Tok Tok Tok
"Assalamualaikum!" Tok Tok Tok "Assalamualaikum, Ara!" Tok Tok Tok "Assalamualaikum, Ara! Kamu di mana sih?!" Tok Tok Tok Teriakan dan ketukan keras di daun pintu tertutup berasal dari Bu Salamah, mertua Ara, terus bergema di depan teras mencoba mencari dan memanggil keberadaan sang menantu yang tidak kunjung membuka pintu rumah. "Ara! Di mana sih kamu?! Ya Allah, punya menantu kok budeg begini! Apa dia gak dengar saya terus teriak sedari tadi!" kesal Bu Salamah. Dia berkacak pinggang dengan bibir merengut kesal, mencoba sekali lagi mengetuk daun pintu tertutup yang ada di depannya. Tok Tok Tok "Assalamualaikum, Ara!" teriak Bu Salamah sekali lagi. "Wa'alaikum salam, Ma" jawab Ara menyahut salam ibu mertuanya, namun bukan dari dalam rumah, melainkan dari luar rumah di mana dia baru saja pulang dari warung. Bu Salamah berbalik badan, menatap menantunya yang terlihat sedang menenteng dua kantung plastik yang dia tebak berisi sayur dan ikan. "Mama kira kamu ada di dalam rumah, terus budeg gak denger panggilan mama sedari tadi. Oh, taunya kamu baru dari luar. Pantesan!" ujar Bu Salimah kepada menantunya. Ara menghela nafas panjang, beristighfar di dalam hati ketika mendengar ucapan mertuanya yang begitu enteng namun menyakitkan. Entah apa salahnya dan kurangnya sebagai menantu dari wanita paruh baya di depannya ini. Setelah menikah, seluruh hidupnya bukan hanya di baktikan kepada suaminya, namun kepada keluarga mertuanya juga. Tapi sepertinya, semua apa yang di lakukannya tidak pernah terlihat oleh keluarga mertuanya, terutama sang ibu mertua. "Astagfirullah hal adzim, tolong kuatkan hamba ya Allah. Kak Reno, tolong jemput Ara secepatnya. Ara udah gak kuat di sini" batin Ara menghela nafas lelah. Ara menghampiri ibu mertuanya, lalu bersalaman, mencium punggung tangan sang ibu mertua. "Ara abis ke warung, Mah. Ara belanja sayur sama ikan untuk makan siang Mas Dimas. Katanya Mas Dimas mau makan siang di rumah" jawab Ara. Bu Salamah mengangguk, namun dahinya sedikit mengeryit heran ketika melihat wajah menantunya dari dekat. Dia dapat melihat jika wajah menantunya terlihat begitu sembab, terutama mata Ara yang memerah seperti sehabis menangis. "Kelahi lagi kamu sama Dimas? Ck, apa kamu sama Dimas gak bisa akur sedikit aja? Gimana Dimas mau betah di rumah kalau istrinya hobi ngajak berantem. Mungkin karena Dimas gak betah sama kamu, kamu belum hamil juga sampai sekarang!" ujar Ibu Salamah mencibir menantunya, tidak menyadari perubahan raut wajah Ara yang terkejut sekaligus pucat. Ara menghirup nafas dalam untuk menenangkan hatinya yang di landa sakit hati akibat ucapan ibu mertuanya yang tidak berperasaan. Namun sepertinya kesabarannya lagi-lagi di uji ketika ibu mertuanya kembali membuka mulut, seakan belum puas menyakiti hatinya yang sudah tersiram air garam. "Kalau kamu lagi kondisi kaya gitu, mending gak usah keluar rumah! Malu-maluin aja! Gimana kalau tetangga lain liat? Gimana kalau ibu warung liat terus bergosip? Nanti di kira anak saya hobi nyiksa kamu! Araaaaa, Araaaa! Kamu ini kenapa sih, hobi banget bikin nama anak saya jelek di mata orang?! Seneng kamu ya, kalau