"Apa kamu mau nunggu sampai ibu gak ada, baru kamu mau pulang Ra! Ibu terus nanyain kamu dan kondisi ibu bener-bener lagi gak sehat. Tega kamu gak mau dateng buat jenguk ibu!" terdengar suara keras penuh kekesalan dari sebrang telepon, dari seorang pria yang geram ketika mendengar ucapan adiknya yang tidak bisa datang untuk menjenguk ibu mereka, terlebih ibu hanya tinggal satu-satunya orang tua yang mereka miliki.
Dia tidak akan semarah ini jika ibunya sedang tidak kritis. Dia takut jika adik perempuannya tidak sempat melihat ibunya untuk terakhir kali, begitu juga sebaliknya. Ibunya sangat ingin bertemu dengan Ara dan terus memanggil anak perempuan satu-satunya, di keluarganya. Betapa kesalnya dia ketika berharap adik perempuannya itu bisa datang ke desa menjenguk sang ibu, namun adiknya mengatakan tidak bisa datang. Dia merasa untuk kali ini, Ara sudah keterlaluan setelah berkali-kali membatalkan janji temu untuk menjenguk ibu mereka. Ara menangis tersedu di tempatnya."Mas, aku bukan enggak mau datang..." ucapannya terhenti, tenggorokannya seakan tercekat ketika ingin melanjutkan ucapannya kembali."Mas, aku juga mau jenguk ibu. Ta-tapi mas Dimas.." "Suamimu itu tidak mengizinkan lagi?!" ucap Reno kesal, seolah bisa menebak apa yang akan dikatakan adiknya selanjutnya. Wajah Ara tertunduk sedih, juga malu ketika mendengar ucapan kakak sulungnya."Ara u-udah jadi seorang istri, Mas. Ara harus nurut sama suami" lirihnya. Terdengar suara helaan nafas kasar dari sebrang telepon."Ini yang mas gak suka sama yang namanya jodoh-perjodohan! Mas udah bilang sama almarhum Abah untuk membatalkan perjodohan kamu sama Dimas! Toh, gak semua wasiat harus di jalankan jika bukan sebuah syariat yang mutlak! Sekarang lihat kan?! Suami kamu itu semena-mena memperlakukan kamu! Apasih bagusnya si Dimas itu?! Kaya? Keluarga kita juga udah bisa di katakan lebih dari mampu, meski cuma orang desa. Ganteng? Toh, bukan dia satu-satunya laki-laki ganteng di dunia ini! Pemuda di desa di sini juga banyak yang ganteng, tinggal di permak dikit aja! Astagfirullah. Gara-gara suami kamu, mas hampir aja kedengeran kaya orang sombong. Suami kamu itu bener-bener yah! Apa dia gak punya rasa simpati sama ibu mertuanya sendiri?! Kamu mau jenguk ibu kandung kamu yang sakit aja gak di izinin! Apa suami kamu itu..., ya Allah, Ara! Kalau aja mas gak inget nasehat Abah tentang rumah tangga. Kalau aja mas gak inget soal agama, demi Allah mas mau nyeret kamu pulang dan suruh kamu bercerai dari suami kaya Dimas! Mas, gak rela adik mas menderita gara-gara nikah sama laki-laki modelan suami kamu itu! Astagfirullah, maafkan hamba ya Allah!" geram Reno mengusap wajah kasar mengingat nasib adiknya. Wajah Ara semakin tertunduk dalam, dengan bibir yang semakin bergetar."Ma-maafin Ara, Mas" lirihnya terisak pelan."A-ara, hiks. Ara gak bisa pulang jenguk Ibu. Maafin Ara" ujarnya semakin menangis. Reno menggertakkan gigi kesal ketika mendengar adiknya menangis. Kemarahan di hatinya hilang dalam sekejap, ketika mendengar kesedihan adiknya. Namun kemarahannya kembali membuncah, ketika mengingat tingkah adik iparnya yang tidak pernah menghargai adiknya maupun keluarganya. Meskipun Ara tidak pernah mengatakan apapun kepadanya, namun sebagai kakak yang memiliki ikatan batin, juga dapat melihat tingkah Dimas setiap kali mereka bertemu di acara keluarga, dia tau ada yang salah dari sikap adik iparnya meskipun Dimas selalu menutupinya dengan berpura-pura bersikap baik selama ini. Jika Dimas seorang pria, maka diapun seorang