“Sudah beritahu ayahmu?” tanya Arsen tertuju pada layar di hadapan mereka. Saat ini keduanya tengah berada di ruang tamu, nonton berdua dengan beberapa makanan di atas meja.“Sudah. Aku juga mengatakan akan mengunjungi dirimu,” jawab Alice masih fokus dengan kisah cinta orang lain.Arsen menelengkan kepala, ia menatap Alice dengan tatapan selidik. “Katakan padaku, bagaimana bisa kamu dan dia bersama tadi?”Alice menghela napas panjang, ia meraih satu toples di atas meja, kemudian membuka penutupnya dengan seluruh kekuatan. Arsen yang melihat itu, menggeleng pelan dan membantu membuka.“Kamu bekerja di rumah suamimu selama satu tahun, tetapi membuka tutup toples saja tidak bisa,” kata Arsen sengaja menggoda.Alice terkekeh kecil, ia meraih satu kue dari dalamnya, kemudian memakannya dengan senang hati. Arsen yang melihat itu, merasa bahagia, ia angkat tangannya kemudian mengusap kepala Alice dengan lembut.“Bersamaku, aku pastikan kamu tidak akan kelelahan Alice.”“Aku tahu,” jawab Ali
Langkah kaki terdengar masuk ke dalam ruangan. Arsen yang berada di sebelah Alice pun diam-diam penasaran dengan apa yang akan terjadi setelah ini.“Aku di sini, adik,” kata Alice.Leonardo menoleh dengan cepat, tatkala mendengar suara wanita yang ia nikahi selama satu tahun terakhir. Senyum yang seharusnya terbit, kini berubah masam.Alice mendekat dan duduk di sebelah Siviana—adiknya. Sementara Arsen, ia duduk tidak jauh dari Oscar dan juga Leonardo. “Selamat malam, Pak Leo. Senang bertemu dengan Anda lagi,” kata Arsen menyapa Leonardo dengan ramah.“Ucapan yang sama, Pak Arsen,” jawab Leonardo tanpa minat, tetapi dengan baik ia tetap memberi senyuman.Silviana menoleh pada kakaknya. “Kak, kamu dengan Arsen? Kalian–”“Kebetulan kami bertemu di jalan,” jawab Alice berkilah. Ia tidak akan membuat Leonardo marah pada Arsen karena tahu mereka berdua baru saja bertemu. Silviana mengangguk, tetapi dia bukan orang bodoh yang langsung percaya. Ia tahu bagaimana Arsen yang sulit sekali dit
“Alice ….,” ucap Leonardo tatkala melihat wanitanya datang dengan penampilan jauh berbeda dari biasanya.“Selamat siang, Leon,” balas Alice menyapa kembali Leonardo yang sudah duduk bersama Dara di sebelahnya. Sementara Arsen, pria itu hanya tersenyum kecil tatkala Leonardo menatapnya dengan tatapan sengit.Alice duduk di sebelah Arsen, yang berarti mereka berempat dengan berhadapan-hadapan saat ini. Tidak mudah bagi Alice melihat Leonardo duduk berdekatan bersama Dara tetapi, ketika ia menyadari jika kebahagiaan Leonardo adalah pada Dara—ia mencoba menekan hati agar tetap tenang.“Maaf karena aku terlambat. Aku memiliki sedikit urusan,” jelas Alice tatkala Arsen menatapnya dengan tatapan ingin tahu.“Baiklah, lagipula kamu juga baru beberapa menit sampai, benarkan Pak Leo,” kata Arsen meminta dukungan pada rekannya. Ia tidak ingin Alice merasa bersalah karena keterlambatannya.Leonardo tidak menjawab. Ia memilih diam dan menatap lurus pada Alice yang semakin hari semakin terlihat be
Dara mendudukkan diri dengan kasar di ruangannya. Beberapa karyawan lain melihatnya dengan tatapan kasihan. Ada juga yang ikut prihatin dengan nasib Dara.“Nona Dara, lebih baik Anda ikhlas,” kata seseorang dengan wajah kasihan melihat Dara.Mendengar itu, Dara melayangkan tatapan tajam padanya, dia bahkan sampai meminta semua orang untuk tidak bersuara selama ada dirinya.“Jika kalian ingin mendapatkan upah sebagaimana seharusnya, lebih baik kalian bekerja dengan benar,” kata Dara mengingatkan bagaimana mereka semua ikut berdemo hanya karena upah yang lambat diberikan.Karyawan lain, mendengus pelan, tahu jika melawan Dara adalah mau bagi mereka. Takut jika nasib mereka sama seperti Sartika yang tidak lama langsung mendapatkan surat pemecatan karena ketahuan ingin mendekati Leonardo.Dara memejamkan mata. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi cara membujuk Leonardo agar dirinya yang ikut ke pabrik. Dara tidak ingin jika nanti Leonardo dan Alice semakin dekat dan mereka bersatu kembali.
