Delima keluar dari kamar suaminya, dengan wajah memerah. Ia tak menyangka Oscar begitu marah karena hal sepele seperti tadi.
"Semua karena anak itu. Sudah tidak di sini, tetapi masih saja merepotkan," gerutu Delima melangkah ke arah dapur. Delima hanya ingin Silviana bahagia. Mendapatkan apa yang seharusnya putrinya memiliki. Kekayaannya, penghormatan dan juga cinta Arsen. Namun, pria angkuh itu selalu saja menolak menikahi putrinya dengan alasan yang tidak masuk akal menurutnya. Delima duduk dengan kepala semakin sakit. Seharian ia membujuk Silviana agar pulang ke rumah tetapi, putrinya itu tidak pernah mau mengindahkan perintahnya. Bahkan sekarang, Delima tidak tahu, di mana keberadaan Silvia. "Jangan terlalu tegang, Nyonya. Ada aku di sini," bisik seseorang di belakang Delima. Ibu kandung Silvia itu, langsung tersenyum merekah, bahkan masalah berat di kepala langsung menguap begitu saja. Ia mengangkat tangan dan menyentuh tangan kekar yang berada di pundaknya. Kekar dan kokoh rasanya. "Bagaimana tidak. Oscar menolak mendekatkan Silvia dan Arsen. Padahal, aku sudah membayangkan menjadi orang terkaya jika Silvia menikah dengannya." Delima menoleh ke belakang hingga ia bertatapan langsung dengan pria yang baru datang. Si pria menyeringai lalu berucap," Aku akan membantumu mendapatkan persetujuan darinya. Serahkan saja padaku." Delima menyentuh tangan si pria lalu berucap senang. "Aku percaya padamu. Tolong bujuk Oscar agar Silvia mendapatkan Arsen." "Baik. Serahkan saja padaku." *** Sementara itu, di tempat yang berbeda. Alice baru saja sampai di rumah keluargaku Horison. Ia melangkah pelan agar tidak bertemu dengan mertua atau bahkan Leonardo. Namun, apa yang ia harapkan tidak terwujud. Luna yang sejak tadi memang sengaja menunggunya langsung berdiri. Ia mendekat dengan langkah lebar ke arah Alice yang datang dengan wajah takut. "I-ibu, aku ... maaf karena aku pulang terlambat," jelas Alice masih merasa takut pada ibu mertuanya. Wanita itu melirik ke lantai atas dan mendapati Leonardo yang juga sudah menatapnya dengan tatapan dingin. Alice menelan ludah kasar. Andai saja ia cepat menemukan taxi tadi. Dia tidak akan terlambat sampai di rumah. "Alasan saja. Kamu pikir aku akan percaya padamu?" sindir Luna bersedekap angkuh. "Ibu, aku tidak berbohong. Aku terlambat mendapat taxi. Dan di jalan ada sedikit kemacetan," jelas Alice mencoba menyakinkan sang mertua Namun, Luna tetap pada pemikirannya. Apa pun alasan yang Alice keluarkan tidak akan dipercaya olehnya. Tanpa ragu dan kasihan, ia meminta Alice mengerjakan pekerjaan yang tertunda lainnya. "T-tapi, Bu. Aku baru saja pulang. Aku kerjakan besok saja, ya." Alice mendekat, mencoba memegang tangan mertuanya. Sungguh dia sangat lelah hari ini. Tidak jera, Alice kembali mendapatkan penolakan dengan tepisan keras di tangan. Tatapan tajam Luna semakin menusuk hatinya. Tatapan kebencian dan menjijikan seperti biasanya Alice terima. Suara derap langkah terdengar mendekat ke arah keduanya. Alice dan Luna menoleh bersamaan. Alice memberikan senyuman, lupa jika tadi siang dia patah hati mendengar suara wanita bernama Dara. Tatapan dingin suaminya, tidak juga membuatnya ragu untuk mendekat dan menyodorkan bingkisan yang ia bawa dari rumah ibunya. Namun, belum sampai ditangan Leonardo, Luna lebih dulu merampas dan membuangnya ke lantai. Kue coklat dengan campuran vanila kesukaan Leonardo tumpah tak berbentuk. Alice menatap