anak saya jadi bahan gosip?!" kesal Ibu Salamah kembali mencibir sikap menantunya. Meskipun dia melihat wajah menantunya begitu sembab, tidak ada rasa iba sama sekali di hatinya, kecuali hanya memikirkan reputasi anak laki-lakinya. Ara memegang kantong kresek di kedua tangannya dengan erat, menghirup nafas dalam-dalam agar tidak terpengaruh oleh ucapan kejam mertuanya. Cukup tadi pagi saja dia bertengkar dengan suaminya. Dia sudah tidak punya tenaga lagi untuk bertengkar dengan mertuanya. "Astagfirullah, Ma. Kok Mama ngomongnya kaya gitu? Ara gak pernah punya pikiran sedikit-pun untuk menjelek-jelekkan suami Ara sendiri. Ara emang nangis, tapi Ara nangis karena sedih denger kondisi ibu di kampung yang makin parah. Ara mau pulang, tapi Mas Dimas gak ngizinin. Ara bingung. Ara mau liat kondisi ibu, tapi kalau Mas Dimas gak ngasih izin ke Ara untuk pulang, Ara gak bisa pergi. Kalau bisa, Ara mau minta tolong sama Mama untuk ngomong ke Mas Dimas untuk ngizinin Ara pulang ke kampung sebentar aja untuk nengok Ibu" ujar Ara berharap ibu mertuanya bisa mengerti kondisinya, jika sang suami tidak bisa mengerti kekhawatiran yang sedang di rasakannya saat ini. Bu Salamah mendengus."Ibu kamu itu penyakitan banget sih! Liat nih Mama yang udah tua, tapi masih sehat bugar! Udahlah, kamu ngapain sedih?! Ingat apa kata Dimas! Kalau suami kamu gak ngizinin pulang, ya kamu gak usah pulang! Jangan bangkang! Surga istri ada di suami. Mama yakin ibu kamu cuma sakit biasa. Dimas nyuruh kamu kirim uang untuk ibu kamu berobat kan? Kalau udah di kasih uang, Mama pikir gak perlu lagi kamu datang ke kampung!" jawabnya. "Mas Dimas cuma nyuruh kirim dua ratus ribu buat ibu...." "Cuma, kamu bilang? Cuma?! Dua ratus ribu itu uang, Ara! Jangan nyepelein pemberian suami! Durhaka kamu! Jangan jadi istri durhaka yang kufur nikmat, Araaaaaa. Walau cuma dua ratus ribu, itu tetap uang! Mama rasa, uang segitu udah cukup untuk nunjukin kasih sayang Dimas sama mertuanya" ujar Bu Salamah menyela ucapan menantunya. Ara menggertakkan gigi, mencoba menahan amarah."Mama jangan keterlaluan..."ujarnya berusaha sebisa mungkin untuk tidak menaikkan nada suaranya di depan ibu mertuanya. Ibu mertuanya memang menyebalkan! Sangat menyebalkan! Tapi bukan berarti itu bisa menjadi alasan untuknya melampaui batas. Setidaknya tidak untuk saat ini. Bu Salamah mendelik tajam menatap menantunya tidak suka."Siapa yang keterlaluan? Jangan drama, Ara! Ibu ngomong bener kok! Kamu dan keluargamu aja yang gak bisa bersyukur dengan pemberian Dimas!" jawab Bu Salamah. Ara menutup matanya, menghela nafas kesal, lalu membuka matanya, menatap ibu mertuanya tajam."Mama, Ara mohon jaga ucapan Mama. Mama tau selama Ara menikah dengan Mas Dimas, mas Dimas gak pernah ngasih apapun sama Ara, apalagi sama keluarga Ara! Kecuali, uang mahar di saat pernikahan, uang duka di saat kematian Abah, itu-pun cuma tiga ratus ribu! Terakhir kali mas Dimas ngasih uang untuk keluarga Ara, hanya seratus ribu pas ibu sakit sekitar tiga tahun lalu, dan dua ratus ribu waktu Mas Dimas nyuruh aku transfer tadi pagi. Apa Mama pikir itu pantas di berikan seorang menantu