Valeria merasakan perubahan suasana di dalam mobil saat Salvatore mengantarnya ke Morreti Club. Pria yang biasanya penuh perhatian dan lembut itu kini tampak dingin, dengan wajah yang tak pernah lepas dari kerutan di dahinya.Sepanjang perjalanan, Salvatore jarang bicara, hanya sesekali menghela napas. Valeria menatapnya dari samping, mencoba menebak apa yang menyebabkan perubahan mendadak ini.“Salvatore, ada apa?” Valeria akhirnya memberanikan diri bertanya, suaranya lembut namun penuh kekhawatiran.Salvatore hanya menggeleng tanpa menatapnya. "Tidak ada," jawabnya singkat, suaranya terdengar datar.Valeria tidak mendesak lebih jauh, meskipun rasa penasaran terus menghantui pikirannya. Ada sesuatu yang mengganggu pikiran Salvatore, dan Valeria merasa tidak nyaman karena tidak tahu apa itu.Ketika mereka tiba di depan kantor Morreti Club, Salvatore hanya membuka pintu mobil untuknya tanpa kata-kata, wajahnya tetap masam.“Salvatore....”Valeria mencoba memanggilnya lagi ketika keluar
Valeria masuk ke rumah dengan perasaan campur aduk. Anak buah Salvatore telah menjemputnya dari kantor, tetapi Salvatore sendiri belum juga membalas pesannya sejak siang.Perasaan kesal semakin memuncak di dalam dirinya. Di ruang tamu, Alessio sedang duduk dengan senyuman yang tak berdosa, seolah-olah tidak ada yang salah. Lagi-lagi dia di sini, batinnya."Baru pulang?" Alessio berjalan mendekatinya dengan senyuman kecil. "Aku kira kau lupa pulang, karena terlalu terpesona dengan pria itu." Dia mulai terkekeh."Bukan urusanmu."Valeria berjalan ke depan, Alessio mengikutinya di samping sambil merangkul bahunya. Valeria sangat tidak nyaman akan hal itu, dia berusaha melepaskan tangan Alessio dari tubuhnya, tapi tangan itu justru malah turun ke arah pinggangnya.Dalam hati, Alessio terkekeh kecil melihat tingkah Valeria yang mencoba kabur darinya. Valeria berulang kali memperingatkannya tapi pria itu justru semakin menjadi-jadi.Elena dan Lorenzo, orang tua Valeria, sudah duduk di meja
Malam yang mencekam, suasana di markas Il Leone d'Ombra dipenuhi ketegangan yang meresap di udara. Cahaya temaram dari lampu-lampu di lorong markas hanya menambah kesan suram yang mendalam.Salvatore tiba dengan tatapan dingin dan penuh amarah setelah menerima kabar dari Antonio bahwa mereka telah menangkap seorang pengkhianat yang kabur.Salvatore melangkah ke ruang interogasi dengan langkah yang tenang namun tegas, menandakan bahwa dia tidak akan menunjukkan belas kasihan. Franco, pria yang duduk di kursi di hadapannya dengan tubuh terikat, tampak sangat ketakutan.Wajahnya pucat pasi, tubuhnya sudah babak belur, tentunya itu ulah Antonio. Salvatore dan Antonio terkenal sangat kejam saat mereka sudah murka."Franco," suara Salvatore dingin dan datar, tanpa emosi. "Kau punya satu kesempatan untuk menjelaskan kenapa kau melakukan ini."Franco menelan ludah, tubuhnya gemetar hebat. "A-aku ..., aku tidak punya pilihan, Tuan Salvatore," suaranya bergetar. "Mereka ..., mereka menawarkan u
