"Ara!"
"Ara!" "Ara! Buka pintunya!" Tok Tok Tok "Ar...." Ceklek Ucapan Dimas terhenti saat dia melihat wajah istrinya yang baru saja membuka pintu. Dimas langsung merangsek masuk ke dalam rumah, menutup pintu di belakangnya dengan kasar hingga terdengar bantingan yang begitu keras. "Kamu udah pulang Mas?" tanya Ara terdengar acuh, namun tetap mengulurkan tangannya untuk mencium punggung tangan suaminya seperti yang biasa dia lakukan. Dimas menghempaskan tangan istrinya begitu saja. Enggan di sentuh oleh sang istri yang sudah membuatnya dan ibunya marah. Ara menjerit pelan ketika tangannya di hempas begitu saja dengan kasar oleh suaminya. Dia mendongak menatap suaminya. "Kamu kenapa Mas? Kenapa baru dateng udah marah-marah?" tanya Ara berpura-pura tidak mengetahui apa yang terjadi kepada suaminya yang pulang dalam keadaan marah. Padahal lebih dari siapapun, dialah yang paling mengetahui alasan di balik kemarahan suaminya. Siapa lagi jika bukan karena ibu mertuanya. Wanita paruh baya itu pasti sudah mengadu, hingga suaminya yang harusnya pulang saat jam makan siang, namun sudah pulang satu jam lebih cepat dari yang seharusnya. Dimas menggertakkan gigi, menatap istrinya tajam."Apa yang kamu omongin sama Mama, sampai Mama telepon aku sambil nangis, hah?!" bentaknya kepada Ara tanpa basa basi. Ara menghela nafas berat."Oh, itu. Aku cuma bilang mau pisah dari kamu. Aku gak tau apa yang buat Mama nangis, karena harusnya aku yang nangis setelah dengar omongan Mama yang keterlaluan tentang aku dan keluargaku, terlebih kondisi ibuku. Mas, aku udah cape jadi istri kamu. Kamu juga gak suka aku jadi istri kamu, kan? Aku mau cerai. Mas Reno akan jemput aku untuk mengambilku kembali darimu, dan keluargamu" jawab Ara tanpa riak emosi di wajah maupun suaranya, kecuali hanya menunjukan rasa lelah yang dalam di setiap kata yang dia keluarkan. Dimas menatap istrinya tidak percaya. Tangannya mengepal menatap Ara tajam. "Ara! Jangan main-main dengan ucapan kamu! Kamu mau cerai, hah?! Cerai apa?! Jangan jadi istri durhaka, Ara! Apa salah aku sampai kamu mau minta cerai?! Istri gak bersyukur kamu! Aku nafkahin kamu. Udah ngasih kamu rumah untuk tempat berlindung. Kamu tinggal ongkang-ongkang kaki di rumah, sambil nunggu hasil jerih payah aku setiap bulannya, tapi apa ini? Kamu minta cerai?! Minta cerai?! Durhaka kamu, Ara! Durhaka! Gak ada kata cerai! Jangan mengada-ada! Apa kamu lupa bagaimana kita bisa menikah?! Tega kamu mau ngelanggar wasiat dua keluarga?! Dosa kamu! Dosa! Kamu wanita pendosa!" bentak Dimas dengan nafas tersengal, menggertakkan gigi menatap Ara nyalang. Ara tersenyum kecut mendengar lontaran keji dari mulut suaminya. Dia mendongak menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca, dan hati berdenyut sakit tidak terkira. "Dosa, Mas? Do-dosa? A-aku wanita pendosa?" tanya Ara menatap suaminya tidak percaya dengan lelehan air mata yang membasahi kedua pipinya. Bibir dan seluruh tubuhnya bergetar. Kesedihan, amarah, kekecewaan menjadi satu. "Ka-kalau aku berdosa, lalu kamu apa, Ma-mas?" lirih Ara menutup matanya, terisak dengan keras. Ara mengusap air matanya