Antonio tiba di markas Salvatore dengan langkah tegap. Tubuhnya masih terasa lelah setelah perjalanan panjang, tapi dia tahu informasi yang dibawanya terlalu penting untuk ditunda. Begitu masuk ke ruang utama, dia melihat Salvatore duduk santai sambil berbincang dengan Valeria. Pemandangan itu membuat alis Antonio mengerut tajam.
"Tuan, kita perlu bicara," ujar Antonio dengan nada serius, mengabaikan keberadaan Valeria.
Salvatore menoleh, mengangkat alis. "Kau kembali lebih awal, sudah dapat apa yang kau cari?"
Salvatore memberikan kode ke Antonio untuk menyapa Valeria. Bagaimanapun juga, Valeria akan menjadi bagiannya, Antonio harus tahu untuk menjaga sikapnya.
Antonio hanya mengangguk singkat kepada Valeria, ekspresinya tetap dingin. Valeria, yang menyadari ketegangan pria itu, hanya memberikan senyuman kecil sebelum berdiri.
"Sepertinya ini pembicaraan penting. Aku akan menunggu di luar," ucap Valeria sambil melangkah pergi.
Setelah Valer
"Dia adikmu?" tanya Valeria setelah menghampiri Salvatore yang sudah sendirian. Valeria duduk di sampingnya.Salvatore menarik pinggangnya untuk mendekat. "Dia Antonio, bisa dibilang ..., mungkin tepatnya dia adalah teman daripada bawahan.""Kalian terlihat seperti bersaudara, dari segi wajah yang sedikit mirip, sikap pun begitu."Salvatore terkekeh. "Itu mungkin karena kita sudah terlalu lama bersama. Sejak awal, kita berdua berjalan bersama membangun semua ini. Banyak yang bilang begitu, kita memang sudah seperti saudara.""Dia adalah orang penting untukmu," ucap Valeria.Salvatore menoleh menatap Valeria. "Ya, sangat penting begitu juga dengamu, Dolcezza."Valeria memeluk Salvatore dan menaruh kepalanya di dada Salvatore. "Lain kali, ceritakan semuanya kepadaku, aku ingin tau semua tentangmu."Salvatore tersemyum lalu mengecup kepala Valeria. "Baiklah, aku pastikan tidak ada satupun yang terlewatkan."Hening setelah beberapa
Giovani Ricci duduk di ruang tamu luas milik Salvatore, wajahnya menunjukkan kelelahan dan rasa putus asa yang mendalam. Pria itu, yang dulu memandang rendah siapa pun di luar lingkaran keluarganya, kini harus menelan harga dirinya dan meminta bantuan.RC Group semakin menurun dan Giovani sudah kehabisan akal untuk membuatnya tetap berdiri. Tidak ada lagi yang bisa dia lakukan.Salvatore, dengan sikap tenang dan dingin, duduk di hadapannya sambil menyesap anggur merah dari gelas kristalnya. "Giovani, aku paham situasimu. Tapi aku tidak yakin ada yang bisa kulakukan untuk menyelamatkan RC Group."Giovani menggeleng lemah. "Salvatore, kau tahu aku tidak akan datang ke sini jika aku tidak benar-benar terdesak. Aku hanya butuh sedikit suntikan dana, agar kami bisa memulihkan sebagian bisnis dan membangun kembali reputasi kami. Kau tahu bahwa kita pernah bekerja sama dengan baik di masa lalu."Salvatore menyandarkan tubuhnya di kursi, menatap Giovani dengan ta
Malam itu, ballroom megah dipenuhi oleh deretan pengusaha dan kolega terkenal di Milan. Para tamu berbincang sambil menikmati anggur berkualitas dan hidangan mewah yang disajikan. Valeria hadir bersama keluarganya, mengenakan gaun hitam elegan yang membuat penampilannya terlihat luar biasa. Dia berjalan anggun di samping Lorenzo, Elena, Giulia, dan Roberto Morreti.Keberadaan Valeria menjadi sorotan malam itu. Para tamu terpesona oleh kecerdasannya yang membawa Morreti Club mencapai puncak kejayaan dalam waktu singkat. Beberapa pebisnis terkemuka bahkan tidak ragu memuji langsung."Nona Valeria, Anda sungguh luar biasa," salah satu tamu menyapa dengan ramah. "Morreti Club benar-benar beruntung memiliki Anda sebagai pemimpin.""Terima kasih," jawab Valeria sopan, meskipun dalam hati dia sedikit lelah dengan perhatian yang terus-menerus tertuju padanya."Ya, kita sendiri dangat bangga memilikinya," ucap Roberto lalu menepuk punggung Valeria."Keponakan kita memang tidak ada tandingannya
