Tok Tok Tok
"Assalamualaikum!" Tok Tok Tok "Assalamualaikum, Ara!" Tok Tok Tok "Assalamualaikum, Ara! Kamu di mana sih?!" Tok Tok Tok Teriakan dan ketukan keras di daun pintu tertutup berasal dari Bu Salamah, mertua Ara, terus bergema di depan teras mencoba mencari dan memanggil keberadaan sang menantu yang tidak kunjung membuka pintu rumah. "Ara! Di mana sih kamu?! Ya Allah, punya menantu kok budeg begini! Apa dia gak dengar saya terus teriak sedari tadi!" kesal Bu Salamah. Dia berkacak pinggang dengan bibir merengut kesal, mencoba sekali lagi mengetuk daun pintu tertutup yang ada di depannya. Tok Tok Tok "Assalamualaikum, Ara!" teriak Bu Salamah sekali lagi. "Wa'alaikum salam, Ma" jawab Ara menyahut salam ibu mertuanya, namun bukan dari dalam rumah, melainkan dari luar rumah di mana dia baru saja pulang dari warung. Bu Salamah berbalik badan, menatap menantunya yang terlihat sedang menenteng dua kantung plastik yang dia tebak berisi sayur dan ikan. "Mama kira kamu ada di dalam rumah, terus budeg gak denger panggilan mama sedari tadi. Oh, taunya kamu baru dari luar. Pantesan!" ujar Bu Salimah kepada menantunya. Ara menghela nafas panjang, beristighfar di dalam hati ketika mendengar ucapan mertuanya yang begitu enteng namun menyakitkan. Entah apa salahnya dan kurangnya sebagai menantu dari wanita paruh baya di depannya ini. Setelah menikah, seluruh hidupnya bukan hanya di baktikan kepada suaminya, namun kepada keluarga mertuanya juga. Tapi sepertinya, semua apa yang di lakukannya tidak pernah terlihat oleh keluarga mertuanya, terutama sang ibu mertua. "Astagfirullah hal adzim, tolong kuatkan hamba ya Allah. Kak Reno, tolong jemput Ara secepatnya. Ara udah gak kuat di sini" batin Ara menghela nafas lelah. Ara menghampiri ibu mertuanya, lalu bersalaman, mencium punggung tangan sang ibu mertua. "Ara abis ke warung, Mah. Ara belanja sayur sama ikan untuk makan siang Mas Dimas. Katanya Mas Dimas mau makan siang di rumah" jawab Ara. Bu Salamah mengangguk, namun dahinya sedikit mengeryit heran ketika melihat wajah menantunya dari dekat. Dia dapat melihat jika wajah menantunya terlihat begitu sembab, terutama mata Ara yang memerah seperti sehabis menangis. "Kelahi lagi kamu sama Dimas? Ck, apa kamu sama Dimas gak bisa akur sedikit aja? Gimana Dimas mau betah di rumah kalau istrinya hobi ngajak berantem. Mungkin karena Dimas gak betah sama kamu, kamu belum hamil juga sampai sekarang!" ujar Ibu Salamah mencibir menantunya, tidak menyadari perubahan raut wajah Ara yang terkejut sekaligus pucat. Ara menghirup nafas dalam untuk menenangkan hatinya yang di landa sakit hati akibat ucapan ibu mertuanya yang tidak berperasaan. Namun sepertinya kesabarannya lagi-lagi di uji ketika ibu mertuanya kembali membuka mulut, seakan belum puas menyakiti hatinya yang sudah tersiram air garam. "Kalau kamu lagi kondisi kaya gitu, mending gak usah keluar rumah! Malu-maluin aja! Gimana kalau tetangga lain liat? Gimana kalau ibu warung liat terus bergosip? Nanti di kira anak saya hobi nyiksa kamu! Araaaaa, Araaaa! Kamu ini kenapa sih, hobi banget bikin nama anak saya jelek di mata orang?! Seneng kamu