kasar, mendongak memberanikan diri menatap suaminya. Bibirnya yang bergetar dengan suaranya yang tercekat, namun berusaha sekuat mungkin untuk mengatakan apa yang ada di dalam pikiran dan di rasakannya selama ini kepada suaminya. "Kamu mengatakan aku seorang wanita pendosa, sebab kau mengira aku istri durhaka? A-aku tanya sekali lagi, lalu kau apa, Mas? Tidakkah kau berpikir bagaimana sikapmu selama ini saat menjadi seorang suami?" ujar Ara, lalu menutup matanya saat melihat mata Dimas yang semakin melotot padanya dengan teriakan kencang menggema di seluruh ruang tamu tempat tinggal mereka. "Ara! Apa sekarang kau mencoba membalikkan keadaan?! Kau ingin mengatakan aku suami yang buruk?! Kau ingin mengatakan aku suami yang pelit seperti yang kau katakan kepada Mama?! Kau ingin mengatakan aku yang berdosa?! Bagus! Bagus Ara! Bagus! Apa ini yang keluargamu maksud jika kau akan bisa menjadi seorang istri yang sholehah saat menikah denganku?! Sekarang, aku tanya padamu?! Di mana istri sholehah yang menjelekkan suaminya sendiri kepada orang lain, hah?! Durhaka kau, Ara! Durhaka!" bentak Dimas marah kepada istrinya hingga nafasnya tersengal. "DIAAAAAAAAAM!" jerit Ara menutup telinganya ketika Dimas tidak berhenti menghakiminya tanpa melihat kesalahan dirinya sendiri. Tubuh Ara luruh terduduk di lantai, terus menjerit ketika suara Dimas yang mempertanyakan kesalihannya sebagai seorang istri terus bergema di kepalanya. "DIAM! DIAM! DIAAAAAAAM!" jerit Ara menangis keras di bawah kaki suaminya yang masih menatapnya dengan tajam. Ara mendongak menatap suaminya dengan wajah putus asa. "Mas, apa aku durhaka?! Apa aku durhaka?! Apa selama ini tidak ada satu-pun baktiku sebagai seorang istri yang bisa kau ingat dan hargai?! Apa tidak ada secuil kebaikan dan pengabdianku sebagai seorang istri yang bisa kau ingat?! Tidak adakah?! Ya Allah, ya Rabb. Aku berlindung kepadamu dari suami buruk sepertimu! Aku yang menemanimu selama ini Mas! Di saat kau susah, senang, sedih, aku menemanimu selama lima tahun! Bahkan di saat Allah memberimu ujian sakit, tubuhmu lumpuh selama satu tahun akibat kecelakaan naas itu, aku yang menemanimu! Aku yang menemanimu! Selama ini aku yang mengurusmu siang dan malam selama lima tahun, meski kau dan keluargamu tidak pernah menghargaiku! Aku selalu menelan kata-kata pedasmu dan keluargamu, tanpa melawan! Masih kurang-kah itu? Kau ingin aku ingatkan tentang hal yang lain lagi? Ingat ini, Mas! Aku dan keluargaku yang membiayai pengobatanmu hingga ke luar negeri agar kau bisa sembuh! Aku dan keluargaku yang menanggung biaya hidup kita selama kau tidak bekerja! Tapi, apa yang kau katakan tentangku dan keluargaku? Aku gadis kampung? Keluargaku hanya orang kampung? Kau dan keluargamu mengatai ibuku sedang bersandiwara tentang sakitnya, agar keluargaku meminta uang padamu? Kau bahkan hanya mampu memberi ratusan ribu! Tidak ingatkah jika kau pernah di biayai keluargaku ratusan juta untuk pengobatanmu dan biaya hidup kita selama satu tahun! Karenamu, kedua orang tuaku terpaksa harus menjual kebun mereka agar anak perempuan mereka ini tidak mempunyai suami cacat! CACAT! KAU