Tok Tok Tok
"Assalamualaikum!" Tok Tok Tok "Assalamualaikum, Ara!" Tok Tok Tok "Assalamualaikum, Ara! Kamu di mana sih?!" Tok Tok Tok Teriakan dan ketukan keras di daun pintu tertutup berasal dari Bu Salamah, mertua Ara, terus bergema di depan teras mencoba mencari dan memanggil keberadaan sang menantu yang tidak kunjung membuka pintu rumah. "Ara! Di mana sih kamu?! Ya Allah, punya menantu kok budeg begini! Apa dia gak dengar saya terus teriak sedari tadi!" kesal Bu Salamah. Dia berkacak pinggang dengan bibir merengut kesal, mencoba sekali lagi mengetuk daun pintu tertutup yang ada di depannya. Tok Tok Tok "Assalamualaikum, Ara!" teriak Bu Salamah sekali lagi. "Wa'alaikum salam, Ma" jawab Ara menyahut salam ibu mertuanya, namun bukan dari dalam rumah, melainkan dari luar rumah di mana dia baru saja pulang dari warung. Bu Salamah berbalik badan, menatap menantunya yang terlihat sedang menenteng dua kantung plastik yang dia tebak berisi sayur dan ikan. "Mama kira kamu ada di dalam rumah, terus budeg gak denger panggilan mama sedari tadi. Oh, taunya kamu baru dari luar. Pantesan!" ujar Bu Salimah kepada menantunya. Ara menghela nafas panjang, beristighfar di dalam hati ketika mendengar ucapan mertuanya yang begitu enteng namun menyakitkan. Entah apa salahnya dan kurangnya sebagai menantu dari wanita paruh baya di depannya ini. Setelah menikah, seluruh hidupnya bukan hanya di baktikan kepada suaminya, namun kepada keluarga mertuanya juga. Tapi sepertinya, semua apa yang di lakukannya tidak pernah terlihat oleh keluarga mertuanya, terutama sang ibu mertua. "Astagfirullah hal adzim, tolong kuatkan hamba ya Allah. Kak Reno, tolong jemput Ara secepatnya. Ara udah gak kuat di sini" batin Ara menghela nafas lelah. Ara menghampiri ibu mertuanya, lalu bersalaman, mencium punggung tangan sang ibu mertua. "Ara abis ke warung, Mah. Ara belanja sayur sama ikan untuk makan siang Mas Dimas. Katanya Mas Dimas mau makan siang di rumah" jawab Ara. Bu Salamah mengangguk, namun dahinya sedikit mengeryit heran ketika melihat wajah menantunya dari dekat. Dia dapat melihat jika wajah menantunya terlihat begitu sembab, terutama mata Ara yang memerah seperti sehabis menangis. "Kelahi lagi kamu sama Dimas? Ck, apa kamu sama Dimas gak bisa akur sedikit aja? Gimana Dimas mau betah di rumah kalau istrinya hobi ngajak berantem. Mungkin karena Dimas gak betah sama kamu, kamu belum hamil juga sampai sekarang!" ujar Ibu Salamah mencibir menantunya, tidak menyadari perubahan raut wajah Ara yang terkejut sekaligus pucat. Ara menghirup nafas dalam untuk menenangkan hatinya yang di landa sakit hati akibat ucapan ibu mertuanya yang tidak berperasaan. Namun sepertinya kesabarannya lagi-lagi di uji ketika ibu mertuanya kembali membuka mulut, seakan belum puas menyakiti hatinya yang sudah tersiram air garam. "Kalau kamu lagi kondisi kaya gitu, mending gak usah keluar rumah! Malu-maluin aja! Gimana kalau tetangga lain liat? Gimana kalau ibu warung liat terus bergosip? Nanti di kira anak saya hobi nyiksa kamu! Araaaaa, Araaaa! Kamu ini kenapa sih, hobi banget bikin nama anak saya jelek di mata orang?! Seneng kamu ya, kalau