Leonardo merasa udara di sekitarnya semakin menipis, kata-kata Alice selalu berhasil membuatnya tertampar berulang kali. Wanita di hadapannya ini seperti membawa dendam yang begitu besar untuknya.“Alice. Kenapa masih mengungkit ini, aku tahu aku bersalah padamu, tetapi bukankah kamu juga bersalah?” Alice mengangkat wajah, terlihat ada kerutan halus di wajahnya. “Kamu benar, aku bersalah karena pernah mencintaimu dengan sangat, tetapi dengan bodohnya aku tetap bertahan.”Leonardo mengusap wajahnya, ia mendekat dan memegang tangan Alice untuk pertama kalinya. “Dengarkan aku. Aku bersalah, aku tidak tahu jika kamu–”“Apakah kamu takut perubahanmu jatuh, karena tahu aku anak Oscar?” potong Alice dengan pertanyaan yang sarkas. Ia semakin yakin jika Leonardo memang tidak pernah mencintai dirinya dengan tulus.Alice tersenyum getir, melepas dengan pelan tangannya. “Sudah aku katakan, tidak akan terjadi hal buruk pada perusahaanmu. Aku tidak segila itu sampai membawa masalah pribadi pada
Leonardo menghela napas, ia bahkan tak diberi kesempatan untuk menjelaskan. Alice berlalu dengan cepat dan sudah masuk ke dalam mobil. Putra pertama Luna itu membayar tagihan dan keluar dengan langkah cepat. Di dalam mobil, Alice tengah menelepon dengan orang lain dan itu berhasil membuat hati Leonardo mendidih. Ia membuka pintu dengan kasar dan menghidupkan mobil dalam keadaan diam.Sementara Alice hanya mengedikkan bahu dan tetap melanjutkan obrolannya. Ia berusaha untuk tidak memperdulikan Leonardo. “Baiklah, kalau begitu bekerjalah dengan benar. Kapan-kapan aku akan datang dan berkunjung denganmu,” kata Alice setelah obrolan panjang mereka. Leonardo yang mendengar itu bernapas lega, setidaknya ia tak harus mendengar Alice tertawa tetapi bukan untuknya.Masih di tengah jalan yang sunyi, Leonardo memutar musik romantis untuk mengubah situasi yang menegangkan diantara mereka. Alice menyandarkan punggungnya dan membelakangi Leonardo. Wanita itu lebih sibuk menatap ke luar jendela me
“Tidak!” seru Alice tegas, wajah memerah, jantungnya berdebar, apalagi ketika otak kecilnya mengingat bayangan semalam. Ia menggeleng kuat sambil menutup mata.Menyaksikan itu Leonardo tersenyum kecil, ia meraih pundak Alice agar mereka saling menghadap. Dengan tatapan memuja, mengusap wajah merah sang istri. “Wajahmu merah, kamu sakit?”Alice menjauhkan diri, tetapi lagi-lagi Leonardo meraih dirinya dan memasukkan dalam dekapannya. “Kenapa suka sekali menghindar? Bukankah dulu, kamu ingin aku seperti ini?”“Sebelum kamu dan Dara–”“Aku tidak tidur dengannya!” ucap Leonardo dengan suara dingin, ia tidak tahu bagaimana Alice tahu tentang hal ini, tetapi apa yang dituduhkan padanya itu tidak benar. Mereka memang satu ranjang, tetapi tidak melakukan apa pun karena Leonardo memutus tidur di sofa malam itu.“Aku tidak percaya,” balas Alice masih yakin jika Leonardo berbohong padanya.“Tidak! Aku tidak akan berbohong demi nama baikku,” jawab Leonardo tegas, “aku tidak tahu dari mana kamu me
