"Hah!"Valeria membanting tubuhnya di atas sofa. Hari ini sangat melelahkan untuknya. Banyak pekerjaan yang harus diurus dan lagi, tubuhnya tidak terlalu fit. Obat yang diberikan Salvatore memang bekerja, tapi tubuhnya masih sedikit lemah."Baru pulang, Honey?" Elena duduk di sofa seberang. "Semalam kamu tidak pulang?"Valeria menggelengkan kepalanya. "Aku ada urusan semalam, Mom. Maaf tidak mengabari Mommy.""Tentu saja tidak masalah, Honey. Mommy hanya khawatir kamu kenapa-kenapa. Tidak ada masalah kan?"Valeria memejamkan matanya. "Tentu saja tidak, Mom."Tak lama, Lorenzo yang baru saja pulang juga ikut bergabung bersama mereka di sana. Dia duduk di samping istrinya."Mom, kita harus berikan anak kita makan malam yang lezat untuk apa yang telah dia lakukan hari ini," kata Lorenzo."Memangnya ada apa, Dad?""Dia berhasil mendapatkan proyek besar di Salerno."Elena membulatkan matanya menatap suami dan anaknya bergantian. "Benarkah? Kalau begitu ayo kita pesan restoran mahal.""Ah,
Sudah bekali-kali Valeria menolak, tapi kini tetap saja berakhir di dalam mobil Anna.Valeria menghela napasnya saat turun dari mobil. Anna yang melihat Valeria seperti bermalas-malasan saat jalan, langsung saja menarik tangan Valeria."Ayo cepat Valeria."Mereka masuk ke restoran itu. Anna mencari-cari wajah temannya, lalu tak lama ada seseorang yang melambaikan tangan ke arah mereka.Anna langsung tersenyum dan menghampiri meja di ujung sambil menyeret Valeria. Ada dua perempuan dan satu pria duduk di sana."Anna, sini.""Hello guys, aku bawa sepupuku ke sini." Anna langsung duduk di samping perempuan berambut pirang."Bagus sekali, semakin banyak orang semakin asik.""Hai, namaku Valeria," ucap Valeria yang duduk di samping Anna."Hai, sepertinya aku pernah melihatmu. Bukankah kamu CEO Morreti Club yang baru?"Valeria tersenyum ramah lalu mengangguk sebagai jawaban. Mereka semua terkesima dengan senyuman Valeria."Wah, keren. Kita sedang makan malam dengan CEO Morreti." Mereka terl
"Valeria, mobil sudah siap." Morgan berbicara di depan kamar Valeria."Aku akan segera turun."Hari ini, Valeria akan pergi ke Salerno guna perjalanan bisnis. Tentunya perjalanan bisnis ini bersama Salvatore dan juga Julian. Mereka mengambil bagian penting dalam proyek ini.Entah apa yang dipikirkan Julian sampai-sampai membawa RC Group ke dalam proyek konstriksi. Tentunya ini hal yang bagus bagi Valeria, jika ada kesalahan kecil saja, maka RC Group akan mendapatkan nama buruk.Valeria sudah turun ke lantai bawah. Dia menggunakan setelan berwarna cokelat tua, sangat cocok dengan kulitnya.Setelah dia keluar dari lift, Mona dan Morgan sudah menyambutnya. Dia berencana membawa mereka berdua pergi ke Salerno. Akan banyak pekerjaan selama berada di sana, dan Valeria merasa cukup dengan mereka berdua."Nyonya, semuanya sudah siap," kata Mona.Valeria mengangguk lalu berjalan mendahului. Morgan dan Mona mengikutinya di belakang.Mobil hitam sudah menunggu mereka di halaman rumah. Valeria me
