Alice turun dari taxi dengan terburu. Sejak tadi, ia sudah merasa tidak tenang. Tidak biasanya ibunya tidak menghidupkan kembali ponselnya setelah menelepon.Sampai di depan pintu rumah. Alice langsung mendorong karena terlihat pintu tidak tertutup rapat. "Ibu, aku kembali." Alice melangkah masuk, melewati ruang tamu kecil dengan cat warna putih.Ketika hendak memasuki kamar ibunya. Seseorang keluar dari ruang yang berbeda. Alice terbelalak karena mendapati ibunya dengan wajah ketakutan.Dua pria yang sejak tadi menunggu adalah Hary dan Burhan. Dua orang yang Oscar perintahkan untuk mencari keberadaan Alice selama ini."Paman, bagaimana bisa sampai di rumahku?" Alice tidak akan melupakan wajah mereka. Karena beberapa kali memang sempat melihat semua orang ayahnya berpencar mencari dirinya. Untungnya dia selalu lolos dan tidak bisa ditemukan.Hary mendekat. "Nona, Tuan Oscar sedang tidak sehat. Tolong pulanglah dan temui beliau." Alice mengusap punggung ibu angkatnya. Ia tak melihat
Alice berdiri, ia sedikit menjauh dari ibunya dan mencoba menelepon nomor yang baru saja masuk ke ponselnya. Dengan perasaan yang tidak enak ia bersuara, “Halo!”Alisnya mengkerut karena tak ada suara siapa pun di dalam sama. Alice melihat ke arah ibunya yang juga merasa heran. “Halo, siapa di sana?” Suara Alice kembali terdengar.Desi mendekat, ia bertanya dengan isyarat, kemudian Alice menggeleng tanda tak mengerti. “Mungkin salah sambung, Bu.” Alice mematikan ponselnya, kemudian kembali memasukkan ke dalam saku celana, setelah itu, ia menghampiri ibunya dan kembali membawa Desi duduk di kursi kayu. Alice memeriksa tubuh ibunya dengan benar. Ia tidak akan memaafkan Hary dan Burhan jika sampai ibunya mendapat luka sedikit pun.“Ibu baik-baik saja, Alice. Jangan khawatir.” Desi memegang tangan putrinya agar tidak melanjutkan kecurigaan.“Bu. Bagaimana bisa tidak khawatir. Ibu menelponku dan tiba-tiba saja ponselnya mati. Apalagi, aku tahu, bagaimana paman Hary dan Burhan jika marah
“Kak. Aku sampai lelah menunggumu.” Lisa berlari memeluk kakaknya. Gadis dengan penampilan seksi itu begitu bahagia akhirnya sudah ada yang menjemput dirinya setelah menunggu lama.Leonardo melepas pelukan adiknya dan menatap pakaian Lisa yang kekurangan bahan. Ia melepas jas miliknya lalu menggunakan itu untuk menutup tubuh Lisa yang terekspos.“Kak!” protes Lisa tak suka dengan apa yang kakaknya lakukan. Ia bahkan ingin melepas kembali jas yang sudah melekat di tubuhnya.“Jangan lepaskan. Aku akan membuang semua pakaian tidak bermoral yang kau punya, Alisa!” geram Leonardo begitu murka dengan pakaian-pakaian yang tak layak dikenakan, tetapi masih banyak yang menjual.“Kau tidak tahu model, ya! Kau jangan samakan aku dengan istrimu yang kampungan itu, Kak!” Lisa masuk ke dalam mobil dengan bibir mengerucut. Sementara semua barang yang ia bawa sudah dimasukkan di bagasi oleh sopir mereka.Alisa adalah adik semata wajah Leonardo. Berkuliah sambil bekerja di Negara tetangga sejak setah
