Delima begitu gelisah, ia bahkan tidak bisa tenang setelah mendengar kabar dari Oscar. Ini terlalu mustahil jika dipikirkan seorang diri.“Bagaimana bisa, jelas ada pemakaman,” jaya Delima mulai frustasi, tetapi tatapan dan cara Oscar memberitahunya jelas ini bukan lelucon.“Tidak mungkin Oscar sampai melakukan pembohongan publik kan? Dia … oh, kepalaku seperti akan pecah mendengar berita ini,” kaya Delima lagi.“Eldhan, ya. Pria itu seharusnya tahu apa yang terjadi sebenarnya. Dia yang selalu bersama Oscar selama ini sebelum kami tertangkap,” kata Delima yakin jika Eldhan tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jantungnya berdegup kencang, begitu takut dan gemetar tatkala mengetahui fakta yang mengejutkan.Alice dan Oscar mereka berdua mengatakan hal yang sama dan itu sangat mengganggu dirinya. Nasib Silvia terancam, bahkan dia tidak akan mendapat apa pun karena terlibat langsung dalam kejahatan ini.“Jika Oscar tahu, artinya dia ….,” Delima memaki dirinya sendiri. Oscar yang mengkhianati
Silviana duduk dengan tenang, menatap Alice yang menatapnya dengan tatapan sayang. Silvana yang tidak sabaran lantas berdusta, “Cepat katakan. Aku sudah bosan di sini melihatmu,” katanya begitu malas.“Ayah yang meminta Eldhan datang, tadi Ibu tidak ingin makan dan ayah pikir kehadiran Eldhan bisa membantu,” jelas Alice.“Omong kosong! Kalian tahu bagaimana mereka berdua mengkhianati ayah dan kakak membelanya?” Alice menghela napas, ia tahu apa yang Silvia rasakan. Berat memang, tetapi jika ayahnya sudah memutuskan apa yang bisa dilakukan? Delima mencintai Eldhan dan menyukai kekayaan ayahnya. Dua hal berbeda yang harus dipisahkan.“Karena itulah ayah memanggilnya. Ibu harus memutuskan semuanya, kan?”Silvia berdiri dari duduknya, tidak tahan dengan pembahasan yang ia sendiri tahu kemana akhirnya. Wanita cantik itu melangkah keluar menuju ruangan ibunya.Sementara Akice, ia hanyalah menghela napas pelan dan berjalan keluar, ia pun memiliki kesibukan lain yang tak bisa ditinggalkan. N
Jantung Alice berdebar kencang, wajahnya merah karena malu. Sementara Leonardo, terus memeluknya dari belakang sambil berbisik manja.“Leon,” ucap Alice lirih, ia merasa lemas karena debaran jantungnya terus berdendang.“Katakan,” jawab Leonardo dengan suaranya yang khas, tegas dan terdengar begitu lembut di telinga sang istri.“Aku … lepaskan aku,” katanya merasa darahnya berdesir begitu kencang.“Kamu lupa, ayahmu bilang apa? Kita harus memberinya cucu,” sahut Leonardo tak henti menyunggingkan senyum atas apa yang mertuanya inginkan.Siapa pun pasti menginginkan itu, rumah tangga yang harmonis dengan seorang anak yang lucu. Tidak, Leonardo menginginkan dua anak sekaligus satu mirip ibunya, satu lagi mirip dirinya.“I-iya, tapi aku tidak bisa,” jawab Alice sontak membuat Leonardo melepaskan pelukannya, ia membalik Alice dan meminta penjelasan lebih dalam.“Apa maksudmu tidak bisa? Kamu tidak bisa memaafkan aku dan–”“Dalam satu minggu ke depan, aku tidak bisa karena kehadiran tamu pe
