Giovani benar-benar marah. Di ruang kerjanya, dia menghajar Julian tanpa ampun. Pukulan demi pukulan menghantam tubuh Julian yang sudah terpojok di sudut ruangan."Kau tahu betapa besar kerugian ini?! Kau menghancurkan nama keluarga kita, Julian!" teriak Giovani dengan napas tersengal, wajahnya memerah karena amarah yang tak terbendung.Julian, yang sudah babak belur, hanya bisa menahan sakit tanpa bisa melawan. Dia tahu betul bahwa dirinya tak punya pembelaan.Penggelapan dana proyek Solara Crop bukan hanya menghancurkan reputasi keluarganya, tapi juga membahayakan seluruh imperium bisnis yang telah dibangun selama bertahun-tahun.Julian tak bisa menyangkal lagi karena semua bukti sangat lengkap. Dia tak menyangka Valeria akan bisa sampai sedetail ini. Dia semakin yakin bahwa data perusahaannya juga diam-diam di curi Valeria.Di luar ruangan, Isabella, istri Giovani, berdiri dengan wajah penuh kekhawatiran. Air matanya hampir jatuh, namun dia tak berani masuk.Isabella tahu betapa ke
Valeria membuka matanya. Dia masih berada di kamar mewah milik Slavatore.Tubuh ramping tanpa pakaian di balik selimut itu menggeliat. Semalam, dia benar-benar merasa tenggorokannya sakit karena Salvatore.Pria itu menyuruhnya menghisap meskipun dia kewalahan. Namun, Salvatore hanya meminta itu, dia belum mau melakukan hal lain dengan Valeria dengan alasan mereka belum menikah.Valeria mencibir saat mengingatnya. Padahal Salvatore meniduri banyak wanita, juga tidak menikah dengan mereka, lalu kenapa dengannya hanya bermain aman? Mereka hanya saling menyentuh tanpa melakukan penyatuan.Saat Valeria hendak ke kamar mandi, dia melihat secarik kertas di atas meja. Senyuman terulas membuat matanya menyipit.'Jika sudah bangun dan mandi, pergilah ke bawah. Aku menunggumu di meja makan.'Gegas saja Valeria masuk kedalam kamar mandi. Dia mengguyur tubuh indahnya yang memiliki bercak kemerahan karena Salvatore semalam.Satu jam setelahnya, Valeria melangkah turun menuju lantai bawah mansion de
Valeria merasakan perubahan suasana di dalam mobil saat Salvatore mengantarnya ke Morreti Club. Pria yang biasanya penuh perhatian dan lembut itu kini tampak dingin, dengan wajah yang tak pernah lepas dari kerutan di dahinya.Sepanjang perjalanan, Salvatore jarang bicara, hanya sesekali menghela napas. Valeria menatapnya dari samping, mencoba menebak apa yang menyebabkan perubahan mendadak ini.“Salvatore, ada apa?” Valeria akhirnya memberanikan diri bertanya, suaranya lembut namun penuh kekhawatiran.Salvatore hanya menggeleng tanpa menatapnya. "Tidak ada," jawabnya singkat, suaranya terdengar datar.Valeria tidak mendesak lebih jauh, meskipun rasa penasaran terus menghantui pikirannya. Ada sesuatu yang mengganggu pikiran Salvatore, dan Valeria merasa tidak nyaman karena tidak tahu apa itu.Ketika mereka tiba di depan kantor Morreti Club, Salvatore hanya membuka pintu mobil untuknya tanpa kata-kata, wajahnya tetap masam.“Salvatore....”Valeria mencoba memanggilnya lagi ketika keluar
