Keduanya menunduk. Mereka tidak tahu jika Alice harus mendapatkan penjagaan karena selama ini Silviana tidak mendapatkan itu. Oscar berdecak, ia berjalan masuk dan masih melihat Delima berdiri di tempatnya tadi. Wanita keras kepala itu tetap menatap Oscar dengan tatapan memohon. Sangat memuakkan.Oscar berjalan melewati Delima yang terlihat ingin mengekor, tetapi dengan cepat ekor mata Oscar menghentikan pergerakannya.“Oscar, tolong beri aku satu kali kesempatan, aku mengakui kebodohanku selama ini,” ujar Delima kembali. Wanita yang sudah melahirkan Silvana itu berjalan dengan langkah cepat mengikuti langkah suaminya yang lebar dan gagah. “Berhenti di tempatmu, Delima,” peringat Oscar, “aku tidak ingin mendengar apa pun lagi, tolong kembalilah ke kamarmu.”_______Sementara itu, di tempat yang berbeda, Luna dibuat terkejut dengan kehadiran Alice di halaman rumahnya. Wanita yang sudah berani menceraikan putranya itu turun dengan malas dari mobil Leonardo.“Masih berani kamu datang ke
“Sudah beritahu ayahmu?” tanya Arsen tertuju pada layar di hadapan mereka. Saat ini keduanya tengah berada di ruang tamu, nonton berdua dengan beberapa makanan di atas meja.“Sudah. Aku juga mengatakan akan mengunjungi dirimu,” jawab Alice masih fokus dengan kisah cinta orang lain.Arsen menelengkan kepala, ia menatap Alice dengan tatapan selidik. “Katakan padaku, bagaimana bisa kamu dan dia bersama tadi?”Alice menghela napas panjang, ia meraih satu toples di atas meja, kemudian membuka penutupnya dengan seluruh kekuatan. Arsen yang melihat itu, menggeleng pelan dan membantu membuka.“Kamu bekerja di rumah suamimu selama satu tahun, tetapi membuka tutup toples saja tidak bisa,” kata Arsen sengaja menggoda.Alice terkekeh kecil, ia meraih satu kue dari dalamnya, kemudian memakannya dengan senang hati. Arsen yang melihat itu, merasa bahagia, ia angkat tangannya kemudian mengusap kepala Alice dengan lembut.“Bersamaku, aku pastikan kamu tidak akan kelelahan Alice.”“Aku tahu,” jawab Ali
Langkah kaki terdengar masuk ke dalam ruangan. Arsen yang berada di sebelah Alice pun diam-diam penasaran dengan apa yang akan terjadi setelah ini.“Aku di sini, adik,” kata Alice.Leonardo menoleh dengan cepat, tatkala mendengar suara wanita yang ia nikahi selama satu tahun terakhir. Senyum yang seharusnya terbit, kini berubah masam.Alice mendekat dan duduk di sebelah Siviana—adiknya. Sementara Arsen, ia duduk tidak jauh dari Oscar dan juga Leonardo. “Selamat malam, Pak Leo. Senang bertemu dengan Anda lagi,” kata Arsen menyapa Leonardo dengan ramah.“Ucapan yang sama, Pak Arsen,” jawab Leonardo tanpa minat, tetapi dengan baik ia tetap memberi senyuman.Silviana menoleh pada kakaknya. “Kak, kamu dengan Arsen? Kalian–”“Kebetulan kami bertemu di jalan,” jawab Alice berkilah. Ia tidak akan membuat Leonardo marah pada Arsen karena tahu mereka berdua baru saja bertemu. Silviana mengangguk, tetapi dia bukan orang bodoh yang langsung percaya. Ia tahu bagaimana Arsen yang sulit sekali dit
