"Katakan sekarang, di mana putriku!" Di dalam ruang kerjanya. Oscar sudah tidak tahan lagi mendengarkan apa yang akan dilaporkan oleh orang-orangnya. Tidak rugi membayar lebih, sebentar lagi, dia akan menemukan di mana keberadaan putri sulungnya, Alice Amelia.Pria berbadan besar dengan kaca mata hitam mendekat. Pintu sudah di tutup rapat jadi, tak ada yang akan mendengar apa yang akan disampaikannya. Namun, mereka lupa, ada seseorang yang sejak tadi juga tidak sabar dengan berita yang akan di sampaikan.Oscar melirik ke arah Eldhan orang kepercayaannya. Pria yang tadi yang memberitahu tentang berita ini lebih awal."Eldhan, tolong pastikan pintu tertutup dengan baik." Eldhan mengangguk dan langsung berjalan ke arah pintu, memastikan pintu tertutup dengan benar. Saat itulah, pria berbadan besar tadi, menyerahkan kertas kecil pada Oscar.Setelah itu, Eldhan kembali berdiri pada tempatnya semula. Tidak membuang waktu, Oscar menatap pria yang tadi masih berdiri di hadapannya untuk berbi
Alice merasa bingung. Ibunya tidak bisa di hubungi lagi. Hatinya mendadak khawatir karena selama ini, ibunya tak pernah mematikan panggilan darinya."Aku harus bagaimana? Ibu mertua sedang sakit, tapi ibuku sepertinya dalam masalah," gumam Alice semakin bingung.Alice menggigit kukunya sambil menghentakkan kaki pelan, tanda bahwa dia sangat gelisah. Ia ingin meminta izin pada ibu mertuanya tetapi Leonardo pasti akan marah jika tahu dia tidak menjaga mertuanya dengan benar.Ketika itu, Horrison yang baru saja keluar dari kamar menantunya, melihat kegelisahan Alice dari jauh. Tidak ingin terjadi hal buruk, ia lantas mendekat untuk mengetahui apa yang terjadi."Ada apa dengan Leonardo, Nak?" tanya Horrison lembut.Menyadari kehadiran kakeknya, Alice langsung merubah ekspresi khawatir menjadi ekspresi biasa, "Apa Kakek membutuhkan sesuatu?" tanya Alice tidak mendengar pertanyaan Horrison sebelumnya."Kakek tidak butuh apa pun. Ada apa?" tanya Horrison kembali dengan sabar."Kakek, sebenar
Alice turun dari taxi dengan terburu. Sejak tadi, ia sudah merasa tidak tenang. Tidak biasanya ibunya tidak menghidupkan kembali ponselnya setelah menelepon.Sampai di depan pintu rumah. Alice langsung mendorong karena terlihat pintu tidak tertutup rapat. "Ibu, aku kembali." Alice melangkah masuk, melewati ruang tamu kecil dengan cat warna putih.Ketika hendak memasuki kamar ibunya. Seseorang keluar dari ruang yang berbeda. Alice terbelalak karena mendapati ibunya dengan wajah ketakutan.Dua pria yang sejak tadi menunggu adalah Hary dan Burhan. Dua orang yang Oscar perintahkan untuk mencari keberadaan Alice selama ini."Paman, bagaimana bisa sampai di rumahku?" Alice tidak akan melupakan wajah mereka. Karena beberapa kali memang sempat melihat semua orang ayahnya berpencar mencari dirinya. Untungnya dia selalu lolos dan tidak bisa ditemukan.Hary mendekat. "Nona, Tuan Oscar sedang tidak sehat. Tolong pulanglah dan temui beliau." Alice mengusap punggung ibu angkatnya. Ia tak melihat
Alice berdiri, ia sedikit menjauh dari ibunya dan mencoba menelepon nomor yang baru saja masuk ke ponselnya. Dengan perasaan yang tidak enak ia bersuara, “Halo!”Alisnya mengkerut karena tak ada suara siapa pun di dalam sama. Alice melihat ke arah ibunya yang juga merasa heran. “Halo, siapa di sana?” Suara Alice kembali terdengar.Desi mendekat, ia bertanya dengan isyarat, kemudian Alice menggeleng tanda tak mengerti. “Mungkin salah sambung, Bu.” Alice mematikan ponselnya, kemudian kembali memasukkan ke dalam saku celana, setelah itu, ia menghampiri ibunya dan kembali membawa Desi duduk di kursi kayu. Alice memeriksa tubuh ibunya dengan benar. Ia tidak akan memaafkan Hary dan Burhan jika sampai ibunya mendapat luka sedikit pun.“Ibu baik-baik saja, Alice. Jangan khawatir.” Desi memegang tangan putrinya agar tidak melanjutkan kecurigaan.“Bu. Bagaimana bisa tidak khawatir. Ibu menelponku dan tiba-tiba saja ponselnya mati. Apalagi, aku tahu, bagaimana paman Hary dan Burhan jika marah