pria. Dirinya lebih peka dan jeli ketika melihat seorang pria yang bertabiat buruk, mencoba menutupi keburukannya. Tidak seperti wanita yang selalu memakai perasaan, namun perasaan itu terkadang memberikan kesan bias hingga pria jelek sekalipun akan terlihat baik di mata wanita, apalagi jika sang pria pandai bermanipulasi. Reno menghela nafas kasar."Ara, apa kamu bahagia menikah dengan Dimas?" tanyanya, lalu tidak lama merutuki dirinya sendiri, ketika menyadari sebuah pertanyaan konyol keluar dari mulutnya, yang sebenarnya sudah dengan jelas dia mengetahui jawabannya. Terdengar hening selama beberapa saat di sebrang telepon, kecuali hanya isak tangis yang memecah keheningan di antara kedua kakak adik yang sedang berada di tempat berjauhan itu. "Mas, kalau Ara jadi janda, apa Mas dan yang lainnya masih mau menerima dan mau menampung Ara kembali, jika Ara pulang ke rumah?" lirih Ara bertanya kembali kepada kakak sulungnya dengan bibir bergetar menahan rasa pahit yang membanjiri hatinya. Reno menghirup nafas dalam ketika mendengar pertanyaan adiknya. Dia tau pasti pernikahan adiknya tidak bahagia. Mungkin tidak akan pernah bahagia jika sikap Dimas tidak berubah. "Sampai kapanpun kamu akan selalu menjadi adik, kakak, dan anak dari Abah serta Ibu. Kamu akan tetap menjadi bagian dari keluarga kami, baik sudah menikah maupun bercerai. Sebelum menikah, perempuan adalah milik ayahnya. Setelah menikah, perempuan menjadi milik suaminya. Bahkan bakti seorang perempuan harus lebih mendahulukan suaminya daripada keluarganya. Setelah bercerai, perempuan akan kembali menjadi tanggung jawab ayahnya dan saudara laki-lakinya. Ara, kakak tau kalau seorang perempuan harus berbakti dan memprioritaskan suaminya. Tapi, kalau suami kamu dzolim dengan memanfaatkan kedudukannya sebagai seorang suami, kalau kamu gak kuat, kamu bisa kembali ke rumah. Kakak masih sanggup menanggung biaya hidup kamu sampai kamu menemukan kebahagiaan yang baru. Adik, kakak yang perempuan cuma kamu satu-satunya. Kalau bukan kakak yang ngelindungin kamu, mau siapa lagi? Abah udah gak ada. Walaupun Bima udah gede, dia masih remaja dan belum bisa bertanggung jawab untuk masalah seperti ini. Ara, kalau kamu gak kuat, kamu boleh pulang" jawab Reno mendongakan wajahnya ke atas, agar air matanya tidak tumpah ketika mendengar suara tangis pilu dari adik perempuannya. "Ara mau pulang, kak. Ara mau pulang! Hiks" jerit Ara menangis pilu ketika mendengar jawaban dari mulut kakaknya yang seakan membawa angin segar akan kehampaan dan kekecewaan hatinya ketika terus memilih bertahan hidup dengan suaminya yang begitu menyiksa batinnya. Selama ini, kesusahan dan kegundahan hatinya dia pendam sendiri, karena takut jika dia memutuskan untuk meminta berpisah dari suaminya, keluarganya akan menentang. Bagaimana-pun orang-orang di desanya masih memiliki stigma negatif, jika ada seorang wanita yang pulang dengan membawa status janda. Dia tidak ingin dirinya maupun keluarganya mendapatkan stigma negatif ketika dia membawa status itu ketika kembali ke desa. Namun, perlakuan suaminya dan keluarga mertuanya yang semakin menjadi-jadi setiap harinya, membuat dia terus memilih bertahan meskipun batinnya begitu tersiksa. Dan sekarang, dia tidak kuat lagi menahan siksaan batin itu semua. Terlebih ketika mendengar ibunya sedang kritis, namun Dimas suaminya memilih tidak percaya, dan berpikir apa yang di katakannya hanya sebuah alasan untuk mangkir dari tanggung jawab sebagai seorang istri dan menantu. "Ara mau pulang, kak! Ara gak