Share

Bab 6

Karena Alice tidak juga menjawab pertanyaan darinya. Leonardo berbalik dan melangkah ke arah nakas. Ia meraih sebuah paper bag dan meletakkan itu di pinggir ranjang.

"Bersihkan dirimu. Satu jam lagi, turun dan temui aku." Leonardo melangkah keluar dari kamar. Menghiraukan Alice yang masih tercengang menatap hadiah yang ia berikan.

Alice menoleh ketika pintu tertutup. Ia masih tidak percaya dengan apa yang Leonardo berikan padanya. Perlahan ia melangkah ingin melihat apa isi paper bag dengan logo mahal di baliknya.

Satu tarikan di bibir, menandakan hal baik. Ini pertama kalinya setelah mereka menikah. Gaun hitam tanpa lengan, terasa lembut dan Alice tahu ini sangat mahal.

"Dia memberiku gaun," gumam Alice tersenyum cerah. Ini adalah gaun terbaik yang ia terima dari Leonardo.

"Aku harus bersiap. Jangan sampai Leon, menunggu terlalu lama." Alice melangkah cepat ke kamar mandi. Ia lupa tadi telah hancur karena perlakuan mertuanya di bawah sana.

Tidak lama setelah itu, Alice sudah selesai dengan dirinya. Ia berdiri di depan cermin besar dengan penampilan yang jauh berbeda dari sebelumnya. Rambut panjangnya disanggul. Kulit putihnya terlihat lebih berkilau bahkan bibir yang tak pernah ia oles dengan pemerah bibir kali ini, ia olesi sedikit.

"Aku berharap setelah ini, suamiku mencintai diriku," ucap Alice penuh harap.

Menghela napas dalam, ia tersenyum kecil, meraih tas kecil di atas nakas dan melangkah turun ke lantai bawah dengan sangat hati-hati.

"Mau kemana kamu, Alice?" Luna melangkah ke arah menantunya, menatap dari atas sampai bawah penampilan menantunya yang berbeda dari sebelumnya.

Alice melempar senyum, ia membuka mulut ingin menjawab, tetapi, Leonardo tiba-tiba datang dan menjawab pertanyaan ibunya.

"Ada pertemuan mendadak, Bu. Aku akan pergi dengan Alice." Leonardo sibuk memasang jam tangan mahal di lengan kanan.

Luna mengerutkan kening, ada rasa yang tidak ia terima di dalam hati. Mengetahui Alice akan ke pertemuan besar dengan anaknya, jelas Luna tidak terima. Di sana ada banyak orang-orang besar. Putranya adalah orang yang terpandang dan kehadiran Alice di sana tentu akan menimbulkan desas-desus.

Luna mencoba menahan putranya, memberi peringatan pada Leonardo agar memikirkan kembali rencana membawa Alice. Namun, Leonardo sudah bulat dengan keputusannya.

"Pikirkan lagi, Leo. Kamu bisa membawa Dara atau siapa pun wanita yang pantas, kenapa harus dia?" tanya Luna dengan mata mendelik ke arah menantunya.

Leonardo menekan pangkal hidung lebih kuat. Kepala berdenyut lebih keras, ocehan ini tetap sama. Dan ibunya seperti tidak akan bosan dengan ini.

Di saat yang sama, supir datang menghadap melaporkan mobil sudah siap dan mereka harus segera pergi. Leonardo berjalan lebih dulu, membiarkan Alice berjalan di belakang dengan langkah ragu.

Luna melengos masuk ke dalam kamar. Rasa kesal karena Leonardo selalu mengabaikan permintaannya semakin menambahkan beban dalam hidupnya.

"Anak itu, kenapa keras kepala sekali," gumam Luna dengan perasaan bercampur aduk.

**

"L-leon, apa sebaiknya aku tidak ikut denganmu, aku--" Alice meremas jarinya. Ucapan mertuanya sedikit mengusik hatinya. Bagaimana jika di pertemuan besar itu, Leonardo mendapat masalah karena kehadirannya?

"Jelaskan alasan yang masuk akal? Kamu ingin aku malu karena tidak membawamu?" Leonardo bertanya dengan suara teramat dalam. Ia masih sibuk dengan tablet mahal di tangan kanannya.

"I-itu ... Ibu sepertinya benar, aku bisa saja merusak pertemuan kalian nanti," jawabnya ragu.

"Bukan acara besar. Hanya pertemuan dengan beberapa klien jadi, duduk dengan benar."

Leonardo mendengar helaan napas berat Alice. Ia juga melihat dengan ekor mata istrinya meremas jeraminya sedikit kuat.

'Kenapa dia cemas sekali, bukankah ini bagus untuknya bebas dari pekerjaan rumah?' monolog Leonardo menggeleng pelan.

Sampai di tempat yang telah ditentukan, Leonardo keluar lebih dulu, terlihat ia membenarkan jas miliknya. Kemudian tidak berselang lama, Alice sudah berada di sebelahnya, berdiri dengan penampilan yang cantik.

Alice melihat papan nama yang tertulis besar di hadapan mereka. Restoran terbesar yang ia tahu, pengunjungnya adalah orang-orang besar.

"Jaga sikapmu nanti. Jangan menunduk, tunjukkan bahwa kamu adalah istriku," ujar Leonardo tanpa menoleh, ia tetap berdiri gagah dengan kaca mata yang selalu menghias wajah tampannya.

"Aku mengerti," jawab Alice walau tidak terlalu yakin.

Keduanya melangkah bersama dengan tangan Alice berada di dalam lipatan tangan Leonardo. Jika diperhatikan, keduanya terlihat serasi dan sangat cocok. Sayangnya, itu hanya bisa mereka lihat di malam ini saja.

Dengan jantung berdebar, Alice melangkah masuk. Bukan tidak percaya diri bertemu orang banyak, tetapi karena sikap manis Leonardo padanya.

Sampai di depan pintu ruangan bertulis VVIP, Alice dan Leonardo masih tetap bergandengan. Namun kemudian, ponsel milik Leonardo berdering. Alice melihat sekilas nama Dara tertera di sana.

"Masuk lebih dulu, aku angkat panggilan seseorang sebentar." Alice belum menjawab, Leonardo sudah berlalu begitu saja.

Alice tersenyum kecil, rasa sakit menjalar di hatinya. Ia sudah mengira malam ini akan menjadi malam yang manis untuk mereka. Akan tetapi, sekarang dia tersadar, Leonardo masih belum menerima dirinya.

"Nyonya silakan masuk!"

Alice mengangguk, ia melangkah masuk sendiri. Seketika semua orang yang sudah berada di dalam menoleh ke arahnya. Ada tatapan asing ia terima, ada juga tatapan bingung dan yang lebih banyak tatapan acuh.

Seorang wanita cantik mendekat ke arahnya, menelisik dirinya dari atas sampai bawah. "Wah, siapa yang kita lihat ini?" katanya dengan suara mengejek.

"Dengan siapa kau datang? Apa kekasihmu tidak tahu, jika yang hadir adalah orang penting?"

Beberapa orang datang ke arahnya. Alice masih memasang wajah tenang walau sebenarnya dia sudah merasa khawatir di dalam hati. Ia berdoa semoga Leonardo segera datang dan menolongnya.

"Kau kenal dia?" tanya yang lain menatap pada wanita yang menegur Alice tadi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status