“Bagaimana, apa kamu senang?” tanya Leonardo pada Alice yang baru tiba dari aksinya berlarian di pantai.“Heum, aku senang,” jawabnya singkat. Alice duduk di sebelah Leonardo, meluruskan kaki dan menghadap pada lautan yang luas. “Kamu tahu, ibuku selalu membawaku ke pantai ketika liburan tiba,” katanya mengingat masa lalunya, “tetapi, setelah kehadiran Silviana dan ibunya hidupku berubah mengerikan.”Leonardo menoleh, ia merasa ikut bersalah karena terlibat membuat hidup Alice menderita selama ini. Karena itulah, kali ini, ia akan menembus dosa yang pernah ia lakukan selama mereka menikah.“Boleh aku tahu di mana ibumu?” tanya Leonardo hati-hati. Ia bahkan mereka sangat malu karena tidak tahu seluk beluk ibu mertuanya.Alice menoleh, ia memberikan senyum yang lain, senyum aneh yang sangat sulit Leonardo ungkapkan. “Ibu … ibu ada di antara kita,” katanya dengan senyum penuh arti, “ibuku memilih untuk tidak terlibat di antara kita dan aku hormati keputusannya.”Leonardo mengeritkan ken
Malam hari, Alice tiba di rumahnya. Ia mengerutkan kening karena Delima sudah menunggu dirinya di rumah keluarga. Wanita itu terlihat mendekat dan memasang wajah tidak suka pada putri sambungnya.“Begini ternyata kelakuanmu, pamit bekerja tahunya pergi bersama pria yang kamu anggap tidak penting,” sarkas Delima dengan tatapan sengit.Alice menghela napas pelan, ia mendekat dan menatap jam dinding rumahnya. “Bu, bukankah seharusnya Ibu istirahat, lihatlah sudah malam.”Delima mendengus, “Kenapa kamu kembali? Apakah ingin merebut milik Silviana—putriku?”“Bukankah seharusnya yang selama ini merebut milik ibuku adalah kalian? Ibu bahkan merencanakan sesuatu untuk kepergian ibuku,” kata Alice dengan tatapan dingin, terdengar lembut, tetapi ada sesuatu yang menusuk di dalamnya.Delima mengepalkan tangan, merasa jika Alice semakin berani melawan dirinya. Wanita itu mendekat dan meraih tangan Alice.“Pergilah! Jangan kembali lagi!” usirnya menyentak tangan Alice hingga hampir terhempas. Har
Silvia begitu bahagia tatkala mendengar apa yang Hary katakan Arsen mencarinya, bukankah itu pertanda yang baik? Putri Delima itu bahkan memberi pesangon untuk semua karyawannya untuk hari ini. Dia begitu bahagia dan berbunga.“Dia menanyakan diriku. Arsen menanyakan diriku,” kata Silvia ingin menangis karena begitu bahagia.“Sudah aku katakan, dia akan melihat bagaimana perasaanku padanya,” ucap Silviana kembali.Silvia membuka laci di mejanya, mengeluarkan foto seseorang yang begitu tampan. Foto Arsen yang saat itu tengah berfoto bersama Alice, tetapi Silvia memotong foto kakaknya.“Aku berharap ini bukanlah mimpi, aku takut jika ini hanya halusinasiku saja,” katanya dengan wajah memelas, takut sekali jika ini hanya halusinasi dirinya saja. Takut jika apa yang Hary katakan hanya keinginannya saja.Silvia mengerutkan kening, tatkala ponsel miliknya bergetar. Ia yang penasaran meletakkan foto Arsen dan meraih ponselnya. Ada nomor tak bernama di sana. “Siapa ya?” _______________“M
Delima begitu gelisah, ia bahkan tidak bisa tenang setelah mendengar kabar dari Oscar. Ini terlalu mustahil jika dipikirkan seorang diri.“Bagaimana bisa, jelas ada pemakaman,” jaya Delima mulai frustasi, tetapi tatapan dan cara Oscar memberitahunya jelas ini bukan lelucon.“Tidak mungkin Oscar sampai melakukan pembohongan publik kan? Dia … oh, kepalaku seperti akan pecah mendengar berita ini,” kaya Delima lagi.“Eldhan, ya. Pria itu seharusnya tahu apa yang terjadi sebenarnya. Dia yang selalu bersama Oscar selama ini sebelum kami tertangkap,” kata Delima yakin jika Eldhan tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jantungnya berdegup kencang, begitu takut dan gemetar tatkala mengetahui fakta yang mengejutkan.Alice dan Oscar mereka berdua mengatakan hal yang sama dan itu sangat mengganggu dirinya. Nasib Silvia terancam, bahkan dia tidak akan mendapat apa pun karena terlibat langsung dalam kejahatan ini.“Jika Oscar tahu, artinya dia ….,” Delima memaki dirinya sendiri. Oscar yang mengkhianati