dengan jabatan seorang manajer? Saudara yang lain saja, yang hanya seorang karyawan biasa, bisa memberikan uang duka lima juta karena menghargai almarhum Abah selama masih hidup. Bukan aku ingin membandingkan suamiku, apalagi sampai aku ingin kufur nikmat dengan pemberian suamiku. Tapi selama ini, aku selalu menahannya dan tidak pernah melakukan protes apapun kepada Mas Dimas. Sekarang, aku ingin mengatakan kepada Mama, jika aku menahan malu kepada keluargaku sendiri atas tingkah polah Mas Dimas! Mama, Mama tau walau aku gadis kampung, keluargaku bukan orang miskin! Apa Mama kira uang yang Mas Dimas kasih itu ada nilainya untuk kami? Ya Allah, Maaaa.... Kalau aja keluargaku gak ngeliat Mas Dimas sebagai suamiku, dan mereka masih menghargai aku, sejujurnya aku malu sama keluargaku sendiri melihat tingkah Mas Dimas!" "Ara, jangan keterlaluan! Apa maksud kamu ngomong kaya gitu tentang Dimas, hah?! Kamu mau ngomong kalau Dimas itu suami yang pelit?! Berhak apa kamu ngomong kaya gitu ke anak Mama!" teriak Bu Salamah tidak terima ketika mendengar menantunya yang biasanya begitu diam dan penurut, sekarang terlihat membangkang ucapannya terlebih menjelekkan Dimas putranya. Ara melengos ke arah lain, enggan melihat ibu mertuanya. Dia kembali menatap ibu mertuanya dengan acuh tak acuh. Sisa kemarahan masih terlihat begitu jelas di matanya, begitu juga di mata ibu mertuanya. "Ada apa Mama ke sini? Ara sedang sibuk. Ara mau masuk ke dalam untuk beres-beres rumah. Kalau Mama ke sini cuma buat ngajak Ara berantem, lebih baik Mama pulang" ujar Ara. Bu Salamah melotot menatap Ara tajam."Kamu! Mama aduin kamu sama Dimas!" tunjuknya dengan jari mengacung ke wajah Ara. Ara menghela nafas lelah."Silahkan Ma. Ara cape. Ara mau pisah dari Mas Dimas" jawabnya, lalu berjalan gontai memasuki rumahnya, meninggalkan Bu Salamah yang masih mematung di depan teras setelah mendengar ucapan menantunya."Ara!""Ara!""Ara! Buka pintunya!"Tok Tok Tok"Ar...."CeklekUcapan Dimas terhenti saat dia melihat wajah istrinya yang baru saja membuka pintu.Dimas langsung merangsek masuk ke dalam rumah, menutup pintu di belakangnya dengan kasar hingga terdengar bantingan yang begitu keras."Kamu udah pulang Mas?" tanya Ara terdengar acuh, namun tetap mengulurkan tangannya untuk mencium punggung tangan suaminya seperti yang biasa dia lakukan.Dimas menghempaskan tangan istrinya begitu saja. Enggan di sentuh oleh sang istri yang sudah membuatnya dan ibunya marah.Ara menjerit pelan ketika tangannya di hempas begitu saja dengan kasar oleh suaminya. Dia mendongak menatap suaminya."Kamu kenapa Mas? Kenapa baru dateng udah marah-marah?" tanya Ara berpura-pura tidak mengetahui apa yang terjadi kepada suaminya yang pulang dalam keadaan marah. Padahal lebih dari siapapun, dialah yang paling mengetahui alasan di balik kemarahan suaminya.Siapa lagi jika bukan karena ibu mertuanya. Wanita paruh baya it
