"Tuan, Solara Crop mulai menyelidiki tentang bangunan roboh beberapa waktu yang lalu."Kening Julian mengkerut. "Tetap saja mereka mendengar kabar itu, cepat selesaikan.""Baik, Tuan." Dia langsung pergi dari ruangan Julian.Baru saja Julian hendak duduk di kursinya. Tiba-tiba satu karyawannya yang lain masuk ke dalam ruangannya."Tuan, maaf. Aku harus melaporkan hal penting.""Huhft, apa?""Ada yang diam-diam mengambil data pribadi kita," ucapa pria itu sambil menyodorkan tablet ke arah Julian.Mata Julian meneliti semua laporan yang ada di dalam tablet itu. Tatapannya menjadi tajam, hawa di ruangan seketika langsung berubah."Pergi untuk cari tahu lebih lanjut," ujar Julian, memberikan lagi tablet itu."Baik, tuan." Segera dia pergi dari sana.Julian semakin tertekan setelah menyadari bahwa ada seseorang yang diam-diam mengambil data rahasia proyek mereka. Dengan kegelisahan yang membara, dia duduk di kursinya, mencoba menghubungkan setiap titik dan memikirkan siapa yang mungkin tel
Sore harinya, Valeria pulang dari kantor dengan diantar anak buah Salvatore. Pria itu masih ada rapat penting yang harus dihadiri. Valeria bisa memakluminya, mengingat akhir-akhir ini kedekatannya dengan Salvatore semakin intens, dia pasti juga membagi waktu antara jadwal padatnya dengan Valeria.Saat Valeria masuk ke dalam rumah besar bak istana itu, Valeria memelankan kakinya saat melihat beberapa orang duduk di sofa ruang tamu. Elena, duduk di sana menyambut tamu. George Lin, bersama istrinya, Sarah Lin tengah duduk dan bercanda tawa di sana.Mata tajam seseorang membuat Valeria merasa diperhatikan. Rupanya, Alessio sudah memperhatikannya sejak Valeria masuk ke dalam rumah."Vale! Sini!" Elena melambaikan tangannya.Dengan helaan napas panjang, Valeria berjalan ke sana. Semua mata tertuju kepadanya."Paman dan bibi Lin mampir, sapa mereka."Valeria menunduk memberi hormat. "Salam, paman, bibi.""Jangan sungkan-sungkan Valeria, kita ini keluarga," kata Goerge, "tidak perlu seformal
Salvatore tiba di depan rumah Moretti dengan mobil mewah yang dikendarai sopir pribadinya. Saat Valeria melangkah keluar dari pintu rumah, dia melihat Salvatore yang menunggunya di samping mobil. Namun, sebelum dia sempat menghampiri, Alessio dan keluarganya muncul dari pintu utama, hendak pergi."Terimakasih atas semuanya.""Sama-sama, jangan sungkan, kita kan keluarga. Eh! Salvatore!" Elena melambaikan tangan saat Salvatore berjalan ke sana.Pandangan Salvatore langsung terfokus pada Alessio. Wajahnya berubah dingin, sorot matanya tajam dan waspada, seolah mengenali adanya ancaman. Apa yang dia lakukan di sini? Pikir Salvatore.Alessio, di sisi lain, tampak tenang dan tersenyum santai, seperti tidak menyadari ketegangan yang terbangun di antara mereka."Kamu ke sini untuk menjemput Valeria?""Ya, Nyonya Morreti. Malam ini aku ingin meminjamnya," kata Salvatore.Elena tersenyum simpul. "Jangan berkata seperti itu, pergilah, Valeria juga sudah siap."Alessio memberi senyuman ringan ke