“Alice ….,” ucap Leonardo tatkala melihat wanitanya datang dengan penampilan jauh berbeda dari biasanya.“Selamat siang, Leon,” balas Alice menyapa kembali Leonardo yang sudah duduk bersama Dara di sebelahnya. Sementara Arsen, pria itu hanya tersenyum kecil tatkala Leonardo menatapnya dengan tatapan sengit.Alice duduk di sebelah Arsen, yang berarti mereka berempat dengan berhadapan-hadapan saat ini. Tidak mudah bagi Alice melihat Leonardo duduk berdekatan bersama Dara tetapi, ketika ia menyadari jika kebahagiaan Leonardo adalah pada Dara—ia mencoba menekan hati agar tetap tenang.“Maaf karena aku terlambat. Aku memiliki sedikit urusan,” jelas Alice tatkala Arsen menatapnya dengan tatapan ingin tahu.“Baiklah, lagipula kamu juga baru beberapa menit sampai, benarkan Pak Leo,” kata Arsen meminta dukungan pada rekannya. Ia tidak ingin Alice merasa bersalah karena keterlambatannya.Leonardo tidak menjawab. Ia memilih diam dan menatap lurus pada Alice yang semakin hari semakin terlihat be
Dara mendudukkan diri dengan kasar di ruangannya. Beberapa karyawan lain melihatnya dengan tatapan kasihan. Ada juga yang ikut prihatin dengan nasib Dara.“Nona Dara, lebih baik Anda ikhlas,” kata seseorang dengan wajah kasihan melihat Dara.Mendengar itu, Dara melayangkan tatapan tajam padanya, dia bahkan sampai meminta semua orang untuk tidak bersuara selama ada dirinya.“Jika kalian ingin mendapatkan upah sebagaimana seharusnya, lebih baik kalian bekerja dengan benar,” kata Dara mengingatkan bagaimana mereka semua ikut berdemo hanya karena upah yang lambat diberikan.Karyawan lain, mendengus pelan, tahu jika melawan Dara adalah mau bagi mereka. Takut jika nasib mereka sama seperti Sartika yang tidak lama langsung mendapatkan surat pemecatan karena ketahuan ingin mendekati Leonardo.Dara memejamkan mata. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi cara membujuk Leonardo agar dirinya yang ikut ke pabrik. Dara tidak ingin jika nanti Leonardo dan Alice semakin dekat dan mereka bersatu kembali.
Alice tersenyum, ia tahu bagaimana Silviana yang tidak pernah menyukai dirinya sejak awal. Namun, baginya itu bukan hal yang penting pun ibunya mungkin saja menganggap dirinya penghalang. Terlepas bagaimana ibu Delima memperlakukan dirinya buruk di masa lalu. Alice akan tetap memaafkan Silviana.“Baiklah. Aku akan tetap berterima kasih padamu, Silvia,” kata Alice kembali.Arsen berdehem, mencairkan suasana yang terasa kaku di antara mereka. “Kalau begitu, kalian mengobrol saja bersama. Aku harus kembali.”Alice mendongak kemudian mengangguk. Ia sebenarnya merasa tidak enak hati karena mengambil waktu Arsen tadi. Sementara Silvia merasa keberatan atas niat Arsen yang ingin meninggalkan mereka.“Tapi aku … aku baru saja tiba,” kata Silvia terdengar jelas jika ia tak suka cara Arsen yang meninggalkan mereka berdua.“Kamu bisa mengobrol bersama saudaramu. Kalian sudah lama terpisah, sudah seharusnya bersama dan mengobrol.” Arsen berdiri dan mengusap kepala Alice lembut di hadapan Silvia.
