Share

Bab 5

Delima keluar dari kamar suaminya, dengan wajah memerah. Ia tak menyangka Oscar begitu marah karena hal sepele seperti tadi.

"Semua karena anak itu. Sudah tidak di sini, tetapi masih saja merepotkan," gerutu Delima melangkah ke arah dapur.

Delima hanya ingin Silviana bahagia. Mendapatkan apa yang seharusnya putrinya memiliki. Kekayaannya, penghormatan dan juga cinta Arsen.

Namun, pria angkuh itu selalu saja menolak menikahi putrinya dengan alasan yang tidak masuk akal menurutnya.

Delima duduk dengan kepala semakin sakit. Seharian ia membujuk Silviana agar pulang ke rumah tetapi, putrinya itu tidak pernah mau mengindahkan perintahnya. Bahkan sekarang, Delima tidak tahu, di mana keberadaan Silvia.

"Jangan terlalu tegang, Nyonya. Ada aku di sini," bisik seseorang di belakang Delima.

Ibu kandung Silvia itu, langsung tersenyum merekah, bahkan masalah berat di kepala langsung menguap begitu saja. Ia mengangkat tangan dan menyentuh tangan kekar yang berada di pundaknya. Kekar dan kokoh rasanya.

"Bagaimana tidak. Oscar menolak mendekatkan Silvia dan Arsen. Padahal, aku sudah membayangkan menjadi orang terkaya jika Silvia menikah dengannya." Delima menoleh ke belakang hingga ia bertatapan langsung dengan pria yang baru datang.

Si pria menyeringai lalu berucap," Aku akan membantumu mendapatkan persetujuan darinya. Serahkan saja padaku."

Delima menyentuh tangan si pria lalu berucap senang. "Aku percaya padamu. Tolong bujuk Oscar agar Silvia mendapatkan Arsen."

"Baik. Serahkan saja padaku."

***

Sementara itu, di tempat yang berbeda. Alice baru saja sampai di rumah keluargaku Horison. Ia melangkah pelan agar tidak bertemu dengan mertua atau bahkan Leonardo.

Namun, apa yang ia harapkan tidak terwujud. Luna yang sejak tadi memang sengaja menunggunya langsung berdiri. Ia mendekat dengan langkah lebar ke arah Alice yang datang dengan wajah takut.

"I-ibu, aku ... maaf karena aku pulang terlambat," jelas Alice masih merasa takut pada ibu mertuanya.

Wanita itu melirik ke lantai atas dan mendapati Leonardo yang juga sudah menatapnya dengan tatapan dingin.

Alice menelan ludah kasar. Andai saja ia cepat menemukan taxi tadi. Dia tidak akan terlambat sampai di rumah.

"Alasan saja. Kamu pikir aku akan percaya padamu?" sindir Luna bersedekap angkuh.

"Ibu, aku tidak berbohong. Aku terlambat mendapat taxi. Dan di jalan ada sedikit kemacetan," jelas Alice mencoba menyakinkan sang mertua

Namun, Luna tetap pada pemikirannya. Apa pun alasan yang Alice keluarkan tidak akan dipercaya olehnya. Tanpa ragu dan kasihan, ia meminta Alice mengerjakan pekerjaan yang tertunda lainnya.

"T-tapi, Bu. Aku baru saja pulang. Aku kerjakan besok saja, ya." Alice mendekat, mencoba memegang tangan mertuanya. Sungguh dia sangat lelah hari ini.

Tidak jera, Alice kembali mendapatkan penolakan dengan tepisan keras di tangan. Tatapan tajam Luna semakin menusuk hatinya. Tatapan kebencian dan menjijikan seperti biasanya Alice terima.

Suara derap langkah terdengar mendekat ke arah keduanya. Alice dan Luna menoleh bersamaan. Alice memberikan senyuman, lupa jika tadi siang dia patah hati mendengar suara wanita bernama Dara.

Tatapan dingin suaminya, tidak juga membuatnya ragu untuk mendekat dan menyodorkan bingkisan yang ia bawa dari rumah ibunya.

Namun, belum sampai ditangan Leonardo, Luna lebih dulu merampas dan membuangnya ke lantai. Kue coklat dengan campuran vanila kesukaan Leonardo tumpah tak berbentuk.

Alice menatap ibu mertuanya protes, ingin marah tetapi ia tak sanggup mengatakannya. Kue itu adalah kue buatan ibunya untuk Leonardo, dan sekarang kue itu sudah hancur dan tak bisa lagi di makan.

