"Astagfirullah. Astagfirullahal' adzim. Ya Allah. Ya Allah, hamba gak kuat ya Allah. Astagfirullah. Ibu, Abah, Mas , Ara mau pulang! Ara udah gak kuat lagi terus berada di dekat Mas Dimas. Mas Dimas bukan suami yang baik lagi.Astagfirullahal'adzim!" batin Ara menangis pilu sepanjang jalan ketika dia baru saja mendengar ucapan adik iparnya yang begitu menyakiti hatinya.Ucapan di mana adik iparnya dengan lantang menyebutkan kesalahan suaminya yang selama ini lakukan di belakang punggungnya.Perzinahan, menghamili wanita lain dan menikahi wanita itu adalah hal yang paling tidak bisa di terima oleh dirinya.Lagi-lagi banyak hal berkecamuk di dalam pikirannya, tentang apa salah dan kurangnya dia sebagai seorang istri.Dia selalu berusaha taat kepada suaminya sebaik mungkin, meskipun suaminya selalu menjadi sosok yang menyakiti hatinya.Tidak terkecuali, saat dirinya di suruh diam di rumah oleh sang suami, ketika abahnya berada di rumah sakit sedang meregang nyawa.Tidak pernah dia memban
Tuuuuut Tuuuuut"Nomor yang anda tuju, tidak bisa di hubungi!" "Si*l! Di mana sih kamu, Ara! Benar-benar pembangkang! Suami telepon malah di matiin! Durhaka! Pergi gak izin, juga gak bilang-bilang! Malah ngasih kunci ke tetangga. Bikin malu aja! Aaaargh" teriak Dimas geram, ingin sekali membanting ponselnya jika tidak ingat ponselnya adalah merk mahal dan keluaran terbaru."Aaargh! Si*l! Si*l! Si*l!" teriak Dimas frustasi menjambak rambutnya, melempar dan menendang barang yang ada di dekatnya.BrakBughPrang Pyar!Dimas menendang kursi dan meja, melempar bantal sofa, vas bunga keramik-pun tidak lolos dari jangkauan tangannya hingga terlempar ke dinding lalu hancur berkeping-keping, menimbulkan suara nyaring. "Araaaaa, kamu gak boleh pergi! Gak boleh pergi! Kamu gak boleh pergi tanpa izin aku! Aku gak ridho, Ara! Berdosa kamu! Berdosa kamu jadi perempuan!" teriak Dimas geram dengan nafas tersengal penuh rasa amarah dan frustasi.Gigi Dimas bergemalatuk, dengan mata menajam, mencoba
Perjalanan pulang ke kampung halaman ditempuh Ara dengan mengunakan taksi selama tiga jam.Ara lebih memilih menaiki taksi daripada menaiki bus, meski dia harus merogoh kantongnya lebih dalam sebab biayanya lebih mahal.Dia ingin segera sampai di rumah sakit tempat ibunya dirawat dan menghindari kemungkinan bertemu Mas Dimas yang mungkin akan memaksanya pulang dan melarangnya menjenguk ibunya."Kita sudah sampai, Neng. Ini rumah sakit yang Neng maksud kan? Namanya sudah benar, jadi sepertinya tidak salah" ujar supir taksi kepada wanita muda di belakangnya.Dia menatap dengan prihatin ke arah wanita muda yang sepanjang perjalanan terus menangis. Mungkin wanita muda ini terlalu bersedih karena memikirkan kerabat yang dirawat di rumah sakit ini, pikirnya.Ara tersentak dari lamunannya, sambil tangannya mengusap air mata yang terus mengalir. Dia menoleh dan melihat papan besar dengan logo dan nama rumah sakit tempat ibunya dirawat.Jika ibunya masih dirawat di sini dan dia tidak salah tem
