Setelah beberapa jam perjalanan, pesawat mendarat di bandara Salerno. Udara hangat kota pesisir menyambut mereka.Sebuah konvoi mobil hitam telah menunggu, siap membawa mereka ke hotel tempat mereka menginap malam ini. Mobil yang membawa mereka, masing-masing melaju tak terkecuali mobil yang dinaiki Valeria."Apa jadwal setelah ini?" tanya Valeria."Tidak ada jadwal yang intens, Nyonya. Setelah sampai hotel, kita banyak waktu untuk istirahat, lalu jam 8 malam ada pertemuan untuk membahas pekerjaan di lapangan besok," jelas Mona.Valeria mengangguk-angguk pelan. Mata Valeria memandang keluar jendela. Pemandangan laut di sore ini sangat menyejukkan mata Valeria.Tak lama, mereka berdua sampai di hotel. Valeria yang dibantu Morgan membawa koper, dia masuk ke dalam kamarnya."Kau tahu kan, cari aku jika perlu sesuatu. Kamarku ada di ujung lorong. Jangan berkeliaran sendirian, apalagi Julian dan Sofia ada di sini," ucap Morgan."Aku tahu itu, aku hanya ingin istirahat sekarang, sampai bert
Ruangan lounge hotel di Salerno, dengan pemandangan laut yang tenang di kejauhan, menawarkan suasana yang santai bagi siapa pun yang masuk. Sofia duduk di sofa panjang, jemarinya memegang cangkir kopi hitam yang baru disajikan. Di sebelahnya, Marvelion duduk dengan postur rileks, sesekali menghela napas panjang sambil menikmati udara pantai yang masuk dari jendela besar di ruangan itu.Julian berdiri di depan meja rendah, melihat dokumen proyek yang baru saja mereka tandatangani. Dia tampak serius, tapi tidak ada tanda-tanda ketegangan di wajahnya. Margareta, sekretaris Julian, duduk tak jauh dari situ, sibuk dengan tabletnya, mencatat beberapa hal penting yang baru saja mereka diskusikan dalam rapat sebelumnya."Aku rasa kita sudah cukup mempersiapkan semuanya," ujar Julian sambil menutup dokumen dan meletakkannya di meja. "Besok pagi kita bisa langsung meninjau lokasi proyek."Sofia mengangguk pelan, tatapannya tertuju pada Julian, tapi pikirannya melayang pada pertemuan makan malam
Valeria berjalan pelan di sepanjang pantai, pasir yang lembut di bawah kakinya tak bisa mengusir keletihan yang terasa di tubuhnya. Sudah hampir satu jam lamanya Valeria hanya berjalan mengikuti Salvatore. Dia merasa kesal. Bukan hanya karena Salvatore, tetapi juga karena setiap langkah yang diambilnya membuatnya semakin lelah."Hah!"Valeria terduduk di atas pasir. Entah apa yang dimau oleh Salvatore. Sejak tadi pria itu bahkan tidak mengeluarkan suara apapun."Aku lelah, Salvatore. Kenapa kamu memaksaku untuk terus berjalan?" Valeria mengeluh sambil menatap Salvatore yang berjalan dengan tenang di depannya.Salvatore, dengan senyum tipis yang menawan, justru menghentikan langkahnya. Valeria berdiri dengan wajah frustasi. Dia masih menunduk menendang-nendang pasir.Tanpa mengatakan sepatah kata pun, Salvatore berbalik dan membungkuk sedikit, isyarat yang Valeria kenali dengan baik. Sebelum Valeria sempat menolak, Salvatore sudah menggendongnya dengan mudah, membuatnya terkejut dan h