"Loh, kamu kok ada di sini, Dimas? Kamu udah pulang? Udah kasih pelajaran sama si Ara?" tanya Bu Salamah kepada anak laki-lakinya yang baru saja datang ke rumahnya, kini duduk bersandar di kursi ruang tamu."Dimas! Mama ngomong sama kamu, kok gak di saut!" kesal Bu Salamah ikut duduk di sebelah anaknya yang berwajah kusut."Istri kamu ngebangkang ya? Udah berani dia sama kamu? Sama kaya tadi Ara yang berani banget ngomong sama, Mama soal......, bla bla bla bla" ujar Ibu Salamah dengan sinis menceritakan kembali kepada anaknya tentang Ara yang berdebat dengannya mengenai Dimas dan keluarganya.Tentu saja di setiap ceritanya di tambahi sedikit bumbu agar hati Dimas semakin panas dan memberi pelajaran yang pantas untuk menantunya itu."Dimas, kamu denger ibu gak sih?! Ibu udah cape ngomong tapi kamu kaya gak dengerin!" kesal Bu Salamah menggeplak lengan anaknya yang malah asyik melamun.Dimas menatap wajah ibunya acuh."Ma, bisa gak Mama jangan ngomong atau tanya-tanya dulu sama Dimas! D
"Dimas, apa-apaan sih pertanyaan kamu itu? Kok, kamu kaya gak ngerti sama keadaan Papa dan Mama yang gak bisa nolong kamu waktu itu. Soal Sinta? Ya mana Mama Papa tau, kalau tuh anak kuliahnya gak bener. Orang dulu adekmu yang kekeuh mau kuliah kedokteran.Mama dan Papa kira selama dia mau, Sinta bakal mampu ngikutin pelajaran akademisnya, meski awalnya masuk emang harus pake jalur nyogok.Dimas, jangan pernah bilang kalau Mama gak sayang kamu. Kalau Mama gak sayang, mana mungkin Mama mau restuin kamu nikah siri sama si Cika jabl*y itu. Gara-gara kamu, Mama harus ikutan nyembunyiin status kamu yang udah nikah lagi itu dari Ara dan semua orang!Kalau gak inget kamu itu anak Mama dan udah ngehamilin tuh mantan pacar kamu yang lont*, udah Mama bejek kamu dan gak akan Mama dan Papa kasih warisan.Biar istrimu kampungan begitu, seenggaknya mantu Mama yang nyebelin itu, anak perempuan baik-baik dan dari keluarga baik-baik. Udahlah, Mama mending masuk ke kamar! Pusing kepala Mama mikirin kam
"Astagfirullahal' adzim. Astagfirullah, astagfirullah" gumam Ara terus beristighfar meminta ampun kepada yang maha kuasa setelah dia tersadar jika dirinya terlalu di liputi emosi hingga tidak sadar menaikkan nada suaranya di depan sang suami."Ya, Allah, hamba khilaf, ya Allah. Hamba tidak bermaksud durhaka kepada suami hamba" lirih Ara dengan wajah tertunduk dan terisak di atas lantai dingin. Lantai yang menjadi saksi bisu ketika dia menjerit dan berteriak di depan suaminya, melampiaskan semua kekesalan hatinya yang selama ini dia tahan. "Ya, Allah. Maafkan hamba, ya Allah. Hamba tidak bermaksud durhaka kepada suami hamba, hiks" lirih Ara kembali. Ara terus menangis sampai dirinya merasa lelah. Lelah karena batinnya terus tersiksa dan di lukai oleh kata-kata pedas suaminya dan ibu mertuanya."Mas, sampai kapan kamu tidak mau menerimaku menjadi istrimu sepenuhnya? Mas, apa salahku, hiks" lirih Ara dengan suara bergetar putus asa. Dia sudah berusaha menjadi yang terbaik. Menjadi yan
