Julian duduk santai di sebuah restoran mewah, mengenakan setelan kasual namun tetap terlihat mahal. Di hadapannya, Margareta sedang memainkan gelas anggur merah, senyum tipis tersungging di wajahnya.Hubungan mereka memang tak lagi sama seperti dulu, tapi keduanya masih saling memanfaatkan. Margareta membutuhkan dukungan finansial Julian, sementara Julian membutuhkan penghibur di tengah kekacauan hidupnya."Jadi, adik kecilku Sofia akhirnya kena batunya." Julian menyeringai kecil sambil menyesap minumannya. "Dia terlalu sombong. Aku tahu ini akan terjadi."Margareta menatap Julian dengan penuh minat. "Tapi bukankah ini buruk untuk keluargamu? RC Group semakin hancur, Julian. Jika Sofia jatuh, bagaimana dengan nama keluargamu?"Julian mendengus sambil mengangkat bahu. "Aku tidak peduli dengan nama keluarga. Aku sudah keluar dari perusahaan itu dan mereka juga sudah membuang ku. Lagi pula, Sofia pantas mendapatkannya. Dia selalu merasa lebih baik dariku. Sekarang, dia tahu rasanya berad
Julian mendatangi Sofia di apartemennya yang mewah namun terasa hampa sejak berita skandal itu mencuat. Sofia tampak kusut, rambutnya diikat asal, dan wajahnya penuh kemarahan yang tak bisa disembunyikan. Julian masuk tanpa diundang, menyeringai puas melihat kondisi adiknya."Wah, Sofia Ricci yang anggun dan sempurna. Sepertinya citra itu sudah hancur berkeping-keping," Julian berkata sambil duduk santai di sofa.Sofia menatapnya tajam. "Apa yang kau mau, Julian? Kalau hanya datang untuk mengejekku, lebih baik kau keluar. Jangan sembarangan masuk ke dalam rumahku."Julian tertawa kecil, lalu mengangkat tangannya seolah meminta maaf. "Pintunya tidak ditutup tadi, jadi aku masuk saja sekalian melihat keadaanmu," ucapnya. "Tenanglah, adikku tersayang. Aku hanya ingin membantu. Aku tahu kau sedang dalam masalah besar.""Membantu?" Sofia mendengus. "Sejak kapan kau peduli padaku? Kau hanya senang melihat aku terpuruk, kan?"Julian mengangkat bahu. "Tent
Antonio tiba di markas Salvatore dengan langkah tegap. Tubuhnya masih terasa lelah setelah perjalanan panjang, tapi dia tahu informasi yang dibawanya terlalu penting untuk ditunda. Begitu masuk ke ruang utama, dia melihat Salvatore duduk santai sambil berbincang dengan Valeria. Pemandangan itu membuat alis Antonio mengerut tajam."Tuan, kita perlu bicara," ujar Antonio dengan nada serius, mengabaikan keberadaan Valeria.Salvatore menoleh, mengangkat alis. "Kau kembali lebih awal, sudah dapat apa yang kau cari?"Salvatore memberikan kode ke Antonio untuk menyapa Valeria. Bagaimanapun juga, Valeria akan menjadi bagiannya, Antonio harus tahu untuk menjaga sikapnya.Antonio hanya mengangguk singkat kepada Valeria, ekspresinya tetap dingin. Valeria, yang menyadari ketegangan pria itu, hanya memberikan senyuman kecil sebelum berdiri."Sepertinya ini pembicaraan penting. Aku akan menunggu di luar," ucap Valeria sambil melangkah pergi.Setelah Valer