Alice tersenyum, ia tahu bagaimana Silviana yang tidak pernah menyukai dirinya sejak awal. Namun, baginya itu bukan hal yang penting pun ibunya mungkin saja menganggap dirinya penghalang. Terlepas bagaimana ibu Delima memperlakukan dirinya buruk di masa lalu. Alice akan tetap memaafkan Silviana.“Baiklah. Aku akan tetap berterima kasih padamu, Silvia,” kata Alice kembali.Arsen berdehem, mencairkan suasana yang terasa kaku di antara mereka. “Kalau begitu, kalian mengobrol saja bersama. Aku harus kembali.”Alice mendongak kemudian mengangguk. Ia sebenarnya merasa tidak enak hati karena mengambil waktu Arsen tadi. Sementara Silvia merasa keberatan atas niat Arsen yang ingin meninggalkan mereka.“Tapi aku … aku baru saja tiba,” kata Silvia terdengar jelas jika ia tak suka cara Arsen yang meninggalkan mereka berdua.“Kamu bisa mengobrol bersama saudaramu. Kalian sudah lama terpisah, sudah seharusnya bersama dan mengobrol.” Arsen berdiri dan mengusap kepala Alice lembut di hadapan Silvia.
“Selamat siang, Ayah.” Silviana memasuki ruangan ayahnya dan melangkah ke arah pria dewasa yang sudah terlihat jauh lebih segar dari biasanya. Dalam hati Silvia senang karena ayahnya sudah memiliki keinginan untuk sehat lagi, tetapi di balik itu, jelas ia merasa sedih karena bukan karena dirinya ayahnya seperti ini.“Kamu di sini, Sayang?” Oscar membalas pelukan sang putri lalu membawa Silvia duduk ke sofa. Silvia duduk dengan tenang, begitu pun dengan Oscar yang meletakkan ponselnya di atas meja. Kemudian menatap putrinya serius. “Katakan, Anda masalah apa?”Silvia mengerucutkan bibir, ia mendekat dan memeluk lengan ayahnya dengan manja. “Ayah, apakah aku bisa meminta sedikit bantuanmu?” “Katakan saja. Kamu adalah putriku. Apa pun kesulitanmu Ayah akan mencoba membantu dengan maksimal,” kata Oscar serius. “Ayah, aku–”Silviana tidak melanjutkan ucapannya tatkala tangan kekar ayahnya sudah berada di wajahnya yang memar. Silvia menahan napas, berharap ayahnya tidak menanyakan banyak
Delima dan Oscar sama-sama memilih diam. Bukan tanpa sebab ia membiarkan kedua putrinya berselisih dalam hal ini. Dia ingin tahu bagaimana cara Alice menyelesaikan masalahnya sendiri. Pun dengan Silviana, ia tidak akan melarang untuk bertanya selama ini masih terbilang baik.“Kak, aku tidak percaya kamu meninggalkan rumah mertuamu dalam keadaan marah,” ujar Silviana lagi.Alice berdiri. Ia menatap ayah dan ibunya sekilas lalu menunduk kecil. “Ayah, aku ingin kembali ke kamar. Tolong maafkan aku.”Setelah kepergian Alice, Oscar berdiri, ia juga meninggalkan ruang keluarga dan melangkah ke arah kamarnya tanpa mengatakan sepatah kata pun pada Silviana dan Delima. Hari ini, ia begitu lelah hingga tak ingin membuang tenaga mendengar ocehan Delima dan Silvia.“Ayah ….,” panggil Silviana pelan menatap nanar kepergian ayahnya.Sementara Delima ia menyandarkan punggungnya di badan sofa menatap senang pada Silvia yang berani menentang Alice di depan Oscar. “Kamu sangat hebat, Silvi. Kamu membua