Valeria berjalan cepat setelah pintu rumahnya terbuka. Dia berlari sambil memeluk buket bunga mawar. Buru-buru Valeria masuk ke dalam kamarnya.Saat sudah berada di dalam, Valeria langsung mengunci pintunya dan melemparkan diri ke atas ranjang. Dia menendang-nendangkan kakinya ke udara sambil tersenyum salah tingkah.Tak bisa di pungkiri jika hati Valeria benar-benar bahagia malam ini. Sifatnya sebagai perempuan benar-benar bisa diluluhkan oleh Salvatore."Dia benar-benar membuatku gila," gumam Valeria sambil menatap buket bunga itu.Malam itu Valeria tidur dengan sangat nyenyak. Keesokan harinya, dia sengaja bangun pagi. Namun, setelah di meja makan, dia mendapati Elena heboh sendiri."Mommy, ada apa?""Aa! My Honey!" Elena melonjak ke arah Valeria, memeluknya dengan suka cita. "Selamat, Honey! Mommy bahagia sekali."Valeria mengerutkan keningnya, bingung dengan tingah ibunya yang sedang kegirangan. Valeria menatap Lorenzo, tapi pria itu sibuk menyeruput kopinya dengan tenang."Maksu
Siang itu, Julian sudah sibuk dengan pekerjaan di atas mejanya. Tak lama, ketukan pintu terdengar. Tanpa menunggu jawaban Julian, seseorang sudah masuk ke dalam."Tuan," ucapnya dengan panik."Ada apa?""Saya baru saja mendapatkan informasi jika Nyonya Valeria diam-diam menemui pimpinan Solara Crop .... Dia ..., dia punya bukti penggelapan dana RC Group."Julian bangit dari duduknya. "Apa?!"Kepalanya berdenyut mendapatkan berita mengejutkan itu. Langkah kaki Julian langsung keluar dari ruangannya. Dia berniat untuk menemui Valeria.Namun, belum sampai dia keluar kantor. Anderson, utusan Solara Corp dengan beberapa pengawal sudah berada di lobi.Jantung Julian semakin berdetak keras. Dia pikir tamat sudah kali ini. Mau tak mau, Julian tetap menyambut mereka dan membawanya ke ruang kerja.Julian duduk di kursi kulit mewahnya di kantor RC Group, menatap kosong ke tumpukan dokumen yang baru saja diserahkan oleh Anderson, utusan dari Solara Corp.Tubuhnya terasa beku, dan pikirannya berpu
Valeria menatap keluar dari jendela mobil saat Salvatore menyetir dengan tenang di sampingnya. Rasanya sedikit aneh baginya, dikelilingi oleh perhatian yang begitu intens sejak hubungannya dengan Salvatore menjadi berita terhangat.Saat mereka keluar dari gedung Morreti Club, mata semua orang di kantor menatap mereka. Itu membuatnya sedikit canggung, tapi Salvatore tampak tidak terpengaruh, bahkan sebaliknya—ia tampak bangga.Di mobil, Salvatore memecah keheningan dengan suara lembut, "Aku harus ke mansion sore ini untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan yang tak bisa ditunda. Apa kamu keberatan kalau ikut? Aku tidak akan lama."Valeria meliriknya, tersenyum kecil. "Tentu, tidak masalah."Setelah perjalanan singkat, mereka tiba di mansion pribadi Salvatore. Mansion itu luas, dengan taman yang terawat rapi di sekelilingnya dan interior yang mewah namun tetap terasa hangat.Tempat dimana Valeria pernah bermalam beberapa waktu yang lalu. Pipinya memanas saat mengingat malam itu."Anggap s
Setelah makan malam, Valeria pergi ke kamar, tepatnya kamar Salvatore. Pria itu sudah mempersiapkan semuanya dengan sempurna, deretan pakaian perempuan yang mewah dan elegan untuk Valeria kenakan. Valeria tersenyum melihat betapa teraturnya Salvatore dalam merencanakan segalanya, seperti dia tahu bahwa Valeria akan menerima tawarannya.Malam itu, setelah mereka beristirahat sejenak, Valeria mulai membahas sesuatu yang penting. Sejak mengambil alih Morreti Club, Valeria tahu bahwa dia perlu memahami bisnis lebih dalam untuk membuat keputusan yang lebih baik.Jadi dia ingin belajar lagi, dan Salvatore menawarkan diri untuk membantunya. Tentu saja Valeria menerimanya, mengingat pria itu adalah sosok yang cukup sukses dalam dunia bisnis.Salvatore mengajak Valeria ke ruang kerjanya, tempat di mana dia menyimpan berbagai koleksi buku-buku bisnis. "Aku punya beberapa buku basic yang mungkin akan membantu," kata Salvatore sambil mengambil beberapa buku dari rak. "Aku akan menjelaskan poin-po
