Share

Bab 2

Beberapa pelayan yang tadi sempat berada di sana dan menyaksikan semua yang terjadi mendekat dan menolong Alice.

Mereka semua ikut sedih tetapi tidak berani melakukan apa pun.

"Nyonya, maaf karena kami tidak melihat kondisi dapur sebelumya," kata salah seorang di antara mereka.

Alice berdiri dan menatap penampilannya yang semakin kacau, ia menghela napas dan menggeleng. "Bukan salah kalian. Pergilah, lanjutkan pekerjaan kalian lagi."

"Tapi, Nyonya Anda--"

"Tidak masalah, aku akan bersihkan dapur setelah itu membersih diri," potongnya cepat. Jika tidak segera membersihkan dapur, ibu mertuanya bisa kembali murka.

**

Setelah kejadian pagi tadi, Leonardo segera bergegas berangkat ke kantor.

"Selamat pagi, Pak," sambut wanita cantik dengan rambut sebahu.

Leonardo hanya mengangguk, dia bahkan tidak tertarik memperhatikan Dara terlalu lama. Wanita dengan setelan formal itu hanya tersenyum kecut, lalu menekan tombol paling atas untuk sampai ke ruangan CEO.

Sementara itu, pria yang berada di sebelah Leonardo hanya berdehem kecil lalu menatap Dara dengan tatapan peringat. Dia menyadari bahwa sekretaris Bosnya ini seperti sengaja menggoda dengan penampilannya yang aduhai seksi.

Dara yang tahu tatapan itu lantas memalingkan wajah dan kembali menatap lurus ke arah pintu.

Tidak berselang lama, pintu lift terbuka. Leonardo merapikan jas miliknya lalu melangkah keluar disusul oleh Bram dan juga Dara di belakangnya.

Tiba di meja miliknya, Dara meletakkan tas dan juga bersiap untuk duduk. Akan tetapi, belum juga bokongnya menempel, Leonardo memintanya menghadap ke dalam ruangannya.

"Dara, ikut ke ruangan!" seru Leonardo menatap sekilas sekretaris pribadinya.

Dara menoleh cepat dan berucap,"Baik. Saya ke ruangan Bapak setelah ini."

Selesai mendengar jawaban Dara, Leonardo dan Bram langsung berlalu dan masuk ke dalam ruangan.

Beberapa karyawan lain saling senggol, tatapan Dara pada Bos mereka jelas sekali terlihat sangat berbahaya. Dara bisa melihat dan juga mendengar mereka berbisik membicarakan dirinya. Tetapi, mana peduli dirinya dengan omongan itu?

"Kerjakan saja tugas kalian. Jangan terlalu sibuk mengurusi urusan orang lain." Dara melangkah dengan anggun melewati mereka yang semakin tercengang atas ucapannya.

Dara sudah berdiri di depan pintu berukuran besar dengan cat berwarna hitam, beberapa kali menghela napas, setelahnya langsung mengetuk pintu dan masuk setelah mendengarkan perintah.

Dara mengucapkan salam lagi setelah berada di dalam ruangan. Tetapi, hanya Bram---Asisten Leonardo saja yang mengangguk.

Dara tetap tersenyum dan menoleh pada Bram. Pria yang tak kalah tampannya dari Leonardo itu tetap memberi senyuman hangat walau terkadang dia juga bisa memasang wajah garang.

"Dara, duduklah dan berikan hasil pekerjaanmu semalam," kata Bram pada Dara.

Dara melirik Leonardo dengan ekor matanya. Pria itu sama sekali tidak bisa tersentuh sama sekali. Dara menghela napas pelan kemudian duduk di hadapan Bram yang sudah siap dengan laporannya.

"Saya sudah mengerjakan seperti yang Pak Bram ajarkan. Silakan diperiksa dulu," ujar Dara masih tetap berharap Leonardo mendekat dan mereka duduk bertiga.

Bram meraih dokumen yang Dara berikan, kemudian kembali bertanya, "Kau sudah atur pertemuan Bos dengan tuan Arsen?"

Dara menoleh pada Leonardo dan mengangguk, setelah kembali patah hati karena Leonardo tidak juga menatapnya barulah Dara menjawab, "Saya sudah mengaturnya, Pak. Tuan Arsen meminta bertemu saat makan siang."

Leonardo mendengar dengan jelas apa yang Bram dan Dara bicarakan sejak tadi. Pertemuan dengan tuan Arsen adalah pertemuan yang sangat penting untuk kemajuan perusahaan miliknya. Kerja sama yang akan dilakukan akan menggemparkan perusahaan lain yang pernah menolak bekerja sama dengan dirinya.