kuat! Hiks" ujar Ara terisak kencang. "Pulanglah Ara. Kamu bisa pulang. Rumah kita selalu terbuka untuk kamu. Jangan pikirin apa kata orang. Jangan pikirin apa kata keluarga yang lain. Kamu adik kakak! Anak Abah dan ibu! Kamu, kakak perempuan dari Bima! Selain itu, kamu gak perlu dengerin apa kata orang! Kakak dan Bima masih bisa ngelindungin dan bahagiain kamu, kalau Dimas gak bisa lakuin itu sebagai seorang suami" jawab Reno. "Tunggu kakak, Ara. Kakak yang akan membawa kamu pulang ke rumah kita. Kamu dibawa dengan hormat oleh keluarga suamimu saat memasuki rumah mereka, maka kakak juga akan membawa kamu pulang dengan hormat yang sama seperti saat kita menyerahkanmu kepada mereka!" tegas Reno.Tok Tok Tok"Assalamualaikum!"Tok Tok Tok"Assalamualaikum, Ara!"Tok Tok Tok"Assalamualaikum, Ara! Kamu di mana sih?!"Tok Tok TokTeriakan dan ketukan keras di daun pintu tertutup berasal dari Bu Salamah, mertua Ara, terus bergema di depan teras mencoba mencari dan memanggil keberadaan sang menantu yang tidak kunjung membuka pintu rumah."Ara! Di mana sih kamu?! Ya Allah, punya menantu kok budeg begini! Apa dia gak dengar saya terus teriak sedari tadi!" kesal Bu Salamah.Dia berkacak pinggang dengan bibir merengut kesal, mencoba sekali lagi mengetuk daun pintu tertutup yang ada di depannya.Tok Tok Tok"Assalamualaikum, Ara!" teriak Bu Salamah sekali lagi."Wa'alaikum salam, Ma" jawab Ara menyahut salam ibu mertuanya, namun bukan dari dalam rumah, melainkan dari luar rumah di mana dia baru saja pulang dari warung.Bu Salamah berbalik badan, menatap menantunya yang terlihat sedang menenteng dua kantung plastik yang dia tebak berisi sayur dan ikan."Mama kira kamu ada di dalam rumah
"Ara!""Ara!""Ara! Buka pintunya!"Tok Tok Tok"Ar...."CeklekUcapan Dimas terhenti saat dia melihat wajah istrinya yang baru saja membuka pintu.Dimas langsung merangsek masuk ke dalam rumah, menutup pintu di belakangnya dengan kasar hingga terdengar bantingan yang begitu keras."Kamu udah pulang Mas?" tanya Ara terdengar acuh, namun tetap mengulurkan tangannya untuk mencium punggung tangan suaminya seperti yang biasa dia lakukan.Dimas menghempaskan tangan istrinya begitu saja. Enggan di sentuh oleh sang istri yang sudah membuatnya dan ibunya marah.Ara menjerit pelan ketika tangannya di hempas begitu saja dengan kasar oleh suaminya. Dia mendongak menatap suaminya."Kamu kenapa Mas? Kenapa baru dateng udah marah-marah?" tanya Ara berpura-pura tidak mengetahui apa yang terjadi kepada suaminya yang pulang dalam keadaan marah. Padahal lebih dari siapapun, dialah yang paling mengetahui alasan di balik kemarahan suaminya.Siapa lagi jika bukan karena ibu mertuanya. Wanita paruh baya it
"Loh, kamu kok ada di sini, Dimas? Kamu udah pulang? Udah kasih pelajaran sama si Ara?" tanya Bu Salamah kepada anak laki-lakinya yang baru saja datang ke rumahnya, kini duduk bersandar di kursi ruang tamu."Dimas! Mama ngomong sama kamu, kok gak di saut!" kesal Bu Salamah ikut duduk di sebelah anaknya yang berwajah kusut."Istri kamu ngebangkang ya? Udah berani dia sama kamu? Sama kaya tadi Ara yang berani banget ngomong sama, Mama soal......, bla bla bla bla" ujar Ibu Salamah dengan sinis menceritakan kembali kepada anaknya tentang Ara yang berdebat dengannya mengenai Dimas dan keluarganya.Tentu saja di setiap ceritanya di tambahi sedikit bumbu agar hati Dimas semakin panas dan memberi pelajaran yang pantas untuk menantunya itu."Dimas, kamu denger ibu gak sih?! Ibu udah cape ngomong tapi kamu kaya gak dengerin!" kesal Bu Salamah menggeplak lengan anaknya yang malah asyik melamun.Dimas menatap wajah ibunya acuh."Ma, bisa gak Mama jangan ngomong atau tanya-tanya dulu sama Dimas! D