ibu mertuanya protes, ingin marah tetapi ia tak sanggup mengatakannya. Kue itu adalah kue buatan ibunya untuk Leonardo, dan sekarang kue itu sudah hancur dan tak bisa lagi di makan. Alice meneteskan air mata, ia mendekati kue hancur itu dengan air mata meleleh. "Bu, ini kue buatan ibuku untuk Leon, kenapa ibu tega membuatnya." Alice mencoba mengangkat sisa-sisa kue yang lengket di lantai dan memasukkan di dalam tas dengan hati yang luka. Luna bersedekap tak merasa bersalah sama sekali. Ia mendengus kasar lalu berucap, "Makanan tidak sehat seperti itu, tidak pantas kamu berikan pada putraku!" Alice menoleh cepat dan menggeleng pelan. "Ini dibuat dengan bahan yang baik, Bu. Kenapa Ibu membuangnya." Luna berdecak, menyaksikan Alice yang meneteskan air mata tidak membuat hatinya luluh sedikitpun. Ia menatap putranya dan berkata, "Sekali-kali, ajak Dara ke rumah. Ibu rindu dengannya, Leo." Alice menghentikan gerakan tangannya yang memungut sisa kue yang lengket, ia ingin mendengar apa yang akan Leonardo jawab atas ucapan ibunya. Ia memejamkan mata berharap Leonardo menolak dan mengatakan hanya ingin bersamanya. Namun, apa yang menjadi harapannya langsung pupus ketika dengan jelas Leo menjawab, "Aku tidak bisa berjanji. Tapi, aku usahakan dia menemui ibu sesekali." Alice menggigit bibir bawahnya. Ia berdiri masih membelakangi ibu mertua dan suaminya. Hatinya hancur karena Leo seperti memberi peluang untuk menyingkirkan dirinya. Kenapa pria itu belum juga menerima dan mencintainya? Setelah merasa tenang, ia berbalik dan memberi senyum pada sang suami. "Aku bawa ini ke dapur." Leonardo dan Luna tidak mengatakan apa pun. Leo masih tetap menatapnya datar, tidak ada ekspresi apa pun yang pria itu berikan walau melihat dengan jelas mata Alice uang basah. Luna menghela napas, ia meminta Leo untuk istirahat karena dia juga sangat lelah. Seharian berkeliling mencari kesalahan Alice cukup menguras tenaganya. Di dapur, Alice dengan napas tercekat memakan kue yang masih bisa diselamatkan. Hanya sedikit, tetapi rasanya menyakitkan ketika masuk ke tenggorokan. Ucapan Leonardo lagi-lagi terngiang jelas ditelinga. "Dia benar-benar tidak menghargai perasaanku. Aku mencintai dirinya, tetapi tidak sedikitpun dia membalasnya," lirih Alice sendu. Tidak ingin terlalu lama meratapi nasibnya yang malang, Alice bergegas naik ke lantai atas setelah membereskan semuanya. Lampu juga sudah dipadamkan hingga dia harus berjalan pelan menaiki anak tangga yang bisa saja membuatnya terjatuh. "Mereka benar-benar tidak menganggap diriku." Alice melangkah dengan langkah pelan. Sesampainya di dalam kamar, ia sudah mendapati Leonardo yang menunggunya dengan tangan berada di dalam saku celana. Pria itu terlihat semakin segar dengan kemeja berwarna putih bersih. Alice melangkah masuk dengan jantung berdebar, tatapan dingin Leonardo padanya menusuk hingga relung terdalam. "Leon, aku minta maaf karena pulang terlambat," kata Alice menghilang kegugupan dalam hatinya. Leonardo mendekat, spontan menghentikan langkah Alice yang tadi berjalan. Pria itu tetap melangkah pelan hingga Alice tersudut di belakang pintu dengan jantung berdebar. "Apa kamu hanya bisa menangis, Alice?" tanyanya parau menunduk pada Istrinya. Menggeleng pelan. "Leon, tolong menyingkir dulu." Alice mengangkat tangan ingin mendorong dada bidang itu. Ia ragu, karena selama mereka menikah, jarang terjadi sentuhan fisik. Leonardo menatap