“Selamat siang, Ayah.” Silviana memasuki ruangan ayahnya dan melangkah ke arah pria dewasa yang sudah terlihat jauh lebih segar dari biasanya. Dalam hati Silvia senang karena ayahnya sudah memiliki keinginan untuk sehat lagi, tetapi di balik itu, jelas ia merasa sedih karena bukan karena dirinya ayahnya seperti ini.“Kamu di sini, Sayang?” Oscar membalas pelukan sang putri lalu membawa Silvia duduk ke sofa. Silvia duduk dengan tenang, begitu pun dengan Oscar yang meletakkan ponselnya di atas meja. Kemudian menatap putrinya serius. “Katakan, Anda masalah apa?”Silvia mengerucutkan bibir, ia mendekat dan memeluk lengan ayahnya dengan manja. “Ayah, apakah aku bisa meminta sedikit bantuanmu?” “Katakan saja. Kamu adalah putriku. Apa pun kesulitanmu Ayah akan mencoba membantu dengan maksimal,” kata Oscar serius. “Ayah, aku–”Silviana tidak melanjutkan ucapannya tatkala tangan kekar ayahnya sudah berada di wajahnya yang memar. Silvia menahan napas, berharap ayahnya tidak menanyakan banyak
Delima dan Oscar sama-sama memilih diam. Bukan tanpa sebab ia membiarkan kedua putrinya berselisih dalam hal ini. Dia ingin tahu bagaimana cara Alice menyelesaikan masalahnya sendiri. Pun dengan Silviana, ia tidak akan melarang untuk bertanya selama ini masih terbilang baik.“Kak, aku tidak percaya kamu meninggalkan rumah mertuamu dalam keadaan marah,” ujar Silviana lagi.Alice berdiri. Ia menatap ayah dan ibunya sekilas lalu menunduk kecil. “Ayah, aku ingin kembali ke kamar. Tolong maafkan aku.”Setelah kepergian Alice, Oscar berdiri, ia juga meninggalkan ruang keluarga dan melangkah ke arah kamarnya tanpa mengatakan sepatah kata pun pada Silviana dan Delima. Hari ini, ia begitu lelah hingga tak ingin membuang tenaga mendengar ocehan Delima dan Silvia.“Ayah ….,” panggil Silviana pelan menatap nanar kepergian ayahnya.Sementara Delima ia menyandarkan punggungnya di badan sofa menatap senang pada Silvia yang berani menentang Alice di depan Oscar. “Kamu sangat hebat, Silvi. Kamu membua
Malam hari, Alice yang masih merasa curiga pada Dara dan Leo memutuskan untuk tidur lebih cepat. Ia tahu usianya tidak lagi muda seperti dulu. Jadi, tidur adalah pilihan yang lebih tepat.Sementara itu, Leo yang tahu dengan kecemburuan istrinya hanya tersenyum kecil, merasa bersalah, tetapi ia bisa buktikan jika dirinya dan Dara tak ada hal yang harus dicurigai.“Aku sudah katakan padamu, kedatangannya adalah untuk berterima kasih karena tidak menghalangi Bram keluar dari perusahan,” jelas Leo pelan di telinga sang istri.“Mereka memutuskan untuk meninggalkan kota ini, jadi Bram sudah mengundur diri,” sambungnya.“Kenapa harus bertemu? Bukankah Bram bisa mewakili, Kenapa harus datang padaku, bukankah sama saja dia ingin mengulang kejadian yang telah lalu?” balas Alice akhirnya. Wanita itu membuka mata, tak menoleh tetapi masih menunggu suaminya menjawab pertanyaannya.“Sera yang memaksa untuk datang dan kebetulan dia–”“Apakah setelah melihatnya kembali hatimu masih bergetar? Dia bah
Bram mengangkat wajah, menatap wanita seksi yang melangkah ke arahnya. Wanita dengan rambut panjang bergelombang serta bibir merah yang menggoda.“Tidak bisakah kamu mengetuk pintu dulu?” Bram meletakkan ponsel di atas meja, lalu berpindah ke sofa single.Si wanita terkekeh, ia mendekat dan duduk di hadapan Bram dengan gaya sensual.“Maafkan saya, Pak. Saya tidak sabar menunjukkan hasil karya saya, karena itulah lupa untuk mengetuk.” Mendengus kasar, Bram meraih dikumen yang sudah ada di atas meja. “Mulai besok, bawa langsung ke ruangan pak Leo, dia akan memeriksa tugasmu hingga–”“Tidak Pak. Saya tidak akan mempertaruhkan diri saya. Lebih baik bertanya dulu pada Pak Bram setelah itu ke ruangan pak Leo,” terangnya.“Della–”“Saya tidak mau Pak. Pak Leo terlalu kaku untuk saya, lagipula anak-anaknya sudah pernah salah paham pada saya,” keluhnya tak ingin mendapat masalah.Bram menghela napas, ia memeriksa kerjaan Della, setelah merasa bahwa semua sudah benar, ia kembali memberikan pad