Giovani benar-benar marah. Di ruang kerjanya, dia menghajar Julian tanpa ampun. Pukulan demi pukulan menghantam tubuh Julian yang sudah terpojok di sudut ruangan."Kau tahu betapa besar kerugian ini?! Kau menghancurkan nama keluarga kita, Julian!" teriak Giovani dengan napas tersengal, wajahnya memerah karena amarah yang tak terbendung.Julian, yang sudah babak belur, hanya bisa menahan sakit tanpa bisa melawan. Dia tahu betul bahwa dirinya tak punya pembelaan.Penggelapan dana proyek Solara Crop bukan hanya menghancurkan reputasi keluarganya, tapi juga membahayakan seluruh imperium bisnis yang telah dibangun selama bertahun-tahun.Julian tak bisa menyangkal lagi karena semua bukti sangat lengkap. Dia tak menyangka Valeria akan bisa sampai sedetail ini. Dia semakin yakin bahwa data perusahaannya juga diam-diam di curi Valeria.Di luar ruangan, Isabella, istri Giovani, berdiri dengan wajah penuh kekhawatiran. Air matanya hampir jatuh, namun dia tak berani masuk.Isabella tahu betapa ke
Lima Tahun Kemudian ....Di markas Il Leone d'Ombra, seorang gadis kecil duduk di samping seorang pria bertubuh kekar. Suasana ruangan itu penuh dengan aroma logam dan minyak senjata, namun gadis kecil itu tampak tidak terganggu sedikit pun.Antonio, pria yang tengah merapikan senjata, berkali-kali menarik napas panjang. Di sebelahnya, Elettra—gadis kecil berusia lima tahun dengan rambut ikal kecokelatan dan mata secerah musim semi—terus berbicara tanpa jeda."Uncle Antonio, kenapa peluru ini warnanya beda? Apa senjatanya juga beda? Kalau senjata ini bisa buat tembak monster nggak? Kenapa di sini gelap banget? Uncle nggak takut hantu?"Antonio menghela napas, berusaha tetap fokus membersihkan senjatanya. "Elettra, bukankah kau seharusnya menggambar atau bermain boneka? Anak seusiamu biasanya tidak tertarik pada senjata.""Aku bukan anak kecil biasa, Uncle. Aku Elettra Marino! Aku harus tahu semuanya supaya bisa melindungi Mommy dan Daddy. Kalau Uncle nggak mau jawab, aku tanya sama Da
Elena menangis tak henti-henti di pelukan Lorenzo. Tubuhnya bergetar, wajahnya penuh kekhawatiran."Tuhan, jangan ambil putriku ..., jangan ambil cucuku ...," isaknya berulang kali.Lorenzo mencoba menenangkan istrinya, meski dalam hatinya sendiri ada badai yang tak kalah hebat. "Tenanglah, sayang. Valeria perempuan yang kuat. Dia akan baik-baik saja." Meski suaranya terdengar tenang, genggaman tangannya pada bahu Elena menunjukkan betapa kerasnya dia menahan diri untuk tidak ikut larut dalam kepanikan.Sementara itu, Anna mondar-mandir di koridor rumah sakit. Setiap detik terasa seperti menit, setiap menit terasa seperti jam."Kenapa lama sekali? Kenapa belum ada kabar?" Anna bergumam, tatapannya kosong.Di tengah semua kegaduhan itu, Salvatore justru terdiam. Dia berdiri di sudut ruangan, tubuhnya kaku seperti patung. Matanya tertuju pada pintu ruang operasi, seolah menunggu keajaiban. Namun, dalam keheningannya, tubuhnya gemetar. Keringat dingin membasahi pelipisnya."Valeria ...,