tangan Alice yang gemetar, kemudian bertanya, "Apa yang kau bicarakan pada Dara siang tadi?" Tangan Alice tergantung, ia menatap Leonardo tidak percaya, bagaimana bisa di saat seperti ini, Leonardo membicarakan wanita lain. "Alice, jawab!”Karena Alice tidak juga menjawab pertanyaan darinya. Leonardo berbalik dan melangkah ke arah nakas. Ia meraih sebuah paper bag dan meletakkan itu di pinggir ranjang."Bersihkan dirimu. Satu jam lagi, turun dan temui aku." Leonardo melangkah keluar dari kamar. Menghiraukan Alice yang masih tercengang menatap hadiah yang ia berikan.Alice menoleh ketika pintu tertutup. Ia masih tidak percaya dengan apa yang Leonardo berikan padanya. Perlahan ia melangkah ingin melihat apa isi paper bag dengan logo mahal di baliknya.Satu tarikan di bibir, menandakan hal baik. Ini pertama kalinya setelah mereka menikah. Gaun hitam tanpa lengan, terasa lembut dan Alice tahu ini sangat mahal."Dia memberiku gaun," gumam Alice tersenyum cerah. Ini adalah gaun terbaik yang ia terima dari Leonardo."Aku harus bersiap. Jangan sampai Leon, menunggu terlalu lama." Alice melangkah cepat ke kamar mandi. Ia lupa tadi telah hancur karena perlakuan mertuanya di bawah sana. Tidak lama setelah itu, Alice sudah selesai
Melihat ada keributan. Pria dengan setelah jas berwarna biru gelas segera berlari untuk menengahi. Orang-orang yang sejak tadi juga penasaran dengan ayang yang terjadi ikut berdiri dan melangkah ke arah kerumunan.Alice menghela napas dalam. Ia berdoa semoga dalam kumpulan ini tidak seorang pun yang mengenali dirinya. Cukup Sartika yang tahu dengan latar belakang dirinya yang lama."Katakan kau datang dengan siapa Alice? Kenapa hanya diam saja?" Sartika tidak tahan dan langsung mendorong Alice dengan sebelah tangannya.Yang lain ikut terkejut, sebab mereka tidak menyangka Sartika karyawan baru begitu berani melakukan hal ini. "Bukankah ini istri tuan Leonardo?" ucap seorang wanita yang pernah menghadiri pernikahan tertutup Leonardo dan Alice tahun lalu.Sartika menoleh pada wanita yang berbicara barusan. Tatapannya penuh penuntutan. Ia sempat mendengar bahwa pemimpin mereka memang sudah memiliki istri. Tetapi, tidak satupun fotonya terlihat di laman web. Sartika menatap Alice lagi,
Di tempat yang berbeda, Silviana baru saja memasuki halaman rumahnya dengan perasaan masih sangat kesal. Ia gagal lagi bertemu dengan Arsen padahal sudah menunggu begitu lama di lobi. Pria itu, menghilang melewati jalan lain dan membiarkan dirinya menunggu seperti orang bodoh sepanjang hari. Delima tersenyum ketika putrinya kembali ia tidak bisa memejamkan mata karena Silvia tidak bisa iamhibungo sepanjang hari. "Nak, akhirnya kamu pulang, kamu darimana saja?" tanya Delima menyambut Silvia yang baru saja memasukkan kunci mobil ke dalam tas kecil miliknya. Silvia menoleh, ini sudah larut dan ibunya belum tertidur. Ia juga melihat mini bar masih menyala. Silviana mendekat, ia mencium aroma ibunya dan benar seperti apa yang ia pikirkan. "Bu. Lihatlah usiamu. Ibu sudah tidak muda lagi, kenapa masih minum!" Silviana berjalan ke arah bar, ia ingin melihat berapa banyak yang ibunya habiskan, tetapi Delima segera menahan tangan putrinya dan menghadangnya. Silviana mengerutkan ken
