Suasana meja makan terasa lebih hangat dari biasanya. Itu karena Oscar yang lebih banyak bercerita. Ini pertama kali setelah sekian lama pria itu memilih makan di ruangannya. Menikmati kesendiriannya dengan menatap wajah putrinya yang menghilangkan.‘Ayah terlihat lebih bahagia setelah Amelia kembali,’ batin Silvana tersenyum kecil. Ia menikmati makanannya dengan rasa yang hambar.Sementara Delima, wanita itu terus mengepalkan tangan, ia tidak menyangka jika Alice berani kembali setelah menghilang begitu lama. Sama dengan Silviana, Delima menelan makannya dengan tenggorokan yang terasa perih.“Ibu bagaimana rasanya?” tanya Alice pada Delima yang ia sadari sejak tadi terus diam tanpa kata-kata.Delima tertarik dari lamunan, ia menatap Alice yang menatapnya dengan tatapan menunggumu. Kemudian melirik Silvia meminta pertolongan Marena dia tidak mendengar apa yang Alice tanyakan padanya.“Ibu, aku bertanya bagaimana rasanya, apakah ini cocok di lidahmu?” tanya Alice lagi, tahu jika ibuny
Setibanya di apartemen milik Arsen, Silviana bertemu dengan Jhon. Pria yang selalu setia menami Arsen dalam keadaan suka dan senang. Jhon yang baru turun dari mobil mendekat pada Silviana yang tidak pernah bermuka manis padanya.“Selamat pagi, Nona Silviana,” sapa Jhon seperti biasa. “Jhon. Apa tugasmu setiap hari adalah memantau Arsen. Aku tidak percaya kau selalu datang menjenguknya,” kata Silviana menatap Jhon curiga.Jhon terkekeh, “Nona, itu adalah salah satu tugas saya. Menjaga keselamatan Pak Arsen dari kucing betina,” kata Jhon melirik kucing yang kebetulan berjalan di antara dia dan Silviana.“Kamu!” ucap Silviana membuang napas pelan, “sudahlah! Aku tidak ingin merusak suasana hatiku dengan mendebat denganmu.” Silviana berjalan lebih dulu, melangkah dengan langkah anggun dan berkarisma. Jhon yang masih berdiri di belakang sampai menundukkan kepala karena takut tergoda.Setelah Silviana lebih jauh, barulah Jhon melangkah masuk, menyapa siapa pun yang kebetulan berpapasan den
Hening. Hanya suara jarum jam saja yang terdengar berbunyi. Leonardo menghela napas lagi. Ia menatap kertas yang berada di tangannya kemudian merobeknya menjadi bagian-bagian terkecil.Alice mengerutkan kening. “Kamu merobeknya … lagi?” Leonardo menyeringai kecil. Melangkah ke arah Alice yang langsung mundur ke belakang. “Lalu, apakah aku harus menandatangani surat itu?” katanya dengan tatapan lembut tetapi begitu menusuk.Alice terpojok dengan kepala membentur di dinding. Melihat itu, Leonardo tidak melakukan apa pun seperti kebanyakan kebanyakan lain.“Apakah kamu sangat ingin berpisah denganku?” tanya Leonardo menatap lurus pada bibir Alice yang terbuka sedikit.“Kenapa bertanya? Bukankah ini yang kamu inginkan sejak setahun lalu?” balas Alice mencoba tidak goyah.Leonardo terdiam, ada sesuatu di dalam hatinya yang menandakan begitu meresahkan. Entah sejak kapan, tetapi hatinya sakit setiap kali Alice meminta bercerai darinya.Perlahan tangannya naik ke atas, membenarkan anak ramb