Setelah beberapa jam perjalanan, pesawat mendarat di bandara Salerno. Udara hangat kota pesisir menyambut mereka.Sebuah konvoi mobil hitam telah menunggu, siap membawa mereka ke hotel tempat mereka menginap malam ini. Mobil yang membawa mereka, masing-masing melaju tak terkecuali mobil yang dinaiki Valeria."Apa jadwal setelah ini?" tanya Valeria."Tidak ada jadwal yang intens, Nyonya. Setelah sampai hotel, kita banyak waktu untuk istirahat, lalu jam 8 malam ada pertemuan untuk membahas pekerjaan di lapangan besok," jelas Mona.Valeria mengangguk-angguk pelan. Mata Valeria memandang keluar jendela. Pemandangan laut di sore ini sangat menyejukkan mata Valeria.Tak lama, mereka berdua sampai di hotel. Valeria yang dibantu Morgan membawa koper, dia masuk ke dalam kamarnya."Kau tahu kan, cari aku jika perlu sesuatu. Kamarku ada di ujung lorong. Jangan berkeliaran sendirian, apalagi Julian dan Sofia ada di sini," ucap Morgan."Aku tahu itu, aku hanya ingin istirahat sekarang, sampai bert
Ruangan lounge hotel di Salerno, dengan pemandangan laut yang tenang di kejauhan, menawarkan suasana yang santai bagi siapa pun yang masuk. Sofia duduk di sofa panjang, jemarinya memegang cangkir kopi hitam yang baru disajikan. Di sebelahnya, Marvelion duduk dengan postur rileks, sesekali menghela napas panjang sambil menikmati udara pantai yang masuk dari jendela besar di ruangan itu.Julian berdiri di depan meja rendah, melihat dokumen proyek yang baru saja mereka tandatangani. Dia tampak serius, tapi tidak ada tanda-tanda ketegangan di wajahnya. Margareta, sekretaris Julian, duduk tak jauh dari situ, sibuk dengan tabletnya, mencatat beberapa hal penting yang baru saja mereka diskusikan dalam rapat sebelumnya."Aku rasa kita sudah cukup mempersiapkan semuanya," ujar Julian sambil menutup dokumen dan meletakkannya di meja. "Besok pagi kita bisa langsung meninjau lokasi proyek."Sofia mengangguk pelan, tatapannya tertuju pada Julian, tapi pikirannya melayang pada pertemuan makan malam
Valeria berjalan pelan di sepanjang pantai, pasir yang lembut di bawah kakinya tak bisa mengusir keletihan yang terasa di tubuhnya. Sudah hampir satu jam lamanya Valeria hanya berjalan mengikuti Salvatore. Dia merasa kesal. Bukan hanya karena Salvatore, tetapi juga karena setiap langkah yang diambilnya membuatnya semakin lelah."Hah!"Valeria terduduk di atas pasir. Entah apa yang dimau oleh Salvatore. Sejak tadi pria itu bahkan tidak mengeluarkan suara apapun."Aku lelah, Salvatore. Kenapa kamu memaksaku untuk terus berjalan?" Valeria mengeluh sambil menatap Salvatore yang berjalan dengan tenang di depannya.Salvatore, dengan senyum tipis yang menawan, justru menghentikan langkahnya. Valeria berdiri dengan wajah frustasi. Dia masih menunduk menendang-nendang pasir.Tanpa mengatakan sepatah kata pun, Salvatore berbalik dan membungkuk sedikit, isyarat yang Valeria kenali dengan baik. Sebelum Valeria sempat menolak, Salvatore sudah menggendongnya dengan mudah, membuatnya terkejut dan h
Salvatore dengan setia menggenggam tangan Valeria. Mereka berjalan memasuki kawasan hotel.Hari sudah mulai gelap, Valeria meminta Salvatore untuk kembali. Meskipun begitu, Valeria juga terlanjur nyaman dengan bersama Salvatore. Hari ini dia melihat sisi lain dari Salvatore."Aku sudah bilang jangan bicarakan pekerjaan, jika bersamaku, kamu harus fokus denganku," kata Salvatore.Sejak tadi Valeria tak berhenti membicarakan proyek yang mereka kerjakan. Hal yang sangat aneh untuknya, padahal Valeria akan banyak diam jika bersama orang lain, apalagi jika tidak terlalu dekat. Bersama Salvatore hari ini, dia mulai berubah. Apakah Valeria benar-benar menerima Salvatore di dalam hatinya?"Aku hanya penasaran," balas Valeria.Salvatore menghela napas. "Nanti ada waktunya untuk kita membicarakan pekerjaan."Valeria mendengus sebal. Salvatore benar-benar tidak membocorkan apapun tentang bisnis. Siapa sangka, jika pria dingin itu memang lebih pendiam dari apa yang dilihat.Tangan kiri Salvatore