"Dimas, apa-apaan sih pertanyaan kamu itu? Kok, kamu kaya gak ngerti sama keadaan Papa dan Mama yang gak bisa nolong kamu waktu itu. Soal Sinta? Ya mana Mama Papa tau, kalau tuh anak kuliahnya gak bener. Orang dulu adekmu yang kekeuh mau kuliah kedokteran.Mama dan Papa kira selama dia mau, Sinta bakal mampu ngikutin pelajaran akademisnya, meski awalnya masuk emang harus pake jalur nyogok.Dimas, jangan pernah bilang kalau Mama gak sayang kamu. Kalau Mama gak sayang, mana mungkin Mama mau restuin kamu nikah siri sama si Cika jabl*y itu. Gara-gara kamu, Mama harus ikutan nyembunyiin status kamu yang udah nikah lagi itu dari Ara dan semua orang!Kalau gak inget kamu itu anak Mama dan udah ngehamilin tuh mantan pacar kamu yang lont*, udah Mama bejek kamu dan gak akan Mama dan Papa kasih warisan.Biar istrimu kampungan begitu, seenggaknya mantu Mama yang nyebelin itu, anak perempuan baik-baik dan dari keluarga baik-baik. Udahlah, Mama mending masuk ke kamar! Pusing kepala Mama mikirin kam
"Astagfirullahal' adzim. Astagfirullah, astagfirullah" gumam Ara terus beristighfar meminta ampun kepada yang maha kuasa setelah dia tersadar jika dirinya terlalu di liputi emosi hingga tidak sadar menaikkan nada suaranya di depan sang suami."Ya, Allah, hamba khilaf, ya Allah. Hamba tidak bermaksud durhaka kepada suami hamba" lirih Ara dengan wajah tertunduk dan terisak di atas lantai dingin. Lantai yang menjadi saksi bisu ketika dia menjerit dan berteriak di depan suaminya, melampiaskan semua kekesalan hatinya yang selama ini dia tahan. "Ya, Allah. Maafkan hamba, ya Allah. Hamba tidak bermaksud durhaka kepada suami hamba, hiks" lirih Ara kembali. Ara terus menangis sampai dirinya merasa lelah. Lelah karena batinnya terus tersiksa dan di lukai oleh kata-kata pedas suaminya dan ibu mertuanya."Mas, sampai kapan kamu tidak mau menerimaku menjadi istrimu sepenuhnya? Mas, apa salahku, hiks" lirih Ara dengan suara bergetar putus asa. Dia sudah berusaha menjadi yang terbaik. Menjadi yan
Ara masih terduduk sedih di tempatnya, dengan pikiran yang melayang mengingat memori masa lalu.Wajah dan suara abahnya yang begitu berat, penuh penyesalan, namun enggan mundur dari perjodohan yang sudah di lakukan."Demi Allah, tidak pernah Abah berpikir untuk menjualmu, Ara. Untuk apa Abah melakukan itu, di saat Abah sendiri masih mampu untuk mengurusmu sebagai anak perempuan Abah satu-satunya.Hati Abah juga berat untuk melakukan ini. Abah hanya ingin menjalankan wasiat mendiang kakekmu. Mungkin wasiat ini memang bisa di batalkan, tapi itu berarti Abah melanggar janji Abah kepada mendiang kakekmu.Sebagai seorang laki-laki dan seorang anak, Abah malu jika tidak bisa mewujudkan keinginan kakekmu, di tambah Abah sudah berjanji. Selain itu, ternyata keluarga Buwono yang datang sendiri untuk menagih janji atas wasiat perjodohan yang pernah di sepakati di antara kedua keluarga.Meski begitu, Abah janji sama kamu, Ara. Abah janji akan mencarikan jodoh yang terbaik untukmu. Jika Dimas pri