"Mas, bisa minta tolong untuk menghubungi mbak Ara agar datang menjenguk ibu? Ibu terus memanggil namanya. Bahkan almarhum Abah juga sempat memanggil mbak Ara sebelum beliau meninggal. Mungkin kehadiran mbak Ara bisa membantu kesembuhan ibu. Apa Mas Reno gak bisa mengatur agar mbak Ara bisa datang?Atau, jika Mas tidak bisa, mungkin Bima bisa diizinkan untuk menjemput mbak Ara? Siapa tahu dengan kehadiran Bima, mbak Ara bersedia datang ke sini dan Mas Dimas mengizinkan mbak Ara pulang untuk jenguk ibu" ujar Bima, sambil menatap ibunya yang terbaring lemah di balik jendela kaca yang memisahkan ruang ICU tempat mereka berada.Reno menghela nafas berat, matanya ikut menatap tubuh lemah ibunya yang terbaring di atas ranjang dengan banyak selang tertempel di tubuh wanita paruh baya yang sedang tidak sadarkan diri itu."Bukan mbak Ara-mu tidak ingin datang ke sini Bima. Kau tau sendiri jika..." ucapan Reno terhenti, lalu menghirup nafas dalam sebelum berujar kembali."Kakak iparmu tidak meng
"Itu Mas Dimas ya, Mas? Kasih ke Bima, Bima mau ngomong sama Mas Dimas" ujar Bima kepada kakak sulungnya ketika melihat Mas Reno hanya diam dengan ponsel yang masih menempel di telinga. Reno memberi isyarat tangan, menempelkan jari ke bibirnya, meminta adiknya untuk diam sementara dan tidak mengganggunya saat dia sedang mendengarkan keluhan Dimas tentang adik perempuannya. "Mas! Kamu dengerin aku enggak sih! Aku enggak mau tau! Pokoknya kalau Ara sudah sampai sana, Mas Reno harus segera mengantarkan Ara kembali ke rumahku! Aku tidak merestui istriku pergi tanpa izin dariku setelah dia membuat ibuku menangis!" ujar Dimas terdengar kesal dari seberang telepon.Reno menipiskan bibirnya, menjawab Dimas dengan acuh tak acuh meskipun di dalam hati dia sangat kesal kepada adik iparnya. Dia ingin berteriak, ingin membalas perkataan Dimas yang seolah-olah merendahkan martabat adiknya dengan menyebutnya sebagai istri yang tidak taat dan membangkang."Mas mendengar apa yang kamu katakan, Dim
"Udah jangan nangis lagi. Ngeliat kamu nangis, Mas juga jadi sedih. Sekarang kamu udah ada di sini, jadi lebih baik kamu temuin ibu. Ibu udah nungguin dan terus manggilin kamu untuk ketemu" ujar Reno menghapus air matanya sebelum dia mengurai pelukan Ara dari tubuhnya.Ara menundukan kepalanya dengan bibir yang masih tersedu. Tangannya menghapus air mata yang menganak sungai di pipinya sebelum mendongak menatap kakak sulungnya."Maafin Ara yang cengeng, Mas" lirih Ara, lalu menundukkan kepalanya kembali.Reno tersenyum tipis, lalu menggelengkan kepala. Dia mengelus lembut kepala adiknya yang masih tertunduk."Mas tidak keberatan kalau kamu menangis, Ara. Bukannya justru aneh jika kamu menghadapi masalah sebesar itu tanpa menangis?Mas tahu kamu sedih dan terluka. Mas mungkin tidak bisa memahami sepenuhnya perasaanmu, karena belum pernah mengalami hal serupa, tapi itu tidak berarti Mas tidak bisa merasakan kekecewaan dan kemarahan yang kamu alami.Sekarang kamu sudah di sini, di tempat
Bugh!"Pokoknya Papa engga mau tau! Kamu harus jemput Ara dan minta maaf sama istri kamu secepatnya! Papa enggak mau kamu cerai sama Ara! Apapun alasannya dan bagaimana-pun caranya, kamu harus membawa Ara kembali menjadi menantu keluarga ini!Dimaaaaaas, kamu itu udah di kasih istri spek bagus malah sukanya spek lont*! Astagfirullah, Dimas! Ini emang salah Papa yang udah biarin Mama kamu, adik kamu, dan kamu sendiri sebagai suami Ara jadi semena-mena sama anak almarhum pak Darma!Pokoknya Papa enggak mau tau caranya! Kamu jemput dan minta maaf ke Ara! Bawa wanita itu untuk kembali menjadi menantu keluarga ini atau Papa hajar kamu dan buang kamu jadi anak Papa!" geram pak Doni kepada putra sulungnya. Bahkan untuk melampiaskan kekesalannya dia memukul wajah Dimas berharap agar putranya mengerti."Papa! Papa apa-apaan sih! Kenapa Papa malah mukul Dimas! Dimas salah apa? Ini semua salah Ara! Kalau mau mukul ya mukul Ara aja yang udah menyebabkan masalah dengan kabur-kaburan!Bukannya muku