Malam ini, acara pertemuan mereka diadakan di lantai tujuah hotel yang mereka tempati. Semua orang yang terlibat di dalam proyek ini pergi bersama staff mereka masing-masing.Malam ini Valeria memakai baju formal. Setelah kejadian di lobi, dia langsung berendam di bak mandi untuk meredakan amarahnya. Jika bukan karena Salvatore mengajaknya pergi dari sana, mungkin dia akan membuat keributan dengan Julian.Valeria mengambil tempat duduknya di meja makan, berusaha mengabaikan ketegangan yang merayap di ruangan. Morgan dan Mona duduk di sebelah Valeria.Julian duduk tepat di depannya, matanya penuh dengan amarah yang tidak bisa dijelaskan. Sejak pertemuan itu dimulai, Valeria bisa merasakan tatapan tajam Julian, seolah-olah ia sedang menantikan momen yang tepat untuk menyerang.Berbeda dengan Julian, Marvelion juga memandangi Valeria sejak wanita itu masuk tapi tatapannya justru terlihat terpukau dengan kecantikan Valeria. Tidak bisa dipungkiri jika Marvelion memang tertarik dengan Valer
Lima Tahun Kemudian ....Di markas Il Leone d'Ombra, seorang gadis kecil duduk di samping seorang pria bertubuh kekar. Suasana ruangan itu penuh dengan aroma logam dan minyak senjata, namun gadis kecil itu tampak tidak terganggu sedikit pun.Antonio, pria yang tengah merapikan senjata, berkali-kali menarik napas panjang. Di sebelahnya, Elettra—gadis kecil berusia lima tahun dengan rambut ikal kecokelatan dan mata secerah musim semi—terus berbicara tanpa jeda."Uncle Antonio, kenapa peluru ini warnanya beda? Apa senjatanya juga beda? Kalau senjata ini bisa buat tembak monster nggak? Kenapa di sini gelap banget? Uncle nggak takut hantu?"Antonio menghela napas, berusaha tetap fokus membersihkan senjatanya. "Elettra, bukankah kau seharusnya menggambar atau bermain boneka? Anak seusiamu biasanya tidak tertarik pada senjata.""Aku bukan anak kecil biasa, Uncle. Aku Elettra Marino! Aku harus tahu semuanya supaya bisa melindungi Mommy dan Daddy. Kalau Uncle nggak mau jawab, aku tanya sama Da
Elena menangis tak henti-henti di pelukan Lorenzo. Tubuhnya bergetar, wajahnya penuh kekhawatiran."Tuhan, jangan ambil putriku ..., jangan ambil cucuku ...," isaknya berulang kali.Lorenzo mencoba menenangkan istrinya, meski dalam hatinya sendiri ada badai yang tak kalah hebat. "Tenanglah, sayang. Valeria perempuan yang kuat. Dia akan baik-baik saja." Meski suaranya terdengar tenang, genggaman tangannya pada bahu Elena menunjukkan betapa kerasnya dia menahan diri untuk tidak ikut larut dalam kepanikan.Sementara itu, Anna mondar-mandir di koridor rumah sakit. Setiap detik terasa seperti menit, setiap menit terasa seperti jam."Kenapa lama sekali? Kenapa belum ada kabar?" Anna bergumam, tatapannya kosong.Di tengah semua kegaduhan itu, Salvatore justru terdiam. Dia berdiri di sudut ruangan, tubuhnya kaku seperti patung. Matanya tertuju pada pintu ruang operasi, seolah menunggu keajaiban. Namun, dalam keheningannya, tubuhnya gemetar. Keringat dingin membasahi pelipisnya."Valeria ...,