Valeria menatap layar ponselnya dengan ekspresi sedikit terkejut. Ia membuka tautan yang dikirim Mona, dan benar saja, ada artikel dengan judul mencolok: "CEO Cantik Morreti Club Bermesraan dengan Seorang Pebisnis di Depan Restoran Mewah!"Gambar dirinya bersama Salvatore terpampang jelas. Valeria merasa bingung, terutama saat dia menyadari bisik-bisik di sekitarnya semakin nyaring. Para tamu di pesta mulai saling berbisik sambil melirik ke arahnya. Beberapa bahkan tidak segan-segan menatapnya dengan ekspresi penasaran atau menghakimi.Apa yang membuat ini telihat serius? Dia dan Salvatore memang berpacaran meskipun banyak yang tidak tahu akan hal itu. Ternyata yang membuat topik itu menghangat adalah banyaknya komentar jahat yang mengatakan hal-hal buruk tentang Valeria. Sepertinya memang dirancang untuk menjatuhkan citra Valeria."Pekerjaan siapa lagi? Sofia? Julian? Atau Amara?" gumam Valeria menggeser layar ponselnya dengan malas.Hal itu tidak akan membuat dia jatuh. Mereka salah
Di tempat lain, Sofia Ricci sedang duduk di ruang kerjanya dengan ekspresi gelisah. Ponselnya di atas meja bergetar tanpa henti, menampilkan notifikasi berita yang terus bermunculan. Di sampingnya, Julian tampak gelisah sambil membaca artikel yang baru saja diunggah."Apa-apaan ini, Sofia?!" Julian melempar ponselnya ke sofa dengan wajah kesal. "Kita bayar mahal untuk artikel itu agar Valeria terlihat buruk, tapi lihat apa yang terjadi sekarang!"Sofia yang sedang meneguk segelas anggur menatap Julian dengan tajam. "Aku tidak tahu Salvatore akan bertindak sejauh ini. Dia melamarnya di depan semua orang! Itu membuat artikel kita jadi tak berarti sama sekali."Julian mendengus, lalu berjalan mondar-mandir di ruangan itu. "Kau tahu apa yang paling menjengkelkan? Selama ini aku berpikir dia hanya sedang bersenang-senang dengan Valeria. Ternyata mereka sudah lama bersama. Bahkan, dia melamarnya! Apa yang dilihat Salvatore dari dia? Valeria itu dulu hanya seorang janda gemuk yang ..., yang
Setelah melamar Valeria di tengah pesta megah, Salvatore mendekati Lorenzo dan Elena untuk meminta izin membawa Valeria pergi. Dengan senyum lembut, Lorenzo menepuk pundak Salvatore. "Bawa dia pergi, Salvatore. Tapi jangan lupa, Valeria adalah permata keluarga kami. Jaga dia baik-baik."Salvatore tersenyum percaya diri dan menjawab, "Tentu saja, Tuan Morreti. Saya tidak akan pernah mengecewakan kalian."Valeria yang masih terkejut dan terharu dengan lamaran tadi hanya bisa mengangguk ketika Salvatore mengajaknya pergi. "Kemana kita?" tanyanya penasaran.Salvatore hanya tersenyum misterius. "Kau akan tahu nanti."Mobil hitam milik Salvatore sudah terparkir di halaman hotel. Mereka segera masuk ke mobil dan sang sopir langsung melajukan mobil ke jalan raya.Beberapa jam kemudian, Salvatore dan Valeria tiba di dermaga kecil yang menghadap ke Danau Como. Sebuah kapal mewah telah disiapkan di sana, dengan penerangan lembut dan suasana yang romantis. Valeria terkejut, matanya membelalak mel