ya, kalau anak saya jadi bahan gosip?!" kesal Ibu Salamah kembali mencibir sikap menantunya. Meskipun dia melihat wajah menantunya begitu sembab, tidak ada rasa iba sama sekali di hatinya, kecuali hanya memikirkan reputasi anak laki-lakinya. Ara memegang kantong kresek di kedua tangannya dengan erat, menghirup nafas dalam-dalam agar tidak terpengaruh oleh ucapan kejam mertuanya. Cukup tadi pagi saja dia bertengkar dengan suaminya. Dia sudah tidak punya tenaga lagi untuk bertengkar dengan mertuanya. "Astagfirullah, Ma. Kok Mama ngomongnya kaya gitu? Ara gak pernah punya pikiran sedikit-pun untuk menjelek-jelekkan suami Ara sendiri. Ara emang nangis, tapi Ara nangis karena sedih denger kondisi ibu di kampung yang makin parah. Ara mau pulang, tapi Mas Dimas gak ngizinin. Ara bingung. Ara mau liat kondisi ibu, tapi kalau Mas Dimas gak ngasih izin ke Ara untuk pulang, Ara gak bisa pergi. Kalau bisa, Ara mau minta tolong sama Mama untuk ngomong ke Mas Dimas untuk ngizinin Ara pulang ke kampung sebentar aja untuk nengok Ibu" ujar Ara berharap ibu mertuanya bisa mengerti kondisinya, jika sang suami tidak bisa mengerti kekhawatiran yang sedang di rasakannya saat ini. Bu Salamah mendengus."Ibu kamu itu penyakitan banget sih! Liat nih Mama yang udah tua, tapi masih sehat bugar! Udahlah, kamu ngapain sedih?! Ingat apa kata Dimas! Kalau suami kamu gak ngizinin pulang, ya kamu gak usah pulang! Jangan bangkang! Surga istri ada di suami. Mama yakin ibu kamu cuma sakit biasa. Dimas nyuruh kamu kirim uang untuk ibu kamu berobat kan? Kalau udah di kasih uang, Mama pikir gak perlu lagi kamu datang ke kampung!" jawabnya. "Mas Dimas cuma nyuruh kirim dua ratus ribu buat ibu...." "Cuma, kamu bilang? Cuma?! Dua ratus ribu itu uang, Ara! Jangan nyepelein pemberian suami! Durhaka kamu! Jangan jadi istri durhaka yang kufur nikmat, Araaaaaa. Walau cuma dua ratus ribu, itu tetap uang! Mama rasa, uang segitu udah cukup untuk nunjukin kasih sayang Dimas sama mertuanya" ujar Bu Salamah menyela ucapan menantunya. Ara menggertakkan gigi, mencoba menahan amarah."Mama jangan keterlaluan..."ujarnya berusaha sebisa mungkin untuk tidak menaikkan nada suaranya di depan ibu mertuanya. Ibu mertuanya memang menyebalkan! Sangat menyebalkan! Tapi bukan berarti itu bisa menjadi alasan untuknya melampaui batas. Setidaknya tidak untuk saat ini. Bu Salamah mendelik tajam menatap menantunya tidak suka."Siapa yang keterlaluan? Jangan drama, Ara! Ibu ngomong bener kok! Kamu dan keluargamu aja yang gak bisa bersyukur dengan pemberian Dimas!" jawab Bu Salamah. Ara menutup matanya, menghela nafas kesal, lalu membuka matanya, menatap ibu mertuanya tajam."Mama, Ara mohon jaga ucapan Mama. Mama tau selama Ara menikah dengan Mas Dimas, mas Dimas gak pernah ngasih apapun sama Ara, apalagi sama keluarga Ara! Kecuali, uang mahar di saat pernikahan, uang duka di saat kematian Abah, itu-pun cuma tiga ratus ribu! Terakhir kali mas Dimas ngasih uang untuk keluarga Ara, hanya seratus ribu pas ibu sakit sekitar tiga tahun lalu, dan dua ratus ribu waktu Mas Dimas nyuruh aku transfer tadi pagi. Apa Mama pikir itu pantas di berikan seorang menantu