Seorang wanita cantik turun dari mobil dengan membawa banyak barang di tangannya. Luna mendekat dan tersenyum lebar tatkala melihat Data dengan belanjaannya.“Selamat malam, Tante,” sapa Dara pada Luna yang sudah menyambut dirinya.“Dara, kamu di sini, Sayang?” sambut Luna merasa heran juga merasa senang.“Aku merindukanmu, Tante jadi ada sedikit oleh-oleh yang kubawa,” katanya tersenyum ramah, ia menunjuk beberapa bawaannya dengan senang hati.“Aku juga membawa untuk nyonya Alice dan pak Leo, di mana mereka?”Luna mendengus, tidak suka dengan cara Dara yang memberikan hadiah pada Alice. “Mereka tidak di rumah. Ayo masuklah!”Dara mengangguk walau hatinya merasa gundah dan enggan. Tujuannya adalah mencari Leonardo dan menjatuhkan Alice, tetapi jika mereka berdua tidak ada, harus bagaimana.“Tante sendiri, ya?” tanya Dara berbasa-basi, ia sudah ingin pergi saja rasanya.“Ada ayah mertuaku, tetapi dia di kamarnya tidak akan keluar jika tidak ada hal penting,” jawab Luna jujur.“Oh, bai
Leonardo memasuki rumah dengan hati yang jauh lebih baik, para pelayan bahkan penjaga dibuat heran karena tuan mereka diam-diam terdengar bersenandung. Aura dingin yang biasa terpancar kini terasa lebih hangat.“Di mana ibuku?” tanya Leonardo pada pelayan yang kebetulan lewat di hadapannya.“Nyonya berada di kamarnya, Tuan,” jawabnya sopan.Leonardo mengangguk. “Makan malamku bawa saja ke kamar.”“Baik Tuan,” jawabnya kembali.Leonardo melangkah naik ke kamarnya, masih dengan bibir yang terus terukir dengan senyuman. Seharian di kantor pun ia tak pernah memasang wajah masam seperti sebelumnya.“Hanya seminggu saja, Leon. Setelah itu, ayo membuat buah hati lagi,” gumamnya dengan hati yang berdebar, menyadari jika hatinya menginginkan Alice setiap saat membuatnya berbunga. Alice merubah hidupnya sudah lama tetapi tak pernah ia akui dengan benar.Sementara itu, Alice pun merasakan hal yang sama. Ia tak henti menyebut nama suaminya di depan sang ayah, menyebut semua kebaikan Leobardo pada
Alice dan Leonardo menoleh ke arah sumber suara. Di sana, sudah berdiri Dara dengan senyum kaku untuk mereka berdua. Alice melepas diri dari Leonardo dan menjaga jarak seperti biasa.Sementara Leonardo terlihat memasang senyum dan meminta Dara untuk menunggunya di ruang kerja. Dengan berat hati, Dara mengangguk dan melangkah meninggalkan area dapur dengan hati yang patah dan remuk, ia jelas melihat bagaimana Alice dicumbu dengan merara oleh Leonardo tanpa malu dilihat oleh semua pelayan.“Pergilah!” seru Alice dengan senyum kecil di bibirnya.Leonardo mengusap kepala Alice pelan kemudian mengecup pipinya sekilas. “Tunggu aku di kamar setelah selesai, ya.”Leonardo melangkah menjauh dengan langkah lebar. Tak ada raut wajah khawatir di wajahnya selain wajah bahagia. Alice tidak tahu, itu bahagia karena bersama dirinya bertemu dengan Dara.“Alice, jangan khawatir. Leon, sudah menjadi milikmu. Dia … dia tidak mungkin tergoda pada Dara,” gumamnya dengan hati yang mulai gelisah.Pakaian Da
Pintu terbuka dengan perlahan, Alice menoleh ke belakang menemukan suaminya masuk dengan wajah tak menentu. Terlihat jelas kegugupannya kontras dengan senyumnya yang kaku.“Apa sudah selesai?” tanya Alice menyambut suaminya.Leonardo mendekat dan meraih Alice masuk dalam pelukannya. Hal kecil yang bisa membuat berdebar.“Alice, aku tidak seperti yang kamu bayangkan. Aku dan Dara tidak memiliki hubungan yang seperti kamu kira,” ucap Leonardo seolah begitu takut Alice akan melihat keburukannya.“Sudah sering kamu ucapkan. Aku percaya jika kalian tidak memiliki hubungan apa pun. Akan tetapi, bolehkan aku tetap cemburu?” tanya Alice sendu.Leonardo semakin mengeratkan pelukannya. “Kamu boleh. Kamu berhak cemburu karena mencintaiku. Aku yang bersalah karena terus menyakitimu.”Keduanya terdiam sesaat, di dalam hati Alice, tetap saja dirinya bukan siapa-siapa meski Leonardo sudah menerima dirinya. Hingga suara deringan ponsel Leonardo terdengar. Alice melepas pelukan mereka dan menjauh sed