"Dia adikmu?" tanya Valeria setelah menghampiri Salvatore yang sudah sendirian. Valeria duduk di sampingnya.Salvatore menarik pinggangnya untuk mendekat. "Dia Antonio, bisa dibilang ..., mungkin tepatnya dia adalah teman daripada bawahan.""Kalian terlihat seperti bersaudara, dari segi wajah yang sedikit mirip, sikap pun begitu."Salvatore terkekeh. "Itu mungkin karena kita sudah terlalu lama bersama. Sejak awal, kita berdua berjalan bersama membangun semua ini. Banyak yang bilang begitu, kita memang sudah seperti saudara.""Dia adalah orang penting untukmu," ucap Valeria.Salvatore menoleh menatap Valeria. "Ya, sangat penting begitu juga dengamu, Dolcezza."Valeria memeluk Salvatore dan menaruh kepalanya di dada Salvatore. "Lain kali, ceritakan semuanya kepadaku, aku ingin tau semua tentangmu."Salvatore tersemyum lalu mengecup kepala Valeria. "Baiklah, aku pastikan tidak ada satupun yang terlewatkan."Hening setelah beberapa
Giovani Ricci duduk di ruang tamu luas milik Salvatore, wajahnya menunjukkan kelelahan dan rasa putus asa yang mendalam. Pria itu, yang dulu memandang rendah siapa pun di luar lingkaran keluarganya, kini harus menelan harga dirinya dan meminta bantuan.RC Group semakin menurun dan Giovani sudah kehabisan akal untuk membuatnya tetap berdiri. Tidak ada lagi yang bisa dia lakukan.Salvatore, dengan sikap tenang dan dingin, duduk di hadapannya sambil menyesap anggur merah dari gelas kristalnya. "Giovani, aku paham situasimu. Tapi aku tidak yakin ada yang bisa kulakukan untuk menyelamatkan RC Group."Giovani menggeleng lemah. "Salvatore, kau tahu aku tidak akan datang ke sini jika aku tidak benar-benar terdesak. Aku hanya butuh sedikit suntikan dana, agar kami bisa memulihkan sebagian bisnis dan membangun kembali reputasi kami. Kau tahu bahwa kita pernah bekerja sama dengan baik di masa lalu."Salvatore menyandarkan tubuhnya di kursi, menatap Giovani dengan ta
Malam itu, ballroom megah dipenuhi oleh deretan pengusaha dan kolega terkenal di Milan. Para tamu berbincang sambil menikmati anggur berkualitas dan hidangan mewah yang disajikan. Valeria hadir bersama keluarganya, mengenakan gaun hitam elegan yang membuat penampilannya terlihat luar biasa. Dia berjalan anggun di samping Lorenzo, Elena, Giulia, dan Roberto Morreti.Keberadaan Valeria menjadi sorotan malam itu. Para tamu terpesona oleh kecerdasannya yang membawa Morreti Club mencapai puncak kejayaan dalam waktu singkat. Beberapa pebisnis terkemuka bahkan tidak ragu memuji langsung."Nona Valeria, Anda sungguh luar biasa," salah satu tamu menyapa dengan ramah. "Morreti Club benar-benar beruntung memiliki Anda sebagai pemimpin.""Terima kasih," jawab Valeria sopan, meskipun dalam hati dia sedikit lelah dengan perhatian yang terus-menerus tertuju padanya."Ya, kita sendiri dangat bangga memilikinya," ucap Roberto lalu menepuk punggung Valeria."Keponakan kita memang tidak ada tandingannya
Valeria menatap layar ponselnya dengan ekspresi sedikit terkejut. Ia membuka tautan yang dikirim Mona, dan benar saja, ada artikel dengan judul mencolok: "CEO Cantik Morreti Club Bermesraan dengan Seorang Pebisnis di Depan Restoran Mewah!"Gambar dirinya bersama Salvatore terpampang jelas. Valeria merasa bingung, terutama saat dia menyadari bisik-bisik di sekitarnya semakin nyaring. Para tamu di pesta mulai saling berbisik sambil melirik ke arahnya. Beberapa bahkan tidak segan-segan menatapnya dengan ekspresi penasaran atau menghakimi.Apa yang membuat ini telihat serius? Dia dan Salvatore memang berpacaran meskipun banyak yang tidak tahu akan hal itu. Ternyata yang membuat topik itu menghangat adalah banyaknya komentar jahat yang mengatakan hal-hal buruk tentang Valeria. Sepertinya memang dirancang untuk menjatuhkan citra Valeria."Pekerjaan siapa lagi? Sofia? Julian? Atau Amara?" gumam Valeria menggeser layar ponselnya dengan malas.Hal itu tidak akan membuat dia jatuh. Mereka salah