Pagi itu, Salvatore menjemput Valeria dengan senyuman yang biasanya menenangkan, meskipun hatinya sudah dipenuhi rasa waspada sejak semalam. Setibanya di rumah keluarga Morreti, dia disambut oleh orang tua Valeria yang selalu ramah. Mereka mengundang Salvatore untuk sarapan bersama, seperti tradisi yang tak terucap setiap kali dia datang."Kau selalu datang sebelum Valeria turun, duduklah."Salvatore tersenyum tipis. "Terima kasih Nyonya Morreti." Salvatore membuka kancing jasnya lalu duduk di kursi."Bagaimana proyek di Salerno, Salvatore? Apa masih ada perkembangan meskipun berita Julian bisa berpengaruh?" tanya Lorenzo."Proyek baik-baik saja, masalah Julian sepertinya tidak akan terlalu berpengaruh. Justru sebaliknya, mungkin bisa kita manfaatkan sebagai sarana pemasaran," kata Salvatore dengan tenang.Lorenzo tertawa. "Benar juga, kau benar-benar cerdas Salvatore."Tak lama lift terbuka. Valeria datang dari sana. Tubuh seksi itu kini di balut rok hitam ketat selutut dengan blouse
Siang ini, Valeria sedang sibuk menemui klien di gedung hotel milik keluarga Morreti. Setelah pertemuan mereka dengan klien selesai, Valeria dan Sofia tanpa sengaja bertemu di koridor gedung.Sofia yang baru saja tersenyum cerah, kini tak sengaja bertemu pandang dengan wanita di hadapannya. Valeria langsung merasa ketegangan menyusup di antara mereka.Tatapan Valeria menajam saat dia teringat insiden di proyek, di mana Morgan terluka, dan Sofia berada di sana. Seketika, perasaan panas memenuhi dadanya. Dia tahu, Sofia ada kaitan dengan insiden itu—dan sekarang, Valeria ingin membalasnya.Saat mereka berdua masuk ke dalam lift bersama beberapa orang lainnya, Valeria tak berhenti menatap Sofia dengan dingin, menimbang setiap langkahnya. Begitu lift berhenti di lantai berikutnya dan semua orang keluar, Valeria melihat kesempatan. Saat pintu lift hampir menutup, dia dengan cepat menarik Sofia agar tetap di dalam.Sofia, yang awalnya terlihat tak terkeju
Salvatore akhirnya memutuskan untuk memenuhi janjinya kepada Valeria, membawanya ke Singapura untuk bertemu Morgan, meskipun awalnya ia ragu. Namun, ancaman Alessio yang semakin dekat dengan Valeria membuat Salvatore berubah pikiran. Dia tak ingin mengambil risiko membahayakan Valeria karena niat tersembunyi Alessio.Ketika mereka sampai di bandara, Salvatore menunjukkan sisi manisnya, memastikan Valeria nyaman sepanjang perjalanan. Namun, di balik itu semua, pikirannya penuh kekhawatiran.Ia tak bisa menghilangkan bayangan Alessio, yang semakin intens mendekati Valeria akhir-akhir ini. Dia harus bertindak kepada Alessio agar dia tak main-main dengan orang-orangnya.Setibanya di Singapura, Salvatore menyewa hotel mewah dengan pemandangan Marina Bay Sands, mencoba menciptakan suasana yang romantis untuk menjaga hubungan mereka tetap kuat.Valeria merasa bahagia. Dia dan Salvatore menjadi lebih dekat dan tentunya sebentar lagi dia akan bertemu dengan Morgan
Valeria duduk di samping tempat tidur Morgan, dengan senyuman lembut menghiasi wajahnya. Ia menyuapkan sesendok makanan ke mulut Morgan, yang menerima dengan sedikit canggung.Kedekatan mereka terlihat sangat alami, seperti hubungan saudara yang lama tidak bertemu. Setiap tawa kecil dan candaan di antara mereka membuat suasana semakin hangat."Ha!""Kau mau membuatku gendut, dan otot-otot ku hilang semuanya?" kata Morgan."Jangan banyak bicara, makan saja." Valeria menjejalkan makanan lagi ke dalam mulut Morgan.Namun, di sudut ruangan, Salvatore mengamati dengan tatapan dingin yang sulit ia sembunyikan. Meski Valeria jelas-jelas hanya menunjukkan kasih sayang seperti seorang teman atau saudara, cemburu merayap dalam dirinya. Setiap gerakan Valeria terhadap Morgan seolah menusuk hati Salvatore."Ingin rasanya aku membuat dia berteriak malam ini di bawah tubuh ku. Akan aku buat dia tidak bisa berjalan besok pagi, dan akan berada di kasur selama berhari-hari," gumam Salvatore lirih.Val
