Silviana duduk dengan tenang, menatap Alice yang menatapnya dengan tatapan sayang. Silvana yang tidak sabaran lantas berdusta, “Cepat katakan. Aku sudah bosan di sini melihatmu,” katanya begitu malas.“Ayah yang meminta Eldhan datang, tadi Ibu tidak ingin makan dan ayah pikir kehadiran Eldhan bisa membantu,” jelas Alice.“Omong kosong! Kalian tahu bagaimana mereka berdua mengkhianati ayah dan kakak membelanya?” Alice menghela napas, ia tahu apa yang Silvia rasakan. Berat memang, tetapi jika ayahnya sudah memutuskan apa yang bisa dilakukan? Delima mencintai Eldhan dan menyukai kekayaan ayahnya. Dua hal berbeda yang harus dipisahkan.“Karena itulah ayah memanggilnya. Ibu harus memutuskan semuanya, kan?”Silvia berdiri dari duduknya, tidak tahan dengan pembahasan yang ia sendiri tahu kemana akhirnya. Wanita cantik itu melangkah keluar menuju ruangan ibunya.Sementara Akice, ia hanyalah menghela napas pelan dan berjalan keluar, ia pun memiliki kesibukan lain yang tak bisa ditinggalkan. N
Jantung Alice berdebar kencang, wajahnya merah karena malu. Sementara Leonardo, terus memeluknya dari belakang sambil berbisik manja.“Leon,” ucap Alice lirih, ia merasa lemas karena debaran jantungnya terus berdendang.“Katakan,” jawab Leonardo dengan suaranya yang khas, tegas dan terdengar begitu lembut di telinga sang istri.“Aku … lepaskan aku,” katanya merasa darahnya berdesir begitu kencang.“Kamu lupa, ayahmu bilang apa? Kita harus memberinya cucu,” sahut Leonardo tak henti menyunggingkan senyum atas apa yang mertuanya inginkan.Siapa pun pasti menginginkan itu, rumah tangga yang harmonis dengan seorang anak yang lucu. Tidak, Leonardo menginginkan dua anak sekaligus satu mirip ibunya, satu lagi mirip dirinya.“I-iya, tapi aku tidak bisa,” jawab Alice sontak membuat Leonardo melepaskan pelukannya, ia membalik Alice dan meminta penjelasan lebih dalam.“Apa maksudmu tidak bisa? Kamu tidak bisa memaafkan aku dan–”“Dalam satu minggu ke depan, aku tidak bisa karena kehadiran tamu pe
Seorang wanita cantik turun dari mobil dengan membawa banyak barang di tangannya. Luna mendekat dan tersenyum lebar tatkala melihat Data dengan belanjaannya.“Selamat malam, Tante,” sapa Dara pada Luna yang sudah menyambut dirinya.“Dara, kamu di sini, Sayang?” sambut Luna merasa heran juga merasa senang.“Aku merindukanmu, Tante jadi ada sedikit oleh-oleh yang kubawa,” katanya tersenyum ramah, ia menunjuk beberapa bawaannya dengan senang hati.“Aku juga membawa untuk nyonya Alice dan pak Leo, di mana mereka?”Luna mendengus, tidak suka dengan cara Dara yang memberikan hadiah pada Alice. “Mereka tidak di rumah. Ayo masuklah!”Dara mengangguk walau hatinya merasa gundah dan enggan. Tujuannya adalah mencari Leonardo dan menjatuhkan Alice, tetapi jika mereka berdua tidak ada, harus bagaimana.“Tante sendiri, ya?” tanya Dara berbasa-basi, ia sudah ingin pergi saja rasanya.“Ada ayah mertuaku, tetapi dia di kamarnya tidak akan keluar jika tidak ada hal penting,” jawab Luna jujur.“Oh, bai
Leonardo memasuki rumah dengan hati yang jauh lebih baik, para pelayan bahkan penjaga dibuat heran karena tuan mereka diam-diam terdengar bersenandung. Aura dingin yang biasa terpancar kini terasa lebih hangat.“Di mana ibuku?” tanya Leonardo pada pelayan yang kebetulan lewat di hadapannya.“Nyonya berada di kamarnya, Tuan,” jawabnya sopan.Leonardo mengangguk. “Makan malamku bawa saja ke kamar.”“Baik Tuan,” jawabnya kembali.Leonardo melangkah naik ke kamarnya, masih dengan bibir yang terus terukir dengan senyuman. Seharian di kantor pun ia tak pernah memasang wajah masam seperti sebelumnya.“Hanya seminggu saja, Leon. Setelah itu, ayo membuat buah hati lagi,” gumamnya dengan hati yang berdebar, menyadari jika hatinya menginginkan Alice setiap saat membuatnya berbunga. Alice merubah hidupnya sudah lama tetapi tak pernah ia akui dengan benar.Sementara itu, Alice pun merasakan hal yang sama. Ia tak henti menyebut nama suaminya di depan sang ayah, menyebut semua kebaikan Leobardo pada