Silviana duduk dengan tenang, menatap Alice yang menatapnya dengan tatapan sayang. Silvana yang tidak sabaran lantas berdusta, “Cepat katakan. Aku sudah bosan di sini melihatmu,” katanya begitu malas.“Ayah yang meminta Eldhan datang, tadi Ibu tidak ingin makan dan ayah pikir kehadiran Eldhan bisa membantu,” jelas Alice.“Omong kosong! Kalian tahu bagaimana mereka berdua mengkhianati ayah dan kakak membelanya?” Alice menghela napas, ia tahu apa yang Silvia rasakan. Berat memang, tetapi jika ayahnya sudah memutuskan apa yang bisa dilakukan? Delima mencintai Eldhan dan menyukai kekayaan ayahnya. Dua hal berbeda yang harus dipisahkan.“Karena itulah ayah memanggilnya. Ibu harus memutuskan semuanya, kan?”Silvia berdiri dari duduknya, tidak tahan dengan pembahasan yang ia sendiri tahu kemana akhirnya. Wanita cantik itu melangkah keluar menuju ruangan ibunya.Sementara Akice, ia hanyalah menghela napas pelan dan berjalan keluar, ia pun memiliki kesibukan lain yang tak bisa ditinggalkan. N
Luna menghela napas berulang kali, ia duduk dan menatap menantunya. “Ibu hanya tidak bisa membayangkan bagaimana nasib Laila di sana.”Leo mengangguk paham. Ia meraih tangan ibunya. “Ibu, Damian akan menjaganya selama satu bulan, lagipula ada Arsen di sana.”“Arsen? Kamu masih percaya pada pria itu? Bagaimana jika–”“Ibu, tolong percaya dengan keputusan yang sudah aku ambil, Arsen adalah satu-satunya yang bisa menjaga Laila setelah Damian.”Lagi-lagi Luna mendengus, ia tak suka dengan pria bernama Arsen. Pria itu ingin merebut Alice dari putranya bahkan dengan terang-terangan mengakui Laila dan Damian sebagai anak.“Kalian tidak ada yang mengerti dengan kekhawatiranku. Aku hanya ingin cucuku hidup dengan damai, tidak perlu sekolah di tempat jauh, kita bisa–”“Maafkan aku karena memotong ucapanmu Bu. Tetapi ini adalah keputusan mereka. Laila ingin sekolah bisnis seperti Silviana, sementara Damian, putraku adalah penerus, dia harus memiliki pendidikan yang jauh lebih hebat.”Membuang na
Alice dan Leo saling pandang, pun dengan Laila yang hanya berdecak mendengar permintaan kakaknya.“Apa maksudmu, Damian?” tanya Laila semakin jengah.“Aku tidak mungkin mengekor padamu, aku juga ingin memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan,” katanya.“Tidak ada yang menjagamu sebaik aku, Laila. Sejak kita kecil, aku yang–”“Tapi sekarang aku sudah besar, aku bisa menjaga diriku, lagipula di sana ada Ayah Arsen.” Laila berdiri dengan kesalnya.“Terserah jika kalian tidak mendukung, aku akan tetap bersekolah di tempat yang aku inginkan,” ujarnya, “dan Ayah tidak boleh menarik kesepakatan kita.”“Laila duduk dulu, Nak.” Alice menepuk pelan sebelah sisi tempatnya.“Tidak Ibu. Tidak sebelum Damian berpikir waras.”Setelah mengatakan itu, Laila meninggalkan ruangan dengan kekesalan pada Damian.“Dia gila,” geramnya dengan nada yang kesal.Sementara itu, Clara yang melihat kakak perempuannya menuju kamar, segera mengikuti. Rasanya sangat berat berpisah meski mereka berdua jarang sekali terli
