Beberapa saat setelah berhasil keluar rumah. Alice yang sudah berada di dalam taxi lantas menghubungi Leonardo kembali.
Namun, setelah beberapa kali mencoba, Leonardo masih belum menerima panggilan darinya. Tidak putus asa, Alice terus mencoba sampai berhasil. "Halo, Leo, apa kau sibuk?" Sumringah Alice ketika panggilannya mendapatkan respon. Alice mengerutkan kening karena bukan suara Leonardo yang menjawab panggilannya. Itu suara wanita yang seketika membuat perasaannya aneh. "Kau siapa? Di mana suamiku, Leonardo?" tanya Alice dengan wajah datar. Entah kenapa, tetapi suara di balik layar memberikan radar bahaya pada rumah tangganya. "Saya, Dara, Leon--" jawab Dara. Akan tetapi, ia tidak segera melanjutkan ucapannya karena suara Alice kembali terdengar. "Dara?" ulang Alice lagi. "Heum, Anda siapa ya?" Terdengar lagi suara Dara dari balik layar. Alice langsung mematikan panggilan dengan sepihak, ada perasaan yang aneh menyelimuti hatinya saat nama itu disebutkan. Apalagi, saat menyadari Leonardo tidak menyematkan nama di ponsel miliknya. "Dara? Apakah dia wanita yang sering ibu sebut-sebut namanya selama ini?" ucap Alice dengan pandangan kabur menatap ponselnya yang sudah mati. "Apa Leonardo mengkhianati cintaku?" gumam Alice lagi. Menggeleng kuat, Alice mengusap air matanya dan memasukkan ponsel ke dalam tas miliknya. Hatinya sakit dan terasa nyeri. "Sudah aku katakan, Leo, aku tidak masalah jika ibumu terus menghinaku, tapi ... Leo, apa aku tidak bisa menjadi istri yang baik untukmu?" lirih Alice dengan air mata yang mulai menggenang di pelupuk mata. Alice terus memikirkan suara Dara, membayangkan apa yang Leonardo lakukan selama ini di belakangnya, semakin membuat dadanya sesak. Sementara itu, di tempat berbeda, tepatnya di sebuah kafe mewah milik keluarga Leonardo. Dara langsung meletakkan ponsel Leonardo kembali di tempat semula. Tadi, saat Alice menelepon, Leonardo ke toilet dan melupakan ponselnya di sebelah dokumen yang bertumpuk. Leonardo menatap ponselnya yang masih menyala lalu menatap Dara dengan tatapan selidik. "Siapa yang menelepon, Dara?" tanya Leonardo tanpa basa-basi. Dara menggeleng tidak ingin menjawab, tetapi Leonardo kembali menanyakan hal yang sama padanya. Hingga akhirnya karena tidak ingin menjadi pusat perhatian, Dara menjawab apa adanya. "Kau tidak mengatakan hal berlebihan kan, Dara?" tanya Leonardo memeriksa ponselnya dan memeriksa berapa lama Dara menerima panggilan dari Alice. Dara mendengus pelan, "Tidak, Pak. Saya tahu, mana batasan antara atasan dan bawahan," ujar Dara akhirnya. Leonardo menggeleng pelan dan duduk di sebelah Dara kembali. Posisi mereka memang terlihat berdekatan jika dilihat dari jauh. Tetapi, sebenarnya ada jarak yang nyata diantara mereka. "Jangan lakukan lagi. Jangan lewati batasmu, Dara," tegur Leonardo agar Dara tidak lagi sembarang menerima panggilan di ponsel miliknya. Leonardo melihat jam tangan mahal miliknya. Ada setengah jam lagi untuk kedatangan rekan istimewanya. Jadi, dia masih ada waktu untuk mempersiapkan diri dengan baik. Namun sebelum itu, dia kembali mencoba menghubungi Alice untuk menanyakan perihal istrinya menelepon. Leonardo mengerutkan kening karena ponsel milik Alice tidak bisa dihubungi, "Dia mematikan ponselnya?" gumam Leo tidak percaya. Selama ini, Alice tidak pernah mematikan ponsel karena wanita yang menjadi istrinya itu selalu mengisi baterai sampai penuh. "Sebenarnya apa yang Dara katakan pada Alice." Kembali Leonardo bertanya pada diri sendiri. Kemudian mencoba menghubungi Alice walau dia tahu hasilnya. Seperti dugaannya, Alice mematikan ponselnya. Ini pertama kali selama mereka menikah. Tidak ingin terlalu lama memikirkan Alice. Leonardo kembali ke meja di mana sudah ada Dara dengan dua orang pria yang baru saja terlihat datang. Leonardo melebarkan langkah dan menyambut tamu