dengan jabatan seorang manajer? Saudara yang lain saja, yang hanya seorang karyawan biasa, bisa memberikan uang duka lima juta karena menghargai almarhum Abah selama masih hidup. Bukan aku ingin membandingkan suamiku, apalagi sampai aku ingin kufur nikmat dengan pemberian suamiku. Tapi selama ini, aku selalu menahannya dan tidak pernah melakukan protes apapun kepada Mas Dimas. Sekarang, aku ingin mengatakan kepada Mama, jika aku menahan malu kepada keluargaku sendiri atas tingkah polah Mas Dimas! Mama, Mama tau walau aku gadis kampung, keluargaku bukan orang miskin! Apa Mama kira uang yang Mas Dimas kasih itu ada nilainya untuk kami? Ya Allah, Maaaa.... Kalau aja keluargaku gak ngeliat Mas Dimas sebagai suamiku, dan mereka masih menghargai aku, sejujurnya aku malu sama keluargaku sendiri melihat tingkah Mas Dimas!" "Ara, jangan keterlaluan! Apa maksud kamu ngomong kaya gitu tentang Dimas, hah?! Kamu mau ngomong kalau Dimas itu suami yang pelit?! Berhak apa kamu ngomong kaya gitu ke anak Mama!" teriak Bu Salamah tidak terima ketika mendengar menantunya yang biasanya begitu diam dan penurut, sekarang terlihat membangkang ucapannya terlebih menjelekkan Dimas putranya. Ara melengos ke arah lain, enggan melihat ibu mertuanya. Dia kembali menatap ibu mertuanya dengan acuh tak acuh. Sisa kemarahan masih terlihat begitu jelas di matanya, begitu juga di mata ibu mertuanya. "Ada apa Mama ke sini? Ara sedang sibuk. Ara mau masuk ke dalam untuk beres-beres rumah. Kalau Mama ke sini cuma buat ngajak Ara berantem, lebih baik Mama pulang" ujar Ara. Bu Salamah melotot menatap Ara tajam."Kamu! Mama aduin kamu sama Dimas!" tunjuknya dengan jari mengacung ke wajah Ara. Ara menghela nafas lelah."Silahkan Ma. Ara cape. Ara mau pisah dari Mas Dimas" jawabnya, lalu berjalan gontai memasuki rumahnya, meninggalkan Bu Salamah yang masih mematung di depan teras setelah mendengar ucapan menantunya."Ara!""Ara!""Ara! Buka pintunya!"Tok Tok Tok"Ar...."CeklekUcapan Dimas terhenti saat dia melihat wajah istrinya yang baru saja membuka pintu.Dimas langsung merangsek masuk ke dalam rumah, menutup pintu di belakangnya dengan kasar hingga terdengar bantingan yang begitu keras."Kamu udah pulang Mas?" tanya Ara terdengar acuh, namun tetap mengulurkan tangannya untuk mencium punggung tangan suaminya seperti yang biasa dia lakukan.Dimas menghempaskan tangan istrinya begitu saja. Enggan di sentuh oleh sang istri yang sudah membuatnya dan ibunya marah.Ara menjerit pelan ketika tangannya di hempas begitu saja dengan kasar oleh suaminya. Dia mendongak menatap suaminya."Kamu kenapa Mas? Kenapa baru dateng udah marah-marah?" tanya Ara berpura-pura tidak mengetahui apa yang terjadi kepada suaminya yang pulang dalam keadaan marah. Padahal lebih dari siapapun, dialah yang paling mengetahui alasan di balik kemarahan suaminya.Siapa lagi jika bukan karena ibu mertuanya. Wanita paruh baya it