Alice dan Leonardo menoleh ke arah sumber suara. Di sana, sudah berdiri Dara dengan senyum kaku untuk mereka berdua. Alice melepas diri dari Leonardo dan menjaga jarak seperti biasa.Sementara Leonardo terlihat memasang senyum dan meminta Dara untuk menunggunya di ruang kerja. Dengan berat hati, Dara mengangguk dan melangkah meninggalkan area dapur dengan hati yang patah dan remuk, ia jelas melihat bagaimana Alice dicumbu dengan merara oleh Leonardo tanpa malu dilihat oleh semua pelayan.“Pergilah!” seru Alice dengan senyum kecil di bibirnya.Leonardo mengusap kepala Alice pelan kemudian mengecup pipinya sekilas. “Tunggu aku di kamar setelah selesai, ya.”Leonardo melangkah menjauh dengan langkah lebar. Tak ada raut wajah khawatir di wajahnya selain wajah bahagia. Alice tidak tahu, itu bahagia karena bersama dirinya bertemu dengan Dara.“Alice, jangan khawatir. Leon, sudah menjadi milikmu. Dia … dia tidak mungkin tergoda pada Dara,” gumamnya dengan hati yang mulai gelisah.Pakaian Da
Pintu terbuka dengan perlahan, Alice menoleh ke belakang menemukan suaminya masuk dengan wajah tak menentu. Terlihat jelas kegugupannya kontras dengan senyumnya yang kaku.“Apa sudah selesai?” tanya Alice menyambut suaminya.Leonardo mendekat dan meraih Alice masuk dalam pelukannya. Hal kecil yang bisa membuat berdebar.“Alice, aku tidak seperti yang kamu bayangkan. Aku dan Dara tidak memiliki hubungan yang seperti kamu kira,” ucap Leonardo seolah begitu takut Alice akan melihat keburukannya.“Sudah sering kamu ucapkan. Aku percaya jika kalian tidak memiliki hubungan apa pun. Akan tetapi, bolehkan aku tetap cemburu?” tanya Alice sendu.Leonardo semakin mengeratkan pelukannya. “Kamu boleh. Kamu berhak cemburu karena mencintaiku. Aku yang bersalah karena terus menyakitimu.”Keduanya terdiam sesaat, di dalam hati Alice, tetap saja dirinya bukan siapa-siapa meski Leonardo sudah menerima dirinya. Hingga suara deringan ponsel Leonardo terdengar. Alice melepas pelukan mereka dan menjauh sed
Setibanya di kantor Leonardo langsung memasuki ruang pertemuan. Beberapa orang penting yang berada di sana kembali mendudukkan diri di kursi mereka karena batal kembali.Sementara Dara dan Bram langsung bernapas lega karena Leonardo walaupun hampir merusak kerjasamanya, tetapi terlihat jelas jika beberapa orang yang datang tetap tenang dan bernapas lega.“Maaf karena keterlambatan saya, Pak.” Leonardo menundukkan kepala karena benar-benar merasa menyesal.Salah seorang diantara mereka mengangguk tak masalah. “Kami mengerti Pak. Anda tak perlu merasa tidak enak hati.”Leonardo memberikan senyum hangatnya, kemudian duduk dan berterima kasih. Ia pun meminta Dara untuk langsung saja memulai rapat mereka, setelah itu dilanjutkan dengan beberapa keluhan yang keluar hingga mencari jalan keluar dengan cepat.Dara diam-diam tersenyum sambil menunduk, rasa kagum dan rasa cinta semakin besar untuk Leonardo tak bisa lagi ia sembunyikan. Bahkan Bram yang berada di sana hanya menggeleng karena mera
Alice dan Arsen tertegun tatkala melihat seseorang sudah berjalan ke arah mereka berdua dengan tatapan yang tidak ramah. Alice mendekat dengan langkah pelan. “Leon, kamu di sini?” tanya Alice dengan senyum kecil di wajahnya. Ada Dara berdiri dengan tatapan malas melihat dirinya.Leonardo menarik Alice dalam pelukannya lalu, memicingkan mata kenarah Arsen yang berdiri tanpa bersalah.“Aku menjemputmu!” seru Leonardo tetapi tatapannya tajam pada Arsen yang terkekeh kecil.Alice menggeser sedikit tubuhnya. Ia mendongak dan berdiri di antara Leonardo dan Dara. Setelah itu, membawa tangan suaminya melingkar di pinggangnya yang ramping.“Kalau begitu, ayo kita jalan-jalan dulu.” Alice meraih paperbag di tangan Arsen dan memberikannya pada Leon.“Lihatlah! Arsen memberikan hadiah untukmu juga,” katanya menunjukkan isi dari paper bag yang Arsen memang berikan padanya.Leonardo mendengus, “Aku tidak butuh!”Arsen sekali lagi terkekeh kesal, tahu jika Leonardo mulai cemburu dengan dirinya. Pri