Dalam ruangan berukuran besar dengan barang-barang mewah di dalamnya. Pria berusia 60 tahunan sedang berdiri dengan tangan di belakang punggung. Ia sedikit mendongak dengan tatapan rindu dan penyesalan.
Sesekali ia menghela napas pelan dan berucap sangat lirih, "Sayang, maafkan Ayah Nak. Kembalilah, Ayah merindukan dirimu." Tuan Oscar adalah salah satu pria terkaya di Eropa. Kekayaannya yang melimpah dan dengan usaha yang tersebar di mana-mana membuat hidupnya bergelimang harta. Namun, kepergian putri sulungnya menjadi salah satu cambuk terbesar di usia tua, yang harusnya di kelilingi oleh orang-orang terkasih. Sekali lagi, tatapan rindu itu begitu nampak jelas dari mata yang sudah mulai mengabur. "Kembalilah, Nak. Ayah sangat merindukan semua tentangmu." Tuan Oscar mengusap air matanya pelan. Putri sulungnya, menghilang begitu saja, bahkan sampai saat ini, dia tak tahu di mana keberadaan gadis cantiknya. Ia masih mengingat senyum manis putrinya. Lesung pipi kecil ketika ia tersenyum, juga dengan bola mata coklat ketika mereka saling menatap rindu. Tuan Oscar menoleh ketika dua orang pria datang menghadapnya dengan wajah takut. Keduanya adalah orang kepercayaan selama ini. Tuan Oscar duduk di sofa, ia akan mendengar penjelasan apa lagi yang keduanya laporkan selama menghilang selama satu minggu terakhir. "Katakan!" seru tuan Oscar tanpa menatap keduanya. "Kami belum menemukan keberadaan nona, Tuan," jawab salah satu diantara mereka berdua. Tuan Oscar mengepalkan tangan, ia menatap keduanya secara bergantian dan berkata dengan dingin, "Tidak becus! Kalian pergi selama seminggu dengan uang yang banyak. Apa kalian mempermainkan aku?" bentaknya menggelegar sampai napasnya terengah. "T-tuan, Anda baik-baik saja?" tanya salah seorang lagi khawatir karena tuan Oscar terlihat lelah saat menarik napas. "Pergilah!" usirnya, kemudian melanjutkan lagi, "jangan munculkan wajah kalian sebelum tahu di mana putriku berada. Kalau perlu kerahkan semua orang untuk menemukannya dan bawa dia kembali!" Eldhan, tangan kanan tuan Oscar yang sedari tadi berdiri tidak jauh dari sana mendekat, ia meminta keduanya segera keluar dan menjalankan tugas mereka. Pria yang sudah lama bekerja sama dengan tuan Oscar ini langsung membatu membaringkan sang tuan beristirahat tidak jauh dari sofa. Sengaja di desain agar tuan Oscar tidak terlalu jauh melangkah bekerja dan beristirahat. "Istirahatlah, Tuan. Saya akan panggilkan dokter untuk memeriksa Anda," katanya setelah memastikan sang tuan berbaring dengan benar. Tuan Oscar tidak mengatakan apa pun. Ia membiarkan saja tangan kanannya melakukan apa pun yang diinginkan. Karena dia hanya menginginkan putrinya kembali. "Pulanglah Nak. Maafkan Ayah yang sudah lalai menjagamu. Pulanglah, dan besarkan nama keluarga kita," gumamnya mencoba memejamkan mata sebelum gadis cantik berlari memasuki kamar dan duduk di sebelahnya. "Ayah, kau sakit lagi?" tanyanya dengan nada khawatir. Dia adalah Silviana. Anak kedua dari keluarga Oscar. Anak dari istri kedua dari pernikahan rahasia Oscar dan Delima. Pernikahan mereka yang terungkap menjadi sebab kematian istri pertama dan kehilangan putri sulungnya secara mendadak. "Ayah sudah tua, Nak. Jangan khawatir," jawabnya lemah, menatap Silvia teduh. Silvia mengerucutkan bibir, ia mengusap lengan ayahnya pelan dan berkata, "Ayah, aku dengar, tuan Arsen sudah tiba beberapa hari lalu. Bagaimana kalau kita mengundangnya makan malam?" Tuan Oscar hanya tersenyum kecil, ia meraih tangan putrinya dan berkata dengan pelan, agar Silviana tidak marah dan sakit hati karena salah paham. "Ayah akan pertimbangkan. Untuk saat ini, Ayah tidak bisa mengundang siapa pun karena kondisi Ayah yang tidak baik, Nak." Silviana menghela napas berat, ia jelas tahu kenapa ayahnya selalu menolak dan memberinya banyak alasan agar Arsen tidak bertemu dengan