anak saya jadi bahan gosip?!" kesal Ibu Salamah kembali mencibir sikap menantunya. Meskipun dia melihat wajah menantunya begitu sembab, tidak ada rasa iba sama sekali di hatinya, kecuali hanya memikirkan reputasi anak laki-lakinya. Ara memegang kantong kresek di kedua tangannya dengan erat, menghirup nafas dalam-dalam agar tidak terpengaruh oleh ucapan kejam mertuanya. Cukup tadi pagi saja dia bertengkar dengan suaminya. Dia sudah tidak punya tenaga lagi untuk bertengkar dengan mertuanya. "Astagfirullah, Ma. Kok Mama ngomongnya kaya gitu? Ara gak pernah punya pikiran sedikit-pun untuk menjelek-jelekkan suami Ara sendiri. Ara emang nangis, tapi Ara nangis karena sedih denger kondisi ibu di kampung yang makin parah. Ara mau pulang, tapi Mas Dimas gak ngizinin. Ara bingung. Ara mau liat kondisi ibu, tapi kalau Mas Dimas gak ngasih izin ke Ara untuk pulang, Ara gak bisa pergi. Kalau bisa, Ara mau minta tolong sama Mama untuk ngomong ke Mas Dimas untuk ngizinin Ara pulang ke kampung sebentar aja untuk nengok Ibu" ujar Ara berharap ibu mertuanya bisa mengerti kondisinya, jika sang suami tidak bisa mengerti kekhawatiran yang sedang di rasakannya saat ini. Bu Salamah mendengus."Ibu kamu itu penyakitan banget sih! Liat nih Mama yang udah tua, tapi masih sehat bugar! Udahlah, kamu ngapain sedih?! Ingat apa kata Dimas! Kalau suami kamu gak ngizinin pulang, ya kamu gak usah pulang! Jangan bangkang! Surga istri ada di suami. Mama yakin ibu kamu cuma sakit biasa. Dimas nyuruh kamu kirim uang untuk ibu kamu berobat kan? Kalau udah di kasih uang, Mama pikir gak perlu lagi kamu datang ke kampung!" jawabnya. "Mas Dimas cuma nyuruh kirim dua ratus ribu buat ibu...." "Cuma, kamu bilang? Cuma?! Dua ratus ribu itu uang, Ara! Jangan nyepelein pemberian suami! Durhaka kamu! Jangan jadi istri durhaka yang kufur nikmat, Araaaaaa. Walau cuma dua ratus ribu, itu tetap uang! Mama rasa, uang segitu udah cukup untuk nunjukin kasih sayang Dimas sama mertuanya" ujar Bu Salamah menyela ucapan menantunya. Ara menggertakkan gigi, mencoba menahan amarah."Mama jangan keterlaluan..."ujarnya berusaha sebisa mungkin untuk tidak menaikkan nada suaranya di depan ibu mertuanya. Ibu mertuanya memang menyebalkan! Sangat menyebalkan! Tapi bukan berarti itu bisa menjadi alasan untuknya melampaui batas. Setidaknya tidak untuk saat ini. Bu Salamah mendelik tajam menatap menantunya tidak suka."Siapa yang keterlaluan? Jangan drama, Ara! Ibu ngomong bener kok! Kamu dan keluargamu aja yang gak bisa bersyukur dengan pemberian Dimas!" jawab Bu Salamah. Ara menutup matanya, menghela nafas kesal, lalu membuka matanya, menatap ibu mertuanya tajam."Mama, Ara mohon jaga ucapan Mama. Mama tau selama Ara menikah dengan Mas Dimas, mas Dimas gak pernah ngasih apapun sama Ara, apalagi sama keluarga Ara! Kecuali, uang mahar di saat pernikahan, uang duka di saat kematian Abah, itu-pun cuma tiga ratus ribu! Terakhir kali mas Dimas ngasih uang untuk keluarga Ara, hanya seratus ribu pas ibu sakit sekitar tiga tahun lalu, dan dua ratus ribu waktu Mas Dimas nyuruh aku transfer tadi pagi. Apa Mama pikir itu pantas di berikan seorang menantu dengan