spesialnya. Leonardo mengulurkan tangan dengan wajah ramah. "Selamat datang Tuan Arsen." Pria yang memiliki senyum menawan itu pun menyambut tidak kalah ramahnya, "Senang bertemu dengan Anda juga tuan Leonardo," balasnya. Setelah itu, mereka duduk saling menghadap, dan tidak lama, makanan spesial yang sudah Dara pesan juga tiba. Arsen memasang wajah cerah, senang dengan jamuan yang rekan kerjanya ini berikan. "Sepertinya Anda memang sudah mempersiapkan semuanya dengan sempurna Tuan, Anda sangat tahu saya menyukai udang dan makanan laut lainnya," tukas Arsen kemudian. Semuanya tertawa akrab, tidak sulit untuk mendapatkan perhatian dari lawan, karena sebelum mereka bertemu Bram sudah mendapatkan semua informasi valid sebagai senjata. Mereka makan siang bersama dengan hangat. Arsen yang juga sudah tahu bagaimana rekannya tidak merasa canggung sama sekali. Beberapa kali ia menangkap sikap Dara yang menurutnya sedikit berlebihan dilakukan oleh sekretaris. Arsen juga bisa melihat tatapan tidak senang Leonardo atas tindakan Dara yang menurutnya tidaklah pantas ditunjukkan di depan umum. "Apakah wanita cantik ini--" "Jangan salah paham, Tuan. Dara adalah Sekretaris saya, kami sudah seperti kerabat hingga dia terkadang terlihat berlebihan," potong Leonardo cepat sebelum rumor tidak baik tersebar. Arsen tertawa dengan anggukan, ia jelas melihat bagaimana Dara yang langsung memasang wajah hampa atas ucapan Leonardo untuknya. Beberapa menit, meja kembali bersih dan layak digunakan. Leonardo menjelaskan dengan detail kenapa memilih perusahaan Arsen sebagai rekan kerja yang terbaik. Arsen mengangguk setuju dengan semua pujian yang Leonardo berikan. Ia juga mengakui jika mereka bekerja sama, bisnis yang mereka kelola akan semakin maju dan besar. Dua pemimpin Eropa yang tampan dan kaya bersatu, bukankah hal itu jauh lebih menggemparkan, apalagi setelah mereka berdua sukses dalam bisnis mereka, maka dengan mudah semua perusahaan kecil akan tunduk dan ikut menanam saham pada mereka. "Anda sangat luar biasa, Tuan. Sudah benar, tuan Horrison memilih Anda menjadi penerus, saya bisa melihat bahwa bisnis ini akan berkembang pesat," tukas Arsen kembali lagi. Dara senang, akhirnya apa yang Leonardo harapkan tercapai dengan mudah dan tanpa hambatan, apa pun. Arsen adalah pilihan terbaik, dan bersyukur Arsen juga menganggap Leonardo rekan yang bisa menguntungkan. "Senang bekerja sama dengan Anda, Tuan Horrison," kata Arsen menjabat uluran tangan Leonardo setelah menandatangani kontrak kerja sama. Leonardo juga mengatakan hal yang sama. Terlihat rasa puas karena bisa menaklukkan pria keras kepala seperti Arsen adalah prestasi yang patut diacungi jempol. Setelah kepergian Arsen dan Jhon, Dara bernapas lega. Sejak tadi, dia menahan diri untuk tetap bersikap baik di hadapan rekan kerja baru mereka. "Pak, Anda hebat sekali. Aku semakin bangga padamu." Dara ingin memeluk lengan Leonardo tetapi urung karena tatapan Leo yang langsung bisa ia tangkap. Dara merapikan kembali duduknya, ia menoleh pada Leo lagi dan berucap lembut. "Bagaimana kalau kita rayakan keberhasilan ini, di tempat biasa?" "Aku sibuk," tolak Leonardo langsung. "Tapi, kita sudah lama tidak keluar bersama, Leo. Ibumu juga pasti tidak akan marah." Dara masih terus merayu dengan mengusap lengan Leonardo lembut. Leonardo menatap Dara. Menghentikan gerakan tangan sekretarisnya yang mungkin saja bisa terlihat oleh orang lain dan itu menjadi bumerang terhadapnya. "Pergilah berlibur untuk beberapa waktu. Kau sudah bekerja keras beberapa hari ini," tukas Leonardo.Dalam ruangan berukuran besar dengan barang-barang mewah di dalamnya. Pria berusia 60 tahunan sedang berdiri dengan tangan di belakang punggung. Ia sedikit mendongak dengan tatapan rindu dan penyesalan. Sesekali ia menghela napas pelan dan berucap sangat lirih, "Sayang, maafkan