"Hai, Baby. Kamu baik-baik saja?"Marvelion berjalan mendekatinya Sofia yang berjalan pincang di koridor kantor. Perempuan itu tampak mengernyit karena sakit."Kamu kenapa? Kesleo?"Sofia menatap tajam Marvelion. "Ini semua gara-gara Valeria. Minggir!"Marvelion yang baru saja hendak memegang tangan Sofia untuk membantunya, kini mematung di tempat sambil menatap kepergian Sofia. Baru kali ini Marvelion melihat sikap kasar Sofia. Padahal biasanya, perempuan itu selalu terlihat lemah lembut dan penuh kasih sayang.Sofia baru bisa kembali ke kantor sejak satu Minggu yang lalu karena Valeria mendorongnya. Selama itu dia benar-benar tidak bisa jalan. Dia benar-benar murka kepada Valeria sampai-sampai lupa menyembunyikan topengnya dari orang lain."Valeria sialan!" gumam Sofia saat membuka sepatu sneakers-nya di meja kerja."Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?""Bawakan semua berkas yang tertunda kemarin," kata Sofia sambil mengibaskan tangannya."Baik nyonya." Perempuan itu segera pergi dari
"Jadi ..., kau ...."Valeria tidak bisa berhenti memikirkan apa yang baru saja dia ketahui. Kenangan dua tahun lalu kembali menghantuinya—hari di mana dia bertemu pria yang menabraknya di depan rumah sakit.Dia mengingat betapa terpuruknya dirinya saat itu. Berat badannya jauh dari ideal, wajahnya kusam karena stres dan kurang tidur, dan dia merasa seperti tidak ada apa-apanya. Tapi, anehnya, setelah kejadian itu, dia tidak pernah lagi mengalami mimpi buruk yang menghantuinya. Namun, fakta bahwa pria itu ternyata adalah Salvatore membuatnya terkejut dan ..., takut.Pikiran-pikiran negatif mulai menyerangnya. "Bagaimana jika Salvatore hanya tertarik pada Valeria yang sekarang, bukan aku yang dulu? Bagaimana jika dia memandang rendah diriku di masa lalu?" Dia mulai merasa insecure, membayangkan Salvatore melihat dirinya dalam versi terburuknya—gemuk, tidak menarik, dan jauh dari sosok yang kini sering dipuji orang.Malam itu, Valeria mendadak berubah menjadi pendiam. Bahkan sampai Salva
Valeria keluar dari lift rumahnya. Dia berjalan menuju ruang makan di mana keluarganya berkumpul. Tak hanya itu, Salvatore juga berada di sana memenuhi undangan mereka."Maaf, lama menunggu," kata Valeria duduk di kursinya."No problem, baby," kata Giulia.Salvatore menatap Valeria tanpa berkedip. Valeria selalu cantik di matanya. Valeria yang menyadari itu berbalik menatap Salvatore balik dan melemparkan senyuman manisnya.Malam itu, suasana di kediaman keluarga Morreti terasa hangat dan penuh keakraban. Lorenzo tampak begitu nyaman berbicara dengan Salvatore, seperti biasanya mereka bertemu.Mereka berdiskusi santai tentang dunia bisnis, politik, dan beberapa proyek yang sedang Lorenzo tangani. Sesekali, Lorenzo tertawa lepas mendengar komentar cerdas Salvatore, sesuatu yang jarang terjadi."Salvatore, kau benar-benar pria yang cerdas," kata Lorenzo sambil menuangkan anggur ke gelas Salvatore. "Aku jarang menemukan seseorang sepertimu .... cocok dalam diskusi."Salvatore tersenyum k