MUNGKIN TIDAK CACAT FISIK LAGI! TAPI KAU CACAT HATI!" jerit Ara menatap tajam Dimas berurai air mata. Dimas terhuyung ke belakang ketika mendengar kata-kata istrinya. Dia ingin membalas segala ucapan Ara, namun tidak ada satu-pun kalimat yang bisa di keluarkan oleh mulutnya. "A-ra" ujar Dimas terbata. "Mas, apa aku pernah meminta uang padamu? Memberi nafkah sandang, pangan dan papan adalah sebuah kewajibanmu sebagai seorang suami! Kau mau berhitung denganku? Kau ingin mengatakan aku tidak melakukan apapun? Mari kita berhitung? Baiklah, maka dengarkan apa yang aku sudah lakukan selama ini saat menjadi istrimu! Baju yang kau pakai, makanan yang kau telan, rumah yang selalu bersih. Bukan, bukan hanya kau, tapi keluargamu. Makanan yang mereka telan, rumah dan pakaian bersih yang mereka pakai dan tempati, kau pikir itu semua dari mana, hah?! Aku! Aku yang melakukan itu semua! Aku yang melakukan pekerjaan itu semua! Kau pikir semua itu terjadi karena hembusan angin?! Aku, Mas! Aku istrimu yang melakukan itu semua! Aku yang membersihkan, memasak, dan mencucinya untuk kalian semua! Bahkan uang nafkahku sebagai istrimu, semua di ambil oleh Mamamu! Masih kurangkah semua yang aku lakukan sampai saat ini? Masih durhaka-kah aku setelah apa yang terjadi padaku? Aku bahkan tidak mengeluh sebelumnya!" sentak Ara ketika melihat suaminya diam saja. Dimas mengerjapkan mata ketika melihat wajah sedih istrinya. Bukannya iba, hatinya yang di penuhi ego, berbalik menatap istrinya tajam. Tangannya mengepal erat."Apa kau mencoba mengungkit kebaikan yang telah kau lakukan? Apa yang sudah kau lakukan adalah tugas seorang istri! Jadi wajar jika...." "Apanya yang wajar?! Aku ini seorang istri! Bukan pembantu! KAU DAN KELUARGAMU BAHKAN MEMPERLAKUKAN AKU LEBIH BURUK DARI PEMBANTU!" jerit Ara menghentikan ucapan Dimas yang kini berdiri mematung."Loh, kamu kok ada di sini, Dimas? Kamu udah pulang? Udah kasih pelajaran sama si Ara?" tanya Bu Salamah kepada anak laki-lakinya yang baru saja datang ke rumahnya, kini duduk bersandar di kursi ruang tamu."Dimas! Mama ngomong sama kamu, kok gak di saut!" kesal Bu Salamah ikut duduk di sebelah anaknya yang berwajah kusut."Istri kamu ngebangkang ya? Udah berani dia sama kamu? Sama kaya tadi Ara yang berani banget ngomong sama, Mama soal......, bla bla bla bla" ujar Ibu Salamah dengan sinis menceritakan kembali kepada anaknya tentang Ara yang berdebat dengannya mengenai Dimas dan keluarganya.Tentu saja di setiap ceritanya di tambahi sedikit bumbu agar hati Dimas semakin panas dan memberi pelajaran yang pantas untuk menantunya itu."Dimas, kamu denger ibu gak sih?! Ibu udah cape ngomong tapi kamu kaya gak dengerin!" kesal Bu Salamah menggeplak lengan anaknya yang malah asyik melamun.Dimas menatap wajah ibunya acuh."Ma, bisa gak Mama jangan ngomong atau tanya-tanya dulu sama Dimas! D