"Ungh! Dolcezza ...."Salvatore mengerang keras. Valeria sudah melucuti semua pakaian Salvatore dan kini mengikat kedua tangan Salvatore ke atas menggunakan dasi. Hanya sebuah dasi, Salvatore bisa saja dengan mudah melepaskannya tapi kali ini dia ingin mengikuti permainan Valeria."Kau membuatku tidak bisa menahannya, Dolcezza," erang Salvatore tertahan."Sstt!"Tubuh Valeria menunduk, menciumi seluruh kulit Salvatore. Dari lehernya, dada bidang Salvatore sampai ke perutnya."Ngh! Kau harus menghentikannya sekarang," ucap Salvatore.Valeria tak mengidahkan ucapan pria itu. Dia bahkan meremas perut Salvatore dan menciumi dadanya, membuat Salvatore meremang.Entah apa yang dipikirkan Valeria malam ini, dia menjadi sangat liar bersama Salvatore. Jantung Salvatore berpacu lebih cepat saat bibir basah Valeria menyentuh ujungnya di bawah sana yang sudah berdiri tegak."Oh shit! Nghh! Shh! Sebaiknya kau tidak melakukan itu," ancam Salvatore.Keberanian Valeria semakin bertambah dengan meluma
Keesokan paginya, sinar matahari lembut yang masuk melalui jendela kapal membangunkan Salvatore. Dia membuka matanya dan mendapati Valeria masih terlelap di pelukannya, wajahnya terlihat damai, dengan rambut yang sedikit berantakan namun tetap mempesona. Salvatore menatapnya penuh kasih, mengusap pipinya perlahan, takut membangunkan wanita yang kini menjadi bagian penting dalam hidupnya.Namun, saat Salvatore mencoba bergerak, Valeria mengerang pelan, membuka matanya perlahan, dan menatapnya dengan mata yang masih mengantuk. Valeria mengeratkan pelukannya di bawah selimut. tubuh telanjang mereka berdua terasa hangat saat saling bersentuhan."Sudah bangun, hm?" Salvatore mengusap-usap kepala Valeria dengan lembut.Valeria mengangguk. "Aku ingin cuti hari ini, aku tidak mau pulang dulu," bisik Valeria hampir tak terdengar.Salvatore menyeringai. "Kenapa? Kau merasa tidak bisa berjalan, huh?" Suaranya terdengar sangat puas."Salvatore …, kau terlalu berlebihan semalam," gumamnya dengan s
Lima Tahun Kemudian ....Di markas Il Leone d'Ombra, seorang gadis kecil duduk di samping seorang pria bertubuh kekar. Suasana ruangan itu penuh dengan aroma logam dan minyak senjata, namun gadis kecil itu tampak tidak terganggu sedikit pun.Antonio, pria yang tengah merapikan senjata, berkali-kali menarik napas panjang. Di sebelahnya, Elettra—gadis kecil berusia lima tahun dengan rambut ikal kecokelatan dan mata secerah musim semi—terus berbicara tanpa jeda."Uncle Antonio, kenapa peluru ini warnanya beda? Apa senjatanya juga beda? Kalau senjata ini bisa buat tembak monster nggak? Kenapa di sini gelap banget? Uncle nggak takut hantu?"Antonio menghela napas, berusaha tetap fokus membersihkan senjatanya. "Elettra, bukankah kau seharusnya menggambar atau bermain boneka? Anak seusiamu biasanya tidak tertarik pada senjata.""Aku bukan anak kecil biasa, Uncle. Aku Elettra Marino! Aku harus tahu semuanya supaya bisa melindungi Mommy dan Daddy. Kalau Uncle nggak mau jawab, aku tanya sama Da
Elena menangis tak henti-henti di pelukan Lorenzo. Tubuhnya bergetar, wajahnya penuh kekhawatiran."Tuhan, jangan ambil putriku ..., jangan ambil cucuku ...," isaknya berulang kali.Lorenzo mencoba menenangkan istrinya, meski dalam hatinya sendiri ada badai yang tak kalah hebat. "Tenanglah, sayang. Valeria perempuan yang kuat. Dia akan baik-baik saja." Meski suaranya terdengar tenang, genggaman tangannya pada bahu Elena menunjukkan betapa kerasnya dia menahan diri untuk tidak ikut larut dalam kepanikan.Sementara itu, Anna mondar-mandir di koridor rumah sakit. Setiap detik terasa seperti menit, setiap menit terasa seperti jam."Kenapa lama sekali? Kenapa belum ada kabar?" Anna bergumam, tatapannya kosong.Di tengah semua kegaduhan itu, Salvatore justru terdiam. Dia berdiri di sudut ruangan, tubuhnya kaku seperti patung. Matanya tertuju pada pintu ruang operasi, seolah menunggu keajaiban. Namun, dalam keheningannya, tubuhnya gemetar. Keringat dingin membasahi pelipisnya."Valeria ...,
