"L-leon, apakah kau bisa ikut … denganku?" Alice terlihat tergugup dan masih terus berusaha membujuk Leonardo agar ikut dengannya ke rumah orang tua Alice.
Alice mengekor kemanapun Leonardo melangkah, bahkan Alice dengan sengaja menghalangi langkah sang suami yang ingin bercermin. "Alice, jangan kekanakan!" seru Leonardo menatap Alice dengan tatapan jengah. Alice mengerucutkan bibir. Dia tidak marah sama sekali walaupun Leonardo sering kali menganggapnya tidak ada. Bahkan Leonardo sering kali menatapnya dengan tatapan remeh. Alice menghembuskan napas pelan, ia berdiri di hadapan Leonardo yang masih serius dengan kegiatannya memasang dasi berwarna biru. Suaminya ini selalu terlihat tampan dari sisi manapun. "Sini, biar aku bantu memakainya." Alice sudah siap, tangannya sudah akan menyentuh kerah kemeja suaminya sebelum Leonardo menepis keras tangannya. "Jauhkan tanganmu!" Leonardo menatap Alice dengan tatapan yang menghunus. Membuat Alice menjauhkan tangannya dari Leonardo dan juga melangkah mundur. "Hanya sekali saja. Ibuku ulang tahun, aku ingin memberinya kejutan dengan kehadiranmu," ujar Alice dengan wajah memohon. Selama mereka menikah Leonardo tidak pernah sekalipun datang menjenguk ibu mertuanya. Leonardo menoleh ke arah Alice, menatap sang istri yang tidak pernah berpenampilan menarik di matanya. Alice lebih menyukai pakaian sederhana yang membuatnya nampak seperti gadis biasa. "Belikan apa saja yang ibumu inginkan, tapi jangan memaksaku ikut denganmu." Alice menatap nanar kepergian Leonardo, pria itu meninggalkannya tanpa memenuhi keinginannya. Alice menghela napas kasar, sudah pasrah dengan keputusan Leonardo. Memang tidak mudah meluluhkan hati sang suami, tetapi Alice yakin, suatu saat nanti, mereka bisa saling mencintai dan hidup bahagia. Alice akhirnya pergi sendiri. Baru saja kakinya melangkah masuk ke kamar mandi, teriakan nyaring dari ibu mertuanya langsung membuatnya terkejut. Alice lantas bergegas keluar kamar dan berlari menuruni anak tangga. Tidak hanya dia, tetapi beberapa pelayan juga sudah berlari ke arah sumber suara. Namun, tidak ada yang berani mendekat karena nyonya rumah jelas memanggil nama Alice---sang menantu. Alice adalah orang yang lebih dulu sampai di ruang makan. Ia langsung mengangkat kaki ketika sandal yang ia kenakan basah. Alice yang keheranan langsung melangkah pelan sambil menyapu ke segala arah. Hingga ia menemukan di mana ibu mertuanya berada dengan penampilan yang sangat memprihatinkan. Ibu kandung Leonardo itu terlihat meringis memegang pinggangnya di pojok meja makan. "I-ibu, apa yang terjadi?" tanya Alice pada ibu mertuanya yang masih dengan posisi memegang pinggang. Terlihat juga pakaian bagian bawah Luna basah terkena tumpahan sup. Alice masih merasa heran, kenapa lantai bisa sebasah ini. Padahal seingatnya sebelum dia naik ke lantai atas menemui Leonardo, lantainya sudah kering. Dengan sangat hati-hati, istri Leonardo itu mendekat untuk menolong. Akan tetapi, belum saja tangannya menyentuh, Luna sudah menepisnya dengan keras. "INI ULAHMU!" Luna, Ibu Leon berteriak nyaring di depan wajah Alice. Alice terkejut dengan teriakan Ibu mertuanya, tetapi ia tetap mencoba menolong tetapi di tolak lagi dengan tatapan semakin tajam. Tidak berselang lama, Leonardo tiba setelah menerima panggilan penting dari kantor. Wajahnya bahkan terlihat semakin kusut ketika sampai di ruang makan setelah memperhatikan sekeliling. Pertikaian ibu dan istrinya seperti tidak akan pernah ada habisnya. Ia menatap Alice yang juga sudah memasang wajah kaku. Sementara itu, Luna tidak ingin diabaikan langsung memasang wajah sedih, ia mengulurkan tangan ke arah sang putra agar membantunya berdiri. "Apa yang terjadi di sini?" tanya Leo membawa sang ibu ke tempat yang lebih