Valeria masuk ke rumah dengan perasaan campur aduk. Anak buah Salvatore telah menjemputnya dari kantor, tetapi Salvatore sendiri belum juga membalas pesannya sejak siang.Perasaan kesal semakin memuncak di dalam dirinya. Di ruang tamu, Alessio sedang duduk dengan senyuman yang tak berdosa, seolah-olah tidak ada yang salah. Lagi-lagi dia di sini, batinnya."Baru pulang?" Alessio berjalan mendekatinya dengan senyuman kecil. "Aku kira kau lupa pulang, karena terlalu terpesona dengan pria itu." Dia mulai terkekeh."Bukan urusanmu."Valeria berjalan ke depan, Alessio mengikutinya di samping sambil merangkul bahunya. Valeria sangat tidak nyaman akan hal itu, dia berusaha melepaskan tangan Alessio dari tubuhnya, tapi tangan itu justru malah turun ke arah pinggangnya.Dalam hati, Alessio terkekeh kecil melihat tingkah Valeria yang mencoba kabur darinya. Valeria berulang kali memperingatkannya tapi pria itu justru semakin menjadi-jadi.Elena dan Lorenzo, orang tua Valeria, sudah duduk di meja
Malam yang mencekam, suasana di markas Il Leone d'Ombra dipenuhi ketegangan yang meresap di udara. Cahaya temaram dari lampu-lampu di lorong markas hanya menambah kesan suram yang mendalam.Salvatore tiba dengan tatapan dingin dan penuh amarah setelah menerima kabar dari Antonio bahwa mereka telah menangkap seorang pengkhianat yang kabur.Salvatore melangkah ke ruang interogasi dengan langkah yang tenang namun tegas, menandakan bahwa dia tidak akan menunjukkan belas kasihan. Franco, pria yang duduk di kursi di hadapannya dengan tubuh terikat, tampak sangat ketakutan.Wajahnya pucat pasi, tubuhnya sudah babak belur, tentunya itu ulah Antonio. Salvatore dan Antonio terkenal sangat kejam saat mereka sudah murka."Franco," suara Salvatore dingin dan datar, tanpa emosi. "Kau punya satu kesempatan untuk menjelaskan kenapa kau melakukan ini."Franco menelan ludah, tubuhnya gemetar hebat. "A-aku ..., aku tidak punya pilihan, Tuan Salvatore," suaranya bergetar. "Mereka ..., mereka menawarkan u
Pagi itu, Salvatore menjemput Valeria dengan senyuman yang biasanya menenangkan, meskipun hatinya sudah dipenuhi rasa waspada sejak semalam. Setibanya di rumah keluarga Morreti, dia disambut oleh orang tua Valeria yang selalu ramah. Mereka mengundang Salvatore untuk sarapan bersama, seperti tradisi yang tak terucap setiap kali dia datang."Kau selalu datang sebelum Valeria turun, duduklah."Salvatore tersenyum tipis. "Terima kasih Nyonya Morreti." Salvatore membuka kancing jasnya lalu duduk di kursi."Bagaimana proyek di Salerno, Salvatore? Apa masih ada perkembangan meskipun berita Julian bisa berpengaruh?" tanya Lorenzo."Proyek baik-baik saja, masalah Julian sepertinya tidak akan terlalu berpengaruh. Justru sebaliknya, mungkin bisa kita manfaatkan sebagai sarana pemasaran," kata Salvatore dengan tenang.Lorenzo tertawa. "Benar juga, kau benar-benar cerdas Salvatore."Tak lama lift terbuka. Valeria datang dari sana. Tubuh seksi itu kini di balut rok hitam ketat selutut dengan blouse
Siang ini, Valeria sedang sibuk menemui klien di gedung hotel milik keluarga Morreti. Setelah pertemuan mereka dengan klien selesai, Valeria dan Sofia tanpa sengaja bertemu di koridor gedung.Sofia yang baru saja tersenyum cerah, kini tak sengaja bertemu pandang dengan wanita di hadapannya. Valeria langsung merasa ketegangan menyusup di antara mereka.Tatapan Valeria menajam saat dia teringat insiden di proyek, di mana Morgan terluka, dan Sofia berada di sana. Seketika, perasaan panas memenuhi dadanya. Dia tahu, Sofia ada kaitan dengan insiden itu—dan sekarang, Valeria ingin membalasnya.Saat mereka berdua masuk ke dalam lift bersama beberapa orang lainnya, Valeria tak berhenti menatap Sofia dengan dingin, menimbang setiap langkahnya. Begitu lift berhenti di lantai berikutnya dan semua orang keluar, Valeria melihat kesempatan. Saat pintu lift hampir menutup, dia dengan cepat menarik Sofia agar tetap di dalam.Sofia, yang awalnya terlihat tak terkeju