Ara masih terduduk sedih di tempatnya, dengan pikiran yang melayang mengingat memori masa lalu.Wajah dan suara abahnya yang begitu berat, penuh penyesalan, namun enggan mundur dari perjodohan yang sudah di lakukan."Demi Allah, tidak pernah Abah berpikir untuk menjualmu, Ara. Untuk apa Abah melakukan itu, di saat Abah sendiri masih mampu untuk mengurusmu sebagai anak perempuan Abah satu-satunya.Hati Abah juga berat untuk melakukan ini. Abah hanya ingin menjalankan wasiat mendiang kakekmu. Mungkin wasiat ini memang bisa di batalkan, tapi itu berarti Abah melanggar janji Abah kepada mendiang kakekmu.Sebagai seorang laki-laki dan seorang anak, Abah malu jika tidak bisa mewujudkan keinginan kakekmu, di tambah Abah sudah berjanji. Selain itu, ternyata keluarga Buwono yang datang sendiri untuk menagih janji atas wasiat perjodohan yang pernah di sepakati di antara kedua keluarga.Meski begitu, Abah janji sama kamu, Ara. Abah janji akan mencarikan jodoh yang terbaik untukmu. Jika Dimas pri
Plak!"M-mas, kamu kok diem aja! Tuh mbak Ara pergi tau! Bu-bukannya di kejar!" ujar Sinta yang lebih dulu tersadar dari keterkejutannya, memukul lengan kakak sulungnya untuk segera mengejar kakak iparnya sebelum semuanya semakin kacau.Dimas mengerjapkan mata, menatap linglung adiknya, sebelum akhirnya melangkah pergi untuk mengejar istrinya.Langkahnya terhenti sejenak di depan pintu rumah, berbalik menatap adiknya tajam saat dirinya sadar jika Ara mengetahui perselingkuhan dan pernikahan sirinya akibat mulut adiknya yang tidak sengaja membongkar tingkah buruknya di belakang Ara."Urusan kita belum selesai! Mas bakal kasih pelajaran sama kamu setelah urusan Mas sama Mbak ipar kamu selesai!" peringat Dimas menatap tajam adiknya.Sinta meneguk ludah kasar, rasa takut mulai membanjiri hatinya ketika melihat raut kemarahan di wajah kakak sulungnya. Dia memegang tasnya erat, enggan mengakui kesalahan atau-pun kekalahan.Sinta mendongakkan wajahnya angkuh, memberanikan diri membalas ucapa
"Astagfirullah. Astagfirullahal' adzim. Ya Allah. Ya Allah, hamba gak kuat ya Allah. Astagfirullah. Ibu, Abah, Mas , Ara mau pulang! Ara udah gak kuat lagi terus berada di dekat Mas Dimas. Mas Dimas bukan suami yang baik lagi.Astagfirullahal'adzim!" batin Ara menangis pilu sepanjang jalan ketika dia baru saja mendengar ucapan adik iparnya yang begitu menyakiti hatinya.Ucapan di mana adik iparnya dengan lantang menyebutkan kesalahan suaminya yang selama ini lakukan di belakang punggungnya.Perzinahan, menghamili wanita lain dan menikahi wanita itu adalah hal yang paling tidak bisa di terima oleh dirinya.Lagi-lagi banyak hal berkecamuk di dalam pikirannya, tentang apa salah dan kurangnya dia sebagai seorang istri.Dia selalu berusaha taat kepada suaminya sebaik mungkin, meskipun suaminya selalu menjadi sosok yang menyakiti hatinya.Tidak terkecuali, saat dirinya di suruh diam di rumah oleh sang suami, ketika abahnya berada di rumah sakit sedang meregang nyawa.Tidak pernah dia memban
Tuuuuut Tuuuuut"Nomor yang anda tuju, tidak bisa di hubungi!" "Si*l! Di mana sih kamu, Ara! Benar-benar pembangkang! Suami telepon malah di matiin! Durhaka! Pergi gak izin, juga gak bilang-bilang! Malah ngasih kunci ke tetangga. Bikin malu aja! Aaaargh" teriak Dimas geram, ingin sekali membanting ponselnya jika tidak ingat ponselnya adalah merk mahal dan keluaran terbaru."Aaargh! Si*l! Si*l! Si*l!" teriak Dimas frustasi menjambak rambutnya, melempar dan menendang barang yang ada di dekatnya.BrakBughPrang Pyar!Dimas menendang kursi dan meja, melempar bantal sofa, vas bunga keramik-pun tidak lolos dari jangkauan tangannya hingga terlempar ke dinding lalu hancur berkeping-keping, menimbulkan suara nyaring. "Araaaaa, kamu gak boleh pergi! Gak boleh pergi! Kamu gak boleh pergi tanpa izin aku! Aku gak ridho, Ara! Berdosa kamu! Berdosa kamu jadi perempuan!" teriak Dimas geram dengan nafas tersengal penuh rasa amarah dan frustasi.Gigi Dimas bergemalatuk, dengan mata menajam, mencoba