"Dimas, apa-apaan sih pertanyaan kamu itu? Kok, kamu kaya gak ngerti sama keadaan Papa dan Mama yang gak bisa nolong kamu waktu itu. Soal Sinta? Ya mana Mama Papa tau, kalau tuh anak kuliahnya gak bener. Orang dulu adekmu yang kekeuh mau kuliah kedokteran.Mama dan Papa kira selama dia mau, Sinta bakal mampu ngikutin pelajaran akademisnya, meski awalnya masuk emang harus pake jalur nyogok.Dimas, jangan pernah bilang kalau Mama gak sayang kamu. Kalau Mama gak sayang, mana mungkin Mama mau restuin kamu nikah siri sama si Cika jabl*y itu. Gara-gara kamu, Mama harus ikutan nyembunyiin status kamu yang udah nikah lagi itu dari Ara dan semua orang!Kalau gak inget kamu itu anak Mama dan udah ngehamilin tuh mantan pacar kamu yang lont*, udah Mama bejek kamu dan gak akan Mama dan Papa kasih warisan.Biar istrimu kampungan begitu, seenggaknya mantu Mama yang nyebelin itu, anak perempuan baik-baik dan dari keluarga baik-baik. Udahlah, Mama mending masuk ke kamar! Pusing kepala Mama mikirin kam
"Astagfirullahal' adzim. Astagfirullah, astagfirullah" gumam Ara terus beristighfar meminta ampun kepada yang maha kuasa setelah dia tersadar jika dirinya terlalu di liputi emosi hingga tidak sadar menaikkan nada suaranya di depan sang suami."Ya, Allah, hamba khilaf, ya Allah. Hamba tidak bermaksud durhaka kepada suami hamba" lirih Ara dengan wajah tertunduk dan terisak di atas lantai dingin. Lantai yang menjadi saksi bisu ketika dia menjerit dan berteriak di depan suaminya, melampiaskan semua kekesalan hatinya yang selama ini dia tahan. "Ya, Allah. Maafkan hamba, ya Allah. Hamba tidak bermaksud durhaka kepada suami hamba, hiks" lirih Ara kembali. Ara terus menangis sampai dirinya merasa lelah. Lelah karena batinnya terus tersiksa dan di lukai oleh kata-kata pedas suaminya dan ibu mertuanya."Mas, sampai kapan kamu tidak mau menerimaku menjadi istrimu sepenuhnya? Mas, apa salahku, hiks" lirih Ara dengan suara bergetar putus asa. Dia sudah berusaha menjadi yang terbaik. Menjadi yan
Ara masih terduduk sedih di tempatnya, dengan pikiran yang melayang mengingat memori masa lalu.Wajah dan suara abahnya yang begitu berat, penuh penyesalan, namun enggan mundur dari perjodohan yang sudah di lakukan."Demi Allah, tidak pernah Abah berpikir untuk menjualmu, Ara. Untuk apa Abah melakukan itu, di saat Abah sendiri masih mampu untuk mengurusmu sebagai anak perempuan Abah satu-satunya.Hati Abah juga berat untuk melakukan ini. Abah hanya ingin menjalankan wasiat mendiang kakekmu. Mungkin wasiat ini memang bisa di batalkan, tapi itu berarti Abah melanggar janji Abah kepada mendiang kakekmu.Sebagai seorang laki-laki dan seorang anak, Abah malu jika tidak bisa mewujudkan keinginan kakekmu, di tambah Abah sudah berjanji. Selain itu, ternyata keluarga Buwono yang datang sendiri untuk menagih janji atas wasiat perjodohan yang pernah di sepakati di antara kedua keluarga.Meski begitu, Abah janji sama kamu, Ara. Abah janji akan mencarikan jodoh yang terbaik untukmu. Jika Dimas pri