Salvatore akhirnya memutuskan untuk memenuhi janjinya kepada Valeria, membawanya ke Singapura untuk bertemu Morgan, meskipun awalnya ia ragu. Namun, ancaman Alessio yang semakin dekat dengan Valeria membuat Salvatore berubah pikiran. Dia tak ingin mengambil risiko membahayakan Valeria karena niat tersembunyi Alessio.Ketika mereka sampai di bandara, Salvatore menunjukkan sisi manisnya, memastikan Valeria nyaman sepanjang perjalanan. Namun, di balik itu semua, pikirannya penuh kekhawatiran.Ia tak bisa menghilangkan bayangan Alessio, yang semakin intens mendekati Valeria akhir-akhir ini. Dia harus bertindak kepada Alessio agar dia tak main-main dengan orang-orangnya.Setibanya di Singapura, Salvatore menyewa hotel mewah dengan pemandangan Marina Bay Sands, mencoba menciptakan suasana yang romantis untuk menjaga hubungan mereka tetap kuat.Valeria merasa bahagia. Dia dan Salvatore menjadi lebih dekat dan tentunya sebentar lagi dia akan bertemu dengan Morgan
Matahari siang di Milan menyinari jendela kamar rumah sakit, menciptakan bayangan lembut di lantai keramik putih. Sofia duduk di tepi ranjangnya, jemarinya gemetar saat merapikan pakaian ke dalam koper kecil. Tubuhnya sudah membaik, dan sesuai keputusan pengadilan, hari ini dia harus kembali ke penjara.Isabella, ibunya, dengan sabar membantu melipat baju dan memasukkannya ke dalam koper. Namun, keheningan di antara mereka terasa berat.Tak ada lagi percakapan ringan atau tawa seperti dulu. Hanya suara gesekan kain dan resleting koper yang mengisi ruangan.Pintu kamar terbuka perlahan. Julian, muncul di ambang pintu dengan ekspresi datar. "Mom, dokter memanggilmu," katanya singkat.Isabella menoleh, sejenak ragu. "Julian, tolong bantu adikmu berkemas, ya? Mommy akan segera kembali."Tanpa menunggu jawaban, Isabella melangkah keluar, meninggalkan Julian dan Sofia berdua.Julian mengambil alih koper, tangannya dengan terampil memasukkan barang-barang Sofia tanpa suara. Gerakannya efisie
Musim semi di Jepang selalu memancarkan pesona tersendiri. Bunga sakura yang bermekaran, angin sepoi-sepoi yang membawa harum bunga, dan sinar matahari yang hangat menyelimuti halaman rumah sakit.Valeria duduk di kursi roda, menikmati pemandangan itu dengan senyum tipis di wajahnya. Firgo mendorong kursi rodanya perlahan, memastikan Valeria merasa nyaman."Indah, ya?" gumam Valeria, matanya tak lepas dari kelopak bunga sakura yang beterbangan tertiup angin."Memang," jawab Firgo. "Seindah keberanianmu malam itu. Kau tahu, aku masih tidak habis pikir kenapa kau begitu nekat."Valeria menoleh, keningnya sedikit berkerut. "Kau marah padaku?""Bukan marah." Firgo menghela napas. "Lebih ke jengkel. Kau tidak memikirkan keselamatanmu sendiri dan itu membuat panik seluruh pasukan saat melihatmu berlari ke arah Tuan Salvatore dan menodong pria yang menyerangnya dengan pistol. Tapi ..., aku salut. Kau benar-benar berbeda dari kebanyakan wanita."Valeria tersenyum. "Aku hanya melakukan apa yan