jabatan seorang manajer? Saudara yang lain saja, yang hanya seorang karyawan biasa, bisa memberikan uang duka lima juta karena menghargai almarhum Abah selama masih hidup. Bukan aku ingin membandingkan suamiku, apalagi sampai aku ingin kufur nikmat dengan pemberian suamiku. Tapi selama ini, aku selalu menahannya dan tidak pernah melakukan protes apapun kepada Mas Dimas. Sekarang, aku ingin mengatakan kepada Mama, jika aku menahan malu kepada keluargaku sendiri atas tingkah polah Mas Dimas! Mama, Mama tau walau aku gadis kampung, keluargaku bukan orang miskin! Apa Mama kira uang yang Mas Dimas kasih itu ada nilainya untuk kami? Ya Allah, Maaaa.... Kalau aja keluargaku gak ngeliat Mas Dimas sebagai suamiku, dan mereka masih menghargai aku, sejujurnya aku malu sama keluargaku sendiri melihat tingkah Mas Dimas!" "Ara, jangan keterlaluan! Apa maksud kamu ngomong kaya gitu tentang Dimas, hah?! Kamu mau ngomong kalau Dimas itu suami yang pelit?! Berhak apa kamu ngomong kaya gitu ke anak Mama!" teriak Bu Salamah tidak terima ketika mendengar menantunya yang biasanya begitu diam dan penurut, sekarang terlihat membangkang ucapannya terlebih menjelekkan Dimas putranya. Ara melengos ke arah lain, enggan melihat ibu mertuanya. Dia kembali menatap ibu mertuanya dengan acuh tak acuh. Sisa kemarahan masih terlihat begitu jelas di matanya, begitu juga di mata ibu mertuanya. "Ada apa Mama ke sini? Ara sedang sibuk. Ara mau masuk ke dalam untuk beres-beres rumah. Kalau Mama ke sini cuma buat ngajak Ara berantem, lebih baik Mama pulang" ujar Ara. Bu Salamah melotot menatap Ara tajam."Kamu! Mama aduin kamu sama Dimas!" tunjuknya dengan jari mengacung ke wajah Ara. Ara menghela nafas lelah."Silahkan Ma. Ara cape. Ara mau pisah dari Mas Dimas" jawabnya, lalu berjalan gontai memasuki rumahnya, meninggalkan Bu Salamah yang masih mematung di depan teras setelah mendengar ucapan menantunya."Ara!""Ara!""Ara! Buka pintunya!"Tok Tok Tok"Ar...."CeklekUcapan Dimas terhenti saat dia melihat wajah istrinya yang baru saja membuka pintu.Dimas langsung merangsek masuk ke dalam rumah, menutup pintu di belakangnya dengan kasar hingga terdengar bantingan yang begitu keras."Kamu udah pulang Mas?" tanya Ara terdengar acuh, namun tetap mengulurkan tangannya untuk mencium punggung tangan suaminya seperti yang biasa dia lakukan.Dimas menghempaskan tangan istrinya begitu saja. Enggan di sentuh oleh sang istri yang sudah membuatnya dan ibunya marah.Ara menjerit pelan ketika tangannya di hempas begitu saja dengan kasar oleh suaminya. Dia mendongak menatap suaminya."Kamu kenapa Mas? Kenapa baru dateng udah marah-marah?" tanya Ara berpura-pura tidak mengetahui apa yang terjadi kepada suaminya yang pulang dalam keadaan marah. Padahal lebih dari siapapun, dialah yang paling mengetahui alasan di balik kemarahan suaminya.Siapa lagi jika bukan karena ibu mertuanya. Wanita paruh baya it