aman. Penampilan Ibunya sangat memprihatinkan dan dia tahu siapa pelakunya. Luna menatap sinis pada Alice dan mengadu. "Ibu rasa, wanita itu sengaja membuat Ibu terjatuh, Leo. Lihatlah lantai dapur kita yang basah." Mendengar tuduhan itu, Alice menatap Leo dengan mata yang sudah berkaca-kaca, ia menggeleng dan mencoba mengatakan bahwa itu semua bukan kesalahannya. "Minta maaf pada Ibu, Alice!" pinta Leonardo sudah lelah melihat pertengkaran ibu dan istrinya. Alice menoleh kembali pada Leonardo, dia bingung kenapa harus meminta maaf sedangkan bukan dia yang membuat lantai basah hingga sup panas itu tumpah. "T-tapi, bukan aku--" Alice tidak melanjutkan perkataannya karena mendapatkan tamparan dari ibu mertuanya. "Bodoh! Bukan hanya bodoh, tetapi kamu juga pintar mencari pembelaan di depan anakku!" Leonardo yang tidak ingin terjadi kekerasan pada Alice lagi, segera mendekat ke arah ibu dan istrinya. Ia mencekal tangan ibunya kuat lalu menatap Alice tajam. "Minta maaf, sekarang!" Alice menggigit bibir dalamnya, tatapan tajam Leo padanya begitu dingin. "T-tapi Leo, aku--" Menghela napas, Alice menatap ibu mertuanya dan berucap, "Ibu, aku--" Luna sudah terlanjur kesal. Dia bahkan tidak membiarkan Alice mengucapkan satu katapun. Wanita separuh abad itu berlalu bersama sang putra---Leonardo. Hancur sudah hatinya. Alice luruh ke atas lantai basah dengan air mata yang mulai jatuh. Leonardo bahkan tidak mau mendengarkan penjelasannya. ‘Apa yang bisa aku harapkan dari keluarga ini?’ lirihnya dengan menatap hampa kepergian sang mertua dan suaminya.Beberapa pelayan yang tadi sempat berada di sana dan menyaksikan semua yang terjadi mendekat dan menolong Alice. Mereka semua ikut sedih tetapi tidak berani melakukan apa pun. "Nyonya, maaf karena kami tidak melihat kondisi dapur sebelumya," kata salah seorang di antara mereka. Alice berdiri dan menatap penampilannya yang semakin kacau, ia menghela napas dan menggeleng. "Bukan salah kalian. Pergilah, lanjutkan pekerjaan kalian lagi." "Tapi, Nyonya Anda--" "Tidak masalah, aku akan bersihkan dapur setelah itu membersih diri," potongnya cepat. Jika tidak segera membersihkan dapur, ibu mertuanya bisa kembali murka. ** Setelah kejadian pagi tadi, Leonardo segera bergegas berangkat ke kantor. "Selamat pagi, Pak," sambut wanita cantik dengan rambut sebahu. Leonardo hanya mengangguk, dia bahkan tidak tertarik memperhatikan Dara terlalu lama. Wanita dengan setelan formal itu hanya tersenyum kecut, lalu menekan tombol paling atas untuk sampai ke ruangan CEO. Sementara itu, pr
Beberapa saat setelah berhasil keluar rumah. Alice yang sudah berada di dalam taxi lantas menghubungi Leonardo kembali. Namun, setelah beberapa kali mencoba, Leonardo masih belum menerima panggilan darinya. Tidak putus asa, Alice terus mencoba sampai berhasil. "Halo, Leo, apa kau sibuk?" Sumringah Alice ketika panggilannya mendapatkan respon. Alice mengerutkan kening karena bukan suara Leonardo yang menjawab panggilannya. Itu suara wanita yang seketika membuat perasaannya aneh. "Kau siapa? Di mana suamiku, Leonardo?" tanya Alice dengan wajah datar. Entah kenapa, tetapi suara di balik layar memberikan radar bahaya pada rumah tangganya. "Saya, Dara, Leon--" jawab Dara. Akan tetapi, ia tidak segera melanjutkan ucapannya karena suara Alice kembali terdengar. "Dara?" ulang Alice lagi. "Heum, Anda siapa ya?" Terdengar lagi suara Dara dari balik layar. Alice langsung mematikan panggilan dengan sepihak, ada perasaan yang aneh menyelimuti hatinya saat nama itu disebutkan. Apalagi, saat