Plak!"M-mas, kamu kok diem aja! Tuh mbak Ara pergi tau! Bu-bukannya di kejar!" ujar Sinta yang lebih dulu tersadar dari keterkejutannya, memukul lengan kakak sulungnya untuk segera mengejar kakak iparnya sebelum semuanya semakin kacau.Dimas mengerjapkan mata, menatap linglung adiknya, sebelum akhirnya melangkah pergi untuk mengejar istrinya.Langkahnya terhenti sejenak di depan pintu rumah, berbalik menatap adiknya tajam saat dirinya sadar jika Ara mengetahui perselingkuhan dan pernikahan sirinya akibat mulut adiknya yang tidak sengaja membongkar tingkah buruknya di belakang Ara."Urusan kita belum selesai! Mas bakal kasih pelajaran sama kamu setelah urusan Mas sama Mbak ipar kamu selesai!" peringat Dimas menatap tajam adiknya.Sinta meneguk ludah kasar, rasa takut mulai membanjiri hatinya ketika melihat raut kemarahan di wajah kakak sulungnya. Dia memegang tasnya erat, enggan mengakui kesalahan atau-pun kekalahan.Sinta mendongakkan wajahnya angkuh, memberanikan diri membalas ucapa
"Astagfirullah. Astagfirullahal' adzim. Ya Allah. Ya Allah, hamba gak kuat ya Allah. Astagfirullah. Ibu, Abah, Mas , Ara mau pulang! Ara udah gak kuat lagi terus berada di dekat Mas Dimas. Mas Dimas bukan suami yang baik lagi.Astagfirullahal'adzim!" batin Ara menangis pilu sepanjang jalan ketika dia baru saja mendengar ucapan adik iparnya yang begitu menyakiti hatinya.Ucapan di mana adik iparnya dengan lantang menyebutkan kesalahan suaminya yang selama ini lakukan di belakang punggungnya.Perzinahan, menghamili wanita lain dan menikahi wanita itu adalah hal yang paling tidak bisa di terima oleh dirinya.Lagi-lagi banyak hal berkecamuk di dalam pikirannya, tentang apa salah dan kurangnya dia sebagai seorang istri.Dia selalu berusaha taat kepada suaminya sebaik mungkin, meskipun suaminya selalu menjadi sosok yang menyakiti hatinya.Tidak terkecuali, saat dirinya di suruh diam di rumah oleh sang suami, ketika abahnya berada di rumah sakit sedang meregang nyawa.Tidak pernah dia memban
Tuuuuut Tuuuuut"Nomor yang anda tuju, tidak bisa di hubungi!" "Si*l! Di mana sih kamu, Ara! Benar-benar pembangkang! Suami telepon malah di matiin! Durhaka! Pergi gak izin, juga gak bilang-bilang! Malah ngasih kunci ke tetangga. Bikin malu aja! Aaaargh" teriak Dimas geram, ingin sekali membanting ponselnya jika tidak ingat ponselnya adalah merk mahal dan keluaran terbaru."Aaargh! Si*l! Si*l! Si*l!" teriak Dimas frustasi menjambak rambutnya, melempar dan menendang barang yang ada di dekatnya.BrakBughPrang Pyar!Dimas menendang kursi dan meja, melempar bantal sofa, vas bunga keramik-pun tidak lolos dari jangkauan tangannya hingga terlempar ke dinding lalu hancur berkeping-keping, menimbulkan suara nyaring. "Araaaaa, kamu gak boleh pergi! Gak boleh pergi! Kamu gak boleh pergi tanpa izin aku! Aku gak ridho, Ara! Berdosa kamu! Berdosa kamu jadi perempuan!" teriak Dimas geram dengan nafas tersengal penuh rasa amarah dan frustasi.Gigi Dimas bergemalatuk, dengan mata menajam, mencoba
Perjalanan pulang ke kampung halaman ditempuh Ara dengan mengunakan taksi selama tiga jam.Ara lebih memilih menaiki taksi daripada menaiki bus, meski dia harus merogoh kantongnya lebih dalam sebab biayanya lebih mahal.Dia ingin segera sampai di rumah sakit tempat ibunya dirawat dan menghindari kemungkinan bertemu Mas Dimas yang mungkin akan memaksanya pulang dan melarangnya menjenguk ibunya."Kita sudah sampai, Neng. Ini rumah sakit yang Neng maksud kan? Namanya sudah benar, jadi sepertinya tidak salah" ujar supir taksi kepada wanita muda di belakangnya.Dia menatap dengan prihatin ke arah wanita muda yang sepanjang perjalanan terus menangis. Mungkin wanita muda ini terlalu bersedih karena memikirkan kerabat yang dirawat di rumah sakit ini, pikirnya.Ara tersentak dari lamunannya, sambil tangannya mengusap air mata yang terus mengalir. Dia menoleh dan melihat papan besar dengan logo dan nama rumah sakit tempat ibunya dirawat.Jika ibunya masih dirawat di sini dan dia tidak salah tem