Antonio berdiri di samping brankar tidurnya, tubuhnya yang masih dipenuhi perban bergerak perlahan saat dia mengganti pakaian rumah sakit dengan setelan kasual. Luka-luka di tubuhnya masih terlihat jelas, namun dia sepertinya tidak terganggu dengan itu. Pintu kamar rawat terbuka perlahan, dan Salvatore masuk dengan langkah hati-hati."Kau sudah mau pergi?" tanya Salvatore dengan nada khawatir.Antonio tersenyum tipis. "Aku sudah terlalu lama di sini. Ada banyak hal yang harus kuurus."Salvatore berjalan mendekat, meski kakinya masih gemetar, ia mencoba menunjukkan bahwa ia baik-baik saja. "Biar aku yang bantu. Apa yang bisa kulakukan?""Tidak perlu." Antonio menggeleng pelan, memasukkan kemejanya ke dalam celana. "Kau percayalah padaku. Aku akan mengurus semuanya. Saat ini, yang perlu kau lakukan adalah fokus pada kesembuhanmu."Salvatore menghela napas. "Tapi—""Jangan khawatir." Antonio menepuk bahu Salvatore, "kita sudah sejauh ini. Kau hanya perlu pulih dulu. Biar aku yang jaga se
Sinar matahari sore menembus jendela rumah sakit, memberikan kilau hangat di ruangan putih yang biasanya terasa dingin. Salvatore mendorong pintu perlahan, mencoba tidak membuat suara yang mengganggu. Matanya langsung tertuju pada Valeria, yang masih terbaring di ranjangnya dengan wajah pucat namun tersenyum manis begitu melihatnya."Hei," sapa Salvatore dengan lembut.Valeria langsung menoleh ke arahnya dan tersenyum ceria. Senyuman itu—senyuman yang sejak dulu selalu membuatnya merasa tenang, Salvatore mengingat rasa itu. Namun senyuman itu kini justru membuat dadanya berdegup lebih kencang.Valeria membalas sapaan itu dengan suara pelan. "Kau kembali.""Ya, bagaimana keadaanmu? Merasa lebih baik?"Valeria mengangguk pelan. "Hm, lebih baik daripada kemarin."Salvatore mengangkat kantong belanja di tangannya. "Aku membawakanmu makanan dan buah-buahan. Juga susu vanilla, seperti yang kau inginkan."Tatapan Valeria berbinar. "Susu vanilla? Kau ingat?"Salvatore tersipu, meletakkan bara
Firgo mengetuk pintu kamar rawat inap Valeria sebelum masuk. Wajahnya tenang, tetapi matanya menyiratkan kekhawatiran. Dia menyerahkan telepon genggamnya kepada Valeria. "Morgan ingin bicara."Valeria mengangkat alis, "Oh, sepertinya akan ada sesi ceramah gratis."Begitu telepon menempel di telinganya, suara Morgan langsung terdengar—keras dan penuh emosi."Valeria! Apa yang kau pikirkan?! Pergi tanpa bilang apa-apa, ikut operasi berbahaya dalam keadaan hamil pula! Kau tahu betapa gilanya aku mencari-cari kabar tentangmu?!"Valeria menarik napas panjang, memegang telepon dengan satu tangan, sementara tangan lainnya dengan lembut mengelus perutnya yang masih terasa perih. "Aku baik-baik saja, Morgan. Kau tidak perlu berteriak begitu.""Jangan bilang aku tidak perlu berteriak! Kau pikir ini lelucon? Bagaimana jika terjadi sesuatu padamu?! Dan bayi itu?!" Di ujung sana Morgan sedang mondar-mandir di lobi markas Il Leone d'Ombra.Senyum kecil menghiasi wajah Valeria. "Bayi ini baik-baik s
Valeria membuka matanya perlahan. Cahaya lampu kamar rawat terasa menyilaukan, tetapi bukan itu yang membuatnya tercekat. Di sampingnya, Salvatore duduk dengan ekspresi penuh kekhawatiran. Tatapan pria itu tajam, tetapi terselip kegelisahan yang sulit disembunyikan."Salvatore ...." Suara Valeria serak, hampir berbisik. "Bagaimana dengan bayiku?"Begitu mendengar suaranya, Salvatore langsung menggenggam tangannya erat. "Kau sudah sadar? Dia ..., baik-baik saja."Valeria menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Rasa sakit di perutnya masih terasa, tetapi lebih dari itu, ada perasaan lain yang membuat dadanya sesak—haru, rindu, dan kelegaan yang begitu mendalam.Salvatore ada di sini.Tangannya gemetar saat dia mengangkatnya, menyentuh pipi pria itu dengan lembut. "Aku ..., aku pikir aku tak akan pernah melihatmu lagi." Suaranya pecah dalam isakan kecil.Salvatore mengeraskan rahangnya, menahan emosinya sendiri. "Aku di sini. Aku ..., tidak akan ke mana-mana."Air mata Valeria ak