“Apa maksudmu?” tanya Leonardo dengan tatapan tajam. Ia merasa jika Alice sudah berani melawan dirinya. Saat ini mereka berdua sudah berada di dalam mobil. Pertemuan sudah diakhiri beberapa menit lalu dengan akhir yang tidak menguntungkan bagi pihak Leonardo.Alice menahan diri agar tidak terpedaya. Aroma tubuh Leonardo yang memabukkan begitu kenyal masuk ke dalam hidungnya.“Apa ini caramu membalasku, Alice?”Alice menoleh cepat, ia mengerutkan menjaga sangat halus. Sejak bertemu dengan Leonardo, pria ini tidak pernah berkata yang mudah untuk ia mengerti.“Membalas bagaimana, Leon? Aku tidak pernah berpikir seperti yang kamu pikirkan,” jawab Alice bingung. Membalas seperti apa yang Leonardo ucapkan sebenarnya.“Berhenti berpura-pura bodoh dan tidak tahu apa pun Alice. Aku tidak akan termakan dengan cara itu lagi,” balas Leonardo tetap saja menganggap jika Alice memang ingin membalas sakit hatinya.Alice meneliti wajah Leonardo dengan Lamat. Memperhatikan dengan baik setiap pahatan in
Keduanya menunduk. Mereka tidak tahu jika Alice harus mendapatkan penjagaan karena selama ini Silviana tidak mendapatkan itu. Oscar berdecak, ia berjalan masuk dan masih melihat Delima berdiri di tempatnya tadi. Wanita keras kepala itu tetap menatap Oscar dengan tatapan memohon. Sangat memuakkan.Oscar berjalan melewati Delima yang terlihat ingin mengekor, tetapi dengan cepat ekor mata Oscar menghentikan pergerakannya.“Oscar, tolong beri aku satu kali kesempatan, aku mengakui kebodohanku selama ini,” ujar Delima kembali. Wanita yang sudah melahirkan Silvana itu berjalan dengan langkah cepat mengikuti langkah suaminya yang lebar dan gagah. “Berhenti di tempatmu, Delima,” peringat Oscar, “aku tidak ingin mendengar apa pun lagi, tolong kembalilah ke kamarmu.”_______Sementara itu, di tempat yang berbeda, Luna dibuat terkejut dengan kehadiran Alice di halaman rumahnya. Wanita yang sudah berani menceraikan putranya itu turun dengan malas dari mobil Leonardo.“Masih berani kamu datang ke
“Sudah beritahu ayahmu?” tanya Arsen tertuju pada layar di hadapan mereka. Saat ini keduanya tengah berada di ruang tamu, nonton berdua dengan beberapa makanan di atas meja.“Sudah. Aku juga mengatakan akan mengunjungi dirimu,” jawab Alice masih fokus dengan kisah cinta orang lain.Arsen menelengkan kepala, ia menatap Alice dengan tatapan selidik. “Katakan padaku, bagaimana bisa kamu dan dia bersama tadi?”Alice menghela napas panjang, ia meraih satu toples di atas meja, kemudian membuka penutupnya dengan seluruh kekuatan. Arsen yang melihat itu, menggeleng pelan dan membantu membuka.“Kamu bekerja di rumah suamimu selama satu tahun, tetapi membuka tutup toples saja tidak bisa,” kata Arsen sengaja menggoda.Alice terkekeh kecil, ia meraih satu kue dari dalamnya, kemudian memakannya dengan senang hati. Arsen yang melihat itu, merasa bahagia, ia angkat tangannya kemudian mengusap kepala Alice dengan lembut.“Bersamaku, aku pastikan kamu tidak akan kelelahan Alice.”“Aku tahu,” jawab Ali
Langkah kaki terdengar masuk ke dalam ruangan. Arsen yang berada di sebelah Alice pun diam-diam penasaran dengan apa yang akan terjadi setelah ini.“Aku di sini, adik,” kata Alice.Leonardo menoleh dengan cepat, tatkala mendengar suara wanita yang ia nikahi selama satu tahun terakhir. Senyum yang seharusnya terbit, kini berubah masam.Alice mendekat dan duduk di sebelah Siviana—adiknya. Sementara Arsen, ia duduk tidak jauh dari Oscar dan juga Leonardo. “Selamat malam, Pak Leo. Senang bertemu dengan Anda lagi,” kata Arsen menyapa Leonardo dengan ramah.“Ucapan yang sama, Pak Arsen,” jawab Leonardo tanpa minat, tetapi dengan baik ia tetap memberi senyuman.Silviana menoleh pada kakaknya. “Kak, kamu dengan Arsen? Kalian–”“Kebetulan kami bertemu di jalan,” jawab Alice berkilah. Ia tidak akan membuat Leonardo marah pada Arsen karena tahu mereka berdua baru saja bertemu. Silviana mengangguk, tetapi dia bukan orang bodoh yang langsung percaya. Ia tahu bagaimana Arsen yang sulit sekali dit