Keesokan paginya, Milan gempar dengan berita yang menyebar seperti api di dunia maya. Nama Sofia mendadak menjadi topik utama di berbagai portal berita dan media sosial.Artikel-artikel dengan judul sensasional memenuhi layar ponsel semua orang: "Putri RC Group Bermuka Dua: Kisah di Balik Topeng Anggun Sofia", "Skandal RC Group: Foto-Foto Memalukan Sofia Tersebar!", dan "Sofia: Pemimpin Perusahaan atau Tiran Kejam?".Di dalam artikel tersebut, terdapat foto-foto Sofia yang memperlihatkan perilaku buruknya—momen dia sedang memukul seorang karyawan, wajahnya yang dipenuhi amarah, hingga foto-foto yang mengisyaratkan bahwa dia sering terlibat dengan pria bayaran di waktu luangnya. Skandal ini seperti badai yang menghancurkan reputasinya seketika.Di kantor pusat RC Group, Sofia terlihat panik luar biasa. Dia melempar dokumen ke lantai dengan kemarahan tak terkendali. “Siapa yang berani melakukan ini?! Siapa yang berani menyebarkan hal-hal kotor seperti ini tentangku?!” teriaknya sambil m
"Padahal aku ingin kau menginap di mansion," ucap Salvatore saat mobilnya sudah berhenti di depan pekarangan kediaman Morreti."Ya, tapi aku ingin pulang."Salvatore tak membiarkan Valeria melepaskan sabuk pengamannya sendiri. Setelah sabuk pengaman itu lepas, Salvatore mencuri satu ciuman di pipi Valeria."Selamat malam, Dolcezza."Valeria tersenyum dan mengangguk lalu keluar dari mobil Salvatore. Saat mobil Salvatore perlahan meninggalkan halaman rumahnya, Valeria berdiri di depan pintu, merasa kelelahan setelah hari yang begitu penuh emosi. Namun, saat dia membuka pintu dan masuk ke dalam rumah, matanya langsung bertemu dengan sosok Alessio yang duduk santai di ruang tamu, mengenakan jas kasual seolah dia pemilik rumah.Valeria langsung menghela napas berat sambil berjalan masuk. "Apa yang kamu lakukan di sini, Alessio? Sudah berapa kali aku bilang untuk tidak datang tanpa izin?" ucapnya dengan nada dingin.Alessio berdiri dengan senyuman mengejek di wajahnya. "Kenapa? Lagipula Pam
"Kau mengajakku ke sini lagi?" dengus Valeria kesal setelah keluar dari dalam mobil Salvatore. Dia memandang malas ke arah mansion mewah yang selalu saja disebut sebagai markas oleh Salvatore."Kenapa? Kau tidak suka? Kalau tidak suka, aku akan pergi mengambil barang-barang ku dan kembali ke rumah."Valeria berdecak kesal. "Tidak perlu, kau bilang masih banyak pekerjaan, bukan?""Ya, tapi aku tidak mau membuatmu merasa tidak nyaman." Salvatore melingkarkan tangannya di pinggang Valeria lalu mengecup pipinya."Sudahlah, asal tidak ada Amara, aku akan baik-baik saja.""Tenang saja, dia berada di tempat yang aman. Jadi tidak akan mengigitmu."Valeria sedikit tersenyum, agaknya gurauan Salvatore terdengar sangat kaku di telingannya. Mereka berjalan masuk ke dalam markas dengan santai."Dia memang anjing gila, jadi kau harus mengawasinya terus," balas Valeria.Salvatore hanya tertawa kecil, semakin lama semakin terlihat sisi kekanakan Valeria. Hari ini, jika bukan karena pekerjaan pentingn
Sofia duduk di kursi kantornya yang megah, tangannya menggenggam pena dengan erat hingga buku-bukunya memutih. Tatapannya tajam mengarah ke laporan keuangan yang tergeletak di meja.Proyek hotel di Salerno, yang awalnya dia pikir akan menjadi batu loncatan bagi RC Group, malah berubah menjadi mimpi buruk yang mencoreng nama besar keluarganya. Kesalahan Julian dalam mengelola dana proyek tidak hanya membuat perusahaan kehilangan kepercayaan dari klien, tetapi juga membuka celah bagi publik untuk mencemoohnya.Setiap pertemuan bisnis yang dia hadiri terasa seperti medan perang. Klien-klien yang dulu menyambutnya dengan hormat kini berbalik mencemoohnya. "Seharusnya kami memilih bekerja sama dengan Morreti Club," ujar salah satu klien terakhir dengan nada mengejek. "Valeria Morreti jauh lebih kompeten dan berkelas dibandingkan dirimu."Nama Valeria terus bergema di benak Sofia, membakar hatinya dengan rasa iri dan dendam yang tak tertahankan. Dia merasa tidak seharusnya dibanding-banding