"Loh, kamu kok ada di sini, Dimas? Kamu udah pulang? Udah kasih pelajaran sama si Ara?" tanya Bu Salamah kepada anak laki-lakinya yang baru saja datang ke rumahnya, kini duduk bersandar di kursi ruang tamu."Dimas! Mama ngomong sama kamu, kok gak di saut!" kesal Bu Salamah ikut duduk di sebelah anaknya yang berwajah kusut."Istri kamu ngebangkang ya? Udah berani dia sama kamu? Sama kaya tadi Ara yang berani banget ngomong sama, Mama soal......, bla bla bla bla" ujar Ibu Salamah dengan sinis menceritakan kembali kepada anaknya tentang Ara yang berdebat dengannya mengenai Dimas dan keluarganya.Tentu saja di setiap ceritanya di tambahi sedikit bumbu agar hati Dimas semakin panas dan memberi pelajaran yang pantas untuk menantunya itu."Dimas, kamu denger ibu gak sih?! Ibu udah cape ngomong tapi kamu kaya gak dengerin!" kesal Bu Salamah menggeplak lengan anaknya yang malah asyik melamun.Dimas menatap wajah ibunya acuh."Ma, bisa gak Mama jangan ngomong atau tanya-tanya dulu sama Dimas! D
"Dimas, apa-apaan sih pertanyaan kamu itu? Kok, kamu kaya gak ngerti sama keadaan Papa dan Mama yang gak bisa nolong kamu waktu itu. Soal Sinta? Ya mana Mama Papa tau, kalau tuh anak kuliahnya gak bener. Orang dulu adekmu yang kekeuh mau kuliah kedokteran.Mama dan Papa kira selama dia mau, Sinta bakal mampu ngikutin pelajaran akademisnya, meski awalnya masuk emang harus pake jalur nyogok.Dimas, jangan pernah bilang kalau Mama gak sayang kamu. Kalau Mama gak sayang, mana mungkin Mama mau restuin kamu nikah siri sama si Cika jabl*y itu. Gara-gara kamu, Mama harus ikutan nyembunyiin status kamu yang udah nikah lagi itu dari Ara dan semua orang!Kalau gak inget kamu itu anak Mama dan udah ngehamilin tuh mantan pacar kamu yang lont*, udah Mama bejek kamu dan gak akan Mama dan Papa kasih warisan.Biar istrimu kampungan begitu, seenggaknya mantu Mama yang nyebelin itu, anak perempuan baik-baik dan dari keluarga baik-baik. Udahlah, Mama mending masuk ke kamar! Pusing kepala Mama mikirin kam
"Astagfirullahal' adzim. Astagfirullah, astagfirullah" gumam Ara terus beristighfar meminta ampun kepada yang maha kuasa setelah dia tersadar jika dirinya terlalu di liputi emosi hingga tidak sadar menaikkan nada suaranya di depan sang suami."Ya, Allah, hamba khilaf, ya Allah. Hamba tidak bermaksud durhaka kepada suami hamba" lirih Ara dengan wajah tertunduk dan terisak di atas lantai dingin. Lantai yang menjadi saksi bisu ketika dia menjerit dan berteriak di depan suaminya, melampiaskan semua kekesalan hatinya yang selama ini dia tahan. "Ya, Allah. Maafkan hamba, ya Allah. Hamba tidak bermaksud durhaka kepada suami hamba, hiks" lirih Ara kembali. Ara terus menangis sampai dirinya merasa lelah. Lelah karena batinnya terus tersiksa dan di lukai oleh kata-kata pedas suaminya dan ibu mertuanya."Mas, sampai kapan kamu tidak mau menerimaku menjadi istrimu sepenuhnya? Mas, apa salahku, hiks" lirih Ara dengan suara bergetar putus asa. Dia sudah berusaha menjadi yang terbaik. Menjadi yan