Salvatore dengan setia menggenggam tangan Valeria. Mereka berjalan memasuki kawasan hotel.Hari sudah mulai gelap, Valeria meminta Salvatore untuk kembali. Meskipun begitu, Valeria juga terlanjur nyaman dengan bersama Salvatore. Hari ini dia melihat sisi lain dari Salvatore."Aku sudah bilang jangan bicarakan pekerjaan, jika bersamaku, kamu harus fokus denganku," kata Salvatore.Sejak tadi Valeria tak berhenti membicarakan proyek yang mereka kerjakan. Hal yang sangat aneh untuknya, padahal Valeria akan banyak diam jika bersama orang lain, apalagi jika tidak terlalu dekat. Bersama Salvatore hari ini, dia mulai berubah. Apakah Valeria benar-benar menerima Salvatore di dalam hatinya?"Aku hanya penasaran," balas Valeria.Salvatore menghela napas. "Nanti ada waktunya untuk kita membicarakan pekerjaan."Valeria mendengus sebal. Salvatore benar-benar tidak membocorkan apapun tentang bisnis. Siapa sangka, jika pria dingin itu memang lebih pendiam dari apa yang dilihat.Tangan kiri Salvatore
Malam ini, acara pertemuan mereka diadakan di lantai tujuah hotel yang mereka tempati. Semua orang yang terlibat di dalam proyek ini pergi bersama staff mereka masing-masing.Malam ini Valeria memakai baju formal. Setelah kejadian di lobi, dia langsung berendam di bak mandi untuk meredakan amarahnya. Jika bukan karena Salvatore mengajaknya pergi dari sana, mungkin dia akan membuat keributan dengan Julian.Valeria mengambil tempat duduknya di meja makan, berusaha mengabaikan ketegangan yang merayap di ruangan. Morgan dan Mona duduk di sebelah Valeria.Julian duduk tepat di depannya, matanya penuh dengan amarah yang tidak bisa dijelaskan. Sejak pertemuan itu dimulai, Valeria bisa merasakan tatapan tajam Julian, seolah-olah ia sedang menantikan momen yang tepat untuk menyerang.Berbeda dengan Julian, Marvelion juga memandangi Valeria sejak wanita itu masuk tapi tatapannya justru terlihat terpukau dengan kecantikan Valeria. Tidak bisa dipungkiri jika Marvelion memang tertarik dengan Valer
Di depan wastafel, Valeria kini sedang membasuh tangannya. Makan malam belum usai, tapi Valeria sudah muak berada di sana.Valeria menghela napas panjang saat melihat pantulan dirinya di cermin. Hari ini benar-benar melelahkan untuk Valeria.Langkah kaki jenjang Valeria pergi dari toilet untuk menuju ke ruang pertemuan. Namun, di lirong, dia melihat Marvelion menyandarkan punggungnya. Sepertinya dia sudah menunggu Valeria sejak tadi.Senyum Marvelion mengembang melihat Valeria sudah keluar dari toilet wanita. Kedua tangannya dia masukkan ke dalam saku celana sambil menunggu langkah kaki Valeria lebih dekat ke arahnya."Mau kembali ke sana?" tanya Marvelion setelah Valeria berada di depannya. Dia pun menghalangi langkah Valeria."Tentu saja." Valeria membalasnya dengan wajah datar.Marvelion terkekeh melihat wajah Valeria yang bisa berubah setiap saat. Seperti saat mereka pertama bertemu di cafe waktu. Dia pun mengulurkan tangannya berniat menyingkirkan rambut Valeria yang ada di bahun
Baru saja Valeria meninggalkan Marvelion dan juga Sofia. Dia hendak masuk ke ruang pertemuan tadi tapi tiba-tiba tubuhnya terangkat ke udara.Valeria terpekik karena kaget. Tangan kekar sudah menggendongnya ala bridal style pergi dari tempat itu."Salvatore! Apa yang kamu lakukan?"Pria itu tak menjawab. Wajah dinginnya terlihat tak bersahabat. Entah apa yang mengacaukan suasana hatinya."Salvatore aku mau kembali ke ruang pertemuan," kata Valeria lagi."Pertemuan sudah selesai."Hanya itu yang dilontarkan dari mulut Salvatore. Meskipun Valeria merengek untuk minta di turunkan dari gendongannya, dia tidak mengidahkan hal itu.Mata Valeria membulat saat Salvatore berjalan begitu saja melewati kamar Valeria. Langkah kaki Salvatore terus berjalan sampai di depan sebuah kamar."Salvatore! Kamu membawaku kemana? Kamarku ada di sana!"Salvatore dengan mudahnya membuka kamarnya sendiri lalu membawa Valeria masuk ke dalam. Dia mengunci pintu itu, karena tahu Valeria pasti akan kabur.Tanpa ba