Hari berganti hari, minggu berganti minggu. Kini perut Valeria sudah semakin membesar, hampir memasuki usia delapan bulan.Musim semi menghiasi kota dengan udara hangat dan bunga bermekaran. Valeria duduk di bangku kayu di tepi jalan, menikmati es krim stroberi yang mencair perlahan di tangannya.Wajahnya berseri-seri, matanya berbinar penuh kebahagiaan. Di sampingnya, Salvatore duduk santai, sesekali menyeka tetesan es krim yang hampir jatuh ke gaun Valeria."Kau tahu, Salvatore," ucap Valeria sambil menjilati sendok es krimnya. "Aku berharap anak kita nanti suka es krim sepertiku. Bagaimana menurutmu?"Salvatore tertawa kecil. "Kalau begitu, aku harus siap-siap mengisi freezer penuh es krim. Anak kita akan jadi pecinta es krim garis keras sepertimu."Valeria tertawa terbahak. Suara tawanya menggema lembut di tengah keramaian jalan. Beberapa orang yang lewat ikut tersenyum melihat pasangan itu, seolah kebahagiaan mereka menular.Tas belanja di kaki mereka penuh dengan perlengkapan ba
Matahari mulai tenggelam, menciptakan gradasi oranye dan ungu di langit senja. Salvatore duduk di kursi balkon kamar Valeria, memandangi langit dengan tatapan kosong.Angin sore berhembus lembut, namun tidak mampu mendinginkan pikirannya yang berkecamuk. Kata-kata Julian terus terngiang di kepalanya, mengalun seperti nada minor yang menghantui."Lepaskan Sofia .... Hentikan penyiksaannya ...."Salvatore memijit pelipisnya. Rasa pusing itu kembali datang, semakin tajam seiring bayangan-bayangan samar yang muncul. Wajah Sofia, jeruji penjara, dan suara erangan kesakitan yang entah berasal dari mana. Apa benar semua itu ulahnya?Dia mendesah panjang, rasa bersalah mulai merayapi hatinya. Bagaimana mungkin dia mencintai Valeria namun di saat yang sama menyakiti orang lain? Apakah ini sisi gelapnya yang tersembunyi?"Salvatore?"Suara lembut Valeria membuyarkan lamunannya. Salvatore menoleh, melihat Valeria berdiri di sampingnya dengan segelas jus segar di tangannya. Senyum perempuan itu t
Setelah menjalani pemeriksaan di rumah sakit, Salvatore dan Valeria keluar dengan senyum lega. Hasil pemeriksaan menunjukkan kondisi mereka baik-baik saja. Kaki Salvatore hanya memerlukan sedikit terapi, dan kehamilan Valeria dalam keadaan sehat. Beban yang sempat menggantung di benak mereka pun perlahan terangkat."Ayo, kita makan siang. Aku sudah lapar," ujar Valeria ceria, menggenggam tangan Salvatore dengan erat."Aku juga," Salvatore tersenyum hangat. "Ada restoran di sekitar sini yang katanya enak. Mau coba?""Tahu darimana?""Tadi aku sempat mendengar percakapan orang di rumah sakit. Mau coba makan di sana?"Valeria mengangguk antusias. Mereka berjalan bergandengan tangan menuju restoran kecil berdesain klasik yang tak jauh dari rumah sakit. Suasananya tenang dengan dekorasi kayu dan jendela besar yang menghadap ke taman kota.Mereka memilih meja di dekat jendela, menikmati pemandangan hijau di luar sembari menunggu pesanan datang. Percakapan ringan mengalir, sesekali diiringi
Sinar matahari pagi menerobos jendela ruang makan, menciptakan pola-pola cahaya yang menari di atas meja kayu panjang yang telah dipenuhi oleh berbagai hidangan sarapan. Aroma roti panggang yang baru matang, telur dadar lembut, dan kopi hitam pekat menguar di udara, memberikan suasana hangat di rumah keluarga Valeria.Di ujung meja, Salvatore duduk dengan rapi dalam setelan kasual, mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku dan celana panjang gelap. Di sebelahnya, Valeria tampak anggun dalam gaun sederhana berwarna pastel yang lembut membungkus tubuhnya yang kini tengah mengandung. Tangannya sesekali mengusap perutnya yang mulai membuncit, seolah secara naluriah melindungi kehidupan kecil di dalamnya.Elena meletakkan cangkir kopi di depannya, kemudian duduk di samping Lorenzo. Giulia dan Roberto juga telah mengambil tempat, memulai sarapan dengan senda gurau kecil."Kalian tampak rapi pagi ini." Elena membuka percakapan dengan senyum keibuan. "Ada acara khusus?"Valeria dan Sa