"Loh, kamu kok ada di sini, Dimas? Kamu udah pulang? Udah kasih pelajaran sama si Ara?" tanya Bu Salamah kepada anak laki-lakinya yang baru saja datang ke rumahnya, kini duduk bersandar di kursi ruang tamu."Dimas! Mama ngomong sama kamu, kok gak di saut!" kesal Bu Salamah ikut duduk di sebelah anaknya yang berwajah kusut."Istri kamu ngebangkang ya? Udah berani dia sama kamu? Sama kaya tadi Ara yang berani banget ngomong sama, Mama soal......, bla bla bla bla" ujar Ibu Salamah dengan sinis menceritakan kembali kepada anaknya tentang Ara yang berdebat dengannya mengenai Dimas dan keluarganya.Tentu saja di setiap ceritanya di tambahi sedikit bumbu agar hati Dimas semakin panas dan memberi pelajaran yang pantas untuk menantunya itu."Dimas, kamu denger ibu gak sih?! Ibu udah cape ngomong tapi kamu kaya gak dengerin!" kesal Bu Salamah menggeplak lengan anaknya yang malah asyik melamun.Dimas menatap wajah ibunya acuh."Ma, bisa gak Mama jangan ngomong atau tanya-tanya dulu sama Dimas! D
"Dimas, apa-apaan sih pertanyaan kamu itu? Kok, kamu kaya gak ngerti sama keadaan Papa dan Mama yang gak bisa nolong kamu waktu itu. Soal Sinta? Ya mana Mama Papa tau, kalau tuh anak kuliahnya gak bener. Orang dulu adekmu yang kekeuh mau kuliah kedokteran.Mama dan Papa kira selama dia mau, Sinta bakal mampu ngikutin pelajaran akademisnya, meski awalnya masuk emang harus pake jalur nyogok.Dimas, jangan pernah bilang kalau Mama gak sayang kamu. Kalau Mama gak sayang, mana mungkin Mama mau restuin kamu nikah siri sama si Cika jabl*y itu. Gara-gara kamu, Mama harus ikutan nyembunyiin status kamu yang udah nikah lagi itu dari Ara dan semua orang!Kalau gak inget kamu itu anak Mama dan udah ngehamilin tuh mantan pacar kamu yang lont*, udah Mama bejek kamu dan gak akan Mama dan Papa kasih warisan.Biar istrimu kampungan begitu, seenggaknya mantu Mama yang nyebelin itu, anak perempuan baik-baik dan dari keluarga baik-baik. Udahlah, Mama mending masuk ke kamar! Pusing kepala Mama mikirin kam
"Astagfirullahal' adzim. Astagfirullah, astagfirullah" gumam Ara terus beristighfar meminta ampun kepada yang maha kuasa setelah dia tersadar jika dirinya terlalu di liputi emosi hingga tidak sadar menaikkan nada suaranya di depan sang suami."Ya, Allah, hamba khilaf, ya Allah. Hamba tidak bermaksud durhaka kepada suami hamba" lirih Ara dengan wajah tertunduk dan terisak di atas lantai dingin. Lantai yang menjadi saksi bisu ketika dia menjerit dan berteriak di depan suaminya, melampiaskan semua kekesalan hatinya yang selama ini dia tahan. "Ya, Allah. Maafkan hamba, ya Allah. Hamba tidak bermaksud durhaka kepada suami hamba, hiks" lirih Ara kembali. Ara terus menangis sampai dirinya merasa lelah. Lelah karena batinnya terus tersiksa dan di lukai oleh kata-kata pedas suaminya dan ibu mertuanya."Mas, sampai kapan kamu tidak mau menerimaku menjadi istrimu sepenuhnya? Mas, apa salahku, hiks" lirih Ara dengan suara bergetar putus asa. Dia sudah berusaha menjadi yang terbaik. Menjadi yan