Setibanya di kantor Leonardo langsung memasuki ruang pertemuan. Beberapa orang penting yang berada di sana kembali mendudukkan diri di kursi mereka karena batal kembali.Sementara Dara dan Bram langsung bernapas lega karena Leonardo walaupun hampir merusak kerjasamanya, tetapi terlihat jelas jika beberapa orang yang datang tetap tenang dan bernapas lega.“Maaf karena keterlambatan saya, Pak.” Leonardo menundukkan kepala karena benar-benar merasa menyesal.Salah seorang diantara mereka mengangguk tak masalah. “Kami mengerti Pak. Anda tak perlu merasa tidak enak hati.”Leonardo memberikan senyum hangatnya, kemudian duduk dan berterima kasih. Ia pun meminta Dara untuk langsung saja memulai rapat mereka, setelah itu dilanjutkan dengan beberapa keluhan yang keluar hingga mencari jalan keluar dengan cepat.Dara diam-diam tersenyum sambil menunduk, rasa kagum dan rasa cinta semakin besar untuk Leonardo tak bisa lagi ia sembunyikan. Bahkan Bram yang berada di sana hanya menggeleng karena mera
Luna menghela napas berulang kali, ia duduk dan menatap menantunya. “Ibu hanya tidak bisa membayangkan bagaimana nasib Laila di sana.”Leo mengangguk paham. Ia meraih tangan ibunya. “Ibu, Damian akan menjaganya selama satu bulan, lagipula ada Arsen di sana.”“Arsen? Kamu masih percaya pada pria itu? Bagaimana jika–”“Ibu, tolong percaya dengan keputusan yang sudah aku ambil, Arsen adalah satu-satunya yang bisa menjaga Laila setelah Damian.”Lagi-lagi Luna mendengus, ia tak suka dengan pria bernama Arsen. Pria itu ingin merebut Alice dari putranya bahkan dengan terang-terangan mengakui Laila dan Damian sebagai anak.“Kalian tidak ada yang mengerti dengan kekhawatiranku. Aku hanya ingin cucuku hidup dengan damai, tidak perlu sekolah di tempat jauh, kita bisa–”“Maafkan aku karena memotong ucapanmu Bu. Tetapi ini adalah keputusan mereka. Laila ingin sekolah bisnis seperti Silviana, sementara Damian, putraku adalah penerus, dia harus memiliki pendidikan yang jauh lebih hebat.”Membuang na
Alice dan Leo saling pandang, pun dengan Laila yang hanya berdecak mendengar permintaan kakaknya.“Apa maksudmu, Damian?” tanya Laila semakin jengah.“Aku tidak mungkin mengekor padamu, aku juga ingin memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan,” katanya.“Tidak ada yang menjagamu sebaik aku, Laila. Sejak kita kecil, aku yang–”“Tapi sekarang aku sudah besar, aku bisa menjaga diriku, lagipula di sana ada Ayah Arsen.” Laila berdiri dengan kesalnya.“Terserah jika kalian tidak mendukung, aku akan tetap bersekolah di tempat yang aku inginkan,” ujarnya, “dan Ayah tidak boleh menarik kesepakatan kita.”“Laila duduk dulu, Nak.” Alice menepuk pelan sebelah sisi tempatnya.“Tidak Ibu. Tidak sebelum Damian berpikir waras.”Setelah mengatakan itu, Laila meninggalkan ruangan dengan kekesalan pada Damian.“Dia gila,” geramnya dengan nada yang kesal.Sementara itu, Clara yang melihat kakak perempuannya menuju kamar, segera mengikuti. Rasanya sangat berat berpisah meski mereka berdua jarang sekali terli