Kamar tidur itu terasa hangat dengan cahaya lembut yang memancar dari lampu meja. Udara malam yang sejuk menyusup melalui jendela yang sedikit terbuka, menggoyangkan tirai tipis yang mengalir seperti ombak tenang. Di depan cermin besar yang terpasang di dinding, Valeria berdiri dengan ekspresi frustrasi.Tangannya sibuk menarik-narik gaun berwarna pastel yang kini tampak terlalu ketat di bagian perutnya yang membuncit. Pakaian lain berserakan di sekitar kakinya, menandakan betapa keras usahanya untuk menemukan sesuatu yang nyaman dikenakan."Kenapa sih nggak ada satu pun yang muat? Apa aku harus pakai bajunya Aunty Giulia aja mulai sekarang?" Valeria mengomel sendiri, wajahnya berkerut lucu.Pintu kamar berderit pelan, dan Salvatore muncul di ambang pintu. Langkahnya tenang, namun sorot matanya dipenuhi rasa cinta yang mendalam.Setelah percakapannya dengan Lorenzo di tepi kolam, perasaannya seolah memuncak—seakan ada benang merah yang mengikat hatinya lebih erat kepada Valeria. Rasa
Malam merambat pelan, membawa kesunyian yang menenangkan di sekitar rumah keluarga Morreti. Angin sepoi-sepoi membelai permukaan kolam renang, menciptakan riak-riak kecil yang memantulkan cahaya bulan. Di tepi kolam itu, Salvatore duduk di bangku kayu, membiarkan pikirannya melayang.Bersama semua kegugupan dan ketakutannya, akhirnya dia merasa lega. Keluarga Valeria menerima dirinya apa adanya, tanpa perlu embel-embel masa lalu yang tidak bisa diingatnya. Namun, di tengah kelegaan itu, terselip perasaan kosong—seperti ada bagian dirinya yang masih hilang di dalam kabut ingatan yang gelap."Kau sendirian di sini?"Suara berat namun lembut itu membuat Salvatore menoleh. Lorenzo berdiri di belakangnya, membawa dua gelas wine di tangannya. Wajahnya tampak tenang, namun di balik mata yang bijak itu, ada rasa lelah yang terpendam."Ya, aku hanya ..., mencoba menenangkan diri dan mencari udara segar." Salvatore tersenyum tipis.Lorenzo menyerahkan salah satu gelas wine kepada Salvatore dan
Sebuah mobil hitam mengawal perjalanan Salvatore menuju ke kediaman Morreti dan rombongan lainnya kembali ke markas. Morgan yang duduk di belakang kemudi sesekali melirik Salvatore lewat kaca spion, melihat pria itu menggigit bibir bawahnya, tanda jelas kegugupan."Hei, tenang saja." Morgan membuka percakapan, mencoba mencairkan suasana. "Keluarga Valeria tidak menggigit, kok."Salvatore menghela napas panjang. "Itu bukan masalahnya. Aku tidak ingat apa-apa. Bagaimana kalau aku salah bicara? Bagaimana kalau mereka tidak menyukaiku?"Valeria, yang duduk di samping Salvatore, menggenggam tangannya erat. "Kau tidak perlu khawatir. Mereka akan mencintaimu, Salvatore. Lagipula, aku di sini bersamamu."Salvatore menoleh, matanya bertemu dengan tatapan penuh keyakinan Valeria. Perlahan, kegugupannya sedikit mereda."Kalau begitu, jangan tinggalkan aku, ya?" bisik Salvatore, suaranya penuh harap."Tidak akan." Valeria tersenyum lembut.Morgan sedikit merinding dan tertawa geli diam-diam. Salv