Ara masih terduduk sedih di tempatnya, dengan pikiran yang melayang mengingat memori masa lalu.Wajah dan suara abahnya yang begitu berat, penuh penyesalan, namun enggan mundur dari perjodohan yang sudah di lakukan."Demi Allah, tidak pernah Abah berpikir untuk menjualmu, Ara. Untuk apa Abah melakukan itu, di saat Abah sendiri masih mampu untuk mengurusmu sebagai anak perempuan Abah satu-satunya.Hati Abah juga berat untuk melakukan ini. Abah hanya ingin menjalankan wasiat mendiang kakekmu. Mungkin wasiat ini memang bisa di batalkan, tapi itu berarti Abah melanggar janji Abah kepada mendiang kakekmu.Sebagai seorang laki-laki dan seorang anak, Abah malu jika tidak bisa mewujudkan keinginan kakekmu, di tambah Abah sudah berjanji. Selain itu, ternyata keluarga Buwono yang datang sendiri untuk menagih janji atas wasiat perjodohan yang pernah di sepakati di antara kedua keluarga.Meski begitu, Abah janji sama kamu, Ara. Abah janji akan mencarikan jodoh yang terbaik untukmu. Jika Dimas pri
Plak!"M-mas, kamu kok diem aja! Tuh mbak Ara pergi tau! Bu-bukannya di kejar!" ujar Sinta yang lebih dulu tersadar dari keterkejutannya, memukul lengan kakak sulungnya untuk segera mengejar kakak iparnya sebelum semuanya semakin kacau.Dimas mengerjapkan mata, menatap linglung adiknya, sebelum akhirnya melangkah pergi untuk mengejar istrinya.Langkahnya terhenti sejenak di depan pintu rumah, berbalik menatap adiknya tajam saat dirinya sadar jika Ara mengetahui perselingkuhan dan pernikahan sirinya akibat mulut adiknya yang tidak sengaja membongkar tingkah buruknya di belakang Ara."Urusan kita belum selesai! Mas bakal kasih pelajaran sama kamu setelah urusan Mas sama Mbak ipar kamu selesai!" peringat Dimas menatap tajam adiknya.Sinta meneguk ludah kasar, rasa takut mulai membanjiri hatinya ketika melihat raut kemarahan di wajah kakak sulungnya. Dia memegang tasnya erat, enggan mengakui kesalahan atau-pun kekalahan.Sinta mendongakkan wajahnya angkuh, memberanikan diri membalas ucapa
"Astagfirullah. Astagfirullahal' adzim. Ya Allah. Ya Allah, hamba gak kuat ya Allah. Astagfirullah. Ibu, Abah, Mas , Ara mau pulang! Ara udah gak kuat lagi terus berada di dekat Mas Dimas. Mas Dimas bukan suami yang baik lagi.Astagfirullahal'adzim!" batin Ara menangis pilu sepanjang jalan ketika dia baru saja mendengar ucapan adik iparnya yang begitu menyakiti hatinya.Ucapan di mana adik iparnya dengan lantang menyebutkan kesalahan suaminya yang selama ini lakukan di belakang punggungnya.Perzinahan, menghamili wanita lain dan menikahi wanita itu adalah hal yang paling tidak bisa di terima oleh dirinya.Lagi-lagi banyak hal berkecamuk di dalam pikirannya, tentang apa salah dan kurangnya dia sebagai seorang istri.Dia selalu berusaha taat kepada suaminya sebaik mungkin, meskipun suaminya selalu menjadi sosok yang menyakiti hatinya.Tidak terkecuali, saat dirinya di suruh diam di rumah oleh sang suami, ketika abahnya berada di rumah sakit sedang meregang nyawa.Tidak pernah dia memban
Tuuuuut Tuuuuut"Nomor yang anda tuju, tidak bisa di hubungi!" "Si*l! Di mana sih kamu, Ara! Benar-benar pembangkang! Suami telepon malah di matiin! Durhaka! Pergi gak izin, juga gak bilang-bilang! Malah ngasih kunci ke tetangga. Bikin malu aja! Aaaargh" teriak Dimas geram, ingin sekali membanting ponselnya jika tidak ingat ponselnya adalah merk mahal dan keluaran terbaru."Aaargh! Si*l! Si*l! Si*l!" teriak Dimas frustasi menjambak rambutnya, melempar dan menendang barang yang ada di dekatnya.BrakBughPrang Pyar!Dimas menendang kursi dan meja, melempar bantal sofa, vas bunga keramik-pun tidak lolos dari jangkauan tangannya hingga terlempar ke dinding lalu hancur berkeping-keping, menimbulkan suara nyaring. "Araaaaa, kamu gak boleh pergi! Gak boleh pergi! Kamu gak boleh pergi tanpa izin aku! Aku gak ridho, Ara! Berdosa kamu! Berdosa kamu jadi perempuan!" teriak Dimas geram dengan nafas tersengal penuh rasa amarah dan frustasi.Gigi Dimas bergemalatuk, dengan mata menajam, mencoba