Hari berganti hari, minggu berganti minggu. Kini perut Valeria sudah semakin membesar, hampir memasuki usia delapan bulan.Musim semi menghiasi kota dengan udara hangat dan bunga bermekaran. Valeria duduk di bangku kayu di tepi jalan, menikmati es krim stroberi yang mencair perlahan di tangannya.Wajahnya berseri-seri, matanya berbinar penuh kebahagiaan. Di sampingnya, Salvatore duduk santai, sesekali menyeka tetesan es krim yang hampir jatuh ke gaun Valeria."Kau tahu, Salvatore," ucap Valeria sambil menjilati sendok es krimnya. "Aku berharap anak kita nanti suka es krim sepertiku. Bagaimana menurutmu?"Salvatore tertawa kecil. "Kalau begitu, aku harus siap-siap mengisi freezer penuh es krim. Anak kita akan jadi pecinta es krim garis keras sepertimu."Valeria tertawa terbahak. Suara tawanya menggema lembut di tengah keramaian jalan. Beberapa orang yang lewat ikut tersenyum melihat pasangan itu, seolah kebahagiaan mereka menular.Tas belanja di kaki mereka penuh dengan perlengkapan ba
Matahari mulai tenggelam, menciptakan gradasi oranye dan ungu di langit senja. Salvatore duduk di kursi balkon kamar Valeria, memandangi langit dengan tatapan kosong.Angin sore berhembus lembut, namun tidak mampu mendinginkan pikirannya yang berkecamuk. Kata-kata Julian terus terngiang di kepalanya, mengalun seperti nada minor yang menghantui."Lepaskan Sofia .... Hentikan penyiksaannya ...."Salvatore memijit pelipisnya. Rasa pusing itu kembali datang, semakin tajam seiring bayangan-bayangan samar yang muncul. Wajah Sofia, jeruji penjara, dan suara erangan kesakitan yang entah berasal dari mana. Apa benar semua itu ulahnya?Dia mendesah panjang, rasa bersalah mulai merayapi hatinya. Bagaimana mungkin dia mencintai Valeria namun di saat yang sama menyakiti orang lain? Apakah ini sisi gelapnya yang tersembunyi?"Salvatore?"Suara lembut Valeria membuyarkan lamunannya. Salvatore menoleh, melihat Valeria berdiri di sampingnya dengan segelas jus segar di tangannya. Senyum perempuan itu t
Setelah menjalani pemeriksaan di rumah sakit, Salvatore dan Valeria keluar dengan senyum lega. Hasil pemeriksaan menunjukkan kondisi mereka baik-baik saja. Kaki Salvatore hanya memerlukan sedikit terapi, dan kehamilan Valeria dalam keadaan sehat. Beban yang sempat menggantung di benak mereka pun perlahan terangkat."Ayo, kita makan siang. Aku sudah lapar," ujar Valeria ceria, menggenggam tangan Salvatore dengan erat."Aku juga," Salvatore tersenyum hangat. "Ada restoran di sekitar sini yang katanya enak. Mau coba?""Tahu darimana?""Tadi aku sempat mendengar percakapan orang di rumah sakit. Mau coba makan di sana?"Valeria mengangguk antusias. Mereka berjalan bergandengan tangan menuju restoran kecil berdesain klasik yang tak jauh dari rumah sakit. Suasananya tenang dengan dekorasi kayu dan jendela besar yang menghadap ke taman kota.Mereka memilih meja di dekat jendela, menikmati pemandangan hijau di luar sembari menunggu pesanan datang. Percakapan ringan mengalir, sesekali diiringi