dirinya. "Tapi, Ayah, aku--" Silvia tidak melanjutkan ucapannya karena lebih dulu dipotong. "Nona, biarkan dokter memeriksa ayah Anda terlebih dahulu." Eldhan mendekat dengan seorang dokter pria di belakangnya. Silviana merenggut. Wajahnya terlihat muram karena kembali gagal membujuk ayahnya dan itu semua karena pria tuan bernama Eldhan. Gadis itu keluar dengan wajah masam. Ia akan mengadukan semua pada ibunya untuk melancarkan semua keinginannya seperti biasa. Sepertinya Silviana. Eldhan langsung menutup pintu dan memberikan waktu dokter memeriksa tuan Oscar dengan segera. Pria tua itu, terlalu merindukan putrinya hingga ia lupa menjaga kesehatan dirinya. *** Setelah beberapa jam berlalu. Tuan Oscar juga sudah selesai dengan makan malamnya. Pria tua itu, masih tetap betah di dalam kamar ditemani foto keluarganya. Lebih, tepatnya tatapannya hanya tertuju pada gadis cantik berlesung pipi di tengah-tengah fotonya dan mendiang istrinya. Tidak lama, seorang wanita cantik dengan piyama halus mendekat. Ia membawa nampan berisi air dan juga beberapa obat dokter. "Bagaimana perasaanmu?" tanyanya dengan lembut. Ia duduk dan memberikan obat suaminya.agar segera meminumnya. "Terima kasih, kau sangat perhatian padamu, Delima." Oscar menyerahkan gelas yang airnya sisa setengah setelah ia minum. Delima sang istri terkekeh kecil. Terlihat cantik walau usianya tak lagi muda. Wanita itu berdehem kemudian menjawab, "Aku adalah istrimu. Sudah tugasku mendampingi mu, Oscar." Tuan Oscar tertawa, Delima sekali bisa membuatnya terhibur. Wanita ini bahkan dengan sabar menerima makian dari orang-orang karena posisinya yang menjadi wanita kedua. Delima selalu sabar, bahkan Oscar tahu bahwa Delima juga begitu terpukul atas kepergian putri sulung mereka. "Kau wanita yang baik. Maaf karena aku menempatkanmu pada posisi yang tidak baik, Delima. Aku tahu bagaimana wanita-wanita lain menyalahkan dirimu atas posisi ini," tukas Oscar prihatin. "Jangan pikirkan itu. Aku juga sudah memutuskan keluar dari keanggotaan. Mengurus dirimu jauh lebih penting untukku," terangnya lagi membuat suaminya terharu dan merasa semakin bersalah. Oscar meraih tangan renta ibu kandung Silviana itu, mengecupnya pelan dan berkata, "Kau adakah bidadari, Sayang. Aku semakin merasa beruntung karena memiliki dirimu." Lagi-lagi ibu kandung Silviana itu terkekeh malu. Suaminya selalu bisa membuat wajahnya merah bersemu. Hingga ia yakin bahwa sudah saatnya ia mengatakan hal penting. "Oscar, apakah kau sudah bertemu dengan putrimu, Silviana? Dia mengatakan apa?" tanyanya ragu. Oscar mengangguk dan mengecup lagi tangan istrinya. "Pagi tadi. Silvia mengatakan bahwa Arsen sudah tiba. Dia membujukku untuk mengundang pria itu." Oscar menghela napas. "Lalu bagaimana? Apakah kita mengundangnya? Aku akan siapkan apa saja untuk menyambutnya?" Antusias Delima semakin menguatkan keyakinan Oscar bahwa Silvia begitu sangat menginginkan Arsen. "Dia akan kecewa, Delima! Kita berdua tahu, Arsen mencintai siapa. Aku tidak ingin Silviana merasa sakit hati, jika keinginannya dituruti," ujar Oscar gundah. "Tapi, Silviana menyukai Arsen. Benar jika Arsen hanya menginginkan putri kita yang satu. Tetapi, bagaimana jika dia--" "Tutup mulutmu, Delima!" bentaknya. Delima terkejut, ini pertama kalinya mendengar Oscar berbicara keras padanya. Sungguh sakit, apalagi itu karena anak tirinya. "Oscar, aku hanya--" "Aku tidak ingin mendengarkan apa pun. Sekarang kau keluar dari kamarku!" usir Oscar tanpa segan. "Jangan kejam pada putrimu, Oscar! Kau keterlaluan karena tidak memihak pada Silvia." Delima berdiri dan menatap marah pada suaminya yang sudah lemah. "Keluar!"Delima keluar dari kamar suaminya, dengan wajah memerah. Ia tak menyangka Oscar begitu marah karena hal sepele seperti tadi. "Semua karena anak itu. Sudah tidak di sini, tetapi masih saja merepotkan," gerutu Delima melangkah ke arah