"Gila! Benar-benar gila! Beraninya Ara ngelawan kamu dan ibu. Mana dia enggak segan menjelekkan kita pas sidang tadi. Masa berbakti sama suami dan mertua dibilang penyiksaan batin!" "Cih, kalau aja bukan karena ancaman Papa. Mama mana sudi punya menantu kaya si Ara lagi!" kesal Bu Salamah misuh-misuh setelah kembali pulang dari pengadilan dimana sidang perceraian Dimas dan Ara sebelumnya berlangsung. Dimas melemparkan tubuhnya ke atas kursi dengan wajah geram dan merah padam. Dia menggertakkan gigi kesal."Ara setelah pulang kerumah orang tuanya dan kedua orang tuanya sudah meninggal jadi berani membangkang aku. Mungkin sekarang Ara merasa lebih bebas karena tidak ada yang mengekang lagi" "Ini semua pasti hasutan Reno dan Bima yang memang dari dulu enggak suka aku. Aku yakin mereka yang kompor sama Ara supaya istriku itu tidak lagi menghargai aku. Sial!" kesal Dimas. Bu Salamah mengangguk ketika mendengar ucapan putranya yang mungkin benar. Setelah Ara pergi dari rumah dan kemb
1 bulan telah berlalu. Selama kurun waktu itu, Ara tetap tinggal di rumah peninggalan kedua orang tuanya bersama dengan kedua saudaranya. Masa berkabung telah usai, meskipun kesedihan atas kehilangan seorang ibu masih melanda ketiga saudara itu. Namun, hidup harus terus berjalan. Mereka tidak punya pilihan selain mengikhlaskan kepergian ibu mereka. Reno terus sibuk dengan pekerjaannya, begitu juga dengan urusan perceraian adiknya. Setelah kejadian pertengkaran antara keluarganya dan Dimas terakhir kali hingga berujung pelaporan ke pihak polisi, Dimas tidak lagi datang atau menghubungi Ara untuk mengganggu kehidupan adiknya. "Bagaimana? Kamu sudah siap?" ujar Reno sambil merapikan kemejanya. Ara mengangguk dan berjalan menghampiri kakak sulungnya."Ara siap Mas" jawabnya dengan suara sedikit gugup. Hari ini adalah sidang perceraian pertamanya dengan Dimas. Kakak sulungnya ternyata sudah benar-benar marah dengan kejadian terakhir kali hingga melakukan segala cara, meskipun harus mem
"Astaghfirullah! Astaghfirullahal'adzim! Handi, apa kamu dengar ucapan suami Ara tadi? Itu beneran suami Ara? Modelan kaya begitu? Ganteng sih, tapi lebih ganteng anak ibu""Ibu heran kenapa almarhum Abah Darma bisa menjodohkan anak perempuannya sama modelan laki-laki begitu. Ara itu dulu kembang desa. Bisa-bisanya nikah sama laki-laki yang tingkahnya modelan pulu-pulu begitu! Hiw!" komentar Bu Dewi dengan nada jijik. Sejak tadi dia melihat pertengkaran Ara, Bima dengan suami dan mertua Ara itu. Namun karena bukan bagian dari keluarga dan niatnya ke rumah Ara hanya untuk membantu saja, maka dia tidak berani bertindak lebih jauh kecuali hanya memperhatikan dan membantu ketika jika memang di minta.Sedangkan Handi memang sedari tadi sedang pergi bersama dengan Reno karena suatu urusan. Hingga pada saat mereka kembali ke rumah kedua orang tua Ara, mereka malah disuguhkan pertengkaran hebat antara Bima dan Dimas yang sulit dipisahkan.Bu Dewi menghela nafas berat."Ujian rumah tangga oran