"Alice singkirkan tubuhmu." Leonardo menggerakkan tubuhnya pelan agar Alice melepas pelukannya. Namun, itu semakin membuat pelukan Alice semakin erat di pinggang suaminya. Sepanjang jalan, sepanjang itu juga Alice berada dalam pelukan suaminya. Dalam hati, ia berdoa jika jalan ke rumah semakin panjang dan dia bisa menempel lebih lama.Sebenarnya, sejak Leonardo menutup tubuhnya dengan jas, Alice sudah tersadar hanya saja dia enggan membuka mata karena tak ingin momen indah ini berakhir.Alice juga sadar jika ia memeluk tubuh suaminya, karena itulah, diam-diam ia tersenyum ketika Leonardo mengusap tubuhnya sesekali. 'Sudah aku katakan Leon, kamu akan jatuh cinta padaku nanti,' batin Alice kembali memejamkan mata dan mengeratkan pelukan.Sepanjang jalan, Alice yang awalnya masih pura-pura menutup mata akhirnya kembali terlelap, dia sungguh lelah karena seharian bekerja.Hingga mereka sampai di halaman rumah mewah nan megah, Leonardo masih menunggu Alice membuka mata. Ia dengan sabar d
Leonardo menggeleng pelan, ia tetap meneruskan aktifitasnya membenarkan dasinya yang terlihat miring. Setelah itu, setelah ia merasa semua terlihat baik, barulah ia mengenakan jas hitam yang sudah Alice siapkan beberapa menit yang lalu."Leon, aku boleh bertanya, tidak?" Alice masih tak berkedip menatap mata indah suaminya."Tanyakan saja."Alice meremas jarinya, lalu mendekat lebih rapat. "Apa kamu malu memiliki istri miskin sepertimu?"Leonardo menghentikan gerakan tangannya, ia menoleh pada Alice yang begitu ingin tahu jawaban apa yang harus ia keluarkan.Sementara Alice sudah berdebar, bukan tidak siap ditolak karena selama menikah dia selalu ditolak, hanya saja, jika ditatap lebih dalam, jantungnya seperti ingin berhenti berdetak."Kenapa menanyakan itu sekarang?"Alice berdecak kecil, ia sudah menebak jika ia akan kecewa akhirnya, "Kalau begitu, beri aku waktu untuk tampil cantik untukmu, ya. Aku--""Tidak perlu lakukan apa pun. Kerjakan saja tugasmu seperti biasa." Leonardo mel
"Katakan sekarang, di mana putriku!" Di dalam ruang kerjanya. Oscar sudah tidak tahan lagi mendengarkan apa yang akan dilaporkan oleh orang-orangnya. Tidak rugi membayar lebih, sebentar lagi, dia akan menemukan di mana keberadaan putri sulungnya, Alice Amelia.Pria berbadan besar dengan kaca mata hitam mendekat. Pintu sudah di tutup rapat jadi, tak ada yang akan mendengar apa yang akan disampaikannya. Namun, mereka lupa, ada seseorang yang sejak tadi juga tidak sabar dengan berita yang akan di sampaikan.Oscar melirik ke arah Eldhan orang kepercayaannya. Pria yang tadi yang memberitahu tentang berita ini lebih awal."Eldhan, tolong pastikan pintu tertutup dengan baik." Eldhan mengangguk dan langsung berjalan ke arah pintu, memastikan pintu tertutup dengan benar. Saat itulah, pria berbadan besar tadi, menyerahkan kertas kecil pada Oscar.Setelah itu, Eldhan kembali berdiri pada tempatnya semula. Tidak membuang waktu, Oscar menatap pria yang tadi masih berdiri di hadapannya untuk berbi
Alice merasa bingung. Ibunya tidak bisa di hubungi lagi. Hatinya mendadak khawatir karena selama ini, ibunya tak pernah mematikan panggilan darinya."Aku harus bagaimana? Ibu mertua sedang sakit, tapi ibuku sepertinya dalam masalah," gumam Alice semakin bingung.Alice menggigit kukunya sambil menghentakkan kaki pelan, tanda bahwa dia sangat gelisah. Ia ingin meminta izin pada ibu mertuanya tetapi Leonardo pasti akan marah jika tahu dia tidak menjaga mertuanya dengan benar.Ketika itu, Horrison yang baru saja keluar dari kamar menantunya, melihat kegelisahan Alice dari jauh. Tidak ingin terjadi hal buruk, ia lantas mendekat untuk mengetahui apa yang terjadi."Ada apa dengan Leonardo, Nak?" tanya Horrison lembut.Menyadari kehadiran kakeknya, Alice langsung merubah ekspresi khawatir menjadi ekspresi biasa, "Apa Kakek membutuhkan sesuatu?" tanya Alice tidak mendengar pertanyaan Horrison sebelumnya."Kakek tidak butuh apa pun. Ada apa?" tanya Horrison kembali dengan sabar."Kakek, sebenar