“Alice ….,” ucap Leonardo tatkala melihat wanitanya datang dengan penampilan jauh berbeda dari biasanya.“Selamat siang, Leon,” balas Alice menyapa kembali Leonardo yang sudah duduk bersama Dara di sebelahnya. Sementara Arsen, pria itu hanya tersenyum kecil tatkala Leonardo menatapnya dengan tatapan sengit.Alice duduk di sebelah Arsen, yang berarti mereka berempat dengan berhadapan-hadapan saat ini. Tidak mudah bagi Alice melihat Leonardo duduk berdekatan bersama Dara tetapi, ketika ia menyadari jika kebahagiaan Leonardo adalah pada Dara—ia mencoba menekan hati agar tetap tenang.“Maaf karena aku terlambat. Aku memiliki sedikit urusan,” jelas Alice tatkala Arsen menatapnya dengan tatapan ingin tahu.“Baiklah, lagipula kamu juga baru beberapa menit sampai, benarkan Pak Leo,” kata Arsen meminta dukungan pada rekannya. Ia tidak ingin Alice merasa bersalah karena keterlambatannya.Leonardo tidak menjawab. Ia memilih diam dan menatap lurus pada Alice yang semakin hari semakin terlihat be
“Beri aku 500 dolar,” kata Silvia pada sang kakak. Wanita bermata indah itu berdecak karena gaun miliknya kini tidak bisa dikenakan lagi.Tidak sampai lima menit, ponsel mahal milik Silvia mengeluarkan bunyi notifikasi. Wanita cantik itu lantas menatap kakaknya dengan tatapan tidak percaya.“Wah, uangku langsung masuk,” decak Alisa dengan mata berbinar pada nominal yang masuk di ponselnya. Ia mendapatkan nilai lebih.“Gunakan dengan baik. Itu karena kamu sudah menyelamatkan hidupku tadi,” seloroh Leo senang karena akhirnya terbebas dari Lucas dan putrinya.“Ya. Aku berharap Kakak tidak menjatuhkan hati padanya. Lihatlah, tubuhnya sangat kurus dan … riasannya sangat mencolok.”“Alisa,” tegur Leo lembut, tetapi penuh ketegasan, ia tidak ingin adiknya menjadi terbiasa membicarakan keburukan orang lain.“Ya. Baiklah!”Lisa menyandarkan punggung di sandaran mobil, mengingat kembali apa yang dilihatnya di pesta tadi. Ia melirik kakaknya yang tengah serius menatap foto wanita hamil di layar
“Sudahlah Kak, jangan lagi membahas ini,” kata Alisa jengah. Setiap bertemu kakaknya yang dibahas adalah pertunangan yang sudah terlanjur terjadi.Leo mendengus, “Semoga kamu dan dia bahagia,” kata Leo mendoakan, ia tidak ingin adiknya menyesal karena terpaksa memilih jalan lain.“Aku bahagia. Lagipula, aku bukan wanita bodoh yang harus menunggu pria tidak peka seperti dia,” sindir Alisa pada Bram yang sudah berada di dalam ruangannya.Alisa menghela napas pelan, “Ada apa Kakak memanggilku?”Mendesah dengan jawaban adiknya, “Aku ingin kamu membantuku mencari model kamar anak yang lucu. Aku–”“Kakak ingin mengadopsi anak? Tidak boleh, Kak!” potong Alisa cepat.“Ibu tidak akan suka, lagipula, kamu bisa menikah dan dapatkan anak dengan mudah,” papar Alisa lagi. Sudah lima tahun, ini bukan waktu yang sebentar untuk menahan rindu, ia yakin kakaknya sangat kesepian dan menderita selama ini.“Jaga ucapanmu. Patuhi saja, besok kamu libur, datang kerumah dan minta tukang untuk menyelesaikan se