Angin malam menghembus dengan kencang. Antonio merapatkan jaket hitamnya. Pria itu sedang melakukan tugas dari Salvatore untuk mengawal pasukan dalam sebuah transakasi.Antonio menatap gudang tua di depan mereka, tempat yang disepakati untuk malam ini. Bau garam dari pelabuhan tercium tajam, dan udara dingin malam itu membuatnya merasa semakin tidak nyaman."Jangan lengah," katanya kepada anak buahnya, tangannya menggenggam erat senjata di balik jaketnya.Ketika truk besar memasuki area, lampu depannya menerangi pintu gudang yang terbuka. Seorang pria berbadan besar turun dari truk, diikuti oleh beberapa anak buahnya yang membawa peti kayu besar. Antonio memberi isyarat pada anak buahnya untuk mendekat."Kita lakukan ini cepat," kata pria itu, suaranya berat dan tajam.Antonio hanya mengangguk, membuka tas besar berisi uang tunai. Dia berjalan mendekat, kini berada tepat dihadapan pria itu. Antonio merasakan ada yang tidak beres dengannya saat pria itu menyeringai."Berikan uang itu t
Sore itu, Salvatore tiba di kantor Valeria dengan niat untuk menjemputnya setelah hari yang panjang. Namun, Amara memaksa ikut bersamanya. Meskipun Salvatore tidak menolaknya, dia merasa sedikit terganggu dengan kehadiran sepupunya, terutama karena Valeria belum sepenuhnya nyaman dengan Amara. Saat Salvatore dan Amara menunggu di depan gedung kantor, Alessio tiba-tiba muncul. Dia turun dari mobil, tampak santai namun penuh percaya diri, berjalan ke arah Valeria dengan senyum lebar di wajahnya. Alessio tidak pernah menyembunyikan rasa tertariknya pada Valeria, dan dia tidak ragu untuk menunjukkan perhatiannya di depan orang lain. Valeria yang baru saja keluar dari gedung kini memicingkan matanya melihat Alessio. Dia benar-benar muak dengan keadaan hari ini. Belum lagi dia harus siap mendengarkan omelan Elena saat sampai di rumah karena dia telah melanggar janji untuk pulang setelah makan siang. Melihat Alessio yang mendekati Valeria, Salvatore pun turun dari mobilnya. Dia juga mengha
Valeria kembali ke kantor walaupun tangannya masih terluka dan melepuh akibat insiden penyiraman kopi panas. Meskipun dokter, Salvatore dan orang tuanya, terutama Mommy-nya, telah memintanya untuk beristirahat, Valeria keras kepala. Dia merasa sudah terlalu lama meninggalkan pekerjaannya dan tidak mau membiarkan tanggung jawabnya terabaikan lebih lama."Apa yang kau pikirkan, Valeria? Kau seharusnya di rumah, beristirahat." Elena memarahi dengan nada khawatir melalui telepon. "Luka di tanganmu belum sembuh. Kau tidak perlu terburu-buru kembali ke kantor.""Aku baik-baik saja, Mom. Aku sudah terlalu lama absen. Ada banyak hal yang harus diselesaikan," jawab Valeria, mencoba menenangkan."Mommy gak mau tau, kamu pulang sekarang.""Gak bisa, Mom.""Mommy akan menyuruh seseorang untuk menyeret kamu pulang."Valeria mendesah pelan. Bagaimanapun juga, Elena akan benar-benar melakukan itu, jadi Valeria harus melakukan negosiasi dengannya."Sampai jam makan siang, oke? Setelah itu aku akan pu