“Selamat pagi.” Laila datang lebih cepat, memotong ucapan Alice yang tengah memeluk putri bungsunya.“Selamat pagi, Sayang.” Leonardo menyambut putri sulungnya, kemudian meminta Laila untuk duduk di sebelahnya.Melihat itu, Clara mengerucutkan bibir, “Ayah, jangan terlalu memanjakan kakak, dia sudah–”“Clara lebih baik kamu diam, berikan susu yang kamu buatkan tadi untukku.” Laila meraih selembar roti dan mengolesi dengan selesai cokelat.“Baiklah.” Clara memeluk ibunya singkat kemudian memberikan susu yang dibuatnya pada Laila.“Sekarang berikan nilai untukku. Aku yakin ini rasanya seratus,” kata Clara.Laila meraih gelas susu miliknya, kemudian meneguknya hingga setengah. “Enak, aku rasa ini adalah bakatmu.”Clara mengerucutkan bibir, “Bakatku banyak Kak. Hanya saja, aku tidak ingin menunjukkan pada orang lain,” katanya dengan bangga.“Oh aku sangat kagum padamu. Duduklah, aku ingin memberikan hadiah lain.” Laila meletakkan gelas yang sudah kosong kemudian merogoh kantong celana mil
Alice masih ke dalam ruang makan dan benar saja, semua sudah disiapkan dengan sangat baik. Clara yang melihat wajah takjub ibunya pun ikut merasa bahagia.“Bagaimana? Aku sangat membanggakan bukan?” tanyanya pada sang ibu.“Benar Clara yang melakukan ini sendiri?” Alice menoleh pada putrinya yang langsung terdiam dengan bibir tersenyum kecil.“Senangnya, Clara dibantu oleh kak Laila,” akunya, “tapi karena dia kelelahan dan mengantuk, kakak kembali ke kamar.”Alice menaikkan alis, kemudian mengangguk paham. “Ya sudah, tapi setidaknya, Clara sudah membuktikan jika putri ibu sudah sangat hebat.”Clara mengangguk senang. “Tolong beritahu kakek ya, Bu. Aku ingin kakek mendengar hal baik tentangku.”“Baiklah, jika kakek bertanya, Ibu akan memberitahu jika cucunya yang cantik ini sudah besar.”Clara memeluk ibunya. “Ibu aku sangat menyayangimu. Aku yakin karena itulah ayah sangat mencintaimu.”Alice terkekeh, “Ya sudah, sekarang duduk dulu, Ibu akan buatkan sarapan untuk kita semua.”“Aku ak
Alice menghela napas panjang untuk meredam semuanya. Tidak ada yang bisa mengetahui takdir kedepannya. Damian masih terlalu muda, sementara Sera, gadis kecil itu juga masih seusia Clara yang mungkin tidak mengerti dengan situasi ini.“Semoga saja, Damian mendapatkan yang terbaik,” putus Alice akhirnya.Leo mengangguk meski rasanya ada yang aneh. Rasa sakit yang Alice rasakan sepertinya terlalu besar, hingga sang istri belum bisa memaafkan apa yang telah terjadi.“Kamu benar, Damian masih terlalu muda. Kita bisa lebih tenang karena Bram juga telah meninggalkan kota bersama putrinya.Setelah mereka membahas semuanya, Alice memutuskan untuk tidak membahas ini lagi. Ia bahkan meminta Laila untuk tidak membantu Damian melupakan perasaannya yang diyakini hanya rasa sesaat.“Tidurlah, aku masih ada banyak pekerjaan di bawah,” kata Leo akhirnya, hingga saat ini ia belum menemukan seseorang yang bisa menggantikan posisi Bram di kantor.“Maafkan aku. Aku seharusnya tidak terlalu keras sehingga
Malam hari, Alice yang masih merasa curiga pada Dara dan Leo memutuskan untuk tidur lebih cepat. Ia tahu usianya tidak lagi muda seperti dulu. Jadi, tidur adalah pilihan yang lebih tepat.Sementara itu, Leo yang tahu dengan kecemburuan istrinya hanya tersenyum kecil, merasa bersalah, tetapi ia bisa buktikan jika dirinya dan Dara tak ada hal yang harus dicurigai.“Aku sudah katakan padamu, kedatangannya adalah untuk berterima kasih karena tidak menghalangi Bram keluar dari perusahan,” jelas Leo pelan di telinga sang istri.“Mereka memutuskan untuk meninggalkan kota ini, jadi Bram sudah mengundur diri,” sambungnya.“Kenapa harus bertemu? Bukankah Bram bisa mewakili, Kenapa harus datang padaku, bukankah sama saja dia ingin mengulang kejadian yang telah lalu?” balas Alice akhirnya. Wanita itu membuka mata, tak menoleh tetapi masih menunggu suaminya menjawab pertanyaannya.“Sera yang memaksa untuk datang dan kebetulan dia–”“Apakah setelah melihatnya kembali hatimu masih bergetar? Dia bah