Sera terdiam, ia tak melanjutkan makannya. Ia lebih memilih mendengarkan pertengkaran orang tuanya.Ia membuang napas kasar dan berdiri meninggalkan Dara dan Bram yang masih berdebat tentang Alice.“Seharusnya aku tidak merusak pestaku sendiri,” gumamnya dengan wajah lesu.Ia keluar dari resto dan duduk di bangku taman, gadis kecil itu menunduk dengan wajah sedih.“Kamu di sini?” Suara seseorang membuatnya menoleh. Sera terlihat mengingat seseorang yang berada di sebelahnya.Ia langsung berdiri tatkala mengingat dengan benar. “Maafkan aku.” Sera hendak meninggalkan tempat, tetapi Damian mencegahnya, “Sera … apakah namamu Sera?”Sera menoleh dengan tatapan tidak suka, “Bukan. Jangan mendekatiku. Aku tidak mau berdekatan dengan keluarga Clara.”“Clara? Kamu mengenal adikku?” Sera mendengus kecil, “Tentu saja, Clara temanku,” katanya duduk lagi di bangku, “tapi aku tidak ingin berteman dengannya lagi.”Alisa Damian menukik tajam, “Apakah adikku membuat ulah? Dia mengganggumu?”Sera men
Leonardo terdiam, ia menatap wajah istrinya yang semakin cantik meski anak-anak mereka telah menjadi remaja.Tangan kekar itu mengulur, mengusap lembut lengan sang istri lembut. “Dia adalah Sera.”“Apakah dia kerabat Bram? Aku merasa tidak asing dengan tatapan mata gadis itu, seperti aku pernah melihat tatapan itu sebelumnya,” kata Alice, “apakah aku salah jika aku merasa gadis kecil itu seperti tidak menyukaiku?”Leonardo memasang wajah datar, ia menatap istrinya dengan tatapan hangat, “Iya, dia adalah kerabat dari Bram,” katanya, “dan tatapan itu, bukan tatapan tidak suka, jangan berpikir terlalu jauh, ya.”Alice menggeleng. “Ya, aku harap salah menilai. Apakah dia anak dari saudara Bram? Atau–”“Dia adalah anak Bram,” jawab Leo segera.“Anak? Bram sudah menikah?” tanya Alice, ia bahkan hak pernah mendengar jika asisten suaminya menikah. Selama ini, mereka mengenal Bram sebagai praibaik, lalu sejak kapan Bram menikah dengan anak sebesar itu?“Tidak menikah, mereka memutuskan untuk t
“Aku akan memikirkan ini dengan segera,” kata Bram pada akhirnya.Dara mengangguk. “Terima kasih, aku hanya ingin Sera baik-baik saja dan jauh dari mereka.”Dara teringat sesuatu. Ia menatap Bram dengan rasa khawatiran yang semakin mencuat. “Bram, bukankah kamu pergi menjemput pak Leo? Kamu tidak memberitahu siapa Sera padanya kan?” tanyanya serius.Bram terdiam, ia memaksa untuk tersenyum, “Dara, aku–”“Jangan katakan jika pak Leo sudah tahu siapa Sera, Bram?” Dara semakin khawatir, ia mencoba percaya pada Bram sepenuhnya.“Pak Leo sudah tahu,” jawabnya tanpa menoleh, pria itu sebenarnya lebih khawatir pada Alice, apalagi tatapannya tadi seolah sudah mengetahui semuanya.“Ba-bagaimana kamu bisa memberitahunya, Bram?” pekik Dara tertahan, takut jika Sera mendengar obrolan mereka.“Jika pak Leo tahu, istrinya sudah pasti–” Dara terdiam lagi, ia menatap Bram semakin lamat, “apakah kamu membawa Sera ke rumahnya? Kamu pergi membawa anakku mengantarnya ke rumah?”Leo membuang napas kasar,