"Ara memang keterlaluan! Begitu juga dengan keluarganya! Apa maksud mereka tidak memberitahu kita tentang kematian ibu Widya? Apa mereka sengaja ingin mempermalukan kita dan membuat kita seperti orang bodoh di mata orang lain?!Dimas itu masih suami Ara. Mereka benar-benar tidak memberi wajah kepada anak kita! Masa Dimas harus tau tentang kematian ibu mertuanya dari orang lain! Ara memberitahu tentang keadaan ibunya kepada tetangga yang tidak ada hubungan keluarga dengannya. Sedangkan Dimas dan kita sebagai keluarga mertuanya, tidak ada satu-pun yang diberitahu tentang kabar sebesar ini! Lihat aja nanti kalau ibu bertemu dengan Ara! Ibu tidak akan membiarkan dia lolos sebelum memberikan penjelasan atas apa yang dia dan keluarganya lakukan kepada kita!" kesal Bu Salamah terus mengomel sepanjang jalan ketika dia sedang menuju ke rumah menantunya di kampung. Pak Doni yang sedang menyetir mobil, menatap istrinya sekilas dengan pandangan acuh tak acuh."Kalau kamu buat masalah di rumah A
"Mas Dimas sudah pulang? Ibu turut berduka cita atas meninggalnya ibu mertua, Mas. Bagaimana dengan Mbak Ara? Apa beliau masih di kampung halaman? Tolong sampaikan salam ibu jika Mas Dimas berkomunikasi atau bertemu dengan Mbak Ara" ujar Bu Siti, tetangga Dimas yang pernah membantu Ara saat ia meninggalkan rumah tanpa sepengetahuan Dimas. Dimas yang baru saja keluar dari mobilnya setelah memarkir, terdiam sejenak mendengar ucapan Bu Siti yang tiba-tiba muncul dan mengucapkan hal yang tidak terduga.Dia menatap Bu Siti dengan linglung."Tadi Ibu Siti bilang apa?" tanyanya dengan raut bingung. Kini giliran Bu Siti yang tampak bingung."Loh, bukankah ibu mertua Mas yang kemarin sakit itu telah meninggal dunia? Ibu hanya ingin menyampaikan belasungkawa atas kepergian ibu mertua Mas Dimas, sekaligus ibu dari Mbak Ara" ujarnya.Dimas menatap Bi Siti dengan raut wajah yang semakin bingung."Ibu mertua saya meninggal? Kapan?" tanyanya, terdengar kebingungan karena tidak mengetahui apa-apa. Bi
"Ara, siapkan air hangat untuk mandi!" "Ara, handukku mana? Tolong ambilkan, aku lupa bawa!" "Ara, buatkan kopi untukku!" "Ara, sarapannya mana? Aku mau berangkat kerja! Sudah siang ini!" "Ara, kaus kakiku di mana? Kamu biasanya menyimpannya di mana? Letakkan dengan benar dong, bikin pusing saja. Kalau begini, aku susah mencarinya!" "Ara, kenapa sepatuku belum disemir? Lihat, kotor kan? Kamu sengaja ingin melihat aku kumel!" "Ara, aku mau makan ayam rica siang ini! Jangan lupa buatkan!" "Ara!" "Ara!" "Ara!" Dimas mengerang kesal ketika dia menyadari bahwa sejak bangun hingga hendak pergi ke kantor, bahkan saat bekerja, dia selalu tanpa sadar memanggil nama istrinya. Dia bahkan menghubungi dan mengirim pesan kepada istrinya, namun semuanya berakhir tanpa tanggapan, karena Ara sudah tidak ada lagi di sisinya. Istrinya bahkan tidak mau repot menanggapi semua panggilan, pesan, dan telepon yang dia kirimkan.Dimas mengerang frustasi saat bekerja tanpa sadar selalu mengingat istr