“Selamat pagi.” Laila datang lebih cepat, memotong ucapan Alice yang tengah memeluk putri bungsunya.“Selamat pagi, Sayang.” Leonardo menyambut putri sulungnya, kemudian meminta Laila untuk duduk di sebelahnya.Melihat itu, Clara mengerucutkan bibir, “Ayah, jangan terlalu memanjakan kakak, dia sudah–”“Clara lebih baik kamu diam, berikan susu yang kamu buatkan tadi untukku.” Laila meraih selembar roti dan mengolesi dengan selesai cokelat.“Baiklah.” Clara memeluk ibunya singkat kemudian memberikan susu yang dibuatnya pada Laila.“Sekarang berikan nilai untukku. Aku yakin ini rasanya seratus,” kata Clara.Laila meraih gelas susu miliknya, kemudian meneguknya hingga setengah. “Enak, aku rasa ini adalah bakatmu.”Clara mengerucutkan bibir, “Bakatku banyak Kak. Hanya saja, aku tidak ingin menunjukkan pada orang lain,” katanya dengan bangga.“Oh aku sangat kagum padamu. Duduklah, aku ingin memberikan hadiah lain.” Laila meletakkan gelas yang sudah kosong kemudian merogoh kantong celana mil
Alice masih ke dalam ruang makan dan benar saja, semua sudah disiapkan dengan sangat baik. Clara yang melihat wajah takjub ibunya pun ikut merasa bahagia.“Bagaimana? Aku sangat membanggakan bukan?” tanyanya pada sang ibu.“Benar Clara yang melakukan ini sendiri?” Alice menoleh pada putrinya yang langsung terdiam dengan bibir tersenyum kecil.“Senangnya, Clara dibantu oleh kak Laila,” akunya, “tapi karena dia kelelahan dan mengantuk, kakak kembali ke kamar.”Alice menaikkan alis, kemudian mengangguk paham. “Ya sudah, tapi setidaknya, Clara sudah membuktikan jika putri ibu sudah sangat hebat.”Clara mengangguk senang. “Tolong beritahu kakek ya, Bu. Aku ingin kakek mendengar hal baik tentangku.”“Baiklah, jika kakek bertanya, Ibu akan memberitahu jika cucunya yang cantik ini sudah besar.”Clara memeluk ibunya. “Ibu aku sangat menyayangimu. Aku yakin karena itulah ayah sangat mencintaimu.”Alice terkekeh, “Ya sudah, sekarang duduk dulu, Ibu akan buatkan sarapan untuk kita semua.”“Aku ak
Alice menghela napas panjang untuk meredam semuanya. Tidak ada yang bisa mengetahui takdir kedepannya. Damian masih terlalu muda, sementara Sera, gadis kecil itu juga masih seusia Clara yang mungkin tidak mengerti dengan situasi ini.“Semoga saja, Damian mendapatkan yang terbaik,” putus Alice akhirnya.Leo mengangguk meski rasanya ada yang aneh. Rasa sakit yang Alice rasakan sepertinya terlalu besar, hingga sang istri belum bisa memaafkan apa yang telah terjadi.“Kamu benar, Damian masih terlalu muda. Kita bisa lebih tenang karena Bram juga telah meninggalkan kota bersama putrinya.Setelah mereka membahas semuanya, Alice memutuskan untuk tidak membahas ini lagi. Ia bahkan meminta Laila untuk tidak membantu Damian melupakan perasaannya yang diyakini hanya rasa sesaat.“Tidurlah, aku masih ada banyak pekerjaan di bawah,” kata Leo akhirnya, hingga saat ini ia belum menemukan seseorang yang bisa menggantikan posisi Bram di kantor.“Maafkan aku. Aku seharusnya tidak terlalu keras sehingga
Malam hari, Alice yang masih merasa curiga pada Dara dan Leo memutuskan untuk tidur lebih cepat. Ia tahu usianya tidak lagi muda seperti dulu. Jadi, tidur adalah pilihan yang lebih tepat.Sementara itu, Leo yang tahu dengan kecemburuan istrinya hanya tersenyum kecil, merasa bersalah, tetapi ia bisa buktikan jika dirinya dan Dara tak ada hal yang harus dicurigai.“Aku sudah katakan padamu, kedatangannya adalah untuk berterima kasih karena tidak menghalangi Bram keluar dari perusahan,” jelas Leo pelan di telinga sang istri.“Mereka memutuskan untuk meninggalkan kota ini, jadi Bram sudah mengundur diri,” sambungnya.“Kenapa harus bertemu? Bukankah Bram bisa mewakili, Kenapa harus datang padaku, bukankah sama saja dia ingin mengulang kejadian yang telah lalu?” balas Alice akhirnya. Wanita itu membuka mata, tak menoleh tetapi masih menunggu suaminya menjawab pertanyaannya.“Sera yang memaksa untuk datang dan kebetulan dia–”“Apakah setelah melihatnya kembali hatimu masih bergetar? Dia bah