Silvia menatap Leonardo dengan tatapan masih kagum, pria di hadapannya begitu tenang meski begitu banyak pertanyaan yang ia lontarkan.Leonardo menatap Silvana dengan tatapan tenang, “Sudah aku katakan. Jaga pandanganmu karena aku tidak bertanggung jawab dengan apa yang kamu rasakan.”Silvia terkekeh, “Hei. Kamu mengira aku akan jatuh cinta?” kata Silvia serius, “cintaku bahkan sudah habis pada Arsen,” jujurnya terdengar begitu menyedihkan.Leonardo meraih gelas miliknya, lalu meneguk isi di dalamnya dengan sekali gerakan. Silviana menggeleng, tak menyangka jika pria seperti Leonardo bisa minum dengan lihai.“Kamu mengajakku bertemu karena ingin mendapatkan cinta Arsen, benar?” tanya Leonardo masih dengan tatapan datar pada Silvana.“Benar Kakak ipar. Aku tahu jika kamu mencintai istrimu, jadi ayo bekerja sama untuk memisahkan mereka,” ucap Silviana semangat.Leonardo kembali mengisi gelas kosong miliknya. Mendengar nama Arsen mendadak membuat perutnya mual. Apalagi tatkala mengingat
Alice histeris, ia terkejut hingga wajahnya memerah. Leo yang awalnya kesal langsung menyeringai, seperti mendapat ide lain untuk membalas dendam pada sang istri.“Apakah kamu ingin mengulangi lagi?” bisiknya tepat di telinga Alice yang sudah membungkus dirinya dengan selimut.“Tidak! Pergilah!” jeritnya tak kuasa jika harus melakukan hal itu.Sudut bibir Leo tertarik membentuk senyuman kecil, ia menarik paksa selimut tebal yang melilit tubuh istrinya dan kembali melanjutkan aktivitas mereka.Alice yang awalnya memberontak pada akhirnya pasrah. Ia tak bisa bebas dalam cengkraman Leo yang semakin ganas.________“Damian, aku lelah,” kata Laila pada saudaranya, “kita cari ibu saja.”Damian yang tengah mengelus rambut kuda besar menoleh, ada Arsen bersama mereka di sana.“Ayo, mungkin saja ibu sudah terlihat,” katanya yakin. Damian mendongak pada Arsen yang lebih banyak diam, pria yang mereka panggil ayah itu sepertinya sangat kelelahan.“Ayah, kita masuk. Aku juga lapar,” terangnya sud
Di dalam kamar yang begitu besar dan mewah. Boneka serta mobil-mobilan berbagai ukuran ditata dengan sangat rapi. Tidak hanya itu, foto Alice dan Leo terpasang begitu besar di dalam kamar tersebut, entah apa yang Oscar pikirkan hingga tetap memberikan tempat untuk menantu lelakinya.Di dalam kamar tersebut, dua orang dewasa sesaat saling terpaku tatkala menyaksikan dekorasi yang begitu indah dan terkesan menyentuh hati.Menghela napas, perlahan Leo meletakkan anaknya di sisi sebelah kiri, pun dengan Alice yang melakukan hal yang sama. Setelah itu, Alice mengecup kening kedua anaknya.“Terima kasih karena telah menjemput kami,” kata Alice masih terkesan dingin dan acuh.Leonardo mendengus, sikap Alice semakin memberikan kebimbangan pada dirinya. Ia menahan tangan sang istri yang hendak meninggalkan kamar. Pria itu, dengan kasar menarik tangan Alice dan merapatkannya dalam pelukan. Alice melototkan kata, ia tak bisa mengeluarkan suara kencang karena takut kedua anaknya terbangun dan me
Langit begitu cerah seolah bersaksi jika pertemuan ini adalah yang paling dinanti. Di antara hamparan bunga mawar yang tertata rapi, dua orang dewasa tengah duduk di bangku taman dengan tatapan lurus pada ayunan yang bergoyang.Di depan sana, kedua anak kembar dengan nama yang berbeda tengah bermain sambil bercengkrama.“Alice …,” ujar Leo dalam.