"Astagfirullah. Kok jadi kaya gini sih Pah! Mama enggak mau! Mama enggak terima kalau Ara dapet tanah sama restoran yang harusnya jadi milik kita! Rumah Dimas juga! Enggak! Mama enggak mau! Mama enggak rela! Apa-apaan itu! Mama enggak ridho!" ujar Bu Salamah sambil memegang kepalanya yang terasa semakin pening ketika mendengar penjelasan suaminya. "Dimas juga enggak rela! Itu semua milik Dimas, bukan punya Ara!" sahut Dimas menimpali ucapan ibunya dengan tangan yang membawa segelas air minum, berjalan ke tempat Papa dan Mamanya berada. Pak Doni mendengus ketika mendengar ucapan anak dan istrinya."Kalau enggak rela, makanya jangan berulah!" ujarnya kesal. Bu Salamah melotot."Pah! Mama dan Dimas enggak berulah! Ini semua gara-gara Ara!" jawabnya mengelak masih mencoba membela diri. "Iya, Pah! Kita enggak salah! Semua ini salah Ara!" timpal Dimas tidak terima di salahkan, terutama oleh Papanya.Pak Doni menggeram kesal, menatap istri dan anak sulungnya tajam."Ara terus yang salah! Ar
"Ara memang keterlaluan! Begitu juga dengan keluarganya! Apa maksud mereka tidak memberitahu kita tentang kematian ibu Widya? Apa mereka sengaja ingin mempermalukan kita dan membuat kita seperti orang bodoh di mata orang lain?!Dimas itu masih suami Ara. Mereka benar-benar tidak memberi wajah kepada anak kita! Masa Dimas harus tau tentang kematian ibu mertuanya dari orang lain! Ara memberitahu tentang keadaan ibunya kepada tetangga yang tidak ada hubungan keluarga dengannya. Sedangkan Dimas dan kita sebagai keluarga mertuanya, tidak ada satu-pun yang diberitahu tentang kabar sebesar ini! Lihat aja nanti kalau ibu bertemu dengan Ara! Ibu tidak akan membiarkan dia lolos sebelum memberikan penjelasan atas apa yang dia dan keluarganya lakukan kepada kita!" kesal Bu Salamah terus mengomel sepanjang jalan ketika dia sedang menuju ke rumah menantunya di kampung. Pak Doni yang sedang menyetir mobil, menatap istrinya sekilas dengan pandangan acuh tak acuh."Kalau kamu buat masalah di rumah A
"Mas Dimas sudah pulang? Ibu turut berduka cita atas meninggalnya ibu mertua, Mas. Bagaimana dengan Mbak Ara? Apa beliau masih di kampung halaman? Tolong sampaikan salam ibu jika Mas Dimas berkomunikasi atau bertemu dengan Mbak Ara" ujar Bu Siti, tetangga Dimas yang pernah membantu Ara saat ia meninggalkan rumah tanpa sepengetahuan Dimas. Dimas yang baru saja keluar dari mobilnya setelah memarkir, terdiam sejenak mendengar ucapan Bu Siti yang tiba-tiba muncul dan mengucapkan hal yang tidak terduga.Dia menatap Bu Siti dengan linglung."Tadi Ibu Siti bilang apa?" tanyanya dengan raut bingung. Kini giliran Bu Siti yang tampak bingung."Loh, bukankah ibu mertua Mas yang kemarin sakit itu telah meninggal dunia? Ibu hanya ingin menyampaikan belasungkawa atas kepergian ibu mertua Mas Dimas, sekaligus ibu dari Mbak Ara" ujarnya.Dimas menatap Bi Siti dengan raut wajah yang semakin bingung."Ibu mertua saya meninggal? Kapan?" tanyanya, terdengar kebingungan karena tidak mengetahui apa-apa. Bi