Leo kembali ke rumahnya dengan rasa malu yang besar. Ayah mertuanya menguliti dirinya dengan begitu santai. “Ayah memang benar, aku memang tidak bisa mengambil keputusan dengan benar,” gumamnya.“Aku senang karena akhirnya ayah menjagamu, Alice. Akan tetapi, tetap saja aku khawatir, siapa yang mengurus makanmu ketika kamu malas untuk bergerak?”Leonardo menghempaskan diri di atas sofa, menutup wajah dengan tangan kekar. Penyesalan yang teramat besar dan mendalam, ia tahu istrinya baik-baik saja, tetapi tak memiliki kekuatan untuk berjumpa bahkan melihat wajahnya.Leonardo mendesah, ia menatap foto yang berada di dinding, foto—Alice dengan senyum indah ketika mereka liburan. “Apakah kamu tidak merindukanku, sudah dua malam dan kita tidak saling memeluk, Sayang,” gumamnya merasa dunianya hancur.Beralih dari tempatnya, Leonardo masuk ke dalam bilik ruangannya, ruangan yang memisahkan dirinya dan Alice dalam jangka waktu yang lama. Bilik yang membuatnya banyak menyesal karena tak banya
Leo membuang napas, menatap tumpukan berkas yang Bram bawa untuknya. Sementara, hatinya masih gelisah karena Alice belum ditemukan.Ia meraih ponselnya yang terletak tidak jauh dari tumpukan, masih berharap ada kabar baik untuk menemukan keberadaan istrinya.Dalam keheningan dan kekacauan pikirannya, ia menekan nomor seseorang, berharap kali ini ia mendapatkan informasi yang lebih akurat.“Halo, Silvia,” katanya setelah wanita di belahan sana menerima cepat panggilan darinya.“[Halo, kakak ipar, tidak biasanya menelepon, ada apa?]” jawab Silvia langsung tanpa basa-basi.“Alice. Sejak pagi dia belum kembali, apakah dia menemuimu?”Beberapa saat hening, mengantarkan rasa khawatir semakin membesar, “Kak, sudah beberapa hari aku tidak bertemu Kak Amelia,” jawab Silvia, “saat ini aku berada di kediaman ibuku, jadi kami belum bertemu sama sekali.”Semakin gelisah dan rapuh, harus bagaimana sekarang? Tidak seorang pun mengetahui keberadaan istrinya. Tidak ibu mertuanya bahkan adik iparnya.“
Seorang wanita paruh baya sedikit berlari ke arah ruang tamu setelah mendapat laporan dari pelayan.Ia begitu terkejut karena belum beberapa hari tinggal di rumah ini, sudah beberapa tamu yang mendatangi dirinya.Leonardo menoleh dan langsung berdiri. Ia terpaku melihat wanita yang pernah ditemui kini terlihat lebih cantik dan segar.“Nyonya, senang bertemu lagi denganmu,” kata Leo masih belum terbiasa.Amanda mendekat dengan senyum ramah. “Panggil aku Ibu. Kamu menikahi putriku,” ujarnya masih ramah.“Ibu, maafkan aku,” ucap Leo menyesal.Amanda mengangguk meminta Leo duduk meski ia merasa sedikit aneh. “Kamu sendiri, di mana Alice?” Leonardo terpaku, tak menyangka jika pernyataan itu akan keluar. Menelan saliva, “Ibu, sebenarnya tujuanku datang untuk mencari Alice,” kata Leo berterus terang, “dia meninggalkan rumah dan belum kembali.”Terkejut, tetapi Amanda mencoba untuk tenang, ia bisa melihat bagaimana ke khawatiran Leonardo atas kepergian putrinya.“Sudah mencari di rumah ayah
Leo mengendarai kembali mobil miliknya dengan kecepatan penuh. Pria itu, tak mementingkan keselamatan agar lebih cepat sampai dan menemukan Alice—istrinya.“Aku tidak akan membiarkan Arsen mengambil kesempatan atas keterpurukan istriku. Tidak akan,” katanya dengan tatapan marah.Karena terlalu laju membawa mobilnya, pria yang tengah gelisah itu, hampir saja menabrak mobil yang tiba-tiba berhenti dipinggir jalan. Suara decitan terdengar memekakkan telinga pengedara yang lain.Tak ada waktu untuk meminta maaf, Leo dengan cepat melajukan mobil ke arah kediaman Arsen. Pria itu, menang yang paling memungkinkan mendekati istrinya.Sesampainya di kediaman Arsen, Leo melihat mobil pria yang menjadi rivalnya dalam cinta itu melaju ke arah berlawanan. Terlihat terburu dan mencurigakan.“Sial. Apakah dia tahu aku akan datang,” kata Leo, ia menghidupkan lagi mesin mobil menyusul Arsen yang terlihat terburu-buru.Seperti terlihat saling kejar, tetapi jelas Arsen tidak tahu jika dirinya diikuti dar