Ara masih terduduk sedih di tempatnya, dengan pikiran yang melayang mengingat memori masa lalu.Wajah dan suara abahnya yang begitu berat, penuh penyesalan, namun enggan mundur dari perjodohan yang sudah di lakukan."Demi Allah, tidak pernah Abah berpikir untuk menjualmu, Ara. Untuk apa Abah melakukan itu, di saat Abah sendiri masih mampu untuk mengurusmu sebagai anak perempuan Abah satu-satunya.Hati Abah juga berat untuk melakukan ini. Abah hanya ingin menjalankan wasiat mendiang kakekmu. Mungkin wasiat ini memang bisa di batalkan, tapi itu berarti Abah melanggar janji Abah kepada mendiang kakekmu.Sebagai seorang laki-laki dan seorang anak, Abah malu jika tidak bisa mewujudkan keinginan kakekmu, di tambah Abah sudah berjanji. Selain itu, ternyata keluarga Buwono yang datang sendiri untuk menagih janji atas wasiat perjodohan yang pernah di sepakati di antara kedua keluarga.Meski begitu, Abah janji sama kamu, Ara. Abah janji akan mencarikan jodoh yang terbaik untukmu. Jika Dimas pri
Plak!"M-mas, kamu kok diem aja! Tuh mbak Ara pergi tau! Bu-bukannya di kejar!" ujar Sinta yang lebih dulu tersadar dari keterkejutannya, memukul lengan kakak sulungnya untuk segera mengejar kakak iparnya sebelum semuanya semakin kacau.Dimas mengerjapkan mata, menatap linglung adiknya, sebelum akhirnya melangkah pergi untuk mengejar istrinya.Langkahnya terhenti sejenak di depan pintu rumah, berbalik menatap adiknya tajam saat dirinya sadar jika Ara mengetahui perselingkuhan dan pernikahan sirinya akibat mulut adiknya yang tidak sengaja membongkar tingkah buruknya di belakang Ara."Urusan kita belum selesai! Mas bakal kasih pelajaran sama kamu setelah urusan Mas sama Mbak ipar kamu selesai!" peringat Dimas menatap tajam adiknya.Sinta meneguk ludah kasar, rasa takut mulai membanjiri hatinya ketika melihat raut kemarahan di wajah kakak sulungnya. Dia memegang tasnya erat, enggan mengakui kesalahan atau-pun kekalahan.Sinta mendongakkan wajahnya angkuh, memberanikan diri membalas ucapa
"Astagfirullah. Astagfirullahal' adzim. Ya Allah. Ya Allah, hamba gak kuat ya Allah. Astagfirullah. Ibu, Abah, Mas , Ara mau pulang! Ara udah gak kuat lagi terus berada di dekat Mas Dimas. Mas Dimas bukan suami yang baik lagi.Astagfirullahal'adzim!" batin Ara menangis pilu sepanjang jalan ketika dia baru saja mendengar ucapan adik iparnya yang begitu menyakiti hatinya.Ucapan di mana adik iparnya dengan lantang menyebutkan kesalahan suaminya yang selama ini lakukan di belakang punggungnya.Perzinahan, menghamili wanita lain dan menikahi wanita itu adalah hal yang paling tidak bisa di terima oleh dirinya.Lagi-lagi banyak hal berkecamuk di dalam pikirannya, tentang apa salah dan kurangnya dia sebagai seorang istri.Dia selalu berusaha taat kepada suaminya sebaik mungkin, meskipun suaminya selalu menjadi sosok yang menyakiti hatinya.Tidak terkecuali, saat dirinya di suruh diam di rumah oleh sang suami, ketika abahnya berada di rumah sakit sedang meregang nyawa.Tidak pernah dia memban
Tuuuuut Tuuuuut"Nomor yang anda tuju, tidak bisa di hubungi!" "Si*l! Di mana sih kamu, Ara! Benar-benar pembangkang! Suami telepon malah di matiin! Durhaka! Pergi gak izin, juga gak bilang-bilang! Malah ngasih kunci ke tetangga. Bikin malu aja! Aaaargh" teriak Dimas geram, ingin sekali membanting ponselnya jika tidak ingat ponselnya adalah merk mahal dan keluaran terbaru."Aaargh! Si*l! Si*l! Si*l!" teriak Dimas frustasi menjambak rambutnya, melempar dan menendang barang yang ada di dekatnya.BrakBughPrang Pyar!Dimas menendang kursi dan meja, melempar bantal sofa, vas bunga keramik-pun tidak lolos dari jangkauan tangannya hingga terlempar ke dinding lalu hancur berkeping-keping, menimbulkan suara nyaring. "Araaaaa, kamu gak boleh pergi! Gak boleh pergi! Kamu gak boleh pergi tanpa izin aku! Aku gak ridho, Ara! Berdosa kamu! Berdosa kamu jadi perempuan!" teriak Dimas geram dengan nafas tersengal penuh rasa amarah dan frustasi.Gigi Dimas bergemalatuk, dengan mata menajam, mencoba
