Dara mendudukkan diri dengan kasar di ruangannya. Beberapa karyawan lain melihatnya dengan tatapan kasihan. Ada juga yang ikut prihatin dengan nasib Dara.“Nona Dara, lebih baik Anda ikhlas,” kata seseorang dengan wajah kasihan melihat Dara.Mendengar itu, Dara melayangkan tatapan tajam padanya, dia bahkan sampai meminta semua orang untuk tidak bersuara selama ada dirinya.“Jika kalian ingin mendapatkan upah sebagaimana seharusnya, lebih baik kalian bekerja dengan benar,” kata Dara mengingatkan bagaimana mereka semua ikut berdemo hanya karena upah yang lambat diberikan.Karyawan lain, mendengus pelan, tahu jika melawan Dara adalah mau bagi mereka. Takut jika nasib mereka sama seperti Sartika yang tidak lama langsung mendapatkan surat pemecatan karena ketahuan ingin mendekati Leonardo.Dara memejamkan mata. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi cara membujuk Leonardo agar dirinya yang ikut ke pabrik. Dara tidak ingin jika nanti Leonardo dan Alice semakin dekat dan mereka bersatu kembali.
Alice tersenyum, ia tahu bagaimana Silviana yang tidak pernah menyukai dirinya sejak awal. Namun, baginya itu bukan hal yang penting pun ibunya mungkin saja menganggap dirinya penghalang. Terlepas bagaimana ibu Delima memperlakukan dirinya buruk di masa lalu. Alice akan tetap memaafkan Silviana.“Baiklah. Aku akan tetap berterima kasih padamu, Silvia,” kata Alice kembali.Arsen berdehem, mencairkan suasana yang terasa kaku di antara mereka. “Kalau begitu, kalian mengobrol saja bersama. Aku harus kembali.”Alice mendongak kemudian mengangguk. Ia sebenarnya merasa tidak enak hati karena mengambil waktu Arsen tadi. Sementara Silvia merasa keberatan atas niat Arsen yang ingin meninggalkan mereka.“Tapi aku … aku baru saja tiba,” kata Silvia terdengar jelas jika ia tak suka cara Arsen yang meninggalkan mereka berdua.“Kamu bisa mengobrol bersama saudaramu. Kalian sudah lama terpisah, sudah seharusnya bersama dan mengobrol.” Arsen berdiri dan mengusap kepala Alice lembut di hadapan Silvia.
“Selamat siang, Ayah.” Silviana memasuki ruangan ayahnya dan melangkah ke arah pria dewasa yang sudah terlihat jauh lebih segar dari biasanya. Dalam hati Silvia senang karena ayahnya sudah memiliki keinginan untuk sehat lagi, tetapi di balik itu, jelas ia merasa sedih karena bukan karena dirinya ayahnya seperti ini.“Kamu di sini, Sayang?” Oscar membalas pelukan sang putri lalu membawa Silvia duduk ke sofa. Silvia duduk dengan tenang, begitu pun dengan Oscar yang meletakkan ponselnya di atas meja. Kemudian menatap putrinya serius. “Katakan, Anda masalah apa?”Silvia mengerucutkan bibir, ia mendekat dan memeluk lengan ayahnya dengan manja. “Ayah, apakah aku bisa meminta sedikit bantuanmu?” “Katakan saja. Kamu adalah putriku. Apa pun kesulitanmu Ayah akan mencoba membantu dengan maksimal,” kata Oscar serius. “Ayah, aku–”Silviana tidak melanjutkan ucapannya tatkala tangan kekar ayahnya sudah berada di wajahnya yang memar. Silvia menahan napas, berharap ayahnya tidak menanyakan banyak
Delima dan Oscar sama-sama memilih diam. Bukan tanpa sebab ia membiarkan kedua putrinya berselisih dalam hal ini. Dia ingin tahu bagaimana cara Alice menyelesaikan masalahnya sendiri. Pun dengan Silviana, ia tidak akan melarang untuk bertanya selama ini masih terbilang baik.“Kak, aku tidak percaya kamu meninggalkan rumah mertuamu dalam keadaan marah,” ujar Silviana lagi.Alice berdiri. Ia menatap ayah dan ibunya sekilas lalu menunduk kecil. “Ayah, aku ingin kembali ke kamar. Tolong maafkan aku.”Setelah kepergian Alice, Oscar berdiri, ia juga meninggalkan ruang keluarga dan melangkah ke arah kamarnya tanpa mengatakan sepatah kata pun pada Silviana dan Delima. Hari ini, ia begitu lelah hingga tak ingin membuang tenaga mendengar ocehan Delima dan Silvia.“Ayah ….,” panggil Silviana pelan menatap nanar kepergian ayahnya.Sementara Delima ia menyandarkan punggungnya di badan sofa menatap senang pada Silvia yang berani menentang Alice di depan Oscar. “Kamu sangat hebat, Silvi. Kamu membua