Sampai di kantor, Leonardo langsung menuju ruangannya. Ia masih memikirkan siapa pria yang bersama Alice di pinggir jalan tadi. Ia tidak tahu jika Alice memiliki kenalan selama ini.“Siapa pria itu,” gumamnya mengingat postur tubuh dari si pria.Sampai di depan ruangannya, ia langsung masuk dengan perasaan kesal. Bayangan bagaimana Alice tersenyum pada pria lain mengusik hatinya.Dara yang tahu jika Leonardo sudah kembali langsung masuk ke dalam ruangan setelah mengetuk beberapa kali. “Kenapa tidak mengetuk pintu, Dara!” Dara melangkah dengan senyum mengembang, ia duduk di sebelah Leonardo yang duduk di sofa dengan tangan memijat pangkal hidung.“Biar aku yang bantu.” Dara mengangkat tangan kemudian memijat bagian tengkuk Leonardo yang kemungkinan tegang karena lelah bekerja.Leonardo menutup mata, menikmati setiap gerakan tangan halus Dara yang bermain di tengkuknya. Perlahan ia merasa mengantuk tetapi mencoba untuk tetap tersadar.“Jangan terlalu banyak begadang, Pak Leo. Anda har
“Alice, jangan menyela Kakek,” potong Horrison cepat. Ia kemudian melanjutkan, “sekarang masuk dan bersihkan dirimu.”Alice langsung meletakkan selang pada tempatnya. Kemudian melangkah masuk dengan Horison di belakangnya. Pria tua itu masih tidak menyangka Alice masih bisa bertahan selama ini untuk cintanya.Karena terlalu lelah berdiri, Horison memilih kembali ke ruang keluarga sebelum makan malam di mulai. Ia akhir-akhir ini memang lebih sering kelelahan.Sementara itu, ketika Alice hendak naik ke lantai atas, ia mendengar suara langkah Leonardo yang baru saja memasuki rumah. Ia yang tadi sudah siap naik langsung membalik diri dan berlari kecil ke arah Leonardo.“Selamat datang di rumah. Berikan aku tas milikmu. Biar aku yang menyimpannya di ruang kerja,” pinta Alice langsung.Leonardo menatap Alice datar. Namun, tetap menyerahkan tas miliknya. Setelah itu, suami Alice itu langsung melangkah tanpa mengatakan apa pun.“Ya Tuhan. Hatinya sangat keras, tapi aku suka,” kekeh Alice hera
Di dalam kamarnya, Silvia masih mencoba mengingat siapa yang ayahnya sebutkan. Selama menjadi putri tunggal setelah kepergian Alice, Silvia memang berusaha mengenal siapa saja relawan yang ayahnya undang dalam pertemuan penting atau sekedar makan malam menghabiskan waktu.“Leonardo? Siapa dia?” tanya Silviana pada diri sendiri.Ia duduk di pinggir ranjang. Meraih laptop yang berada di atas nakas. Lalu, mengetik nama seseorang yang harus ia undang.Silviana memicingkan mata ketika mendapati foto bernamakan, Leonardo di dalam laptopnya. Tampan dan juga berkarismatik. Silvia bisa melihat aura berbeda pada pria yang mengenakan kacamata bening itu.“Pengusaha muda berusia tiga puluh tahun, dia bahkan sudah memiliki banyak cabang di beberapa kota?” ucap Silviana membacakan informasi yang ia terima.Silvana terus mencari informasi lain, ia masih penasaran kenapa ayahnya harus mengundang orang yang lain yang tak ia kenal.“Apa mungkin ayah akan menjodohkan aku dengannya?” terka Silvia lagi.S
Di tempat yang berbeda. Pria dengan setelan jas warna hitam baru saja mendudukkan diri di kursinya. Ia baru saja selesai makan siang dengan beberapa orang relasi.Dia—Arsen pria yang menyimpan nama wanita di dalam hatinya bernama Alice Amelia. Wanita yang selama ini menjadi pemenang dalam hatinya.Jhon—Asisten Arsen, menoleh ke arah pintu. Kemudian tak lama, seorang wanita cantik melangkah masuk.“Hai, Arsen. Akhirnya kita bertemu.” Silviana mendekat ke arah Arsen dan mengecup pelan pipi pria yang langsung mengerang marah karena perlakuan Silviana.Jhon menggeleng pelan. Ia berpura-pura sibuk dengan laptopnya. Takut mendapat omelan dan semacamnya.“Silvia, apa kau tidak malu!” geram Arsen menatap kesal pada Silvia yang menatapnya memuja.“Tidak. Itu hukuman karena kau mempermainkan aku. Kau tidak tahu, berapa lama aku menunggumu di lantai bawah?”Arsen mendengus kasar, “Keluarlah! Aku tidak ada waktu untuk mendengar semua ocehanmu!” usir Arsen tegas.Silvia berdecak, ia melangkah kear