Bram mengangkat wajah, menatap wanita seksi yang melangkah ke arahnya. Wanita dengan rambut panjang bergelombang serta bibir merah yang menggoda.“Tidak bisakah kamu mengetuk pintu dulu?” Bram meletakkan ponsel di atas meja, lalu berpindah ke sofa single.Si wanita terkekeh, ia mendekat dan duduk di hadapan Bram dengan gaya sensual.“Maafkan saya, Pak. Saya tidak sabar menunjukkan hasil karya saya, karena itulah lupa untuk mengetuk.” Mendengus kasar, Bram meraih dikumen yang sudah ada di atas meja. “Mulai besok, bawa langsung ke ruangan pak Leo, dia akan memeriksa tugasmu hingga–”“Tidak Pak. Saya tidak akan mempertaruhkan diri saya. Lebih baik bertanya dulu pada Pak Bram setelah itu ke ruangan pak Leo,” terangnya.“Della–”“Saya tidak mau Pak. Pak Leo terlalu kaku untuk saya, lagipula anak-anaknya sudah pernah salah paham pada saya,” keluhnya tak ingin mendapat masalah.Bram menghela napas, ia memeriksa kerjaan Della, setelah merasa bahwa semua sudah benar, ia kembali memberikan pad
Sera terdiam, ia tak melanjutkan makannya. Ia lebih memilih mendengarkan pertengkaran orang tuanya.Ia membuang napas kasar dan berdiri meninggalkan Dara dan Bram yang masih berdebat tentang Alice.“Seharusnya aku tidak merusak pestaku sendiri,” gumamnya dengan wajah lesu.Ia keluar dari resto dan duduk di bangku taman, gadis kecil itu menunduk dengan wajah sedih.“Kamu di sini?” Suara seseorang membuatnya menoleh. Sera terlihat mengingat seseorang yang berada di sebelahnya.Ia langsung berdiri tatkala mengingat dengan benar. “Maafkan aku.” Sera hendak meninggalkan tempat, tetapi Damian mencegahnya, “Sera … apakah namamu Sera?”Sera menoleh dengan tatapan tidak suka, “Bukan. Jangan mendekatiku. Aku tidak mau berdekatan dengan keluarga Clara.”“Clara? Kamu mengenal adikku?” Sera mendengus kecil, “Tentu saja, Clara temanku,” katanya duduk lagi di bangku, “tapi aku tidak ingin berteman dengannya lagi.”Alisa Damian menukik tajam, “Apakah adikku membuat ulah? Dia mengganggumu?”Sera men
Leonardo terdiam, ia menatap wajah istrinya yang semakin cantik meski anak-anak mereka telah menjadi remaja.Tangan kekar itu mengulur, mengusap lembut lengan sang istri lembut. “Dia adalah Sera.”“Apakah dia kerabat Bram? Aku merasa tidak asing dengan tatapan mata gadis itu, seperti aku pernah melihat tatapan itu sebelumnya,” kata Alice, “apakah aku salah jika aku merasa gadis kecil itu seperti tidak menyukaiku?”Leonardo memasang wajah datar, ia menatap istrinya dengan tatapan hangat, “Iya, dia adalah kerabat dari Bram,” katanya, “dan tatapan itu, bukan tatapan tidak suka, jangan berpikir terlalu jauh, ya.”Alice menggeleng. “Ya, aku harap salah menilai. Apakah dia anak dari saudara Bram? Atau–”“Dia adalah anak Bram,” jawab Leo segera.“Anak? Bram sudah menikah?” tanya Alice, ia bahkan hak pernah mendengar jika asisten suaminya menikah. Selama ini, mereka mengenal Bram sebagai praibaik, lalu sejak kapan Bram menikah dengan anak sebesar itu?“Tidak menikah, mereka memutuskan untuk t