas memberitahu hasil pemeriksaan mu. Ara, hasil test ini menunjukkan bahwa tidak ada masalah dengan kesuburan dirimu" ujarnya yang membuat Ara bernafas lega seakan beban berat yang selama ini ditanggungnya seakan langsung menghilang dalam sekejap.Ara menggigit bibirnya, menahan emosi. Ada riak kesenangan saat tau dia tidak memiliki masalah apapun dengan kandungannya. Dia bahkan ingin melompat andai saja tidak memiliki rasa malu. Itu berarti di masa depan, dia masih memiliki kesempatan untuk mempunyai seorang bayi miliknya sendiri. Ara menatap d
"Dimas, Dimas! Apa kamu beneran enggak tahu kalau ibu mertua kamu kritis? Mah! Kamu juga enggak tahu kalau besan kamu sakit parah? Kalian berdua ini, selama ini ngapain aja di rumah tinggal sama Ara, hah?! Kalau Papa atau Shinta yang enggak tahu, ya wajar kalau kami enggak tahu. Papa sibuk kerja. Shinta sibuk kuliah. Sedangkan kalian? Dimas, kamu setiap hari tidur sama istri kamu, masa iya Ara enggak ngomong ibunya sakit! Kamu pasti sibuk kelonan sama istri muda kamu itu! Dasar! Mah, kamu tiap hari ketemu Ara. Meskipun Ara enggak tinggal serumah sama kita, tapi Ara hampir setiap hari datang ke rumah untuk beberes rumah dan bantuin kamu masak. Ya, Allah. Malu, Papa malu! Tetangga Ara lebih tau kondisi ibu Widya dibanding kita besannya, terutama kamu Dimas! Pantas aja Ara kabur dari rumah! Kamu sebagai suami gimana sih?! Udahlah pantes waktu kamu dipenjara, istri kamu enggak mau nengok dan peduli. Kamu aja enggak peduli sama Ara! Bikin malu aja! Kalau kaya gini, Papa jadi engg
Pak Doni menatap Dimas dengan tajam. Dia menyuruh anaknya ini untuk menjemput Ara dan meminta maaf serta menyelesaikan permasalahan rumah tangga yang ada. Namun, bukan kabar baik yang didapatkannya setelah Dimas menyusul menantunya, dimana anak dan menantunya sudah berbaikan, melainkan kabar buruk dimana Dimas malah masuk penjara, karena mengganggu ketertiban desa, kampung halaman menantunya. "Ya, Allah, Dimas. Kamu sampai kapan sih buat ulah terus? Masalah yang satu belum kelar, malah nambah masalah lagi. Kamu emang suka ya lihat Papa mati cepet karena serangan jantung gara-gara tingkah kamu ini? Aranya mana? Papa nyuruh kamu untuk pergi nyusul dan bujuk istri kamu di rumah orang tuanya.Bukannya nyuruh kamu ribut sama orang sekampung di desa istri kamu. Astagfirullahal'adzim Dimas! Kamu bener-bener..." ujar Pak Doni tidak bisa berkata-kata kepada Dimas. Dia hanya bisa memelototi putranya dengan menampakkan kekesalan tertahan.Pak Doni mendengus kasar. Jika saja dia tidak melihat w
"Sudah selesai Mas urusannya?" tanya Ara sambil mencium tangan Reno yang baru saja kembali ke rumah sakit setelah malam tiba.Reno tersenyum dan mengangguk."Maaf Mas lama datengnya. Niatnya Mas cuma mau pergi sebentar, eh taunya malah kebablasan. Ternyata banyak kerjaan yang harus Mas urus.Terus gimana kondisi ibu? Apa ibu baik-baik aja? Apa ada perkembangan? Kamu sama Bima udah makan?"Ara mengangguk."Ara sama Bima udah makan. Mas bagaimana? Jangan karena sibuk mengurus kami, ibu dan yang lainnya, Mas malah melupakan menjaga diri sendiri. Alhamdulillah ibu baik-baik aja. Soal perkembangan ibu, belum ada perbaikan Mas. Kondisi ibu masih sama" jawabnya menghela nafas sedih di akhir kalimat.Reno mengelus lembut kepala adiknya."Kita berdoa dan bersabar aja. Semoga ibu baik-baik aja dan segera sembuh. Kamu jangan stress atau sedih. Mas, Bima, kamu, kita jaga ibu sama-sama" ujarnya.Ara mengangguk lemah."Iya Mas. Kita jaga ibu sama-sama" jawabnya. Dia terdiam sesaat, sebelum akhirnya mem