Reno menatap tajam adik kandung dan adik iparnya yang baru saja bertingkah memalukan di depan rumahnya yang masih berkabung ini. "Bagus! Bagus ya Bima! Kakak baru pergi sebentar tapi kamu di sini malah ribut! Apa kamu enggak kasihan sama kakak perempuan kamu?!" kesal Reno.Bima mendongak untuk menatap kakak sulungnya sambil memegang pipinya yang bengkak setelah habis dihajar oleh kakaknya ini begitu keras. Dia menoleh menatap Dimas tanpa gentar."Justru karena aku kasihan sama mbak Ara, aku kasih pelajaran sama orang itu! Dia kesini sama ibunya pasti cuma mau bikin repot dan sedih mbak Ara! Sebagai adik dan laki-laki, Bima enggak terima siapapun yang datang cuma untuk nyakitin mbak Ara!""Bima enggak nyesel menghajar mas Dimas. Lagian dia dulu yang memukul Bima! Bima cuma melakukan pembelaan diri! Kalau mas enggak percaya, mas bisa tanya sama mbak Ara dan saksi yang lainnya. Mas Dimas yang lebih dulu memukul Bima!" jawabnya sambil menatap sengit Dimas. Reno mengusap wajah kasar lalu
Ara dan Dimas saling terdiam saat mereka bertemu dan berhadapan, begitu pula Bu Salamah yang tidak tahu harus berkata apa kepada sang menantu.Terjadi keheningan cukup lama sampai suara Bima menyentak lamunan mereka dengan suara kerasnya."Untuk apa Mas Dimas ada di sini?!" seru Bima dengan nada keras. Baik nada dan raut wajahnya terang-terangan menunjukan ketidaksukaan atas kedatangan kakak iparnya. Bima menatap tajam Dimas, bahkan bergerak maju ingin menghajar pria yang sudah menyakiti kakak perempuannya itu. Jika Mas Reno masih bisa menahan emosinya dan terlihat kalem, namun Bima yang mempunyai darah muda yang menggebu-gebu tidak bisa menahan emosinya dan ingin segera melampiaskan amarahnya yang sudah dia tahan sejak dulu kepada sang kakak ipar. Ara tersentak dari lamunan. Dia segera memegang lengan Bima agar tidak menimbulkan kekacauan. Masih banyak tamu di rumah. Jika terjadi keributan, dia takut menjadi bahan gunjingan. Lagipula mereka masih berkabung. Rasanya tidak pantas ri
Ara menatap ayah mertuanya dengan rasa canggung, begitu pula dengan Shinta. Dia terkejut saat ayah mertua dan adik iparnya tiba-tiba datang menemuinya, sementara suami dan ibu mertuanya tidak ada di tempat. Kehadiran keluarga mertuanya ini membuatnya bingung, terlebih karena dia yakin tidak ada yang memberitahu mereka tentang kematian ibunya. Dia memang sengaja tidak mengungkapkan apa pun, mengikuti larangan keluarganya, terutama dari kakak sulungnya untuk tidak menghubungi Dimas, mengingat pengalamannya yang buruk sebelumnya. Saat abahnya meninggal, Dimas tidak hanya tidak memberikan bantuan, tapi juga mempersulit keadaan bagi Ara sebagai istri dan anak. Dimas selalu ingin pulang, padahal kuburan almarhum abahnya belum kering dan ibunya masih berduka. Dia dan keluarganya khawatir jika Dimas diberitahu, sejarah buruk itu akan terulang, padahal saat ini hatinya sedang terluka parah. Ara menghela nafas panjang saat mengingat suaminya. Dia bingung bagaimana harus berea