Di tempat lain, Sofia Ricci sedang duduk di ruang kerjanya dengan ekspresi gelisah. Ponselnya di atas meja bergetar tanpa henti, menampilkan notifikasi berita yang terus bermunculan. Di sampingnya, Julian tampak gelisah sambil membaca artikel yang baru saja diunggah."Apa-apaan ini, Sofia?!" Julian melempar ponselnya ke sofa dengan wajah kesal. "Kita bayar mahal untuk artikel itu agar Valeria terlihat buruk, tapi lihat apa yang terjadi sekarang!"Sofia yang sedang meneguk segelas anggur menatap Julian dengan tajam. "Aku tidak tahu Salvatore akan bertindak sejauh ini. Dia melamarnya di depan semua orang! Itu membuat artikel kita jadi tak berarti sama sekali."Julian mendengus, lalu berjalan mondar-mandir di ruangan itu. "Kau tahu apa yang paling menjengkelkan? Selama ini aku berpikir dia hanya sedang bersenang-senang dengan Valeria. Ternyata mereka sudah lama bersama. Bahkan, dia melamarnya! Apa yang dilihat Salvatore dari dia? Valeria itu dulu hanya seorang janda gemuk yang ..., yang
Langit malam di Jepang memancarkan kilauan lampu-lampu jalan dan lentera berwarna-warni. Pasar tradisional ramai dengan suara tawa, obrolan hangat, dan aroma makanan yang menggoda. Valeria berjalan di samping Salvatore, matanya bersinar penuh antusias."Lihat! Ada takoyaki!" serunya, menarik tangan Salvatore menuju kios kecil yang mengepul aroma gurih.Salvatore yang awalnya tampak kaku, mengikuti dengan langkah pelan. Matanya terus mengawasi sekitar, naluri protektifnya tak pernah padam. Namun, saat Valeria menggenggam tangannya lebih erat, sebagian dari kecemasannya perlahan mencair."Dua porsi, ya," kata Valeria pada penjual, kemudian beralih pada Salvatore. "Kau pernah coba ini sebelumnya?"Salvatore menggeleng, tatapannya waspada pada bulatan kecil gurih di tusuk sate itu. "Apa ini aman?"Valeria tertawa kecil, menepuk lengannya. "Tentu saja, ini hanya gurita dan adonan tepung. Kau akan suka."Saat Valeria menyuapkan takoyaki padanya, Salvatore ragu sejenak sebelum membuka mulut.
Matahari sore di vila Jepang memberikan cahaya keemasan yang lembut. Valeria duduk di bangku kayu di halaman, ponsel menempel di telinga. Telinganya mendengar suara Morgan yang terus mengomel dari seberang sana, membuatnya hanya bisa tersenyum dan sesekali menghela napas."Aku baik-baik saja, Morgan. Benar, tidak ada yang perlu dikhawatirkan," ucap Valeria dengan nada tenang.Namun, suara Morgan tetap saja melengking. "Kau selalu bilang begitu! Tapi kau di mana sekarang? Kenapa aku harus mendapat kabar dari orang lain dan bukan dari mulutmu sendiri?!"Valeria memutar matanya, meski tahu Morgan tak bisa melihatnya. "Aku bersama Salvatore. Kami akan kembali ke Milan segera setelah Antonio menyelesaikan urusannya."Dari jauh, Salvatore melangkah mendekat dengan segelas susu hangat di tangannya. Matanya menatap Valeria yang berbicara dengan lembut di telepon, tetapi alisnya mulai bertaut saat mendengar suara pria dari ponsel Valeria."Morgan, tolong, aku benar-benar baik-baik saja. Jangan