Perdebatan di depan rumah kedua orang tua Ara masih di lakukan Dimas dan Bi Asih. Beberapa warga mulai berdatangan untuk terus menonton perdebatan yang semakin sengit dan terlihat seru. Beberapa dari mereka yang tergerak hatinya saat melihat wanita paruh baya seperti Bi Asih yang terus menerus di tindas oleh pria muda seperti Dimas mulai melangkah maju untuk membela Bi Asih. "Siapa kamu yang berani mecat Bi Asih?" tanya seorang pemuda yang terlihat berusia tidak jauh dari Bima. Dimas menoleh, menatap pemuda yang berdiri tidak jauh darinya dengan wajah galak."Kamu orang luar enggak perlu ikut campur! Saya sedang mendisiplinkan pembantu di rumah orang tua istri saya yang kurang ajar! Saya ini menantu di keluarga ini, jadi saya punya hak untuk mecat pembantu yang enggak tahu diri ini!" ujar Dimas membuat beberapa orang yang ada di sana menahan nafas ketika mendengar ucapan Dimas yang semakin menyakitkan Bi Asih dan begitu tidak enak di dengar oleh telinga mereka yang ada di sana. Ha
Bi Asih terus memperhatikan tingkah menantu keluarga majikannya sedari tadi. Segala keluhan dan ucapan tidak enak yang keluar dari mulut menantu keluarga majikannya ini, dia telan sejak tadi untuk dirinya sendiri ketika mendengar segala umpatan suami dari anak perempuan di keluarga majikannya ini. Bi Asih mengepalkan tangan di sisi baju daster lusuhnya. Jika saja dia tidak memandang kebaikan keluarga majikannya, sungguh meskipun dia orang desa dan wanita miskin, dia bukan orang yang penakut untuk bertengkar. Ingin sekali dia mencakar wajah Dimas yang sedari tadi terus mengoceh. Jika juga bukan karena ucapan majikannya Mas Reno untuk merahasiakan dimana Bu Widiya dan yang lainnya berada, dia ingin sekali membungkam menantu keluarga Abah Darma yang tidak tahu diri ini. Bagaimana bisa ada seorang menantu yang tidak tau jika ibu mertuanya sedang kritis dan istrinya sedang menemani ibu kandungnya. Bagaimana bisa juga ada seorang pria, suami dan menantu yang memiliki sifat menyebalkan da
Ara kini kembali menjenguk ibunya di dalam ruang perawatan intensif. Dia menggenggam tangan ibunya dengan lembut, memperlakukan Hati-hati tangan tua yang terlihat rapuh itu."Bu, Ara jenguk ibu lagi. Ibu terus bilang sama Mas Reno dan Bima jika ibu ingin bertemu dengan Ara. Bu, Ara udah dateng. Dari kemarin malam Ara udah dateng dan jenguk ibu. Ara harap ibu cepet bangun kalau ibu emang bener mau liat Ara. Ara sayang ibu. Mas Reno dan Bima juga sayang ibu. Kami masih butuh ibu. Jadi tolong ibu bangun dan cepat sembuh supaya bisa nemenin kami semua. Ara udah pulang Bu. Ara udah pulang ke rumah ibu dan enggak akan pergi ninggalin ibu lagi. Ara mohon bangun, Bu. Ara minta maaf belum bisa berbakti dengan ibu selama ini. Jadi tolong beri Ara kesempatan untuk Ara nunjukin bakti Ara kepada ibu" lirih Ara terus menggenggam tangan ibunya dengan lembut. Ara menatap sendu wajah ibunya yang terlihat pucat, tidak memiliki tanda-tanda akan menunjukan kesadaran. Hatinya terasa pahit, merutuki diri