“Bagaimana bisa kamu sampai di tempat ini?” balas Alice tanpa menoleh.Sudut bibir Leo terangkat sebelah, membentuk sebuah seringai tajam, “Bukankah seharusnya kamu minta maaf padaku? Kamu mencuci otak anakku dengan kejamnya.”Terdiam dengan napas terengah, ia menelengkan kepala menatap pria yang telah banyak berubah bentuk fisiknya.“Mencuci? Tidakkah kamu merasa jika kata-kata itu terlalu menyakitkan?” desis Alice tak menerima tuduhan itu.“Lalu apa?” balas Leo membalas tatapan wanitanya, jantungnya berdebar, ia bahkan menahan diri dengan keras untuk tidak memeluk, “jelas sekali kedua anakku tidak menyambutku, mereka bahkan melihat asing pa
“Tentu saja, ayah harus ikut,” kata Alice pada kedua anaknya. Untungnya kini kedua anaknya tidak lagi bertanya banyak hal padanya. “Syukurlah! Aku sangat khawatir jika Ayah tidak datang," katanya jujur.“Panggil dia paman setelah kita sampai di sana, ya.” Alice mengusap kepala anaknya. Ia merasa takut Arsen semakin risih dengan panggilan itu.“Kenapa? Apakah karena kalian tidak bisa bersama?” tanya Laila polos, “Ibu, tidak apa jika tidak bersama, dia tetap ayahku.”Damian melirik adiknya. Sebenarnya dia begitu penasaran dengan orang dewasa. Ibunya tidak memasang foto ayahnya di manapun, tetapi memasang foto pria lain di ponselnya.“Ibu, bolehkah aku bertanya?” Damian meriah tangan ibunya kemudian mendekapnya di dada.“Katakan saja, Sayang?” jawab Alice dengan lembut.Damian dan Laila saling lirik, bocah kecil itu berkata dengan sangat hati-hati, “Foto siapa yang berada di ponsel ibu? Matanya … sangat mirip dengan mataku.”Jantung Alice berdebar kencang, hal ini yang paling ditakutkan
Sampai di rumah sang kakak, Alisa langsung sigap memantau semua pekerjaan tukang. Sebenarnya, di rumah ibunya, kamar bayi sudah disiapkan oleh kakeknya.Sangat disayangkan sekali, Alice meninggalkan rumah dengan alasan yang sampai sekarang pun tak diketahui penyebabnya.Syukurnya, kakeknya—Horison berjiwa yang lapang, dua kamar bayi yang disiapkan masih tetap bersih hingga sekarang.Pria itu, yakin penerus keluarganya pasti akan kembali ke rumahnya.“Nona, bagaimana dengan foto ini, kami letakkan di mana?” tanya si tukang pada Alisa, memang Alisa yang meminta mereka menunggu untuk urusan foto tersebut.Alisa masuk ke dalam kamar yang hampir selesai, terlihat indah dengan satu ranjang besar sesuai dengan keinginan kakaknya."Letakkan saja di atas. Aku rasa di sanalah tempat yang paling baik," katanya setelah lama menimbang.“Baik Nona,” jawabnya langsung meminta para pekerja yang lain untuk melakukan pekerjaannya. Ini adalah pekerjaan terbaik bagi mereka karena diberi kesempatan untuk
Di bawah pohon yang rindang, empat kepala tengah berbaring menghadap ke atas. Di sekeliling mereka rumput hijau yang berbunga tumbuh subur semakin menambah keindahan.“Jadi, kalian tidak ingin jujur kepada Ibu?” tanya Alice mencoba mengulik apa yang terjadi. Damian dan Laila saling lirik, “Ibu, kami tidak merahasiakan apa pun darimu,” kilah Damian menolong adiknya.“Benarkah? Kenapa ibu mereka jika kalian berdua mulai menyembunyikan sesuatu, ya.” Alice membalik tubuhnya seperti tengkurap, menatap ketiga orang di hadapannya masih berbaring menatap ke langit biru. “Ayah, tolong beritahu ibu,” bujuk Laila berkata lembut.Baru saja Arsen akan bersuara, Alice langsung berdehem, “Jangan meminta tolong pada Ayahmu. Dia masih Ibu hukum karena kesalahan yang lain,” tukas Alice memicing tajam.Damian dan Laila terkekeh bersama, "Ayah, kali ini, kami tidak bisa menolong," kata Damian, ia menarik adiknya dan bermain bersama.Mendengus pelan, Damian dan Alice pun ikut bangkit dari tidurnya.“Ka