Vila Jepang tempat mereka menginap begitu tenang. Angin berhembus lembut melalui jendela geser, membawa aroma segar dari taman bambu di luar. Suara gemericik air dari kolam kecil menambah suasana damai.Di ruang makan yang menghadap taman, Valeria duduk di depan meja kayu rendah dengan tatami di bawahnya. Hidangan Jepang yang disajikan di atas nampan kayu terlihat menggugah selera—miso soup, nasi, ikan panggang, dan beberapa lauk sehat lainnya.Salvatore duduk di sampingnya, matanya tak pernah jauh dari Valeria. Sejak kejadian di kamar mandi pagi ini, dia seperti menjadi pribadi baru. Setiap gerakannya penuh perhatian, bahkan terlihat jelas dari cara dia meletakkan sumpitnya perlahan agar tidak menimbulkan suara keras."Coba ini." Salvatore menyuapkan sepotong ikan panggang ke arah Valeria. "Ikan ini lembut dan tidak terlalu berbumbu. Baik untukmu dan bayi kita."Valeria tertawa kecil. "Aku masih bisa makan sendiri, Salvatore."Salvatore menghela napas pendek, tapi tetap menyodorkan p
Pagi itu, sinar matahari masuk lembut melalui celah-celah jendela kamar. Valeria terbangun perlahan, matanya masih sayu. Saat memalingkan kepala, dia melihat Salvatore sudah berdiri di sudut kamar, sibuk mengaduk air hangat di ember kecil. Wajahnya serius, namun ada kerutan kecil di dahinya yang menunjukkan kecanggungan."Kau sudah bangun?" Salvatore bertanya, suaranya pelan seolah takut mengganggu.Valeria menguap kecil, tersenyum manis. "Iya. Kau sudah bangun sejak kapan?""Tidak lama," jawab Salvatore sambil meletakkan handuk bersih di meja kecil dekat kamar mandi. "Aku hanya ..., ingin memastikan air mandimu cukup hangat. Dokter bilang kau tidak boleh terlalu lama kedinginan.""Terima kasih." Valeria bangkit perlahan, menahan rasa sakit ringan di perutnya.Salvatore langsung bergerak maju, tangannya terulur seolah ingin membantu tapi tertahan di udara. "Perlu bantuan?" tanyanya ragu-ragu."Aku bisa sendiri," jawab Valeria sambil tersenyum, tapi kemudian menambahkan, "tapi nanti ba
Matahari sore di Jepang bersinar lembut sebelum menghilang sepenuhnya, memberikan suasana kontras dengan angin musim semi yang sejuk. Salvatore duduk di kursi penumpang, matanya terus tertuju pada Valeria yang duduk di sebelahnya. Wajah wanita itu terlihat tenang, matanya berbinar menatap pepohonan sakura yang mulai bermekaran di sepanjang jalan.Valeria tersenyum kecil, menyadari tatapan Salvatore. "Kenapa menatapku seperti itu?" tanyanya lembut, tanpa mengalihkan pandangannya dari jendela.Salvatore tersentak, wajahnya memerah. "A-ah, tidak. Aku hanya ..., memastikan kau baik-baik saja.""Aku baik-baik saja." Valeria terkekeh kecil. "Kau tidak perlu khawatir berlebihan, Salvatore."Salvatore mengalihkan pandangannya ke depan, namun sesekali tetap mencuri-curi pandang ke arah Valeria. Ada rasa hangat yang menjalari dadanya, namun juga kecanggungan yang tak bisa ia sembunyikan.Setelah beberapa saat, mobil yang mereka tumpangi berhenti di depan sebuah vila besar bergaya tradisional Je
Matahari siang di Milan menyinari jendela kamar rumah sakit, menciptakan bayangan lembut di lantai keramik putih. Sofia duduk di tepi ranjangnya, jemarinya gemetar saat merapikan pakaian ke dalam koper kecil. Tubuhnya sudah membaik, dan sesuai keputusan pengadilan, hari ini dia harus kembali ke penjara.Isabella, ibunya, dengan sabar membantu melipat baju dan memasukkannya ke dalam koper. Namun, keheningan di antara mereka terasa berat.Tak ada lagi percakapan ringan atau tawa seperti dulu. Hanya suara gesekan kain dan resleting koper yang mengisi ruangan.Pintu kamar terbuka perlahan. Julian, muncul di ambang pintu dengan ekspresi datar. "Mom, dokter memanggilmu," katanya singkat.Isabella menoleh, sejenak ragu. "Julian, tolong bantu adikmu berkemas, ya? Mommy akan segera kembali."Tanpa menunggu jawaban, Isabella melangkah keluar, meninggalkan Julian dan Sofia berdua.Julian mengambil alih koper, tangannya dengan terampil memasukkan barang-barang Sofia tanpa suara. Gerakannya efisie