Plak!"M-mas, kamu kok diem aja! Tuh mbak Ara pergi tau! Bu-bukannya di kejar!" ujar Sinta yang lebih dulu tersadar dari keterkejutannya, memukul lengan kakak sulungnya untuk segera mengejar kakak iparnya sebelum semuanya semakin kacau.Dimas mengerjapkan mata, menatap linglung adiknya, sebelum akhirnya melangkah pergi untuk mengejar istrinya.Langkahnya terhenti sejenak di depan pintu rumah, berbalik menatap adiknya tajam saat dirinya sadar jika Ara mengetahui perselingkuhan dan pernikahan sirinya akibat mulut adiknya yang tidak sengaja membongkar tingkah buruknya di belakang Ara."Urusan kita belum selesai! Mas bakal kasih pelajaran sama kamu setelah urusan Mas sama Mbak ipar kamu selesai!" peringat Dimas menatap tajam adiknya.Sinta meneguk ludah kasar, rasa takut mulai membanjiri hatinya ketika melihat raut kemarahan di wajah kakak sulungnya. Dia memegang tasnya erat, enggan mengakui kesalahan atau-pun kekalahan.Sinta mendongakkan wajahnya angkuh, memberanikan diri membalas ucapa
"Astagfirullah. Astagfirullahal' adzim. Ya Allah. Ya Allah, hamba gak kuat ya Allah. Astagfirullah. Ibu, Abah, Mas , Ara mau pulang! Ara udah gak kuat lagi terus berada di dekat Mas Dimas. Mas Dimas bukan suami yang baik lagi.Astagfirullahal'adzim!" batin Ara menangis pilu sepanjang jalan ketika dia baru saja mendengar ucapan adik iparnya yang begitu menyakiti hatinya.Ucapan di mana adik iparnya dengan lantang menyebutkan kesalahan suaminya yang selama ini lakukan di belakang punggungnya.Perzinahan, menghamili wanita lain dan menikahi wanita itu adalah hal yang paling tidak bisa di terima oleh dirinya.Lagi-lagi banyak hal berkecamuk di dalam pikirannya, tentang apa salah dan kurangnya dia sebagai seorang istri.Dia selalu berusaha taat kepada suaminya sebaik mungkin, meskipun suaminya selalu menjadi sosok yang menyakiti hatinya.Tidak terkecuali, saat dirinya di suruh diam di rumah oleh sang suami, ketika abahnya berada di rumah sakit sedang meregang nyawa.Tidak pernah dia memban
Perdebatan di depan rumah kedua orang tua Ara masih di lakukan Dimas dan Bi Asih. Beberapa warga mulai berdatangan untuk terus menonton perdebatan yang semakin sengit dan terlihat seru. Beberapa dari mereka yang tergerak hatinya saat melihat wanita paruh baya seperti Bi Asih yang terus menerus di tindas oleh pria muda seperti Dimas mulai melangkah maju untuk membela Bi Asih. "Siapa kamu yang berani mecat Bi Asih?" tanya seorang pemuda yang terlihat berusia tidak jauh dari Bima. Dimas menoleh, menatap pemuda yang berdiri tidak jauh darinya dengan wajah galak."Kamu orang luar enggak perlu ikut campur! Saya sedang mendisiplinkan pembantu di rumah orang tua istri saya yang kurang ajar! Saya ini menantu di keluarga ini, jadi saya punya hak untuk mecat pembantu yang enggak tahu diri ini!" ujar Dimas membuat beberapa orang yang ada di sana menahan nafas ketika mendengar ucapan Dimas yang semakin menyakitkan Bi Asih dan begitu tidak enak di dengar oleh telinga mereka yang ada di sana. Ha
Bi Asih terus memperhatikan tingkah menantu keluarga majikannya sedari tadi. Segala keluhan dan ucapan tidak enak yang keluar dari mulut menantu keluarga majikannya ini, dia telan sejak tadi untuk dirinya sendiri ketika mendengar segala umpatan suami dari anak perempuan di keluarga majikannya ini. Bi Asih mengepalkan tangan di sisi baju daster lusuhnya. Jika saja dia tidak memandang kebaikan keluarga majikannya, sungguh meskipun dia orang desa dan wanita miskin, dia bukan orang yang penakut untuk bertengkar. Ingin sekali dia mencakar wajah Dimas yang sedari tadi terus mengoceh. Jika juga bukan karena ucapan majikannya Mas Reno untuk merahasiakan dimana Bu Widiya dan yang lainnya berada, dia ingin sekali membungkam menantu keluarga Abah Darma yang tidak tahu diri ini. Bagaimana bisa ada seorang menantu yang tidak tau jika ibu mertuanya sedang kritis dan istrinya sedang menemani ibu kandungnya. Bagaimana bisa juga ada seorang pria, suami dan menantu yang memiliki sifat menyebalkan da