Setelah menempuh perjalanan jauh selama beberapa jam, mobil yang ditumpangi Pak Doni dan Shinta akhirnya sampai dikampung halaman Ara.Pak Doni dan Shinta berdiam diri sejenak di dalam mobil, alih-alih langsung keluar untuk menemui Ara dan keluarganya meski mereka melihat bahwa Bima sedang duduk di teras bersama beberapa pria sebayanya yang mereka tebak sebagai teman bermain sekaligus pemuda di kampung ini. Shinta memanggil Papanya dengan suara pelan."Pah" ujarnya.Pak Doni menatap putrinya. Melihat tatapan Shinta, dia seakan mengerti sesuatu."Kamu mikir yang sama seperti Papa?" tanyanya ketika melihat keraguan dimata Shinta. Shinta mengangguk kaku."Aku.., Pah sebenarnya Shinta cukup malu untuk bertemu mbak Ara dan keluarganya. Kejadian yang terakhir kali dan masalah kabar meninggalnya ibu mbak Ara saja kita tidak diberitahu, dan begitu tahu sudah sangat terlambat. Itu berarti kita sebenarnya udah tidak dianggap bukan? Kalau kita masuk, apa kita bakal di usir Pah? Shinta udah cukup
Dimas menendang angin dan terus menggerutu kesal saat melihat ternyata dia benar-benar diusir. Dia melihat jika mobil yang ditumpangi Papa dan adiknya kini berjalan pergi meninggalkannya dan Mamanya di pinggir jalan hanya berdua. "Dasar! Emang dari dulu Papa enggak pernah anggap aku serius!" kesal Dimas dengan mata memerah marah. "Dimas! Tunggu!" teriak Bu Salamah berjalan cepat menghampiri putranya. Dia menarik lengan Dimas agar menatap ke arahnya. Baru saja Dimas menoleh menatap Mamanya, kepalanya langsung tertoleh kesamping saat merasakan tamparan pedas menyapu wajahnya. Plak!Bu Salamah menatap tangannya yang bergetar karena baru saja menampar putra kesayangannya.Dimas menatap Mamanya dengan wajah merah padam."Apa yang Mama lakuin sama aku?! Kenapa Mama tiba-tiba tampar aku? Aku salah apa, hah?!" teriaknya tidak terima sambil memegangi pipinya.Bu Salamah menatap putranya dengan tatapan bersalah. Dengan bibir bergetar mencoba memberi penjelasan kepada Dimas, namun tidak ada s
Pak Doni membawa mobilnya melaju kencang saat mendengar pertengkaran keluarganya yang menyulut emosinya, terutama saat mendengar ucapan Dimas. Dimas adalah anak laki-laki yang dia besarkan penuh setulus hati meskipun bukan darah dagingnya sendiri. Dia tidak menyangka setelah kenyataan status Dimas terungkap, putranya berbicara seolah dia tidak pernah berarti di mata Dimas begitu pula dengan keluarganya yang tidak dianggap oleh putranya ini. Pak Doni menggeram kesal sekaligus tertawa di dalam hati mencemooh dirinya sendiri. Dia baru menyadari jika seorang anak dari pria lain, mana mungkin bisa menjadi putranya meski dia sudah melakukan hal sebaik apapun untuk menjaga dan membesarkan Dimas selama ini. Pak Doni termenung dengan pikirannya sendiri yang berkecamuk hingga tidak sadar dia hampir menabrak kendaraan yang ada di depannya. Tiiiiiin Pak Doni tersentak dengan suara klakson mobil lain yang terdengar nyaring lalu dengan sigap menginjak rem hingga menimbulkan bunyi deci