dapur. Delima hanya ingin Silviana bahagia. Mendapatkan apa yang seharusnya putrinya memiliki. Kekayaannya, penghormatan dan juga cinta Arsen. Namun, pria angkuh itu selalu saja menolak menikahi putrinya dengan alasan yang tidak masuk akal menurutnya. Delima duduk dengan kepala semakin sakit. Seharian ia membujuk Silviana agar pulang ke rumah tetapi, putrinya itu tidak pernah mau mengindahkan perintahnya. Bahkan sekarang, Delima tidak tahu, di mana keberadaan Silvia. "Jangan terlalu tegang, Nyonya. Ada aku di sini," bisik seseorang di belakang Delima. Ibu kandung Silvia itu, langsung tersenyum merekah, bahkan masalah berat di kepala langsung menguap begitu saja. Ia mengangkat tangan dan menyentuh tangan kekar yang berada di pundaknya. Kekar dan kokoh
Karena Alice tidak juga menjawab pertanyaan darinya. Leonardo berbalik dan melangkah ke arah nakas. Ia meraih sebuah paper bag dan meletakkan itu di pinggir ranjang."Bersihkan dirimu. Satu jam lagi, turun dan temui aku." Leonardo melangkah keluar dari kamar. Menghiraukan Alice yang masih tercengang menatap hadiah yang ia berikan.Alice menoleh ketika pintu tertutup. Ia masih tidak percaya dengan apa yang Leonardo berikan padanya. Perlahan ia melangkah ingin melihat apa isi paper bag dengan logo mahal di baliknya.Satu tarikan di bibir, menandakan hal baik. Ini pertama kalinya setelah mereka menikah. Gaun hitam tanpa lengan, terasa lembut dan Alice tahu ini sangat mahal."Dia memberiku gaun," gumam Alice tersenyum cerah. Ini adalah gaun terbaik yang ia terima dari Leonardo."Aku harus bersiap. Jangan sampai Leon, menunggu terlalu lama." Alice melangkah cepat ke kamar mandi. Ia lupa tadi telah hancur karena perlakuan mertuanya di bawah sana. Tidak lama setelah itu, Alice sudah selesai
Melihat ada keributan. Pria dengan setelah jas berwarna biru gelas segera berlari untuk menengahi. Orang-orang yang sejak tadi juga penasaran dengan ayang yang terjadi ikut berdiri dan melangkah ke arah kerumunan.Alice menghela napas dalam. Ia berdoa semoga dalam kumpulan ini tidak seorang pun yang mengenali dirinya. Cukup Sartika yang tahu dengan latar belakang dirinya yang lama."Katakan kau datang dengan siapa Alice? Kenapa hanya diam saja?" Sartika tidak tahan dan langsung mendorong Alice dengan sebelah tangannya.Yang lain ikut terkejut, sebab mereka tidak menyangka Sartika karyawan baru begitu berani melakukan hal ini. "Bukankah ini istri tuan Leonardo?" ucap seorang wanita yang pernah menghadiri pernikahan tertutup Leonardo dan Alice tahun lalu.Sartika menoleh pada wanita yang berbicara barusan. Tatapannya penuh penuntutan. Ia sempat mendengar bahwa pemimpin mereka memang sudah memiliki istri. Tetapi, tidak satupun fotonya terlihat di laman web. Sartika menatap Alice lagi,
Di tempat yang berbeda, Silviana baru saja memasuki halaman rumahnya dengan perasaan masih sangat kesal. Ia gagal lagi bertemu dengan Arsen padahal sudah menunggu begitu lama di lobi. Pria itu, menghilang melewati jalan lain dan membiarkan dirinya menunggu seperti orang bodoh sepanjang hari. Delima tersenyum ketika putrinya kembali ia tidak bisa memejamkan mata karena Silvia tidak bisa iamhibungo sepanjang hari. "Nak, akhirnya kamu pulang, kamu darimana saja?" tanya Delima menyambut Silvia yang baru saja memasukkan kunci mobil ke dalam tas kecil miliknya. Silvia menoleh, ini sudah larut dan ibunya belum tertidur. Ia juga melihat mini bar masih menyala. Silviana mendekat, ia mencium aroma ibunya dan benar seperti apa yang ia pikirkan. "Bu. Lihatlah usiamu. Ibu sudah tidak muda lagi, kenapa masih minum!" Silviana berjalan ke arah bar, ia ingin melihat berapa banyak yang ibunya habiskan, tetapi Delima segera menahan tangan putrinya dan menghadangnya. Silviana mengerutkan ken