“Leon, siapa gadis yang bersama Bram tadi?” Alice yang hendak memejamkan mata menoleh ke belakang. Ia tidak bisa memejamkan mata mengingat tatapan gadis tadi padanya.“Dia Sera,” jawab Leo singkat, “ayo kita tidur.”Alice mengerutkan kening, tak biasa Leo seperti menolak obrolan mereka. Ibu dari tiga anak itu kembali berkata, “Sera? Aku tidak tahu jika Bram memiliki kekuarga–”“Alice, lebih baik kita–”“Aku hanya ingin tahu, tatapan gadis tadi seperti tidak asing,” imbuhnya, selama Bram bekerja dengannya, ia tak tahu jika pria itu memiliki keluarga.“Apakah dia keluarga Bram? Kenapa kita tidak tahu jika selama ini–”“Alice, kita bahas besok ya,” katanya, “aku sangat mengantuk dan lelah.” Leo meraih Alice dalam dekapannya, ia memeluk istrinya dan mulai memejamkan mata hingga tertidur dengan lelapnya.Alice mendesah pelan, ia menyesal karena telah memaksa Leo menjawab pertanyaan, “Maafkan aku, seharusnya tadi tidak memaksamu untuk menjawab,” gumamnya pelan seperti berbisik.Sementara it
“Ibu … Damian jatuh cinta,” teriak jatuh Laila dari arah luar. Gadis berusia 18 tahun dengan suara melengking itu, berlari dengan sangat kencang.Alice yang masih berada di dapur sampai berdecak karena terkejut. “Ibu, aku yakin kak Laila sangat ditakuti di sekolahnya,” kata gadis kecil berusia sembilan tahu dengan susu di tangan kanannya.Alice menggeleng sembari meletakkan telunjuk di ujung bibir. “Jangan sampai kakakmu dengar, Ibu tidak ingin kamu mendapatkan masalah.”Clara mendengus kecil, “Dia sangat kejam, Ibu. Aku–”“Kamu membicarakanku, Clara?” Laila mendekat dengan tatapan memicing tajam pada adiknya. “Tidak. Mana mungkin aku berani membicarakan wanita angin badai sepertimu, Kak,” katanya dengan senyum yang manis.Laila membuang napas kasar, ia duduk di dekat Clara dan meraih gelas susu adiknya.“Itu milik–”“Mengalah saja. Andaikan dulu kamu lahir lelaki, kamu tidak akan menyusahkan aku,” ketusnya, ia tersenyum lega setelah menghabiskan susu milik adiknya.“Laila …,” tegur
Alice membuang napas pelan, kemudian menatap Leo yang masih terpaku. Bibirnya tersenyum kecil, kemudian melirik pada mertuanya yang terlihat syok di belakang Leo.“Satu lagi,” kata Alice tetapi tatapannya lurus pada Leo, “aku tidak akan menjamin keselamatanmu. Bisnis, dan apa pun yang kamu perjuangkan selama ini, aku tidak akan bertanggung jawab lagi.”Dara mengepalkan tangan, ia semakin yakin jika Alice bukan wanita baik. “Kamu berani melakukan itu pada Pak Leo? Dia–”“Ini bukan untuknya, tetapi untukmu.” Alice menoleh ke arah Dara yang langsung terdiam.Tersenyum kecil, Alice mengulurkan tangan dan menepuk wajah Dara yang sudah bengkak dengan pelan. “Aku memperingatkan dirimu, Nona Dara. Keluargamu, mereka tidak bersalah tetapi dengan cerobohnya, kamu menyeret mereka dalam kebusukanmu.”Alisa mengerutkan kening, tahu jika Dara tak memiliki keluarga, lalu ancaman macam apa yang Alice katakan. Namun, ketika wanita yang terlalu menggilai kakaknya itu bersuara, rasa penasarannya terjawa
Dara bersedekap, ia tak sabar menunggu kehadiran Leo. Dara yakin pria itu akan langsung datang apalagi ketika Alisa yang tak menjawab panggilan darinya.“Walaupun kakak datang, aku yakin dia akan langsung mengusirmu,” kata Alisa, ia sengaja tak menerima panggilan kakaknya, ingin melihat langsung apa yang akan kakaknya lakukan.Dara mendesah mengejek, “Kamu hanya tidak tahu sebesar apa kakakmu mencintaiku, Lisa. Aku yakin dia akan berlari dan meninggalkan istrinya yang sombong itu,” katanya percaya diri.“Oh, aku sangat tidak sabar. Jika benar seperti itu, kenapa harus datang ke sini? Kenapa tidak meminta kakakku datang ke tempatmu saja?” celetuk Lisa jengah.Dara terkekeh. Ia duduk dengan kaki menyilang. “Aku sengaja, aku ingin menunjukkan pada kalian jika Leo memang mencintaiku.”Alisa mendengus dingin, tetapi di dalam hati ia begitu takut dengan apa yang terjadi. Jika benar kakaknya datang, ia berjanji akan keluar dari perusahaan.Suara mobil terdengar, tidak hanya Dara dan Alisa, L