"Gila! Benar-benar gila! Beraninya Ara ngelawan kamu dan ibu. Mana dia enggak segan menjelekkan kita pas sidang tadi. Masa berbakti sama suami dan mertua dibilang penyiksaan batin!" "Cih, kalau aja bukan karena ancaman Papa. Mama mana sudi punya menantu kaya si Ara lagi!" kesal Bu Salamah misuh-misuh setelah kembali pulang dari pengadilan dimana sidang perceraian Dimas dan Ara sebelumnya berlangsung. Dimas melemparkan tubuhnya ke atas kursi dengan wajah geram dan merah padam. Dia menggertakkan gigi kesal."Ara setelah pulang kerumah orang tuanya dan kedua orang tuanya sudah meninggal jadi berani membangkang aku. Mungkin sekarang Ara merasa lebih bebas karena tidak ada yang mengekang lagi" "Ini semua pasti hasutan Reno dan Bima yang memang dari dulu enggak suka aku. Aku yakin mereka yang kompor sama Ara supaya istriku itu tidak lagi menghargai aku. Sial!" kesal Dimas. Bu Salamah mengangguk ketika mendengar ucapan putranya yang mungkin benar. Setelah Ara pergi dari rumah dan kemb
1 bulan telah berlalu. Selama kurun waktu itu, Ara tetap tinggal di rumah peninggalan kedua orang tuanya bersama dengan kedua saudaranya. Masa berkabung telah usai, meskipun kesedihan atas kehilangan seorang ibu masih melanda ketiga saudara itu. Namun, hidup harus terus berjalan. Mereka tidak punya pilihan selain mengikhlaskan kepergian ibu mereka. Reno terus sibuk dengan pekerjaannya, begitu juga dengan urusan perceraian adiknya. Setelah kejadian pertengkaran antara keluarganya dan Dimas terakhir kali hingga berujung pelaporan ke pihak polisi, Dimas tidak lagi datang atau menghubungi Ara untuk mengganggu kehidupan adiknya. "Bagaimana? Kamu sudah siap?" ujar Reno sambil merapikan kemejanya. Ara mengangguk dan berjalan menghampiri kakak sulungnya."Ara siap Mas" jawabnya dengan suara sedikit gugup. Hari ini adalah sidang perceraian pertamanya dengan Dimas. Kakak sulungnya ternyata sudah benar-benar marah dengan kejadian terakhir kali hingga melakukan segala cara, meskipun harus mem
"Astaghfirullah! Astaghfirullahal'adzim! Handi, apa kamu dengar ucapan suami Ara tadi? Itu beneran suami Ara? Modelan kaya begitu? Ganteng sih, tapi lebih ganteng anak ibu""Ibu heran kenapa almarhum Abah Darma bisa menjodohkan anak perempuannya sama modelan laki-laki begitu. Ara itu dulu kembang desa. Bisa-bisanya nikah sama laki-laki yang tingkahnya modelan pulu-pulu begitu! Hiw!" komentar Bu Dewi dengan nada jijik. Sejak tadi dia melihat pertengkaran Ara, Bima dengan suami dan mertua Ara itu. Namun karena bukan bagian dari keluarga dan niatnya ke rumah Ara hanya untuk membantu saja, maka dia tidak berani bertindak lebih jauh kecuali hanya memperhatikan dan membantu ketika jika memang di minta.Sedangkan Handi memang sedari tadi sedang pergi bersama dengan Reno karena suatu urusan. Hingga pada saat mereka kembali ke rumah kedua orang tua Ara, mereka malah disuguhkan pertengkaran hebat antara Bima dan Dimas yang sulit dipisahkan.Bu Dewi menghela nafas berat."Ujian rumah tangga oran