Ara merasa dirinya harus berkonsultasi dengan dokter kandungan untuk mengetahui apa memang selama ini dirinya yang tidak subur atau mengalami masalah lain hingga tidak kunjung hamil selama menjalani pernikahan dengan suaminya Dimas. Dia tidak bermaksud hamil untuk saat ini. Pemeriksaan yang akan di lakukan nanti hanya untuk mengetahui status kesehatan dirinya, yang mungkin akan berguna untuknya di masa depan. Bagaimana-pun dia seorang perempuan yang ingin menimang bayinya sendiri suatu saat nanti, meski hamil anak bukan dari suaminya yang sekarang.Dia tidak tau apa di masa depan, dirinya sanggup menikah lagi atau tidak. Permasalahan rumah tangganya dengan suaminya kini cukup membuat trauma. Meskipun saat ini dia dan suaminya belum bercerai, namun untuk kembali membina rumah tangga dengan Dimas sudah tidak ada lagi dalam kamus hidupnya. Dia sudah menyerah dengan hubungan pernikahannya dengan Dimas. "Mbak Ara liatin handphone terus. Mbak Ara kangen Mas Dimas? Mau telepon suami Mbak
"Ara" panggil seorang pria ketika melihat wajah wanita yang sudah lama tidak dia temui sedang duduk termenung di sebuah kursi di depan lobi rumah sakit. Ara yang sedang duduk di kursi ruang tunggu rumah sakit mendongakan wajahnya ketika merasa namanya di panggil oleh seseorang.Dia mengerjapkan mata terkejut ketika melihat wajah pria tampan dengan jas dokter putih berdiri tidak jauh darinya."Mas Handi" ujarnya secara tidak sadar langsung bangkit dari duduknya untuk melihat lebih jelas pria yang berdiri di depannya ini. Pria bernama Handi tersenyum tipis."Enggak nyangka ketemu di sini. Jadi bener perempuan yang aku liat dari jauh sedang melamun sendirian itu kamu. Ara, gimana kabar kamu? Apa yang sedang kamu lakuin di sini?" tanyanya. Ara sedikit menundukkan kepalanya, berdehem pelan dengan wajah tersipu malu karena ketahuan sedang melamun sendirian di kursi rumah sakit dan tidak sengaja terlihat oleh pria yang merupakan kenalan lamanya.Ara menelan ludah gugup, sebelum akhirnya men
"Kamu yakin mau jemput Ara di Bogor, Dim?" tanya Ibu Salamah kepada putranya. Dimas mengangguk."Yakin Bu. Emangnya Dimas punya pilihan lain selain enggak nyusulin Ara? Kalau tuh anak enggak di jemput, yang ada enggak mau pulang. Kalau Ara enggak mau pulang, runyam semua urusan. Tanah, rumah, restoran, Dimas enggak rela kalau semua jadi milik Ara. Lagian kalau Dimas cerai sama Ara, siapa yang ngurus Dimas nanti? Siapa yang ngurus rumah? Siapa yang ngurus ibu? Biar istri Dimas kampungan kaya gitu, dia adanya gunanya Bu. Jadi, sebenernya nikah sama Ara juga enggak rugi-rugi amat. Meski ya begitulah. Ara bukan istri yang di inginkan sama Dimas. Dia bukan tipe Dimas" jawabnya.Bu Salamah mencibir putranya. Dimas ini awalnya saja menyanjung Ara, tapi pada akhirnya tetap tidak enak untuk di dengar. Namun, apa yang di katakan Dimas ada benarnya. Jika Dimas bercerai dengan menantunya, lalu siapa yang akan mengurus putranya? Dia juga tidak rela jika harta warisan milik mendiang ayah mertuany