Alice turun dari taxi dengan terburu. Sejak tadi, ia sudah merasa tidak tenang. Tidak biasanya ibunya tidak menghidupkan kembali ponselnya setelah menelepon.Sampai di depan pintu rumah. Alice langsung mendorong karena terlihat pintu tidak tertutup rapat. "Ibu, aku kembali." Alice melangkah masuk, melewati ruang tamu kecil dengan cat warna putih.Ketika hendak memasuki kamar ibunya. Seseorang keluar dari ruang yang berbeda. Alice terbelalak karena mendapati ibunya dengan wajah ketakutan.Dua pria yang sejak tadi menunggu adalah Hary dan Burhan. Dua orang yang Oscar perintahkan untuk mencari keberadaan Alice selama ini."Paman, bagaimana bisa sampai di rumahku?" Alice tidak akan melupakan wajah mereka. Karena beberapa kali memang sempat melihat semua orang ayahnya berpencar mencari dirinya. Untungnya dia selalu lolos dan tidak bisa ditemukan.Hary mendekat. "Nona, Tuan Oscar sedang tidak sehat. Tolong pulanglah dan temui beliau." Alice mengusap punggung ibu angkatnya. Ia tak melihat
Leo kembali ke rumahnya dengan rasa malu yang besar. Ayah mertuanya menguliti dirinya dengan begitu santai. “Ayah memang benar, aku memang tidak bisa mengambil keputusan dengan benar,” gumamnya.“Aku senang karena akhirnya ayah menjagamu, Alice. Akan tetapi, tetap saja aku khawatir, siapa yang mengurus makanmu ketika kamu malas untuk bergerak?”Leonardo menghempaskan diri di atas sofa, menutup wajah dengan tangan kekar. Penyesalan yang teramat besar dan mendalam, ia tahu istrinya baik-baik saja, tetapi tak memiliki kekuatan untuk berjumpa bahkan melihat wajahnya.Leonardo mendesah, ia menatap foto yang berada di dinding, foto—Alice dengan senyum indah ketika mereka liburan. “Apakah kamu tidak merindukanku, sudah dua malam dan kita tidak saling memeluk, Sayang,” gumamnya merasa dunianya hancur.Beralih dari tempatnya, Leonardo masuk ke dalam bilik ruangannya, ruangan yang memisahkan dirinya dan Alice dalam jangka waktu yang lama. Bilik yang membuatnya banyak menyesal karena tak banya
Leo membuang napas, menatap tumpukan berkas yang Bram bawa untuknya. Sementara, hatinya masih gelisah karena Alice belum ditemukan.Ia meraih ponselnya yang terletak tidak jauh dari tumpukan, masih berharap ada kabar baik untuk menemukan keberadaan istrinya.Dalam keheningan dan kekacauan pikirannya, ia menekan nomor seseorang, berharap kali ini ia mendapatkan informasi yang lebih akurat.“Halo, Silvia,” katanya setelah wanita di belahan sana menerima cepat panggilan darinya.“[Halo, kakak ipar, tidak biasanya menelepon, ada apa?]” jawab Silvia langsung tanpa basa-basi.“Alice. Sejak pagi dia belum kembali, apakah dia menemuimu?”Beberapa saat hening, mengantarkan rasa khawatir semakin membesar, “Kak, sudah beberapa hari aku tidak bertemu Kak Amelia,” jawab Silvia, “saat ini aku berada di kediaman ibuku, jadi kami belum bertemu sama sekali.”Semakin gelisah dan rapuh, harus bagaimana sekarang? Tidak seorang pun mengetahui keberadaan istrinya. Tidak ibu mertuanya bahkan adik iparnya.“