Di sebuah ruangan yang gelap. Seorang pria tengah duduk dengan kedua tangan menutup wajah. Bayangan sang istri terus berputar di dalam benaknya. “Bahkan dia tidak ingin membalas pelukanku dariku,” gumamnya memecah keheningan malam. “Di mana dia menyimpan anak-anakku. Wanita itu …,” geramnya menyadari jika tadi ia tak melihat dua anak yang Bram ungkapkan padanya.Leonardo menoleh tatkala mendengar suara ketukan pintu, ia melangkah malas ke arah sumber suara. Membuka pintu dan menemukan pelayan perempuan berdiri di sana.“Katakan!” serunya malas. Cahaya dari luar menerangi kamarnya yang masih gelap. Hal yang selalu Leo lakukan selama kepergian istrinya.“Saya sudah meminta nona Dara seperti yang Anda perintahkan, tetapi beliau memutuskan untuk tetap tinggal di luar rumah, Tuan,” lapornya.Leonardo mendengus kasar, “Biarkan saja. Kalian lebih baik tidur karena besok pagi Alisa dan beberapa tukang akan datang,” kata Leo, “siapkan apa saja yang seharusnya kalian siapkan,” sambungnya lagi
Mendengus kasar, Leo menarik Alice masuk ke dalam mobilnya, mengabaikan panggilan dari supir istrinya yang terlihat khawatir.“Lepaskan aku!” sentak Alice lagi, ia mencoba keluar, tetapi Leo mengunci pintu mobil dengan cepat.“Leon, tolong biarkan aku pergi,” katanya dengan tatapan memelas. Ia tidak bisa pulang terlambat malam ini.“Tidak akan! Aku tidak akan melepaskan dirimu lagi, Alice! Tidak akan!” balas Leo dengan nada marah.Berdecak, Alice berpikir cepat, kedua anaknya bisa marah jika dia tak kembali lebih awal malam ini. Namun, bagaimana cara membicarakan ini pada Leon? Pria di sebelahnya tak boleh mengetahui keberadaan mereka berdua.Leo yang melihat istrinya tengah gelisah, hanya menyeringai, ia tahu jika Alice tengah dilanda kekhawatiran yang dalam saat ini.“Aku tidak akan membiarkanmu meninggalkan aku lagi, Alice. Jadi jangan harap kamu bisa lepas dariku,” desis Leo dengan suara yang berat.“Leon jangan bercanda. Aku tidak bisa ikut denganmu malam ini,” katanya memelas.
“Beri aku 500 dolar,” kata Silvia pada sang kakak. Wanita bermata indah itu berdecak karena gaun miliknya kini tidak bisa dikenakan lagi.Tidak sampai lima menit, ponsel mahal milik Silvia mengeluarkan bunyi notifikasi. Wanita cantik itu lantas menatap kakaknya dengan tatapan tidak percaya.“Wah, uangku langsung masuk,” decak Alisa dengan mata berbinar pada nominal yang masuk di ponselnya. Ia mendapatkan nilai lebih.“Gunakan dengan baik. Itu karena kamu sudah menyelamatkan hidupku tadi,” seloroh Leo senang karena akhirnya terbebas dari Lucas dan putrinya.“Ya. Aku berharap Kakak tidak menjatuhkan hati padanya. Lihatlah, tubuhnya sangat kurus dan … riasannya sangat mencolok.”“Alisa,” tegur Leo lembut, tetapi penuh ketegasan, ia tidak ingin adiknya menjadi terbiasa membicarakan keburukan orang lain.“Ya. Baiklah!”Lisa menyandarkan punggung di sandaran mobil, mengingat kembali apa yang dilihatnya di pesta tadi. Ia melirik kakaknya yang tengah serius menatap foto wanita hamil di layar