"Baiklah, kalau begitu, atur semua dengan baik." Bram berdiri setelah memeriksa semua dokumen yang Dara kerjakan. Kemudian pria itu melangkah ke arah tengah ruangan dan berpamitan pada Bosnya.

"Bos, saya melanjutkan pekerjaan saya. Permisi." Bram undur diri setelah mendapatkan persetujuan.

Sekarang tinggallah Dara dan Leonardo berdua di dalam ruangan. Pria itu baru mengangkat wajah setelah Bram keluar dari ruang.

Dara mendekat dengan senyum merekah, bahkan Leonardo tidak tahu kapan Dara melepas satu kancing kemeja miliknya.

"Pak, Anda ingin kopi?" bisik Dara setengah menggoda. Bahkan wanita berambut sebahu itu sudah duduk di meja dengan gaya sensual.

Leonardo langsung bersandar di badan kursi dengan tangan bersedekap. Menatap datar Dara yang terus memainkan jemarinya di meja dengan cara mengetuk pelan.

Tidak tahan karena Leo tidak juga mengerti dengan keinginannya, Dara langsung menegakkan badan dan duduk di pangkuan Leonardo tanpa aba-aba.

"Jangan terlalu keras mendiami ku. Aku tidak suka." Dara ingin menyentuh wajah Leonardo, tetapi lebih cepat ditepis dan dicekal.

"Ingat, kau di mana, Dara. Bram bisa saja masuk dan melihat bagaimana kau dengan tidak sopan duduk di pangkuanku." Leonardo masih menatap Dara dengan tenang.

Dara mendengus kesal dan berucap, "Aku bosan berpura-pura setiap hari. Kenapa tidak kau katakan saja pada mereka kalau kita--"

"Turun!" potong Leonardo cepat.

Dara menarik napas panjang dan menggeleng. "Tidak! Aku ingin lebih lama bermesraan denganmu seperti ini."

Tidak membuang kesempatan, Dara kembali menjalankan aksinya. Ia membuat lingkaran dengan jarinya pada kemeja Leonardo. "Kau cepat sekali berubah Leo. Setidaknya biarkan aku bersamamu walaupun itu hanya sebentar."

Sekali lagi, Leonardo menghentikan gerakan jari Dara yang melingkar di kemejanya, lalu memintanya untuk berdiri.

"Turun, atau kau keluar dari ruanganku!" ucap Leonardo masih dengan tatapan teduh.

Dara sempat mengerucutkan bibir, tetapi ia menurut. Ini masih terlalu cepat untuk dia keluar dari ruangan Leonardo.

Leonardo melangkah melewati Dara, lalu berdiri di depan dinding besar dan terus menatap bangunan-bangunan megah di bawah sana.

Sementara itu, Dara langsung merapikan rok span sebatas lutut miliknya dan mengancing kembali kemejanya seperti semula. Setelah itu, ia melangkah dan berdiri di sebelah Leonardo.

Beberapa saat hening, Dara menoleh dan bertanya dengan serius, "Apakah kau sudah mencintai istrimu?"

"Itu bukan pekerjaanmu, Dara. Jadi, jangan tanyakan hal di luar tugasmu," jawab Leo seadanya.

Suami Alice itu, lantas membalikkan tubuh menghadap Dara sang sekretaris, "Keluarlah, buatkan aku kopi seperti biasa!"

Dara menghentakkan kaki, kesal. Dia tidak pernah mendapatkan jawaban memuaskan setiap kali menanyakan soal istri Leonardo.

"Leo, aku serius. Apakah karena itu, kau terus menolak ku sentuh?" tanya Dara dengan rasa tidak sabar.

"Pergilah, buatkan aku kopi seperti yang kau tawarkan tadi!"

Dara menghentakkan kaki kesal, keluar dari ruangan Leonardo. Sementara itu, Leonardo hanya terkekeh kecil, melihat tingkah Dara yang tidak menyerah sedikitpun.

"Dia memang berbeda," monolog Leonardo.

•••••

Alice sudah terlihat rapi walaupun dia hanya mengenakan pakaian sederhana. Rambut coklat miliknya diikat dengan pita berwarna cream kesukaannya.

Dengan langkah ragu, ia melangkah ke arah kamar ibu mertuanya. Menghela napas panjang lalu menghembuskan dengan pelan, Alice mengetuk pintu.

Luna membuka pintu dengan tatapan sinis, ia bersedekap dan menatap Alice malas. "Katakan apa maumu?" Luna mendengus pelan.

Alice tersenyum kecil dan berucap pelan, "Ibu, aku akan kerumah Ibuku. Mungkin pulang sedikit terlambat."

Luna menoleh cepat, seperti tidak terima dengan apa yang Alice katakan barusan. Ia mendekat dan menatap tajam menantunya. "Kau pasti beralasan agar tidak bekerja benarkan?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status