Ayah Nak. Kembalilah, Ayah merindukan dirimu." Tuan Oscar adalah salah satu pria terkaya di Eropa. Kekayaannya yang melimpah dan dengan usaha yang tersebar di mana-mana membuat hidupnya bergelimang harta. Namun, kepergian putri sulungnya menjadi salah satu cambuk terbesar di usia tua, yang harusnya di kelilingi oleh orang-orang terkasih. Sekali lagi, tatapan rindu itu begitu nampak jelas dari mata yang sudah mulai mengabur. "Kembalilah, Nak. Ayah sangat merindukan semua tentangmu." Tuan Oscar mengusap air matanya pelan. Putri sulungnya, menghilang begitu saja, bahkan sampai saat ini, dia tak tahu di mana keberadaan gadis cantiknya. Ia masih mengingat senyum manis putrinya. Lesung pipi kecil ketika ia terseny
Delima keluar dari kamar suaminya, dengan wajah memerah. Ia tak menyangka Oscar begitu marah karena hal sepele seperti tadi. "Semua karena anak itu. Sudah tidak di sini, tetapi masih saja merepotkan," gerutu Delima melangkah ke arah dapur. Delima hanya ingin Silviana bahagia. Mendapatkan apa yang seharusnya putrinya memiliki. Kekayaannya, penghormatan dan juga cinta Arsen. Namun, pria angkuh itu selalu saja menolak menikahi putrinya dengan alasan yang tidak masuk akal menurutnya. Delima duduk dengan kepala semakin sakit. Seharian ia membujuk Silviana agar pulang ke rumah tetapi, putrinya itu tidak pernah mau mengindahkan perintahnya. Bahkan sekarang, Delima tidak tahu, di mana keberadaan Silvia. "Jangan terlalu tegang, Nyonya. Ada aku di sini," bisik seseorang di belakang Delima. Ibu kandung Silvia itu, langsung tersenyum merekah, bahkan masalah berat di kepala langsung menguap begitu saja. Ia mengangkat tangan dan menyentuh tangan kekar yang berada di pundaknya. Kekar dan kokoh
Karena Alice tidak juga menjawab pertanyaan darinya. Leonardo berbalik dan melangkah ke arah nakas. Ia meraih sebuah paper bag dan meletakkan itu di pinggir ranjang."Bersihkan dirimu. Satu jam lagi, turun dan temui aku." Leonardo melangkah keluar dari kamar. Menghiraukan Alice yang masih tercengang menatap hadiah yang ia berikan.Alice menoleh ketika pintu tertutup. Ia masih tidak percaya dengan apa yang Leonardo berikan padanya. Perlahan ia melangkah ingin melihat apa isi paper bag dengan logo mahal di baliknya.Satu tarikan di bibir, menandakan hal baik. Ini pertama kalinya setelah mereka menikah. Gaun hitam tanpa lengan, terasa lembut dan Alice tahu ini sangat mahal."Dia memberiku gaun," gumam Alice tersenyum cerah. Ini adalah gaun terbaik yang ia terima dari Leonardo."Aku harus bersiap. Jangan sampai Leon, menunggu terlalu lama." Alice melangkah cepat ke kamar mandi. Ia lupa tadi telah hancur karena perlakuan mertuanya di bawah sana. Tidak lama setelah itu, Alice sudah selesai
Melihat ada keributan. Pria dengan setelah jas berwarna biru gelas segera berlari untuk menengahi. Orang-orang yang sejak tadi juga penasaran dengan ayang yang terjadi ikut berdiri dan melangkah ke arah kerumunan.Alice menghela napas dalam. Ia berdoa semoga dalam kumpulan ini tidak seorang pun yang mengenali dirinya. Cukup Sartika yang tahu dengan latar belakang dirinya yang lama."Katakan kau datang dengan siapa Alice? Kenapa hanya diam saja?" Sartika tidak tahan dan langsung mendorong Alice dengan sebelah tangannya.Yang lain ikut terkejut, sebab mereka tidak menyangka Sartika karyawan baru begitu berani melakukan hal ini. "Bukankah ini istri tuan Leonardo?" ucap seorang wanita yang pernah menghadiri pernikahan tertutup Leonardo dan Alice tahun lalu.Sartika menoleh pada wanita yang berbicara barusan. Tatapannya penuh penuntutan. Ia sempat mendengar bahwa pemimpin mereka memang sudah memiliki istri. Tetapi, tidak satupun fotonya terlihat di laman web. Sartika menatap Alice lagi,