Alice mengerutkan kening. Ia seperti mengenal suara yang baru saja ia dengar. Dengan perlahan ia bertanya, “Kau siapa?”Mobil mengarah ke pinggir jalan dengan perlahan. Alice masih penasaran dengan wajah pria yang masih tertutupi oleh topi berwarna hitam di depannya.Ketika mesin mobil sudah dimatikan, pria yang mengemudi juga perlahan menoleh, barulah Alice bisa melihat siapa yang bersamanya.“Jhon?” pekik Alice tertahan, “kapan kau kembali, bagaimana kabarmu?” tanya Alice dengan wajah tak sabar.Jhon—Asisten Arsen terkekeh kecil, “Sudah lama. Senang bertemu denganmu, Nona Amelia.”Alice mengangguk. “Senang bertemu denganmu juga, Jhon. Di mana Arsen?”Wajah ceria Jhon tiba-tiba saja berubah muram. Pria itu bahkan mengusap air mata yang tak terlihat. “Pak Arsen tidak baik-baik saja, Nona. Dia sudah beberapa kali menolak untuk menjaga kesehatan setelah tahu, Anda menghilang.”Alice menghela napas pelan, “Jhon, kau tidak berbohong, kan?” “Saya tidak berbohong, Nona. Saya bersumpah atas
Luna menghela napas berulang kali, ia duduk dan menatap menantunya. “Ibu hanya tidak bisa membayangkan bagaimana nasib Laila di sana.”Leo mengangguk paham. Ia meraih tangan ibunya. “Ibu, Damian akan menjaganya selama satu bulan, lagipula ada Arsen di sana.”“Arsen? Kamu masih percaya pada pria itu? Bagaimana jika–”“Ibu, tolong percaya dengan keputusan yang sudah aku ambil, Arsen adalah satu-satunya yang bisa menjaga Laila setelah Damian.”Lagi-lagi Luna mendengus, ia tak suka dengan pria bernama Arsen. Pria itu ingin merebut Alice dari putranya bahkan dengan terang-terangan mengakui Laila dan Damian sebagai anak.“Kalian tidak ada yang mengerti dengan kekhawatiranku. Aku hanya ingin cucuku hidup dengan damai, tidak perlu sekolah di tempat jauh, kita bisa–”“Maafkan aku karena memotong ucapanmu Bu. Tetapi ini adalah keputusan mereka. Laila ingin sekolah bisnis seperti Silviana, sementara Damian, putraku adalah penerus, dia harus memiliki pendidikan yang jauh lebih hebat.”Membuang na
Alice dan Leo saling pandang, pun dengan Laila yang hanya berdecak mendengar permintaan kakaknya.“Apa maksudmu, Damian?” tanya Laila semakin jengah.“Aku tidak mungkin mengekor padamu, aku juga ingin memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan,” katanya.“Tidak ada yang menjagamu sebaik aku, Laila. Sejak kita kecil, aku yang–”“Tapi sekarang aku sudah besar, aku bisa menjaga diriku, lagipula di sana ada Ayah Arsen.” Laila berdiri dengan kesalnya.“Terserah jika kalian tidak mendukung, aku akan tetap bersekolah di tempat yang aku inginkan,” ujarnya, “dan Ayah tidak boleh menarik kesepakatan kita.”“Laila duduk dulu, Nak.” Alice menepuk pelan sebelah sisi tempatnya.“Tidak Ibu. Tidak sebelum Damian berpikir waras.”Setelah mengatakan itu, Laila meninggalkan ruangan dengan kekesalan pada Damian.“Dia gila,” geramnya dengan nada yang kesal.Sementara itu, Clara yang melihat kakak perempuannya menuju kamar, segera mengikuti. Rasanya sangat berat berpisah meski mereka berdua jarang sekali terli