Bram mengangkat wajah, menatap wanita seksi yang melangkah ke arahnya. Wanita dengan rambut panjang bergelombang serta bibir merah yang menggoda.“Tidak bisakah kamu mengetuk pintu dulu?” Bram meletakkan ponsel di atas meja, lalu berpindah ke sofa single.Si wanita terkekeh, ia mendekat dan duduk di hadapan Bram dengan gaya sensual.“Maafkan saya, Pak. Saya tidak sabar menunjukkan hasil karya saya, karena itulah lupa untuk mengetuk.” Mendengus kasar, Bram meraih dikumen yang sudah ada di atas meja. “Mulai besok, bawa langsung ke ruangan pak Leo, dia akan memeriksa tugasmu hingga–”“Tidak Pak. Saya tidak akan mempertaruhkan diri saya. Lebih baik bertanya dulu pada Pak Bram setelah itu ke ruangan pak Leo,” terangnya.“Della–”“Saya tidak mau Pak. Pak Leo terlalu kaku untuk saya, lagipula anak-anaknya sudah pernah salah paham pada saya,” keluhnya tak ingin mendapat masalah.Bram menghela napas, ia memeriksa kerjaan Della, setelah merasa bahwa semua sudah benar, ia kembali memberikan pad
Sera terdiam, ia tak melanjutkan makannya. Ia lebih memilih mendengarkan pertengkaran orang tuanya.Ia membuang napas kasar dan berdiri meninggalkan Dara dan Bram yang masih berdebat tentang Alice.“Seharusnya aku tidak merusak pestaku sendiri,” gumamnya dengan wajah lesu.Ia keluar dari resto dan duduk di bangku taman, gadis kecil itu menunduk dengan wajah sedih.“Kamu di sini?” Suara seseorang membuatnya menoleh. Sera terlihat mengingat seseorang yang berada di sebelahnya.Ia langsung berdiri tatkala mengingat dengan benar. “Maafkan aku.” Sera hendak meninggalkan tempat, tetapi Damian mencegahnya, “Sera … apakah namamu Sera?”Sera menoleh dengan tatapan tidak suka, “Bukan. Jangan mendekatiku. Aku tidak mau berdekatan dengan keluarga Clara.”“Clara? Kamu mengenal adikku?” Sera mendengus kecil, “Tentu saja, Clara temanku,” katanya duduk lagi di bangku, “tapi aku tidak ingin berteman dengannya lagi.”Alisa Damian menukik tajam, “Apakah adikku membuat ulah? Dia mengganggumu?”Sera men
Leonardo terdiam, ia menatap wajah istrinya yang semakin cantik meski anak-anak mereka telah menjadi remaja.Tangan kekar itu mengulur, mengusap lembut lengan sang istri lembut. “Dia adalah Sera.”“Apakah dia kerabat Bram? Aku merasa tidak asing dengan tatapan mata gadis itu, seperti aku pernah melihat tatapan itu sebelumnya,” kata Alice, “apakah aku salah jika aku merasa gadis kecil itu seperti tidak menyukaiku?”Leonardo memasang wajah datar, ia menatap istrinya dengan tatapan hangat, “Iya, dia adalah kerabat dari Bram,” katanya, “dan tatapan itu, bukan tatapan tidak suka, jangan berpikir terlalu jauh, ya.”Alice menggeleng. “Ya, aku harap salah menilai. Apakah dia anak dari saudara Bram? Atau–”“Dia adalah anak Bram,” jawab Leo segera.“Anak? Bram sudah menikah?” tanya Alice, ia bahkan hak pernah mendengar jika asisten suaminya menikah. Selama ini, mereka mengenal Bram sebagai praibaik, lalu sejak kapan Bram menikah dengan anak sebesar itu?“Tidak menikah, mereka memutuskan untuk t