Di tempat yang berbeda, Silviana baru saja memasuki halaman rumahnya dengan perasaan masih sangat kesal. Ia gagal lagi bertemu dengan Arsen padahal sudah menunggu begitu lama di lobi. Pria itu, menghilang melewati jalan lain dan membiarkan dirinya menunggu seperti orang bodoh sepanjang hari. Delima tersenyum ketika putrinya kembali ia tidak bisa memejamkan mata karena Silvia tidak bisa iamhibungo sepanjang hari. "Nak, akhirnya kamu pulang, kamu darimana saja?" tanya Delima menyambut Silvia yang baru saja memasukkan kunci mobil ke dalam tas kecil miliknya. Silvia menoleh, ini sudah larut dan ibunya belum tertidur. Ia juga melihat mini bar masih menyala. Silviana mendekat, ia mencium aroma ibunya dan benar seperti apa yang ia pikirkan. "Bu. Lihatlah usiamu. Ibu sudah tidak muda lagi, kenapa masih minum!" Silviana berjalan ke arah bar, ia ingin melihat berapa banyak yang ibunya habiskan, tetapi Delima segera menahan tangan putrinya dan menghadangnya. Silviana mengerutkan ken
"Alice singkirkan tubuhmu." Leonardo menggerakkan tubuhnya pelan agar Alice melepas pelukannya. Namun, itu semakin membuat pelukan Alice semakin erat di pinggang suaminya. Sepanjang jalan, sepanjang itu juga Alice berada dalam pelukan suaminya. Dalam hati, ia berdoa jika jalan ke rumah semakin panjang dan dia bisa menempel lebih lama.Sebenarnya, sejak Leonardo menutup tubuhnya dengan jas, Alice sudah tersadar hanya saja dia enggan membuka mata karena tak ingin momen indah ini berakhir.Alice juga sadar jika ia memeluk tubuh suaminya, karena itulah, diam-diam ia tersenyum ketika Leonardo mengusap tubuhnya sesekali. 'Sudah aku katakan Leon, kamu akan jatuh cinta padaku nanti,' batin Alice kembali memejamkan mata dan mengeratkan pelukan.Sepanjang jalan, Alice yang awalnya masih pura-pura menutup mata akhirnya kembali terlelap, dia sungguh lelah karena seharian bekerja.Hingga mereka sampai di halaman rumah mewah nan megah, Leonardo masih menunggu Alice membuka mata. Ia dengan sabar d
Leonardo menggeleng pelan, ia tetap meneruskan aktifitasnya membenarkan dasinya yang terlihat miring. Setelah itu, setelah ia merasa semua terlihat baik, barulah ia mengenakan jas hitam yang sudah Alice siapkan beberapa menit yang lalu."Leon, aku boleh bertanya, tidak?" Alice masih tak berkedip menatap mata indah suaminya."Tanyakan saja."Alice meremas jarinya, lalu mendekat lebih rapat. "Apa kamu malu memiliki istri miskin sepertimu?"Leonardo menghentikan gerakan tangannya, ia menoleh pada Alice yang begitu ingin tahu jawaban apa yang harus ia keluarkan.Sementara Alice sudah berdebar, bukan tidak siap ditolak karena selama menikah dia selalu ditolak, hanya saja, jika ditatap lebih dalam, jantungnya seperti ingin berhenti berdetak."Kenapa menanyakan itu sekarang?"Alice berdecak kecil, ia sudah menebak jika ia akan kecewa akhirnya, "Kalau begitu, beri aku waktu untuk tampil cantik untukmu, ya. Aku--""Tidak perlu lakukan apa pun. Kerjakan saja tugasmu seperti biasa." Leonardo mel
"Katakan sekarang, di mana putriku!" Di dalam ruang kerjanya. Oscar sudah tidak tahan lagi mendengarkan apa yang akan dilaporkan oleh orang-orangnya. Tidak rugi membayar lebih, sebentar lagi, dia akan menemukan di mana keberadaan putri sulungnya, Alice Amelia.Pria berbadan besar dengan kaca mata hitam mendekat. Pintu sudah di tutup rapat jadi, tak ada yang akan mendengar apa yang akan disampaikannya. Namun, mereka lupa, ada seseorang yang sejak tadi juga tidak sabar dengan berita yang akan di sampaikan.Oscar melirik ke arah Eldhan orang kepercayaannya. Pria yang tadi yang memberitahu tentang berita ini lebih awal."Eldhan, tolong pastikan pintu tertutup dengan baik." Eldhan mengangguk dan langsung berjalan ke arah pintu, memastikan pintu tertutup dengan benar. Saat itulah, pria berbadan besar tadi, menyerahkan kertas kecil pada Oscar.Setelah itu, Eldhan kembali berdiri pada tempatnya semula. Tidak membuang waktu, Oscar menatap pria yang tadi masih berdiri di hadapannya untuk berbi