Seorang wanita paruh baya sedikit berlari ke arah ruang tamu setelah mendapat laporan dari pelayan.Ia begitu terkejut karena belum beberapa hari tinggal di rumah ini, sudah beberapa tamu yang mendatangi dirinya.Leonardo menoleh dan langsung berdiri. Ia terpaku melihat wanita yang pernah ditemui kini terlihat lebih cantik dan segar.“Nyonya, senang bertemu lagi denganmu,” kata Leo masih belum terbiasa.Amanda mendekat dengan senyum ramah. “Panggil aku Ibu. Kamu menikahi putriku,” ujarnya masih ramah.“Ibu, maafkan aku,” ucap Leo menyesal.Amanda mengangguk meminta Leo duduk meski ia merasa sedikit aneh. “Kamu sendiri, di mana Alice?” Leonardo terpaku, tak menyangka jika pernyataan itu akan keluar. Menelan saliva, “Ibu, sebenarnya tujuanku datang untuk mencari Alice,” kata Leo berterus terang, “dia meninggalkan rumah dan belum kembali.”Terkejut, tetapi Amanda mencoba untuk tenang, ia bisa melihat bagaimana ke khawatiran Leonardo atas kepergian putrinya.“Sudah mencari di rumah ayah
Leo mengendarai kembali mobil miliknya dengan kecepatan penuh. Pria itu, tak mementingkan keselamatan agar lebih cepat sampai dan menemukan Alice—istrinya.“Aku tidak akan membiarkan Arsen mengambil kesempatan atas keterpurukan istriku. Tidak akan,” katanya dengan tatapan marah.Karena terlalu laju membawa mobilnya, pria yang tengah gelisah itu, hampir saja menabrak mobil yang tiba-tiba berhenti dipinggir jalan. Suara decitan terdengar memekakkan telinga pengedara yang lain.Tak ada waktu untuk meminta maaf, Leo dengan cepat melajukan mobil ke arah kediaman Arsen. Pria itu, menang yang paling memungkinkan mendekati istrinya.Sesampainya di kediaman Arsen, Leo melihat mobil pria yang menjadi rivalnya dalam cinta itu melaju ke arah berlawanan. Terlihat terburu dan mencurigakan.“Sial. Apakah dia tahu aku akan datang,” kata Leo, ia menghidupkan lagi mesin mobil menyusul Arsen yang terlihat terburu-buru.Seperti terlihat saling kejar, tetapi jelas Arsen tidak tahu jika dirinya diikuti dar
“Selamat pagi, Kak,” sapa Alisa, “eh maksud saya, Pak.”Alisa menggaruk tengkuk karena ketahuan lupa lagi. Wanita dengan penampilan modis serta riasan sedikit berani itu berjalan di belakang Leo dengan langkah yang seksi.Di belakang, Bram sampai menunduk karena tak sanggup dengan cara Alisa yang semakin berani berpenampilan.“Pak, bagaimana tidur Anda, kulihat–”“Apa jadwalku hari ini?” tanya Leo memotong ucapan tidak masuk akal dari Lisa.Mendengus kasar, “Pak kita bahkan belum sampai di ruangan, biarkan saya bernapas dulu,” jawab Lisa kesal karena kakaknya terlalu menekan dirinya.Leonardo menatap sinis pada adiknya, hari ini suasana hatinya sedang kacau, tetapi Alisa sengaja membuatnya semakin buruk.“Maaf saya terlambat.” Bram masuk ke dalam ruang besi, menekan tombol paling atas setelah mengatur napas.Leonardo berdecak, “Lain kali jangan terlalu banyak mengobrol pada mereka Bram. Fokus pada dirimu saja,” kata Leo sembari melirik sinis pada adiknya yang langsung melakukan aksi g
“Terima kasih, Pak.” Dara melingkarkan tangan erat pada pinggang alot Leonardo. Wanita yang hampir saja melompat dari gedung apartemen itu, berhasil dibujuk dan diselamatkan.Tangan Leo masih menggantung, tak membalas pelukan itu sama sekali. Dara—merasa hatinya tercubit dengan sikap Leo yang semakin dingin padanya.“Pak …,” ucap Dara lirih.“Apa kamu gila? Kamu bisa mati sia-sia Dara.” Leo melepaskan pelukan Dara sedikit kasar. Pria itu, menatap kesal pada sekretarisnya yang semakin tidak masuk akal.Dara menunduk takut. Tangannya saling bertaut dengan air mata yang mulai bercucuran.“Saya tidak bisa berpikir dengan benar, Pak. Rasa cinta saya yang begitu besar membuat saya tidak tahu harus melakukan apa,” kata Dara masih dengan posisi menunduk.“Kenapa tidak mengerti juga Dara, ini salah. Kamu menutup hati untuk orang lain hanya untuk rasa yang tak terbalas,” balas Leo mulai melembutkan suaranya.Dara mendongak, tatapannya sayu dengan air masih mengenang di kelopak mata. “Pak, ini s