Bu Dewi dan Pak Salim terdiam, saling menatap satu sama lain ketika mendengar ucapan putra mereka. Bu Dewi menatap putranya yang kini terdiam setelah mengajukan pertanyaan kepada dia dan suaminya. "Kalau kamu tanya Ibu, Ibu tidak keberatan jika menantu Ibu seorang janda atau bukan. Rumah tangga itu rumit, kadang-kadang jika tidak kuat menghadapi badai, bisa karam. Dalam rumah tangga, ada dua orang yang menjalaninya, yaitu sepasang suami istri. Sama seperti rumah tangga Ibu dan Bapak kamu. Kalau kami bertengkar, kadang-kadang Ibu yang salah, kadang-kadang juga disebabkan oleh Bapak kamu.Ibu yakin bahwa rumah tangga Ara dan suaminya tidak jauh berbeda. Namun, pertengkaran rumah tangga yang disertai penindasan, apalagi campur tangan mertua, jika Ibu menjadi Ara, tentu Ibu tidak akan tahan. Ibu pasti akan meminta cerai daripada harus mati berdiri karena makan hati. Jadi, Handi, janda atau tidak, Ibu lebih melihat kualitas, kecocokan, dan karakter calon istri kamu. Jika dia memenuhi k
"Jadi, Ara mau cerai dari suaminya?" tanya Pak Salim, menanggapi cerita istrinya yang terus berbicara sejak pulang dari rumah duka orang tua Ara. Bu Dewi mengangguk."Iya, Pak. Tadi ibu tidak sengaja mendengar dari Bima. Dia marah ketika ada saudara jauhnya yang menanyakan keberadaan suami Ara dan keluarganya.Sepertinya Bima sangat tidak menyukai iparnya itu, bahkan mengancam saudara jauhnya itu agar tidak membahas suami Ara di depan kakak perempuannya karena kakaknya itu ingin bercerai sebentar lagi" Bu Dewi menoleh ke Handi, putranya yang sedang mengemudi."Benar Han, bahwa Ara ingin bercerai dari suaminya?" tanyanya untuk memastikan.Handi menatap ibunya dari balik kaca spion sambil mengangkat bahu, seolah-olah tidak tahu apa-apa."Bu, kenapa malah tanya aku? Tadi kan Ibu dengar sendiri dari Bima. Kenapa tidak langsung tanya saja ke Bima?" ujarnya mencoba mengelak. Handi terdiam sejenak, sebelum melanjutkan ucapannya kembali."Aku ini hanya teman lama Ara dan keluarganya, tidak leb
Dimas pulang dengan linglung dari rumah kedua orang tuanya. Dia memarkirkan mobilnya asal lalu masuk ke dalam rumahnya sendiri.Tok Tok Tok"Assalamualaikum, Ra! Ara, buka pintunya!" ujar Dimas belum menyadari jika istrinya kini sudah tidak berada lagi dirumah. Kekalutan hatinya sejenak menutupi pikirannya.Tok Tok TokDimas masih mengetuk pintu rumahnya sekali lagi sambil memanggil nama istrinya."Assalamualaikum! Ara, Mas sudah pulang! Buka pintunya!" ujar Dimas sambil bersandar di kusen pintu depan tubuhnya yang layu. Tok Tok Tok"Ara, kamu dimana sih?! Mas lagi kesel sama Papa dan Mama, jadi kamu jangan membuat Mas makin kesel!" ujar Dimas saat ini sudah menggedor pintu rumahnya sendiri dengan keras.Dimas terus mengetuk pintu sambil menggerutu ditempatnya karena istrinya tidak kunjung membuka pintu, hingga tiba-tiba dia tertawa frustasi ketika menyadari istinya tidak akan pernah membuka pintu untuknya lagi sebab Ara tidak ada di rumahnya ini. Dimas tertawa jengkel menggebrak p