“Selamat pagi.” Laila datang lebih cepat, memotong ucapan Alice yang tengah memeluk putri bungsunya.“Selamat pagi, Sayang.” Leonardo menyambut putri sulungnya, kemudian meminta Laila untuk duduk di sebelahnya.Melihat itu, Clara mengerucutkan bibir, “Ayah, jangan terlalu memanjakan kakak, dia sudah–”“Clara lebih baik kamu diam, berikan susu yang kamu buatkan tadi untukku.” Laila meraih selembar roti dan mengolesi dengan selesai cokelat.“Baiklah.” Clara memeluk ibunya singkat kemudian memberikan susu yang dibuatnya pada Laila.“Sekarang berikan nilai untukku. Aku yakin ini rasanya seratus,” kata Clara.Laila meraih gelas susu miliknya, kemudian meneguknya hingga setengah. “Enak, aku rasa ini adalah bakatmu.”Clara mengerucutkan bibir, “Bakatku banyak Kak. Hanya saja, aku tidak ingin menunjukkan pada orang lain,” katanya dengan bangga.“Oh aku sangat kagum padamu. Duduklah, aku ingin memberikan hadiah lain.” Laila meletakkan gelas yang sudah kosong kemudian merogoh kantong celana mil
Alice masih ke dalam ruang makan dan benar saja, semua sudah disiapkan dengan sangat baik. Clara yang melihat wajah takjub ibunya pun ikut merasa bahagia.“Bagaimana? Aku sangat membanggakan bukan?” tanyanya pada sang ibu.“Benar Clara yang melakukan ini sendiri?” Alice menoleh pada putrinya yang langsung terdiam dengan bibir tersenyum kecil.“Senangnya, Clara dibantu oleh kak Laila,” akunya, “tapi karena dia kelelahan dan mengantuk, kakak kembali ke kamar.”Alice menaikkan alis, kemudian mengangguk paham. “Ya sudah, tapi setidaknya, Clara sudah membuktikan jika putri ibu sudah sangat hebat.”Clara mengangguk senang. “Tolong beritahu kakek ya, Bu. Aku ingin kakek mendengar hal baik tentangku.”“Baiklah, jika kakek bertanya, Ibu akan memberitahu jika cucunya yang cantik ini sudah besar.”Clara memeluk ibunya. “Ibu aku sangat menyayangimu. Aku yakin karena itulah ayah sangat mencintaimu.”Alice terkekeh, “Ya sudah, sekarang duduk dulu, Ibu akan buatkan sarapan untuk kita semua.”“Aku ak
Alice menghela napas panjang untuk meredam semuanya. Tidak ada yang bisa mengetahui takdir kedepannya. Damian masih terlalu muda, sementara Sera, gadis kecil itu juga masih seusia Clara yang mungkin tidak mengerti dengan situasi ini.“Semoga saja, Damian mendapatkan yang terbaik,” putus Alice akhirnya.Leo mengangguk meski rasanya ada yang aneh. Rasa sakit yang Alice rasakan sepertinya terlalu besar, hingga sang istri belum bisa memaafkan apa yang telah terjadi.“Kamu benar, Damian masih terlalu muda. Kita bisa lebih tenang karena Bram juga telah meninggalkan kota bersama putrinya.Setelah mereka membahas semuanya, Alice memutuskan untuk tidak membahas ini lagi. Ia bahkan meminta Laila untuk tidak membantu Damian melupakan perasaannya yang diyakini hanya rasa sesaat.“Tidurlah, aku masih ada banyak pekerjaan di bawah,” kata Leo akhirnya, hingga saat ini ia belum menemukan seseorang yang bisa menggantikan posisi Bram di kantor.“Maafkan aku. Aku seharusnya tidak terlalu keras sehingga
Malam hari, Alice yang masih merasa curiga pada Dara dan Leo memutuskan untuk tidur lebih cepat. Ia tahu usianya tidak lagi muda seperti dulu. Jadi, tidur adalah pilihan yang lebih tepat.Sementara itu, Leo yang tahu dengan kecemburuan istrinya hanya tersenyum kecil, merasa bersalah, tetapi ia bisa buktikan jika dirinya dan Dara tak ada hal yang harus dicurigai.“Aku sudah katakan padamu, kedatangannya adalah untuk berterima kasih karena tidak menghalangi Bram keluar dari perusahan,” jelas Leo pelan di telinga sang istri.“Mereka memutuskan untuk meninggalkan kota ini, jadi Bram sudah mengundur diri,” sambungnya.“Kenapa harus bertemu? Bukankah Bram bisa mewakili, Kenapa harus datang padaku, bukankah sama saja dia ingin mengulang kejadian yang telah lalu?” balas Alice akhirnya. Wanita itu membuka mata, tak menoleh tetapi masih menunggu suaminya menjawab pertanyaannya.“Sera yang memaksa untuk datang dan kebetulan dia–”“Apakah setelah melihatnya kembali hatimu masih bergetar? Dia bah