Mereka berdua sama-sama terdiam beberapa menit. Hingga Alice mengusap perutnya pelan. “Lapar lagi?” tanya Leo terkekeh. Alice tersenyum kecil, ia menampilkan gigi rapi dengan wajah yang merah karena malu, “Tadi, hanya makan sedikit,” katanya. Leonardo mencubit pelan pipi yang mulai mengembang. “Kalau begitu, ayo kita makan lagi. Sepertinya aku juga mulai lapar." Alice mengangguk setuju, dengan hati-hati ia turun dari pangkuan Leonardo—suaminya. Wanita dengan perut buncit itu, melangkah ke arah sofa, duduk dengan rapi, menunggu Leo menyiapkan makan malam yang kesekian untuknya. “Suami yang manis,” kata Alice sembari tersenyum hangat. Leonardo yang mendengar ucapan Alice hanya menggeleng pelan, ia dengan cekatan membuat susu dan juga membuat makan malam ringan untuk sang istri. Setelah selesai, Leo membawa semua pada sang istri. “Minum susunya dulu.” Leonardo menyerahkan gelas susu hangat, kemudian menyerahkan semangkuk buah dan beberapa roti di piring yang lain. “Teri
Setelah makan malam bersama, Oscar membawa wanitanya ke kamar utama. Akan tetapi, Amanda menolak.“Aku harus kembali,” katanya berhasil membuat Oscar terpaku. Pria yang baru saja akan menunjukkan sesuatu itu, menatap Amanda dengan lekat.“Kembali? Kamu tidak bercanda kan?”Amanda tersenyum, “Tentu saja. Aku tidak mungkin bermalam di rumahmu, Oscar,” katanya.“Jelaskan kenapa?” Oscar mendekat dan menggenggam tangan wanitanya.“Ini terlalu cepat, aku akan kembali padamu setelah urusanmu dengan Delima selesai,” katanya dengan senyuman lembut, “lagipula, apa yang publik katakan jika tahu, aku tiba-tiba muncul?”“Aku akan mengurus semuanya. Lagipula, mengapa harus memikirkan perkataan orang lain, Manda?”“Karena kamu adalah Oscar. Kepulangan Alice bahkan masih menjadi berita hangat. Mereka bisa saja semakin terkejut jika aku tiba-tiba muncul,” imbuh Amanda lagi.“Tetapi, aku tidak bisa membiarkanmu pergi, mengertilah,” katanya memelas.Amanda terkekeh pelan, “Jangan bersikap seperti pria m
Setelah sarapan bersama selesai. Oscar berpamitan pada putri dan juga menantunya. Pria itu sudah dijemput oleh beberapa orang yang berseragam rapi.“Ayah kenapa tidak tinggal bersama kami saja,” kata Alice mencoba mencegah kepulangan ayahnya.Tertawa renyah, “Jika Ayah di sini, siapa yang mengurus semua pekerjaan Ayah di rumah?”Menghela napas berat, “Maaf karena aku tidak bisa membentuk banyak, Ayah. Aku–”“Setelah anakmu lahir, Ayah akan menyerahkan semuanya, jadi bersiapkan mulai saat ini,” tukas Oscar serius, sudah lama ia ingin menyerahkan, tetapi Alice selalu menolak dengan alasan belum siap.“Ayah, aku takut mengecewakan semua orang. Aku hanya wanita biasa,” imbuh Alice merasa tak percaya diri. “Mereka semua sudah berharap kepemimpinan di serahkan padaku. Mereka sudah mengetahui sejak kembali kamu, Nak.” Oscar mengusap kepala putrinya.“Jangan khawatir, ada Arsen dan juga Leo yang akan membantu. Ayah sudah memberitahu ini pada Arsen dan anak itu menerima.”Alice melirik suamin