Keesokan harinya, Valeria berjalan menuju gedung kantor dengan langkah biasa. Dia terlihat sangat profesional dan elegan. Apapun yang terjadi, Valeria tetap mengutamakan pekerjaannya.Saat dia mendekati pintu masuk, tiba-tiba saja seorang pria tak dikenal dengan cepat mendekat dan tanpa peringatan menyiramkan kopi panas ke arahnya. Valeria terkejut, menjerit kesakitan, merasa panas di lengan dan bahunya."Akh!""Hai kau!" teriak seseorang saat melihat pria itu menyiram Valeria.Semua orang yang ada di sana langsung menoleh ke arah Valeria dan pria itu langsung berlari kabur dari sana. Para staf di sekitar gedung segera membantu dan membawa Valeria ke rumah sakit terdekat.Berita mengenai insiden tersebut dengan cepat sampai ke telinga Salvatore. Wajahnya memucat saat mendengar laporan itu, perasaannya campur aduk antara marah dan khawatir. Dia segera meninggalkan semua pekerjaannya dan bergegas menuju rumah sakit.Saat tiba, Salvatore menemui Valeria yang tengah dirawat. Luka bakar di
Setelah makan malam, Valeria memutuskan untuk pulang. Meskipun Salvatore sudah beberapa kali membujuknya, wanita itu tetap saja kekeh. Padahal Salvatore masih ingin berlama-lama dengan Valeria.Mau tidak mau Salvatore pun mengantarkan Valeria pulang. Sayangnya, Amara terus saja mengikuti mereka. Valeria mulai jengah dengan sikap manja Amara yang seolah di buat-buat.Di dalam mobil, suasana terasa tegang dan canggung. Salvatore yang duduk di depan, sesekali melirik ke arah Valeria yang terlihat resah di sampingnya. Setiap kali Salvatore mencoba berbicara lebih dekat dengan Valeria, Amara yang duduk di jok belakang selalu saja menyela percakapan mereka dengan hal-hal yang sepele."Sepertinya aku akan mampir sebentar untuk menyapa Tuan Lorenzo. Aku merasa sudah lama tidak berbicara dengannya."Valeria tersenyum. "Aku rasa, Daddy sedang minum teh di jam seperti ini. Kau bisa-""Valeria, rumahmu jauh dari sini?" Amara bertanya dengan nada ceria, memotong ucapan Valeria, seakan tidak menyad
Valeria memasak dengan cermat di dapur, namun pikirannya tidak bisa fokus sepenuhnya. Setiap kali mengaduk panci atau menyiapkan bahan, bayangan Amara terus mengganggu benaknya.Satu jam yang lalu, Salvatore tiba-tiba saja keluar dari ruang kerjanya dan pergi begitu saja. Dia kembali bersama gadis cantik yang anggun dan lemah lembut.Amara, dengan sikap manja dan terlalu dekat dengan Salvatore, seolah menancapkan duri di hati Valeria. Meskipun Salvatore sudah jelas mengatakan bahwa Amara hanyalah adik sepupu. Namun, cara Amara memperlakukan Salvatore terasa terlalu intim untuk sekadar hubungan keluarga.Valeria mencoba menenangkan dirinya, meyakinkan bahwa Salvatore tidak mungkin berkhianat. Mengingat mereka berdua sudah memutuskan untuk pacaran.Namun sikap hangat Salvatore kepada Amara di depan matanya membuat kecemburuan muncul tanpa bisa dia cegah. Setiap tawa Amara yang menggema di mansion, setiap sentuhan kecil pada lengan Salvatore, membuat Valeria semakin tidak nyaman."Apakah
Salvatore duduk tenang sambil menggenggam tangan Valeria yang kini tertidur di bahunya. Sudah beberapa jam sejak mereka melakukan penerbangan dari Singapura. Valeria terlalu lelah sampai-sampai tak bisa membuka matanya sepanjang perjalanan.Senyum tipis terulas di bibir Salvatore sambil memandang keluar jendela mobil yang melaju ke kota Milan. Dia mengingat betapa manjanya Valeria semalam saat meminta dirinya melakukan hal itu.Namun, Salvatore justru tidak memberikan apa yang Valeria mau. Entah apa yang merasuki Salvatore, dia ingin melakukannya ketika mereka sudah menikah. Salvatore hanya menyalurkan hasrat mereka dengan cara lain."Tuan, apa kita langsung pergi ke kediaman Morreti?" tanya sang supir.Salvatore menatap ke depan, ke arah spion. "Ke mansion saja dulu.""Baik."Mata Salvatore langsung beralih ke Valeria yang terlihat bergumam dalam tidurnya. Tangan kekar itu dengan lembut mengusap kepala Valeria agar tidurnya semakin nyaman.Setelah sampai di mansion, Valeria terbangun