"Ara, siapkan air hangat untuk mandi!" "Ara, handukku mana? Tolong ambilkan, aku lupa bawa!" "Ara, buatkan kopi untukku!" "Ara, sarapannya mana? Aku mau berangkat kerja! Sudah siang ini!" "Ara, kaus kakiku di mana? Kamu biasanya menyimpannya di mana? Letakkan dengan benar dong, bikin pusing saja. Kalau begini, aku susah mencarinya!" "Ara, kenapa sepatuku belum disemir? Lihat, kotor kan? Kamu sengaja ingin melihat aku kumel!" "Ara, aku mau makan ayam rica siang ini! Jangan lupa buatkan!" "Ara!" "Ara!" "Ara!" Dimas mengerang kesal ketika dia menyadari bahwa sejak bangun hingga hendak pergi ke kantor, bahkan saat bekerja, dia selalu tanpa sadar memanggil nama istrinya. Dia bahkan menghubungi dan mengirim pesan kepada istrinya, namun semuanya berakhir tanpa tanggapan, karena Ara sudah tidak ada lagi di sisinya. Istrinya bahkan tidak mau repot menanggapi semua panggilan, pesan, dan telepon yang dia kirimkan.Dimas mengerang frustasi saat bekerja tanpa sadar selalu mengingat istr
Bu Dewi dan Pak Salim terdiam, saling menatap satu sama lain ketika mendengar ucapan putra mereka. Bu Dewi menatap putranya yang kini terdiam setelah mengajukan pertanyaan kepada dia dan suaminya. "Kalau kamu tanya Ibu, Ibu tidak keberatan jika menantu Ibu seorang janda atau bukan. Rumah tangga itu rumit, kadang-kadang jika tidak kuat menghadapi badai, bisa karam. Dalam rumah tangga, ada dua orang yang menjalaninya, yaitu sepasang suami istri. Sama seperti rumah tangga Ibu dan Bapak kamu. Kalau kami bertengkar, kadang-kadang Ibu yang salah, kadang-kadang juga disebabkan oleh Bapak kamu.Ibu yakin bahwa rumah tangga Ara dan suaminya tidak jauh berbeda. Namun, pertengkaran rumah tangga yang disertai penindasan, apalagi campur tangan mertua, jika Ibu menjadi Ara, tentu Ibu tidak akan tahan. Ibu pasti akan meminta cerai daripada harus mati berdiri karena makan hati. Jadi, Handi, janda atau tidak, Ibu lebih melihat kualitas, kecocokan, dan karakter calon istri kamu. Jika dia memenuhi k
"Jadi, Ara mau cerai dari suaminya?" tanya Pak Salim, menanggapi cerita istrinya yang terus berbicara sejak pulang dari rumah duka orang tua Ara. Bu Dewi mengangguk."Iya, Pak. Tadi ibu tidak sengaja mendengar dari Bima. Dia marah ketika ada saudara jauhnya yang menanyakan keberadaan suami Ara dan keluarganya.Sepertinya Bima sangat tidak menyukai iparnya itu, bahkan mengancam saudara jauhnya itu agar tidak membahas suami Ara di depan kakak perempuannya karena kakaknya itu ingin bercerai sebentar lagi" Bu Dewi menoleh ke Handi, putranya yang sedang mengemudi."Benar Han, bahwa Ara ingin bercerai dari suaminya?" tanyanya untuk memastikan.Handi menatap ibunya dari balik kaca spion sambil mengangkat bahu, seolah-olah tidak tahu apa-apa."Bu, kenapa malah tanya aku? Tadi kan Ibu dengar sendiri dari Bima. Kenapa tidak langsung tanya saja ke Bima?" ujarnya mencoba mengelak. Handi terdiam sejenak, sebelum melanjutkan ucapannya kembali."Aku ini hanya teman lama Ara dan keluarganya, tidak leb
Dimas pulang dengan linglung dari rumah kedua orang tuanya. Dia memarkirkan mobilnya asal lalu masuk ke dalam rumahnya sendiri.Tok Tok Tok"Assalamualaikum, Ra! Ara, buka pintunya!" ujar Dimas belum menyadari jika istrinya kini sudah tidak berada lagi dirumah. Kekalutan hatinya sejenak menutupi pikirannya.Tok Tok TokDimas masih mengetuk pintu rumahnya sekali lagi sambil memanggil nama istrinya."Assalamualaikum! Ara, Mas sudah pulang! Buka pintunya!" ujar Dimas sambil bersandar di kusen pintu depan tubuhnya yang layu. Tok Tok Tok"Ara, kamu dimana sih?! Mas lagi kesel sama Papa dan Mama, jadi kamu jangan membuat Mas makin kesel!" ujar Dimas saat ini sudah menggedor pintu rumahnya sendiri dengan keras.Dimas terus mengetuk pintu sambil menggerutu ditempatnya karena istrinya tidak kunjung membuka pintu, hingga tiba-tiba dia tertawa frustasi ketika menyadari istinya tidak akan pernah membuka pintu untuknya lagi sebab Ara tidak ada di rumahnya ini. Dimas tertawa jengkel menggebrak p