“Selamat pagi, Kak,” sapa Alisa, “eh maksud saya, Pak.”Alisa menggaruk tengkuk karena ketahuan lupa lagi. Wanita dengan penampilan modis serta riasan sedikit berani itu berjalan di belakang Leo dengan langkah yang seksi.Di belakang, Bram sampai menunduk karena tak sanggup dengan cara Alisa yang semakin berani berpenampilan.“Pak, bagaimana tidur Anda, kulihat–”“Apa jadwalku hari ini?” tanya Leo memotong ucapan tidak masuk akal dari Lisa.Mendengus kasar, “Pak kita bahkan belum sampai di ruangan, biarkan saya bernapas dulu,” jawab Lisa kesal karena kakaknya terlalu menekan dirinya.Leonardo menatap sinis pada adiknya, hari ini suasana hatinya sedang kacau, tetapi Alisa sengaja membuatnya semakin buruk.“Maaf saya terlambat.” Bram masuk ke dalam ruang besi, menekan tombol paling atas setelah mengatur napas.Leonardo berdecak, “Lain kali jangan terlalu banyak mengobrol pada mereka Bram. Fokus pada dirimu saja,” kata Leo sembari melirik sinis pada adiknya yang langsung melakukan aksi g
“Terima kasih, Pak.” Dara melingkarkan tangan erat pada pinggang alot Leonardo. Wanita yang hampir saja melompat dari gedung apartemen itu, berhasil dibujuk dan diselamatkan.Tangan Leo masih menggantung, tak membalas pelukan itu sama sekali. Dara—merasa hatinya tercubit dengan sikap Leo yang semakin dingin padanya.“Pak …,” ucap Dara lirih.“Apa kamu gila? Kamu bisa mati sia-sia Dara.” Leo melepaskan pelukan Dara sedikit kasar. Pria itu, menatap kesal pada sekretarisnya yang semakin tidak masuk akal.Dara menunduk takut. Tangannya saling bertaut dengan air mata yang mulai bercucuran.“Saya tidak bisa berpikir dengan benar, Pak. Rasa cinta saya yang begitu besar membuat saya tidak tahu harus melakukan apa,” kata Dara masih dengan posisi menunduk.“Kenapa tidak mengerti juga Dara, ini salah. Kamu menutup hati untuk orang lain hanya untuk rasa yang tak terbalas,” balas Leo mulai melembutkan suaranya.Dara mendongak, tatapannya sayu dengan air masih mengenang di kelopak mata. “Pak, ini s
Mereka berdua sama-sama terdiam beberapa menit. Hingga Alice mengusap perutnya pelan. “Lapar lagi?” tanya Leo terkekeh. Alice tersenyum kecil, ia menampilkan gigi rapi dengan wajah yang merah karena malu, “Tadi, hanya makan sedikit,” katanya. Leonardo mencubit pelan pipi yang mulai mengembang. “Kalau begitu, ayo kita makan lagi. Sepertinya aku juga mulai lapar." Alice mengangguk setuju, dengan hati-hati ia turun dari pangkuan Leonardo—suaminya. Wanita dengan perut buncit itu, melangkah ke arah sofa, duduk dengan rapi, menunggu Leo menyiapkan makan malam yang kesekian untuknya. “Suami yang manis,” kata Alice sembari tersenyum hangat. Leonardo yang mendengar ucapan Alice hanya menggeleng pelan, ia dengan cekatan membuat susu dan juga membuat makan malam ringan untuk sang istri. Setelah selesai, Leo membawa semua pada sang istri. “Minum susunya dulu.” Leonardo menyerahkan gelas susu hangat, kemudian menyerahkan semangkuk buah dan beberapa roti di piring yang lain. “Teri