Ara kini kembali menjenguk ibunya di dalam ruang perawatan intensif. Dia menggenggam tangan ibunya dengan lembut, memperlakukan Hati-hati tangan tua yang terlihat rapuh itu."Bu, Ara jenguk ibu lagi. Ibu terus bilang sama Mas Reno dan Bima jika ibu ingin bertemu dengan Ara. Bu, Ara udah dateng. Dari kemarin malam Ara udah dateng dan jenguk ibu. Ara harap ibu cepet bangun kalau ibu emang bener mau liat Ara. Ara sayang ibu. Mas Reno dan Bima juga sayang ibu. Kami masih butuh ibu. Jadi tolong ibu bangun dan cepat sembuh supaya bisa nemenin kami semua. Ara udah pulang Bu. Ara udah pulang ke rumah ibu dan enggak akan pergi ninggalin ibu lagi. Ara mohon bangun, Bu. Ara minta maaf belum bisa berbakti dengan ibu selama ini. Jadi tolong beri Ara kesempatan untuk Ara nunjukin bakti Ara kepada ibu" lirih Ara terus menggenggam tangan ibunya dengan lembut. Ara menatap sendu wajah ibunya yang terlihat pucat, tidak memiliki tanda-tanda akan menunjukan kesadaran. Hatinya terasa pahit, merutuki diri
Ara merasa dirinya harus berkonsultasi dengan dokter kandungan untuk mengetahui apa memang selama ini dirinya yang tidak subur atau mengalami masalah lain hingga tidak kunjung hamil selama menjalani pernikahan dengan suaminya Dimas. Dia tidak bermaksud hamil untuk saat ini. Pemeriksaan yang akan di lakukan nanti hanya untuk mengetahui status kesehatan dirinya, yang mungkin akan berguna untuknya di masa depan. Bagaimana-pun dia seorang perempuan yang ingin menimang bayinya sendiri suatu saat nanti, meski hamil anak bukan dari suaminya yang sekarang.Dia tidak tau apa di masa depan, dirinya sanggup menikah lagi atau tidak. Permasalahan rumah tangganya dengan suaminya kini cukup membuat trauma. Meskipun saat ini dia dan suaminya belum bercerai, namun untuk kembali membina rumah tangga dengan Dimas sudah tidak ada lagi dalam kamus hidupnya. Dia sudah menyerah dengan hubungan pernikahannya dengan Dimas. "Mbak Ara liatin handphone terus. Mbak Ara kangen Mas Dimas? Mau telepon suami Mbak
"Ara" panggil seorang pria ketika melihat wajah wanita yang sudah lama tidak dia temui sedang duduk termenung di sebuah kursi di depan lobi rumah sakit. Ara yang sedang duduk di kursi ruang tunggu rumah sakit mendongakan wajahnya ketika merasa namanya di panggil oleh seseorang.Dia mengerjapkan mata terkejut ketika melihat wajah pria tampan dengan jas dokter putih berdiri tidak jauh darinya."Mas Handi" ujarnya secara tidak sadar langsung bangkit dari duduknya untuk melihat lebih jelas pria yang berdiri di depannya ini. Pria bernama Handi tersenyum tipis."Enggak nyangka ketemu di sini. Jadi bener perempuan yang aku liat dari jauh sedang melamun sendirian itu kamu. Ara, gimana kabar kamu? Apa yang sedang kamu lakuin di sini?" tanyanya. Ara sedikit menundukkan kepalanya, berdehem pelan dengan wajah tersipu malu karena ketahuan sedang melamun sendirian di kursi rumah sakit dan tidak sengaja terlihat oleh pria yang merupakan kenalan lamanya.Ara menelan ludah gugup, sebelum akhirnya men