Sinar matahari pagi menerobos jendela ruang makan, menciptakan pola-pola cahaya yang menari di atas meja kayu panjang yang telah dipenuhi oleh berbagai hidangan sarapan. Aroma roti panggang yang baru matang, telur dadar lembut, dan kopi hitam pekat menguar di udara, memberikan suasana hangat di rumah keluarga Valeria.Di ujung meja, Salvatore duduk dengan rapi dalam setelan kasual, mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku dan celana panjang gelap. Di sebelahnya, Valeria tampak anggun dalam gaun sederhana berwarna pastel yang lembut membungkus tubuhnya yang kini tengah mengandung. Tangannya sesekali mengusap perutnya yang mulai membuncit, seolah secara naluriah melindungi kehidupan kecil di dalamnya.Elena meletakkan cangkir kopi di depannya, kemudian duduk di samping Lorenzo. Giulia dan Roberto juga telah mengambil tempat, memulai sarapan dengan senda gurau kecil."Kalian tampak rapi pagi ini." Elena membuka percakapan dengan senyum keibuan. "Ada acara khusus?"Valeria dan Sa
Kamar tidur itu terasa hangat dengan cahaya lembut yang memancar dari lampu meja. Udara malam yang sejuk menyusup melalui jendela yang sedikit terbuka, menggoyangkan tirai tipis yang mengalir seperti ombak tenang. Di depan cermin besar yang terpasang di dinding, Valeria berdiri dengan ekspresi frustrasi.Tangannya sibuk menarik-narik gaun berwarna pastel yang kini tampak terlalu ketat di bagian perutnya yang membuncit. Pakaian lain berserakan di sekitar kakinya, menandakan betapa keras usahanya untuk menemukan sesuatu yang nyaman dikenakan."Kenapa sih nggak ada satu pun yang muat? Apa aku harus pakai bajunya Aunty Giulia aja mulai sekarang?" Valeria mengomel sendiri, wajahnya berkerut lucu.Pintu kamar berderit pelan, dan Salvatore muncul di ambang pintu. Langkahnya tenang, namun sorot matanya dipenuhi rasa cinta yang mendalam.Setelah percakapannya dengan Lorenzo di tepi kolam, perasaannya seolah memuncak—seakan ada benang merah yang mengikat hatinya lebih erat kepada Valeria. Rasa
Malam merambat pelan, membawa kesunyian yang menenangkan di sekitar rumah keluarga Morreti. Angin sepoi-sepoi membelai permukaan kolam renang, menciptakan riak-riak kecil yang memantulkan cahaya bulan. Di tepi kolam itu, Salvatore duduk di bangku kayu, membiarkan pikirannya melayang.Bersama semua kegugupan dan ketakutannya, akhirnya dia merasa lega. Keluarga Valeria menerima dirinya apa adanya, tanpa perlu embel-embel masa lalu yang tidak bisa diingatnya. Namun, di tengah kelegaan itu, terselip perasaan kosong—seperti ada bagian dirinya yang masih hilang di dalam kabut ingatan yang gelap."Kau sendirian di sini?"Suara berat namun lembut itu membuat Salvatore menoleh. Lorenzo berdiri di belakangnya, membawa dua gelas wine di tangannya. Wajahnya tampak tenang, namun di balik mata yang bijak itu, ada rasa lelah yang terpendam."Ya, aku hanya ..., mencoba menenangkan diri dan mencari udara segar." Salvatore tersenyum tipis.Lorenzo menyerahkan salah satu gelas wine kepada Salvatore dan
Sebuah mobil hitam mengawal perjalanan Salvatore menuju ke kediaman Morreti dan rombongan lainnya kembali ke markas. Morgan yang duduk di belakang kemudi sesekali melirik Salvatore lewat kaca spion, melihat pria itu menggigit bibir bawahnya, tanda jelas kegugupan."Hei, tenang saja." Morgan membuka percakapan, mencoba mencairkan suasana. "Keluarga Valeria tidak menggigit, kok."Salvatore menghela napas panjang. "Itu bukan masalahnya. Aku tidak ingat apa-apa. Bagaimana kalau aku salah bicara? Bagaimana kalau mereka tidak menyukaiku?"Valeria, yang duduk di samping Salvatore, menggenggam tangannya erat. "Kau tidak perlu khawatir. Mereka akan mencintaimu, Salvatore. Lagipula, aku di sini bersamamu."Salvatore menoleh, matanya bertemu dengan tatapan penuh keyakinan Valeria. Perlahan, kegugupannya sedikit mereda."Kalau begitu, jangan tinggalkan aku, ya?" bisik Salvatore, suaranya penuh harap."Tidak akan." Valeria tersenyum lembut.Morgan sedikit merinding dan tertawa geli diam-diam. Salv