Desahan Valeria terdengar menggema di ruangan itu. Tangan kiri Salvatore sengaja menahan kedua tangan Valeria di atas kepalanya.Tubuh Salvatore menghimpit Valeria ke tembok sampai perempuan itu tidak bisa lepas dari cengkeramannya. Ciuman Salvatore juga semakin liar saat mengisap dan menyecap lidah Valeria."Um! Salvatore!"Mata Valeria menatapnya dengan sayu. Tubuhnya mulai dikuasai kabut hasrat karena sentuhan Salvatore."Apa?"Suara Salvatore terdengar sangat seksi di telinga Valeria. Wajah tampan itu benar-benar memabukkan Valeria."Jangan menyiksaku seperti ini lagi," gumam Valeria.Tawa kecil terdengar dari bibir Salvatore. "Kau sudah tersiksa hanya karena seperti ini saja? Huh?!""Ah!"Salvatore dengan sengaja meremas kedua pantat Valeria yang masih terbungkus gaun indahnya. Untung saja Salvatore sudah membawa Valeria ke hotel. Jika tidak, maka mereka akan melakukan ini di restoran tadi."Salvatore!"Valeria terlihat protes tapi nyatanya hal itu justru terdengar sebagai rengek
Malam ini, Salvatore mengajak Valeria ke sebuah restoran mewah di Singapura, yang terletak di puncak gedung pencakar langit dengan pemandangan indah kota yang dipenuhi lampu-lampu. Suasananya intim, dengan cahaya lilin di meja mereka yang menyala lembut, dan suasana romantis mengelilingi mereka. Valeria mengenakan gaun yang elegan, sementara Salvatore tampak tampan dengan jas hitamnya.Salvatore sambil tersenyum kepada Valeria, matanya penuh kasih sayang. Meski besok mereka harus kembali ke Milan, malam ini ia bertekad membuat Valeria merasa istimewa."Kenapa juga kau mengajak ku makan malam seperti ini? Katanya nanti malam ada rapat online," gumam Valeria saat melihat Salvatore sudah duduk di seberang meja."Sengaja, Dolcezza. Aku hanya ingin menghabiskan waktu denganmu."Sambil menyantap hidangan lezat, mereka berbincang ringan. Sesekali, Salvatore menggenggam tangan Valeria yang terletak di meja, memberinya ciuman lembut di punggung tangan. Dia benar-benar memberikan perhatian penu
"Hai, Baby. Kamu baik-baik saja?"Marvelion berjalan mendekatinya Sofia yang berjalan pincang di koridor kantor. Perempuan itu tampak mengernyit karena sakit."Kamu kenapa? Kesleo?"Sofia menatap tajam Marvelion. "Ini semua gara-gara Valeria. Minggir!"Marvelion yang baru saja hendak memegang tangan Sofia untuk membantunya, kini mematung di tempat sambil menatap kepergian Sofia. Baru kali ini Marvelion melihat sikap kasar Sofia. Padahal biasanya, perempuan itu selalu terlihat lemah lembut dan penuh kasih sayang.Sofia baru bisa kembali ke kantor sejak satu Minggu yang lalu karena Valeria mendorongnya. Selama itu dia benar-benar tidak bisa jalan. Dia benar-benar murka kepada Valeria sampai-sampai lupa menyembunyikan topengnya dari orang lain."Valeria sialan!" gumam Sofia saat membuka sepatu sneakers-nya di meja kerja."Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?""Bawakan semua berkas yang tertunda kemarin," kata Sofia sambil mengibaskan tangannya."Baik nyonya." Perempuan itu segera pergi dari