Malam di Milan terasa dingin. Julian berjalan keluar dari rumah sakit dengan langkah tenang, tetapi pikirannya kacau. Ibunya masih di dalam, menjaga Sofia—adiknya yang telah menghancurkan hidupnya. Sang ayah, Giovani, bahkan tak peduli lagi dengan keluarga mereka sejak nama besar Ricci runtuh.Saat Julian hendak berjalan ke mobilnya, suara familiar menghentikan langkahnya."Julian?"Dia mendesah pelan, lalu menoleh. Margareta berdiri tak jauh darinya, mengenakan mantel mahal yang dulu mungkin ia beli dari uang Julian sendiri. Wajah wanita itu masih sama—cantik, angkuh, penuh percaya diri. Tapi Julian tak lagi melihatnya seperti dulu."Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya datar.Margareta tersenyum, mendekatinya dengan langkah gemulai. "Aku kebetulan lewat. Lalu aku melihatmu ..., jadi aku ingin menyapa."Julian mengangkat alis. "Kebetulan lewat di rumah sakit, malam-malam begini?" Nada suaranya terdengar sarkastik.Margareta tertawa kecil. "Aku ingin tahu ..., bagaimana keadaanmu s
Begitu roda pesawat menyentuh landasan Jepang, Salvatore segera bangkit dari kursinya. Dia tak peduli pada tubuhnya yang masih lemah, langkahnya langsung mengikuti para anak buah yang membawa Valeria ke luar pesawat dengan tandu.Udara malam Jepang yang dingin menusuk kulit, tetapi keringat dingin tetap mengalir di pelipisnya. Mereka semua bergerak cepat menuju kendaraan yang sudah disiapkan. Firgo sudah lebih dulu mengatur segalanya—termasuk mencari rumah sakit yang aman, tempat dokter-dokternya bisa dibayar untuk menutup mulut.Di perjalanan menuju rumah sakit, Salvatore duduk diam di samping Valeria. Matanya terus mengamati wajah wanita itu. Wajah yang seharusnya asing, tetapi justru terasa familiar. Wajah yang entah mengapa, menjadi yang pertama muncul dalam pikirannya saat dia mulai sadar dari kegelapan ingatannya yang hilang.Jika dia istriku… berarti aku sangat mencintainya, bukan?Tapi kenapa? Kenapa dia tidak bisa mengingatnya?Salvatore menggigit bibir bawahnya, frustrasi de
Di dalam pesawat pribadi yang terbang di atas Samudra Pasifik, suasana terasa tegang. Lampu-lampu kabin berpendar samar, menciptakan bayangan-bayangan panjang di wajah-wajah yang kelelahan dan terluka.Di salah satu kursi, Valeria terbaring lemah dengan napas tersengal. Wajahnya pucat, keringat dingin membasahi dahinya, dan matanya sesekali terpejam menahan rasa sakit. Wanita itu sudah setengah kehilangan kesadarannya. Darah masih merembes dari perban darurat yang melilit perutnya, bukti dari luka yang Alessio tinggalkan.Salvatore duduk di sampingnya, menggenggam erat tangannya yang juga berlumuran darah. Jari-jarinya sedikit gemetar, bukan karena rasa takut, melainkan karena sesuatu yang mengusik pikirannya.Dia masih belum sepenuhnya memahami kenapa melihat Valeria seperti ini membuat hatinya terasa seakan diremas. Sebuah perasaan yang familiar, namun asing pada saat yang bersamaan.Antonio, yang duduk tak jauh dari mereka, tampak lelah dengan luka di lengannya yang terus mengalirk