"Ra, sebaiknya kamu pulang dulu. Maksud Mas, kamu pulang ke rumah kita. Ke rumah ibu. Kamu istirahat dan bersihkan diri kamu, setelah itu kamu bisa kembali ke sini.Mas lihat kamu enggak bawa apa-apa dari rumah suamimu selain tas yang kamu bawa. Di rumah ibu, masih ada bajumu jadi kau bisa berganti baju dengan yang lebih nyaman. Ara, apa kau sudah makan?Pulanglah bersama Bima. Mas akan menjaga ibu di sini. Kita akan bergantian merawat ibu. Tapi sekarang, lebih baik kamu pulang untuk beristirahat. Mas tahu bahwa tidak hanya fisikmu yang lelah, tapi juga batinmu. Pulang, Ara. Jangan sampai kamu jatuh sakit seperti yang terjadi kepada ibu" ujar Reno menatap cemas adik perempuannya yang berwajah kuyu, terlihat sangat lelah.Ara yang sedang duduk di kursi tunggu menggeleng lemah, menoleh menatap kakaknya yang duduk tidak jauh darinya."Ara mau di sini, Mas. Ara mau jaga ibu. Ara udah terlambat untuk jenguk ibu sebelumnya, sampai keadaan ibu ternyata sudah separah ini.Ara tidak mau mening
"Astagfirullah. Kok jadi kaya gini sih Pah! Mama enggak mau! Mama enggak terima kalau Ara dapet tanah sama restoran yang harusnya jadi milik kita! Rumah Dimas juga! Enggak! Mama enggak mau! Mama enggak rela! Apa-apaan itu! Mama enggak ridho!" ujar Bu Salamah sambil memegang kepalanya yang terasa semakin pening ketika mendengar penjelasan suaminya. "Dimas juga enggak rela! Itu semua milik Dimas, bukan punya Ara!" sahut Dimas menimpali ucapan ibunya dengan tangan yang membawa segelas air minum, berjalan ke tempat Papa dan Mamanya berada. Pak Doni mendengus ketika mendengar ucapan anak dan istrinya."Kalau enggak rela, makanya jangan berulah!" ujarnya kesal. Bu Salamah melotot."Pah! Mama dan Dimas enggak berulah! Ini semua gara-gara Ara!" jawabnya mengelak masih mencoba membela diri. "Iya, Pah! Kita enggak salah! Semua ini salah Ara!" timpal Dimas tidak terima di salahkan, terutama oleh Papanya.Pak Doni menggeram kesal, menatap istri dan anak sulungnya tajam."Ara terus yang salah! Ar
Bugh!"Pokoknya Papa engga mau tau! Kamu harus jemput Ara dan minta maaf sama istri kamu secepatnya! Papa enggak mau kamu cerai sama Ara! Apapun alasannya dan bagaimana-pun caranya, kamu harus membawa Ara kembali menjadi menantu keluarga ini!Dimaaaaaas, kamu itu udah di kasih istri spek bagus malah sukanya spek lont*! Astagfirullah, Dimas! Ini emang salah Papa yang udah biarin Mama kamu, adik kamu, dan kamu sendiri sebagai suami Ara jadi semena-mena sama anak almarhum pak Darma!Pokoknya Papa enggak mau tau caranya! Kamu jemput dan minta maaf ke Ara! Bawa wanita itu untuk kembali menjadi menantu keluarga ini atau Papa hajar kamu dan buang kamu jadi anak Papa!" geram pak Doni kepada putra sulungnya. Bahkan untuk melampiaskan kekesalannya dia memukul wajah Dimas berharap agar putranya mengerti."Papa! Papa apa-apaan sih! Kenapa Papa malah mukul Dimas! Dimas salah apa? Ini semua salah Ara! Kalau mau mukul ya mukul Ara aja yang udah menyebabkan masalah dengan kabur-kaburan!Bukannya muku