Musim semi di Jepang selalu memancarkan pesona tersendiri. Bunga sakura yang bermekaran, angin sepoi-sepoi yang membawa harum bunga, dan sinar matahari yang hangat menyelimuti halaman rumah sakit.Valeria duduk di kursi roda, menikmati pemandangan itu dengan senyum tipis di wajahnya. Firgo mendorong kursi rodanya perlahan, memastikan Valeria merasa nyaman."Indah, ya?" gumam Valeria, matanya tak lepas dari kelopak bunga sakura yang beterbangan tertiup angin."Memang," jawab Firgo. "Seindah keberanianmu malam itu. Kau tahu, aku masih tidak habis pikir kenapa kau begitu nekat."Valeria menoleh, keningnya sedikit berkerut. "Kau marah padaku?""Bukan marah." Firgo menghela napas. "Lebih ke jengkel. Kau tidak memikirkan keselamatanmu sendiri dan itu membuat panik seluruh pasukan saat melihatmu berlari ke arah Tuan Salvatore dan menodong pria yang menyerangnya dengan pistol. Tapi ..., aku salut. Kau benar-benar berbeda dari kebanyakan wanita."Valeria tersenyum. "Aku hanya melakukan apa yan
Antonio berdiri di samping brankar tidurnya, tubuhnya yang masih dipenuhi perban bergerak perlahan saat dia mengganti pakaian rumah sakit dengan setelan kasual. Luka-luka di tubuhnya masih terlihat jelas, namun dia sepertinya tidak terganggu dengan itu. Pintu kamar rawat terbuka perlahan, dan Salvatore masuk dengan langkah hati-hati."Kau sudah mau pergi?" tanya Salvatore dengan nada khawatir.Antonio tersenyum tipis. "Aku sudah terlalu lama di sini. Ada banyak hal yang harus kuurus."Salvatore berjalan mendekat, meski kakinya masih gemetar, ia mencoba menunjukkan bahwa ia baik-baik saja. "Biar aku yang bantu. Apa yang bisa kulakukan?""Tidak perlu." Antonio menggeleng pelan, memasukkan kemejanya ke dalam celana. "Kau percayalah padaku. Aku akan mengurus semuanya. Saat ini, yang perlu kau lakukan adalah fokus pada kesembuhanmu."Salvatore menghela napas. "Tapi—""Jangan khawatir." Antonio menepuk bahu Salvatore, "kita sudah sejauh ini. Kau hanya perlu pulih dulu. Biar aku yang jaga se
Sinar matahari sore menembus jendela rumah sakit, memberikan kilau hangat di ruangan putih yang biasanya terasa dingin. Salvatore mendorong pintu perlahan, mencoba tidak membuat suara yang mengganggu. Matanya langsung tertuju pada Valeria, yang masih terbaring di ranjangnya dengan wajah pucat namun tersenyum manis begitu melihatnya."Hei," sapa Salvatore dengan lembut.Valeria langsung menoleh ke arahnya dan tersenyum ceria. Senyuman itu—senyuman yang sejak dulu selalu membuatnya merasa tenang, Salvatore mengingat rasa itu. Namun senyuman itu kini justru membuat dadanya berdegup lebih kencang.Valeria membalas sapaan itu dengan suara pelan. "Kau kembali.""Ya, bagaimana keadaanmu? Merasa lebih baik?"Valeria mengangguk pelan. "Hm, lebih baik daripada kemarin."Salvatore mengangkat kantong belanja di tangannya. "Aku membawakanmu makanan dan buah-buahan. Juga susu vanilla, seperti yang kau inginkan."Tatapan Valeria berbinar. "Susu vanilla? Kau ingat?"Salvatore tersipu, meletakkan bara