Dimas menatap Papanya terkejut, begitu pula dengan Shinta yang tidak menyangka jika kakak sulungnya bukanlah kakak kandungnya. Atau jangan-jangan...Shinta menatap Papanya dengan tatapan bertanya dan mata memerah."Pah, kalau Mas Dimas bukan anak Papa, terus Shinta? Apa Shinta juga bukan anak Papa?" tanyanya dengan suara serak.Sungguh dia sedih jika membayangkan bahwa dirinya bukan anak dari Papanya, karena selama ini, dibandingkan Dimas sang kakak, dia yang paling dekat dan disayang oleh sang Papa. Dia tidak ingin kasih sayang itu akhirnya berakhir karena identitasnya yang ternyata bukan anak Papanya juga terungkap.Shinta menatap Papanya dengan raut sedih dan rumit.Pak Doni menatap Shinta yang berada disebelahnya."Mana mungkin kamu bukan anak Papa! Muka dan semua yang ada di badan kamu ini warisan Papa! Orang-orang juga tau walau mata mereka lagi merem, kamu itu anak Papa! Jadi jangan ngomong yang macem-macem. Papa enggak suka kamu mikir juga kalau kamu bukan anak Papa! Anak Papa
Bu Salamah melotot saat mendengar ucapan suaminya. Dia menoleh menatap Dimas kesal karena putranya ini sepertinya suka sekali membuat keributan disituasi panas seperti saat ini. Bu Salamah berbicara gugup kepada suaminya dengan wajah memucat."P- pah, maafin Dimas yang udah ngomong keterlaluan. Dimas enggak bermaksud ngomong sembarangan, apalagi tentang Papa dan Shinta. Dimas cuma lagi kesel aja, jadi dia bicara sedikit tidak sopan dengan Papa. Dimas dan Mama baru aja pulang setelah perjalanan jauh. Dimas dan Mama masih lelah, jadi emosi kami masih tidak stabil, terutama Dimas yang nyetir mobil pasti lebih capek. Be-belum lagi Dimas kemarin malam ada dikantor polisi dan dipenjara. Papa juga tadi liat kan, kalau Dimas tadi baru aja dihajar sama Reno? Pah, liat anak kita udah babak belur. Omongan Ara sebelumnya juga enggak enak buat di denger sama Dimas atau kita sendiri. Jadi Mama tolong sama Papa untuk tidak mengambil hati ucapan Dimas dan maklumi sikap anak kita untuk saat i
"Ren, aku harap kamu enggak tersinggung. Tapi aku mau tanya, apa kamu sudah menghubungi pihak keluarga suami Ara untuk mengabarkan kematian ibumu? Ara dan suaminya masih belum resmi bercerai, jadi bagaimana-pun pria bernama Dimas itu masih menjadi menantu di keluargamu. Apa kamu tidak ingin memberitahunya tentang kabar duka ini? Aku tau ini bukan urusanku. Aku juga enggak berhak ikut campur. Hanya saja...Ren, jangan sampai kamu enggak mengabari mereka, atau kamu dan keluargamu yang nantinya terkena masalah. Mengingat tabiat suami Ara waktu itu, aku takut Dimas malah menyalahkan Ara kembali karena hal sepenting ini, pria itu dan keluarganya tidak diberitahu" ujar Handi kepada Reno yang kini masih duduk terdiam dengan jenazah ibu Widya di semayamkan tidak jauh dari mereka, di tutupi kain jarik berada di tengah ruangan.Dokter Handi bahkan bisa melihat Ara yang bersedih dipelukan ibunya dan para ibu-ibu yang lain, yang sedang ikut berduka cita.Reno tersenyum kecut, menatap jenazah ibu