Hari berganti hari, minggu berganti minggu. Kini perut Valeria sudah semakin membesar, hampir memasuki usia delapan bulan.Musim semi menghiasi kota dengan udara hangat dan bunga bermekaran. Valeria duduk di bangku kayu di tepi jalan, menikmati es krim stroberi yang mencair perlahan di tangannya.Wajahnya berseri-seri, matanya berbinar penuh kebahagiaan. Di sampingnya, Salvatore duduk santai, sesekali menyeka tetesan es krim yang hampir jatuh ke gaun Valeria."Kau tahu, Salvatore," ucap Valeria sambil menjilati sendok es krimnya. "Aku berharap anak kita nanti suka es krim sepertiku. Bagaimana menurutmu?"Salvatore tertawa kecil. "Kalau begitu, aku harus siap-siap mengisi freezer penuh es krim. Anak kita akan jadi pecinta es krim garis keras sepertimu."Valeria tertawa terbahak. Suara tawanya menggema lembut di tengah keramaian jalan. Beberapa orang yang lewat ikut tersenyum melihat pasangan itu, seolah kebahagiaan mereka menular.Tas belanja di kaki mereka penuh dengan perlengkapan ba
Matahari mulai tenggelam, menciptakan gradasi oranye dan ungu di langit senja. Salvatore duduk di kursi balkon kamar Valeria, memandangi langit dengan tatapan kosong.Angin sore berhembus lembut, namun tidak mampu mendinginkan pikirannya yang berkecamuk. Kata-kata Julian terus terngiang di kepalanya, mengalun seperti nada minor yang menghantui."Lepaskan Sofia .... Hentikan penyiksaannya ...."Salvatore memijit pelipisnya. Rasa pusing itu kembali datang, semakin tajam seiring bayangan-bayangan samar yang muncul. Wajah Sofia, jeruji penjara, dan suara erangan kesakitan yang entah berasal dari mana. Apa benar semua itu ulahnya?Dia mendesah panjang, rasa bersalah mulai merayapi hatinya. Bagaimana mungkin dia mencintai Valeria namun di saat yang sama menyakiti orang lain? Apakah ini sisi gelapnya yang tersembunyi?"Salvatore?"Suara lembut Valeria membuyarkan lamunannya. Salvatore menoleh, melihat Valeria berdiri di sampingnya dengan segelas jus segar di tangannya. Senyum perempuan itu t
Setelah menjalani pemeriksaan di rumah sakit, Salvatore dan Valeria keluar dengan senyum lega. Hasil pemeriksaan menunjukkan kondisi mereka baik-baik saja. Kaki Salvatore hanya memerlukan sedikit terapi, dan kehamilan Valeria dalam keadaan sehat. Beban yang sempat menggantung di benak mereka pun perlahan terangkat."Ayo, kita makan siang. Aku sudah lapar," ujar Valeria ceria, menggenggam tangan Salvatore dengan erat."Aku juga," Salvatore tersenyum hangat. "Ada restoran di sekitar sini yang katanya enak. Mau coba?""Tahu darimana?""Tadi aku sempat mendengar percakapan orang di rumah sakit. Mau coba makan di sana?"Valeria mengangguk antusias. Mereka berjalan bergandengan tangan menuju restoran kecil berdesain klasik yang tak jauh dari rumah sakit. Suasananya tenang dengan dekorasi kayu dan jendela besar yang menghadap ke taman kota.Mereka memilih meja di dekat jendela, menikmati pemandangan hijau di luar sembari menunggu pesanan datang. Percakapan ringan mengalir, sesekali diiringi
Sinar matahari pagi menerobos jendela ruang makan, menciptakan pola-pola cahaya yang menari di atas meja kayu panjang yang telah dipenuhi oleh berbagai hidangan sarapan. Aroma roti panggang yang baru matang, telur dadar lembut, dan kopi hitam pekat menguar di udara, memberikan suasana hangat di rumah keluarga Valeria.Di ujung meja, Salvatore duduk dengan rapi dalam setelan kasual, mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku dan celana panjang gelap. Di sebelahnya, Valeria tampak anggun dalam gaun sederhana berwarna pastel yang lembut membungkus tubuhnya yang kini tengah mengandung. Tangannya sesekali mengusap perutnya yang mulai membuncit, seolah secara naluriah melindungi kehidupan kecil di dalamnya.Elena meletakkan cangkir kopi di depannya, kemudian duduk di samping Lorenzo. Giulia dan Roberto juga telah mengambil tempat, memulai sarapan dengan senda gurau kecil."Kalian tampak rapi pagi ini." Elena membuka percakapan dengan senyum keibuan. "Ada acara khusus?"Valeria dan Sa