Bram mengangkat wajah, menatap wanita seksi yang melangkah ke arahnya. Wanita dengan rambut panjang bergelombang serta bibir merah yang menggoda.“Tidak bisakah kamu mengetuk pintu dulu?” Bram meletakkan ponsel di atas meja, lalu berpindah ke sofa single.Si wanita terkekeh, ia mendekat dan duduk di hadapan Bram dengan gaya sensual.“Maafkan saya, Pak. Saya tidak sabar menunjukkan hasil karya saya, karena itulah lupa untuk mengetuk.” Mendengus kasar, Bram meraih dikumen yang sudah ada di atas meja. “Mulai besok, bawa langsung ke ruangan pak Leo, dia akan memeriksa tugasmu hingga–”“Tidak Pak. Saya tidak akan mempertaruhkan diri saya. Lebih baik bertanya dulu pada Pak Bram setelah itu ke ruangan pak Leo,” terangnya.“Della–”“Saya tidak mau Pak. Pak Leo terlalu kaku untuk saya, lagipula anak-anaknya sudah pernah salah paham pada saya,” keluhnya tak ingin mendapat masalah.Bram menghela napas, ia memeriksa kerjaan Della, setelah merasa bahwa semua sudah benar, ia kembali memberikan pad
Sera terdiam, ia tak melanjutkan makannya. Ia lebih memilih mendengarkan pertengkaran orang tuanya.Ia membuang napas kasar dan berdiri meninggalkan Dara dan Bram yang masih berdebat tentang Alice.“Seharusnya aku tidak merusak pestaku sendiri,” gumamnya dengan wajah lesu.Ia keluar dari resto dan duduk di bangku taman, gadis kecil itu menunduk dengan wajah sedih.“Kamu di sini?” Suara seseorang membuatnya menoleh. Sera terlihat mengingat seseorang yang berada di sebelahnya.Ia langsung berdiri tatkala mengingat dengan benar. “Maafkan aku.” Sera hendak meninggalkan tempat, tetapi Damian mencegahnya, “Sera … apakah namamu Sera?”Sera menoleh dengan tatapan tidak suka, “Bukan. Jangan mendekatiku. Aku tidak mau berdekatan dengan keluarga Clara.”“Clara? Kamu mengenal adikku?” Sera mendengus kecil, “Tentu saja, Clara temanku,” katanya duduk lagi di bangku, “tapi aku tidak ingin berteman dengannya lagi.”Alisa Damian menukik tajam, “Apakah adikku membuat ulah? Dia mengganggumu?”Sera men
Leonardo terdiam, ia menatap wajah istrinya yang semakin cantik meski anak-anak mereka telah menjadi remaja.Tangan kekar itu mengulur, mengusap lembut lengan sang istri lembut. “Dia adalah Sera.”“Apakah dia kerabat Bram? Aku merasa tidak asing dengan tatapan mata gadis itu, seperti aku pernah melihat tatapan itu sebelumnya,” kata Alice, “apakah aku salah jika aku merasa gadis kecil itu seperti tidak menyukaiku?”Leonardo memasang wajah datar, ia menatap istrinya dengan tatapan hangat, “Iya, dia adalah kerabat dari Bram,” katanya, “dan tatapan itu, bukan tatapan tidak suka, jangan berpikir terlalu jauh, ya.”Alice menggeleng. “Ya, aku harap salah menilai. Apakah dia anak dari saudara Bram? Atau–”“Dia adalah anak Bram,” jawab Leo segera.“Anak? Bram sudah menikah?” tanya Alice, ia bahkan hak pernah mendengar jika asisten suaminya menikah. Selama ini, mereka mengenal Bram sebagai praibaik, lalu sejak kapan Bram menikah dengan anak sebesar itu?“Tidak menikah, mereka memutuskan untuk t