"Alice singkirkan tubuhmu." Leonardo menggerakkan tubuhnya pelan agar Alice melepas pelukannya. Namun, itu semakin membuat pelukan Alice semakin erat di pinggang suaminya. Sepanjang jalan, sepanjang itu juga Alice berada dalam pelukan suaminya. Dalam hati, ia berdoa jika jalan ke rumah semakin panjang dan dia bisa menempel lebih lama.Sebenarnya, sejak Leonardo menutup tubuhnya dengan jas, Alice sudah tersadar hanya saja dia enggan membuka mata karena tak ingin momen indah ini berakhir.Alice juga sadar jika ia memeluk tubuh suaminya, karena itulah, diam-diam ia tersenyum ketika Leonardo mengusap tubuhnya sesekali. 'Sudah aku katakan Leon, kamu akan jatuh cinta padaku nanti,' batin Alice kembali memejamkan mata dan mengeratkan pelukan.Sepanjang jalan, Alice yang awalnya masih pura-pura menutup mata akhirnya kembali terlelap, dia sungguh lelah karena seharian bekerja.Hingga mereka sampai di halaman rumah mewah nan megah, Leonardo masih menunggu Alice membuka mata. Ia dengan sabar d
Leonardo menggeleng pelan, ia tetap meneruskan aktifitasnya membenarkan dasinya yang terlihat miring. Setelah itu, setelah ia merasa semua terlihat baik, barulah ia mengenakan jas hitam yang sudah Alice siapkan beberapa menit yang lalu."Leon, aku boleh bertanya, tidak?" Alice masih tak berkedip menatap mata indah suaminya."Tanyakan saja."Alice meremas jarinya, lalu mendekat lebih rapat. "Apa kamu malu memiliki istri miskin sepertimu?"Leonardo menghentikan gerakan tangannya, ia menoleh pada Alice yang begitu ingin tahu jawaban apa yang harus ia keluarkan.Sementara Alice sudah berdebar, bukan tidak siap ditolak karena selama menikah dia selalu ditolak, hanya saja, jika ditatap lebih dalam, jantungnya seperti ingin berhenti berdetak."Kenapa menanyakan itu sekarang?"Alice berdecak kecil, ia sudah menebak jika ia akan kecewa akhirnya, "Kalau begitu, beri aku waktu untuk tampil cantik untukmu, ya. Aku--""Tidak perlu lakukan apa pun. Kerjakan saja tugasmu seperti biasa." Leonardo mel
"Katakan sekarang, di mana putriku!" Di dalam ruang kerjanya. Oscar sudah tidak tahan lagi mendengarkan apa yang akan dilaporkan oleh orang-orangnya. Tidak rugi membayar lebih, sebentar lagi, dia akan menemukan di mana keberadaan putri sulungnya, Alice Amelia.Pria berbadan besar dengan kaca mata hitam mendekat. Pintu sudah di tutup rapat jadi, tak ada yang akan mendengar apa yang akan disampaikannya. Namun, mereka lupa, ada seseorang yang sejak tadi juga tidak sabar dengan berita yang akan di sampaikan.Oscar melirik ke arah Eldhan orang kepercayaannya. Pria yang tadi yang memberitahu tentang berita ini lebih awal."Eldhan, tolong pastikan pintu tertutup dengan baik." Eldhan mengangguk dan langsung berjalan ke arah pintu, memastikan pintu tertutup dengan benar. Saat itulah, pria berbadan besar tadi, menyerahkan kertas kecil pada Oscar.Setelah itu, Eldhan kembali berdiri pada tempatnya semula. Tidak membuang waktu, Oscar menatap pria yang tadi masih berdiri di hadapannya untuk berbi
Alice merasa bingung. Ibunya tidak bisa di hubungi lagi. Hatinya mendadak khawatir karena selama ini, ibunya tak pernah mematikan panggilan darinya."Aku harus bagaimana? Ibu mertua sedang sakit, tapi ibuku sepertinya dalam masalah," gumam Alice semakin bingung.Alice menggigit kukunya sambil menghentakkan kaki pelan, tanda bahwa dia sangat gelisah. Ia ingin meminta izin pada ibu mertuanya tetapi Leonardo pasti akan marah jika tahu dia tidak menjaga mertuanya dengan benar.Ketika itu, Horrison yang baru saja keluar dari kamar menantunya, melihat kegelisahan Alice dari jauh. Tidak ingin terjadi hal buruk, ia lantas mendekat untuk mengetahui apa yang terjadi."Ada apa dengan Leonardo, Nak?" tanya Horrison lembut.Menyadari kehadiran kakeknya, Alice langsung merubah ekspresi khawatir menjadi ekspresi biasa, "Apa Kakek membutuhkan sesuatu?" tanya Alice tidak mendengar pertanyaan Horrison sebelumnya."Kakek tidak butuh apa pun. Ada apa?" tanya Horrison kembali dengan sabar."Kakek, sebenar