Reno menatap tajam adik kandung dan adik iparnya yang baru saja bertingkah memalukan di depan rumahnya yang masih berkabung ini. "Bagus! Bagus ya Bima! Kakak baru pergi sebentar tapi kamu di sini malah ribut! Apa kamu enggak kasihan sama kakak perempuan kamu?!" kesal Reno.Bima mendongak untuk menatap kakak sulungnya sambil memegang pipinya yang bengkak setelah habis dihajar oleh kakaknya ini begitu keras. Dia menoleh menatap Dimas tanpa gentar."Justru karena aku kasihan sama mbak Ara, aku kasih pelajaran sama orang itu! Dia kesini sama ibunya pasti cuma mau bikin repot dan sedih mbak Ara! Sebagai adik dan laki-laki, Bima enggak terima siapapun yang datang cuma untuk nyakitin mbak Ara!""Bima enggak nyesel menghajar mas Dimas. Lagian dia dulu yang memukul Bima! Bima cuma melakukan pembelaan diri! Kalau mas enggak percaya, mas bisa tanya sama mbak Ara dan saksi yang lainnya. Mas Dimas yang lebih dulu memukul Bima!" jawabnya sambil menatap sengit Dimas. Reno mengusap wajah kasar lalu
Ara dan Dimas saling terdiam saat mereka bertemu dan berhadapan, begitu pula Bu Salamah yang tidak tahu harus berkata apa kepada sang menantu.Terjadi keheningan cukup lama sampai suara Bima menyentak lamunan mereka dengan suara kerasnya."Untuk apa Mas Dimas ada di sini?!" seru Bima dengan nada keras. Baik nada dan raut wajahnya terang-terangan menunjukan ketidaksukaan atas kedatangan kakak iparnya. Bima menatap tajam Dimas, bahkan bergerak maju ingin menghajar pria yang sudah menyakiti kakak perempuannya itu. Jika Mas Reno masih bisa menahan emosinya dan terlihat kalem, namun Bima yang mempunyai darah muda yang menggebu-gebu tidak bisa menahan emosinya dan ingin segera melampiaskan amarahnya yang sudah dia tahan sejak dulu kepada sang kakak ipar. Ara tersentak dari lamunan. Dia segera memegang lengan Bima agar tidak menimbulkan kekacauan. Masih banyak tamu di rumah. Jika terjadi keributan, dia takut menjadi bahan gunjingan. Lagipula mereka masih berkabung. Rasanya tidak pantas ri
Ara menatap ayah mertuanya dengan rasa canggung, begitu pula dengan Shinta. Dia terkejut saat ayah mertua dan adik iparnya tiba-tiba datang menemuinya, sementara suami dan ibu mertuanya tidak ada di tempat. Kehadiran keluarga mertuanya ini membuatnya bingung, terlebih karena dia yakin tidak ada yang memberitahu mereka tentang kematian ibunya. Dia memang sengaja tidak mengungkapkan apa pun, mengikuti larangan keluarganya, terutama dari kakak sulungnya untuk tidak menghubungi Dimas, mengingat pengalamannya yang buruk sebelumnya. Saat abahnya meninggal, Dimas tidak hanya tidak memberikan bantuan, tapi juga mempersulit keadaan bagi Ara sebagai istri dan anak. Dimas selalu ingin pulang, padahal kuburan almarhum abahnya belum kering dan ibunya masih berduka. Dia dan keluarganya khawatir jika Dimas diberitahu, sejarah buruk itu akan terulang, padahal saat ini hatinya sedang terluka parah. Ara menghela nafas panjang saat mengingat suaminya. Dia bingung bagaimana harus berea