“Kak. Aku sampai lelah menunggumu.” Lisa berlari memeluk kakaknya. Gadis dengan penampilan seksi itu begitu bahagia akhirnya sudah ada yang menjemput dirinya setelah menunggu lama.Leonardo melepas pelukan adiknya dan menatap pakaian Lisa yang kekurangan bahan. Ia melepas jas miliknya lalu menggunakan itu untuk menutup tubuh Lisa yang terekspos.“Kak!” protes Lisa tak suka dengan apa yang kakaknya lakukan. Ia bahkan ingin melepas kembali jas yang sudah melekat di tubuhnya.“Jangan lepaskan. Aku akan membuang semua pakaian tidak bermoral yang kau punya, Alisa!” geram Leonardo begitu murka dengan pakaian-pakaian yang tak layak dikenakan, tetapi masih banyak yang menjual.“Kau tidak tahu model, ya! Kau jangan samakan aku dengan istrimu yang kampungan itu, Kak!” Lisa masuk ke dalam mobil dengan bibir mengerucut. Sementara semua barang yang ia bawa sudah dimasukkan di bagasi oleh sopir mereka.Alisa adalah adik semata wajah Leonardo. Berkuliah sambil bekerja di Negara tetangga sejak setah
Sampai di kantor, Leonardo langsung menuju ruangannya. Ia masih memikirkan siapa pria yang bersama Alice di pinggir jalan tadi. Ia tidak tahu jika Alice memiliki kenalan selama ini.“Siapa pria itu,” gumamnya mengingat postur tubuh dari si pria.Sampai di depan ruangannya, ia langsung masuk dengan perasaan kesal. Bayangan bagaimana Alice tersenyum pada pria lain mengusik hatinya.Dara yang tahu jika Leonardo sudah kembali langsung masuk ke dalam ruangan setelah mengetuk beberapa kali. “Kenapa tidak mengetuk pintu, Dara!” Dara melangkah dengan senyum mengembang, ia duduk di sebelah Leonardo yang duduk di sofa dengan tangan memijat pangkal hidung.“Biar aku yang bantu.” Dara mengangkat tangan kemudian memijat bagian tengkuk Leonardo yang kemungkinan tegang karena lelah bekerja.Leonardo menutup mata, menikmati setiap gerakan tangan halus Dara yang bermain di tengkuknya. Perlahan ia merasa mengantuk tetapi mencoba untuk tetap tersadar.“Jangan terlalu banyak begadang, Pak Leo. Anda har
“Alice, jangan menyela Kakek,” potong Horrison cepat. Ia kemudian melanjutkan, “sekarang masuk dan bersihkan dirimu.”Alice langsung meletakkan selang pada tempatnya. Kemudian melangkah masuk dengan Horison di belakangnya. Pria tua itu masih tidak menyangka Alice masih bisa bertahan selama ini untuk cintanya.Karena terlalu lelah berdiri, Horison memilih kembali ke ruang keluarga sebelum makan malam di mulai. Ia akhir-akhir ini memang lebih sering kelelahan.Sementara itu, ketika Alice hendak naik ke lantai atas, ia mendengar suara langkah Leonardo yang baru saja memasuki rumah. Ia yang tadi sudah siap naik langsung membalik diri dan berlari kecil ke arah Leonardo.“Selamat datang di rumah. Berikan aku tas milikmu. Biar aku yang menyimpannya di ruang kerja,” pinta Alice langsung.Leonardo menatap Alice datar. Namun, tetap menyerahkan tas miliknya. Setelah itu, suami Alice itu langsung melangkah tanpa mengatakan apa pun.“Ya Tuhan. Hatinya sangat keras, tapi aku suka,” kekeh Alice hera
Di dalam kamarnya, Silvia masih mencoba mengingat siapa yang ayahnya sebutkan. Selama menjadi putri tunggal setelah kepergian Alice, Silvia memang berusaha mengenal siapa saja relawan yang ayahnya undang dalam pertemuan penting atau sekedar makan malam menghabiskan waktu.“Leonardo? Siapa dia?” tanya Silviana pada diri sendiri.Ia duduk di pinggir ranjang. Meraih laptop yang berada di atas nakas. Lalu, mengetik nama seseorang yang harus ia undang.Silviana memicingkan mata ketika mendapati foto bernamakan, Leonardo di dalam laptopnya. Tampan dan juga berkarismatik. Silvia bisa melihat aura berbeda pada pria yang mengenakan kacamata bening itu.“Pengusaha muda berusia tiga puluh tahun, dia bahkan sudah memiliki banyak cabang di beberapa kota?” ucap Silviana membacakan informasi yang ia terima.Silvana terus mencari informasi lain, ia masih penasaran kenapa ayahnya harus mengundang orang yang lain yang tak ia kenal.“Apa mungkin ayah akan menjodohkan aku dengannya?” terka Silvia lagi.S