Alice meneteskan air mata, ia mendekati kue hancur itu dengan air mata meleleh. "Bu, ini kue buatan ibuku untuk Leon, kenapa ibu tega membuatnya." Alice mencoba mengangkat sisa-sisa kue yang lengket di lantai dan memasukkan di dalam tas dengan hati yang luka.

Luna bersedekap tak merasa bersalah sama sekali. Ia mendengus kasar lalu berucap, "Makanan tidak sehat seperti itu, tidak pantas kamu berikan pada putraku!"

Alice menoleh cepat dan menggeleng pelan. "Ini dibuat dengan bahan yang baik, Bu. Kenapa Ibu membuangnya."

Luna berdecak, menyaksikan Alice yang meneteskan air mata tidak membuat hatinya luluh sedikitpun. Ia menatap putranya dan berkata, "Sekali-kali, ajak Dara ke rumah. Ibu rindu dengannya, Leo."

Alice menghentikan gerakan tangannya yang memungut sisa kue yang lengket, ia ingin mendengar apa yang akan Leonardo jawab atas ucapan ibunya. Ia memejamkan mata berharap Leonardo menolak dan mengatakan hanya ingin bersamanya.

Namun, apa yang menjadi harapannya langsung pupus ketika dengan jelas Leo menjawab, "Aku tidak bisa berjanji. Tapi, aku usahakan dia menemui ibu sesekali."

Alice menggigit bibir bawahnya. Ia berdiri masih membelakangi ibu mertua dan suaminya. Hatinya hancur karena Leo seperti memberi peluang untuk menyingkirkan dirinya. Kenapa pria itu belum juga menerima dan mencintainya?

Setelah merasa tenang, ia berbalik dan memberi senyum pada sang suami.

"Aku bawa ini ke dapur."

Leonardo dan Luna tidak mengatakan apa pun. Leo masih tetap menatapnya datar, tidak ada ekspresi apa pun yang pria itu berikan walau melihat dengan jelas mata Alice uang basah.

Luna menghela napas, ia meminta Leo untuk istirahat karena dia juga sangat lelah. Seharian berkeliling mencari kesalahan Alice cukup menguras tenaganya.

Di dapur, Alice dengan napas tercekat memakan kue yang masih bisa diselamatkan. Hanya sedikit, tetapi rasanya menyakitkan ketika masuk ke tenggorokan.

Ucapan Leonardo lagi-lagi terngiang jelas ditelinga.

"Dia benar-benar tidak menghargai perasaanku. Aku mencintai dirinya, tetapi tidak sedikitpun dia membalasnya," lirih Alice sendu.

Tidak ingin terlalu lama meratapi nasibnya yang malang, Alice bergegas naik ke lantai atas setelah membereskan semuanya. Lampu juga sudah dipadamkan hingga dia harus berjalan pelan menaiki anak tangga yang bisa saja membuatnya terjatuh.

"Mereka benar-benar tidak menganggap diriku." Alice melangkah dengan langkah pelan.

Sesampainya di dalam kamar, ia sudah mendapati Leonardo yang menunggunya dengan tangan berada di dalam saku celana. Pria itu terlihat semakin segar dengan kemeja berwarna putih bersih.

Alice melangkah masuk dengan jantung berdebar, tatapan dingin Leonardo padanya menusuk hingga relung terdalam.

"Leon, aku minta maaf karena pulang terlambat," kata Alice menghilang kegugupan dalam hatinya.

Leonardo mendekat, spontan menghentikan langkah Alice yang tadi berjalan. Pria itu tetap melangkah pelan hingga Alice tersudut di belakang pintu dengan jantung berdebar.

"Apa kamu hanya bisa menangis, Alice?" tanyanya parau menunduk pada Istrinya.

Menggeleng pelan. "Leon, tolong menyingkir dulu." Alice mengangkat tangan ingin mendorong dada bidang itu. Ia ragu, karena selama mereka menikah, jarang terjadi sentuhan fisik.

Leonardo menatap tangan Alice yang gemetar, kemudian bertanya, "Apa yang kau bicarakan pada Dara siang tadi?"

Tangan Alice tergantung, ia menatap Leonardo tidak percaya, bagaimana bisa di saat seperti ini, Leonardo membicarakan wanita lain.

"Alice, jawab!”

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Tati Sahati
up n up thorr thanks
goodnovel comment avatar
Tati Sahati
lanjuutt lanjuutt thoorr thanks
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status