Kamar tidur itu terasa hangat dengan cahaya lembut yang memancar dari lampu meja. Udara malam yang sejuk menyusup melalui jendela yang sedikit terbuka, menggoyangkan tirai tipis yang mengalir seperti ombak tenang. Di depan cermin besar yang terpasang di dinding, Valeria berdiri dengan ekspresi frustrasi.Tangannya sibuk menarik-narik gaun berwarna pastel yang kini tampak terlalu ketat di bagian perutnya yang membuncit. Pakaian lain berserakan di sekitar kakinya, menandakan betapa keras usahanya untuk menemukan sesuatu yang nyaman dikenakan."Kenapa sih nggak ada satu pun yang muat? Apa aku harus pakai bajunya Aunty Giulia aja mulai sekarang?" Valeria mengomel sendiri, wajahnya berkerut lucu.Pintu kamar berderit pelan, dan Salvatore muncul di ambang pintu. Langkahnya tenang, namun sorot matanya dipenuhi rasa cinta yang mendalam.Setelah percakapannya dengan Lorenzo di tepi kolam, perasaannya seolah memuncak—seakan ada benang merah yang mengikat hatinya lebih erat kepada Valeria. Rasa
Malam merambat pelan, membawa kesunyian yang menenangkan di sekitar rumah keluarga Morreti. Angin sepoi-sepoi membelai permukaan kolam renang, menciptakan riak-riak kecil yang memantulkan cahaya bulan. Di tepi kolam itu, Salvatore duduk di bangku kayu, membiarkan pikirannya melayang.Bersama semua kegugupan dan ketakutannya, akhirnya dia merasa lega. Keluarga Valeria menerima dirinya apa adanya, tanpa perlu embel-embel masa lalu yang tidak bisa diingatnya. Namun, di tengah kelegaan itu, terselip perasaan kosong—seperti ada bagian dirinya yang masih hilang di dalam kabut ingatan yang gelap."Kau sendirian di sini?"Suara berat namun lembut itu membuat Salvatore menoleh. Lorenzo berdiri di belakangnya, membawa dua gelas wine di tangannya. Wajahnya tampak tenang, namun di balik mata yang bijak itu, ada rasa lelah yang terpendam."Ya, aku hanya ..., mencoba menenangkan diri dan mencari udara segar." Salvatore tersenyum tipis.Lorenzo menyerahkan salah satu gelas wine kepada Salvatore dan
Sebuah mobil hitam mengawal perjalanan Salvatore menuju ke kediaman Morreti dan rombongan lainnya kembali ke markas. Morgan yang duduk di belakang kemudi sesekali melirik Salvatore lewat kaca spion, melihat pria itu menggigit bibir bawahnya, tanda jelas kegugupan."Hei, tenang saja." Morgan membuka percakapan, mencoba mencairkan suasana. "Keluarga Valeria tidak menggigit, kok."Salvatore menghela napas panjang. "Itu bukan masalahnya. Aku tidak ingat apa-apa. Bagaimana kalau aku salah bicara? Bagaimana kalau mereka tidak menyukaiku?"Valeria, yang duduk di samping Salvatore, menggenggam tangannya erat. "Kau tidak perlu khawatir. Mereka akan mencintaimu, Salvatore. Lagipula, aku di sini bersamamu."Salvatore menoleh, matanya bertemu dengan tatapan penuh keyakinan Valeria. Perlahan, kegugupannya sedikit mereda."Kalau begitu, jangan tinggalkan aku, ya?" bisik Salvatore, suaranya penuh harap."Tidak akan." Valeria tersenyum lembut.Morgan sedikit merinding dan tertawa geli diam-diam. Salv