"Saya akan urus beberapa berkasnya dulu, Nyonya," kata Mona."Ya, aku akan mencari toilet. Kalau sudah selesai tunggu saja di lobi.""Baik."Di lorong sempit di luar restoran tempat Valeria baru saja menyelesaikan pertemuan dengan klien, Julian berdiri dengan wajah penuh amarah. Dia menunggu Valeria keluar, dan begitu dia melihatnya, dia langsung mendekat dengan langkah cepat.Julian sudah beberapa hari ini memendam amarahnya yang menggebu-gebu karena Valeria. Hari ini melihat Valeria masuk ke restoran semakin membuatnya meradang."Valeria," panggil Julian dengan nada dingin, memotong jalan Valeria. "Kita perlu bicara."Valeria mengerutkan kening, merasa terganggu dengan keberadaan Julian yang tiba-tiba. "Apa yang mau kamu bicarakan, Julian? Aku sedang sibuk." Valeria hendak pergi tapi langsung dihadang lagi oleh Julian.Julian menatapnya tajam, ekspresi wajahnya dipenuhi kemarahan yang dia pendam. "Jangan berpura-pura tidak tahu! Semua yang terjadi padaku ..., semua kegagalan ini ...
Niat hati Salvatore mengajak Valeria ke markas untuk menunjukkan sisi dunianya yang lain dan juga ingin mengajaknya makan malam. Bahkan Salvatore sudah menyiapkan semuanya di mansion besar itu. Namun, karena Amara berada di sana, Salvatore yakin makan malamnya pasti tidak akan lancar. Dia memutuskan untuk membawa Valeria ke restoran.Di restoran bintang lima yang elegan, Valeria duduk berhadapan dengan Salvatore. Cahaya lilin di meja makan menciptakan suasana romantis, tapi suasana hati Valeria jauh dari itu. Dia sibuk mengoceh tentang Amara, melampiaskan semua kekesalan yang terpendam sejak tadi sore.“Dia itu benar-benar tidak tahu batas, Salvatore. Kenapa kamu membiarkan dia bersikap seperti itu? Menurutku, dia sengaja membuatku merasa tidak nyaman di depanmu,” Valeria berkata dengan nada kesal, sambil memainkan garpu di tangannya.Salvatore, yang sejak tadi mendengarkan dengan tenang, mencoba menenangkan Valeria. "Amara memang selalu manja sejak kecil, Dolcezza. Tapi dia tidak pun
"Semuanya sudah selesai Nyonya," kata Mona.Valeria melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Kerja bagus Mona. Sudah jam pulang, pergilah."Mona tersenyum lebar sambil mengangguk. "Baik, Nyonya." Perempuan itu melangkahkan kakinya hendak pergi tapi kembali berbalik ke meja kerja Valeria. "Oh ya, Nyonya. Beberapa menit yang lalu saya melihat mobil Tuan Salvatore masuk ke basement."Valeria hanya menatap kepergian punggung Mona. Tidak ada alasan, Mona hanya ingin memberitahu jika Salvatore ada di sini.Sejak kejadian kopi panas, Salvatore tidak pernah absen sedikitpun untuk mengantar atau menjemput Valeria. Meskipun dia sendiri sangat sibuk di luar sana.Tok! Tok!"Masuk!" Valeria langsung menoleh ke arah pintu."Hai Dolcezza." Salvatore masuk ke dalam dan menutup pintunya kembali."Cepat sekali sampai, apa semua urusanmu sudah selesai?"Salvatore meraih tengkuk Valeria dan mengecup bibirnya sekilas. "Belum, tapi aku bisa lanjutkan nanti. Aku sangat merindukanmu.""Omong ko