"Kamu yakin mau jemput Ara di Bogor, Dim?" tanya Ibu Salamah kepada putranya. Dimas mengangguk."Yakin Bu. Emangnya Dimas punya pilihan lain selain enggak nyusulin Ara? Kalau tuh anak enggak di jemput, yang ada enggak mau pulang. Kalau Ara enggak mau pulang, runyam semua urusan. Tanah, rumah, restoran, Dimas enggak rela kalau semua jadi milik Ara. Lagian kalau Dimas cerai sama Ara, siapa yang ngurus Dimas nanti? Siapa yang ngurus rumah? Siapa yang ngurus ibu? Biar istri Dimas kampungan kaya gitu, dia adanya gunanya Bu. Jadi, sebenernya nikah sama Ara juga enggak rugi-rugi amat. Meski ya begitulah. Ara bukan istri yang di inginkan sama Dimas. Dia bukan tipe Dimas" jawabnya.Bu Salamah mencibir putranya. Dimas ini awalnya saja menyanjung Ara, tapi pada akhirnya tetap tidak enak untuk di dengar. Namun, apa yang di katakan Dimas ada benarnya. Jika Dimas bercerai dengan menantunya, lalu siapa yang akan mengurus putranya? Dia juga tidak rela jika harta warisan milik mendiang ayah mertuany
"Ra, sebaiknya kamu pulang dulu. Maksud Mas, kamu pulang ke rumah kita. Ke rumah ibu. Kamu istirahat dan bersihkan diri kamu, setelah itu kamu bisa kembali ke sini.Mas lihat kamu enggak bawa apa-apa dari rumah suamimu selain tas yang kamu bawa. Di rumah ibu, masih ada bajumu jadi kau bisa berganti baju dengan yang lebih nyaman. Ara, apa kau sudah makan?Pulanglah bersama Bima. Mas akan menjaga ibu di sini. Kita akan bergantian merawat ibu. Tapi sekarang, lebih baik kamu pulang untuk beristirahat. Mas tahu bahwa tidak hanya fisikmu yang lelah, tapi juga batinmu. Pulang, Ara. Jangan sampai kamu jatuh sakit seperti yang terjadi kepada ibu" ujar Reno menatap cemas adik perempuannya yang berwajah kuyu, terlihat sangat lelah.Ara yang sedang duduk di kursi tunggu menggeleng lemah, menoleh menatap kakaknya yang duduk tidak jauh darinya."Ara mau di sini, Mas. Ara mau jaga ibu. Ara udah terlambat untuk jenguk ibu sebelumnya, sampai keadaan ibu ternyata sudah separah ini.Ara tidak mau mening
"Astagfirullah. Kok jadi kaya gini sih Pah! Mama enggak mau! Mama enggak terima kalau Ara dapet tanah sama restoran yang harusnya jadi milik kita! Rumah Dimas juga! Enggak! Mama enggak mau! Mama enggak rela! Apa-apaan itu! Mama enggak ridho!" ujar Bu Salamah sambil memegang kepalanya yang terasa semakin pening ketika mendengar penjelasan suaminya. "Dimas juga enggak rela! Itu semua milik Dimas, bukan punya Ara!" sahut Dimas menimpali ucapan ibunya dengan tangan yang membawa segelas air minum, berjalan ke tempat Papa dan Mamanya berada. Pak Doni mendengus ketika mendengar ucapan anak dan istrinya."Kalau enggak rela, makanya jangan berulah!" ujarnya kesal. Bu Salamah melotot."Pah! Mama dan Dimas enggak berulah! Ini semua gara-gara Ara!" jawabnya mengelak masih mencoba membela diri. "Iya, Pah! Kita enggak salah! Semua ini salah Ara!" timpal Dimas tidak terima di salahkan, terutama oleh Papanya.Pak Doni menggeram kesal, menatap istri dan anak sulungnya tajam."Ara terus yang salah! Ar
Bugh!"Pokoknya Papa engga mau tau! Kamu harus jemput Ara dan minta maaf sama istri kamu secepatnya! Papa enggak mau kamu cerai sama Ara! Apapun alasannya dan bagaimana-pun caranya, kamu harus membawa Ara kembali menjadi menantu keluarga ini!Dimaaaaaas, kamu itu udah di kasih istri spek bagus malah sukanya spek lont*! Astagfirullah, Dimas! Ini emang salah Papa yang udah biarin Mama kamu, adik kamu, dan kamu sendiri sebagai suami Ara jadi semena-mena sama anak almarhum pak Darma!Pokoknya Papa enggak mau tau caranya! Kamu jemput dan minta maaf ke Ara! Bawa wanita itu untuk kembali menjadi menantu keluarga ini atau Papa hajar kamu dan buang kamu jadi anak Papa!" geram pak Doni kepada putra sulungnya. Bahkan untuk melampiaskan kekesalannya dia memukul wajah Dimas berharap agar putranya mengerti."Papa! Papa apa-apaan sih! Kenapa Papa malah mukul Dimas! Dimas salah apa? Ini semua salah Ara! Kalau mau mukul ya mukul Ara aja yang udah menyebabkan masalah dengan kabur-kaburan!Bukannya muku