Silvia menatap Leonardo dengan tatapan masih kagum, pria di hadapannya begitu tenang meski begitu banyak pertanyaan yang ia lontarkan.Leonardo menatap Silvana dengan tatapan tenang, “Sudah aku katakan. Jaga pandanganmu karena aku tidak bertanggung jawab dengan apa yang kamu rasakan.”Silvia terkekeh, “Hei. Kamu mengira aku akan jatuh cinta?” kata Silvia serius, “cintaku bahkan sudah habis pada Arsen,” jujurnya terdengar begitu menyedihkan.Leonardo meraih gelas miliknya, lalu meneguk isi di dalamnya dengan sekali gerakan. Silviana menggeleng, tak menyangka jika pria seperti Leonardo bisa minum dengan lihai.“Kamu mengajakku bertemu karena ingin mendapatkan cinta Arsen, benar?” tanya Leonardo masih dengan tatapan datar pada Silvana.“Benar Kakak ipar. Aku tahu jika kamu mencintai istrimu, jadi ayo bekerja sama untuk memisahkan mereka,” ucap Silviana semangat.Leonardo kembali mengisi gelas kosong miliknya. Mendengar nama Arsen mendadak membuat perutnya mual. Apalagi tatkala mengingat
Alice menaiki tangga dengan bingung. Ia jelas melihat apa yang terjadi di halaman belakang, tetapi kemana pelakunya menghilang dengan cepat. Wajahnya mengetat, selama dia pergi ayahnya dikhianati dengan teganya. Alice menoleh tatkala mendengar langkah kaki terdengar. Ia menoleh dan mendapati Delima berjalan dengan wajah pucat. Alice tersenyum dan bersedekap.“Selamat malam, Ibu.” Alice menuruni tangga kembali.Delima menoleh, ia menatap Alice dengan tatapan datar. “Kenapa kamu di sini?”“Ibu, ini adalah rumahku. Memang aku harus di mana?” tanya Alice masih dengan tatapan menyelidik.“Sudahlah. Aku malas berdebat denganmu. Lebih baik kamu kembali ke rumah suamimu dan hiduplah dengan mengerikan di sana.” Delima melangkah ke arah dapur, Alice bisa melihat salah satu kaki ibunya sakit. Entah apa yang sudah Delia lakukan sampai seperti itu. Alice menghela napas, hidupnya di rumah Leonardo memang tidak mudah, tetapi setelah pengkhianatan yang dilakukan suaminya, dia merasa tak bisa mener
“Leon, ini bukan jalan seharusnya kan?” tanya Alice bingung karena jalan yang mereka ambil berlawanan arah dengan yang Arsen lewati.Leonardo tidak menjawab sekata pun. Ia terus melajukan mobilnya dengan wajah tenang dan dingin. Sementara Alice sejak tadi terus melihat ke arah mana mereka pergi. Ia ingin tahu, kemana Leonardo akan membawa dirinya.“Leon, tolong putar balik, aku–”Alice tidak tahu harus mengatakan apa. Ingin marah, tetapi takut jika Leonardo lebih marah padanya. Namun, jika dibiarkan mereka bisa saja tidak akan sampai pada tujuan.Leonardo menepikan mobilnya tepat di bawah pohon yang rindang. Sudah berusaha mendapatkan kesempatan agar bisa bersama Alice, dia akan berusaha untuk tetap tenang agar Alice tidak mencoba keluar dan meninggalkan dirinya.Setelah mematikan mesin mobil dan mengatur napas, Leonardo menoleh pada Alice yang terlihat sangat kesal. “Apa kamu mulai tidak suka dekat denganku?”Alice mengehala napas, “Daripada menanyakan itu, lebih baik kita kembali ke
Tiba di tempat tujuan. Leonardo tersenyum karena Alice masih setia dengan tidurnya. Sejak di jalan, Alice terus mengomel karena perjalan panjang mereka tak berujung. Dengan perlahan ia membawa Alice dalam gendongannya, meneliti setiap Pahan wajah cantik sang istri.'Oh God, apa dia memang sudah cantik sejak dulu?’ batinnya menyadari kecantikan Alice.Tiba di kamar yang sudah di pesannya sejak beberapa jam lalu. Leonardo membawa masuk dan meletakkan Alice dengan perlahan di atas kasur. Membuka dengan hati-hati sepatu yang Alice pakai serta membuka ikatan rambut Alice dengan gunting kecil.“Nah, seperti ini jauh lebih baik. Seharusnya dia tidak mengenakan ikat rambut tadi,” gumamnya merasa puas karena benda kecil harga jutaan rupiah itu berhasil ia putuskan dengan mudah.Setelah memastikan Alice tidur dengan nyenyak, Leonardo keluar dengan langkah pelan, ia harus menghubungi Bram dan memastikan mereka sampai dengan selamat.Namun sebelum ia menekan nomor Bram, telepon dari seseorang yan