Setelah menempuh perjalanan jauh selama beberapa jam, mobil yang ditumpangi Pak Doni dan Shinta akhirnya sampai dikampung halaman Ara.Pak Doni dan Shinta berdiam diri sejenak di dalam mobil, alih-alih langsung keluar untuk menemui Ara dan keluarganya meski mereka melihat bahwa Bima sedang duduk di teras bersama beberapa pria sebayanya yang mereka tebak sebagai teman bermain sekaligus pemuda di kampung ini. Shinta memanggil Papanya dengan suara pelan."Pah" ujarnya.Pak Doni menatap putrinya. Melihat tatapan Shinta, dia seakan mengerti sesuatu."Kamu mikir yang sama seperti Papa?" tanyanya ketika melihat keraguan dimata Shinta. Shinta mengangguk kaku."Aku.., Pah sebenarnya Shinta cukup malu untuk bertemu mbak Ara dan keluarganya. Kejadian yang terakhir kali dan masalah kabar meninggalnya ibu mbak Ara saja kita tidak diberitahu, dan begitu tahu sudah sangat terlambat. Itu berarti kita sebenarnya udah tidak dianggap bukan? Kalau kita masuk, apa kita bakal di usir Pah? Shinta udah cukup
Dimas menendang angin dan terus menggerutu kesal saat melihat ternyata dia benar-benar diusir. Dia melihat jika mobil yang ditumpangi Papa dan adiknya kini berjalan pergi meninggalkannya dan Mamanya di pinggir jalan hanya berdua. "Dasar! Emang dari dulu Papa enggak pernah anggap aku serius!" kesal Dimas dengan mata memerah marah. "Dimas! Tunggu!" teriak Bu Salamah berjalan cepat menghampiri putranya. Dia menarik lengan Dimas agar menatap ke arahnya. Baru saja Dimas menoleh menatap Mamanya, kepalanya langsung tertoleh kesamping saat merasakan tamparan pedas menyapu wajahnya. Plak!Bu Salamah menatap tangannya yang bergetar karena baru saja menampar putra kesayangannya.Dimas menatap Mamanya dengan wajah merah padam."Apa yang Mama lakuin sama aku?! Kenapa Mama tiba-tiba tampar aku? Aku salah apa, hah?!" teriaknya tidak terima sambil memegangi pipinya.Bu Salamah menatap putranya dengan tatapan bersalah. Dengan bibir bergetar mencoba memberi penjelasan kepada Dimas, namun tidak ada s
Pak Doni membawa mobilnya melaju kencang saat mendengar pertengkaran keluarganya yang menyulut emosinya, terutama saat mendengar ucapan Dimas. Dimas adalah anak laki-laki yang dia besarkan penuh setulus hati meskipun bukan darah dagingnya sendiri. Dia tidak menyangka setelah kenyataan status Dimas terungkap, putranya berbicara seolah dia tidak pernah berarti di mata Dimas begitu pula dengan keluarganya yang tidak dianggap oleh putranya ini. Pak Doni menggeram kesal sekaligus tertawa di dalam hati mencemooh dirinya sendiri. Dia baru menyadari jika seorang anak dari pria lain, mana mungkin bisa menjadi putranya meski dia sudah melakukan hal sebaik apapun untuk menjaga dan membesarkan Dimas selama ini. Pak Doni termenung dengan pikirannya sendiri yang berkecamuk hingga tidak sadar dia hampir menabrak kendaraan yang ada di depannya. Tiiiiiin Pak Doni tersentak dengan suara klakson mobil lain yang terdengar nyaring lalu dengan sigap menginjak rem hingga menimbulkan bunyi deci