Dimas menatap Papanya terkejut, begitu pula dengan Shinta yang tidak menyangka jika kakak sulungnya bukanlah kakak kandungnya. Atau jangan-jangan...Shinta menatap Papanya dengan tatapan bertanya dan mata memerah."Pah, kalau Mas Dimas bukan anak Papa, terus Shinta? Apa Shinta juga bukan anak Papa?" tanyanya dengan suara serak.Sungguh dia sedih jika membayangkan bahwa dirinya bukan anak dari Papanya, karena selama ini, dibandingkan Dimas sang kakak, dia yang paling dekat dan disayang oleh sang Papa. Dia tidak ingin kasih sayang itu akhirnya berakhir karena identitasnya yang ternyata bukan anak Papanya juga terungkap.Shinta menatap Papanya dengan raut sedih dan rumit.Pak Doni menatap Shinta yang berada disebelahnya."Mana mungkin kamu bukan anak Papa! Muka dan semua yang ada di badan kamu ini warisan Papa! Orang-orang juga tau walau mata mereka lagi merem, kamu itu anak Papa! Jadi jangan ngomong yang macem-macem. Papa enggak suka kamu mikir juga kalau kamu bukan anak Papa! Anak Papa
Bu Salamah melotot saat mendengar ucapan suaminya. Dia menoleh menatap Dimas kesal karena putranya ini sepertinya suka sekali membuat keributan disituasi panas seperti saat ini. Bu Salamah berbicara gugup kepada suaminya dengan wajah memucat."P- pah, maafin Dimas yang udah ngomong keterlaluan. Dimas enggak bermaksud ngomong sembarangan, apalagi tentang Papa dan Shinta. Dimas cuma lagi kesel aja, jadi dia bicara sedikit tidak sopan dengan Papa. Dimas dan Mama baru aja pulang setelah perjalanan jauh. Dimas dan Mama masih lelah, jadi emosi kami masih tidak stabil, terutama Dimas yang nyetir mobil pasti lebih capek. Be-belum lagi Dimas kemarin malam ada dikantor polisi dan dipenjara. Papa juga tadi liat kan, kalau Dimas tadi baru aja dihajar sama Reno? Pah, liat anak kita udah babak belur. Omongan Ara sebelumnya juga enggak enak buat di denger sama Dimas atau kita sendiri. Jadi Mama tolong sama Papa untuk tidak mengambil hati ucapan Dimas dan maklumi sikap anak kita untuk saat i
"Ren, aku harap kamu enggak tersinggung. Tapi aku mau tanya, apa kamu sudah menghubungi pihak keluarga suami Ara untuk mengabarkan kematian ibumu? Ara dan suaminya masih belum resmi bercerai, jadi bagaimana-pun pria bernama Dimas itu masih menjadi menantu di keluargamu. Apa kamu tidak ingin memberitahunya tentang kabar duka ini? Aku tau ini bukan urusanku. Aku juga enggak berhak ikut campur. Hanya saja...Ren, jangan sampai kamu enggak mengabari mereka, atau kamu dan keluargamu yang nantinya terkena masalah. Mengingat tabiat suami Ara waktu itu, aku takut Dimas malah menyalahkan Ara kembali karena hal sepenting ini, pria itu dan keluarganya tidak diberitahu" ujar Handi kepada Reno yang kini masih duduk terdiam dengan jenazah ibu Widya di semayamkan tidak jauh dari mereka, di tutupi kain jarik berada di tengah ruangan.Dokter Handi bahkan bisa melihat Ara yang bersedih dipelukan ibunya dan para ibu-ibu yang lain, yang sedang ikut berduka cita.Reno tersenyum kecut, menatap jenazah ibu