Dalam ruangan berukuran besar dengan barang-barang mewah di dalamnya. Pria berusia 60 tahunan sedang berdiri dengan tangan di belakang punggung. Ia sedikit mendongak dengan tatapan rindu dan penyesalan. Sesekali ia menghela napas pelan dan berucap sangat lirih, "Sayang, maafkan Ayah Nak. Kembalilah, Ayah merindukan dirimu." Tuan Oscar adalah salah satu pria terkaya di Eropa. Kekayaannya yang melimpah dan dengan usaha yang tersebar di mana-mana membuat hidupnya bergelimang harta. Namun, kepergian putri sulungnya menjadi salah satu cambuk terbesar di usia tua, yang harusnya di kelilingi oleh orang-orang terkasih. Sekali lagi, tatapan rindu itu begitu nampak jelas dari mata yang sudah mulai mengabur. "Kembalilah, Nak. Ayah sangat merindukan semua tentangmu." Tuan Oscar mengusap air matanya pelan. Putri sulungnya, menghilang begitu saja, bahkan sampai saat ini, dia tak tahu di mana keberadaan gadis cantiknya. Ia masih mengingat senyum manis putrinya. Lesung pipi kecil ketika ia terseny
Delima keluar dari kamar suaminya, dengan wajah memerah. Ia tak menyangka Oscar begitu marah karena hal sepele seperti tadi. "Semua karena anak itu. Sudah tidak di sini, tetapi masih saja merepotkan," gerutu Delima melangkah ke arah dapur. Delima hanya ingin Silviana bahagia. Mendapatkan apa yang seharusnya putrinya memiliki. Kekayaannya, penghormatan dan juga cinta Arsen. Namun, pria angkuh itu selalu saja menolak menikahi putrinya dengan alasan yang tidak masuk akal menurutnya. Delima duduk dengan kepala semakin sakit. Seharian ia membujuk Silviana agar pulang ke rumah tetapi, putrinya itu tidak pernah mau mengindahkan perintahnya. Bahkan sekarang, Delima tidak tahu, di mana keberadaan Silvia. "Jangan terlalu tegang, Nyonya. Ada aku di sini," bisik seseorang di belakang Delima. Ibu kandung Silvia itu, langsung tersenyum merekah, bahkan masalah berat di kepala langsung menguap begitu saja. Ia mengangkat tangan dan menyentuh tangan kekar yang berada di pundaknya. Kekar dan kokoh
Karena Alice tidak juga menjawab pertanyaan darinya. Leonardo berbalik dan melangkah ke arah nakas. Ia meraih sebuah paper bag dan meletakkan itu di pinggir ranjang."Bersihkan dirimu. Satu jam lagi, turun dan temui aku." Leonardo melangkah keluar dari kamar. Menghiraukan Alice yang masih tercengang menatap hadiah yang ia berikan.Alice menoleh ketika pintu tertutup. Ia masih tidak percaya dengan apa yang Leonardo berikan padanya. Perlahan ia melangkah ingin melihat apa isi paper bag dengan logo mahal di baliknya.Satu tarikan di bibir, menandakan hal baik. Ini pertama kalinya setelah mereka menikah. Gaun hitam tanpa lengan, terasa lembut dan Alice tahu ini sangat mahal."Dia memberiku gaun," gumam Alice tersenyum cerah. Ini adalah gaun terbaik yang ia terima dari Leonardo."Aku harus bersiap. Jangan sampai Leon, menunggu terlalu lama." Alice melangkah cepat ke kamar mandi. Ia lupa tadi telah hancur karena perlakuan mertuanya di bawah sana. Tidak lama setelah itu, Alice sudah selesai
Melihat ada keributan. Pria dengan setelah jas berwarna biru gelas segera berlari untuk menengahi. Orang-orang yang sejak tadi juga penasaran dengan ayang yang terjadi ikut berdiri dan melangkah ke arah kerumunan.Alice menghela napas dalam. Ia berdoa semoga dalam kumpulan ini tidak seorang pun yang mengenali dirinya. Cukup Sartika yang tahu dengan latar belakang dirinya yang lama."Katakan kau datang dengan siapa Alice? Kenapa hanya diam saja?" Sartika tidak tahan dan langsung mendorong Alice dengan sebelah tangannya.Yang lain ikut terkejut, sebab mereka tidak menyangka Sartika karyawan baru begitu berani melakukan hal ini. "Bukankah ini istri tuan Leonardo?" ucap seorang wanita yang pernah menghadiri pernikahan tertutup Leonardo dan Alice tahun lalu.Sartika menoleh pada wanita yang berbicara barusan. Tatapannya penuh penuntutan. Ia sempat mendengar bahwa pemimpin mereka memang sudah memiliki istri. Tetapi, tidak satupun fotonya terlihat di laman web. Sartika menatap Alice lagi,
Di tempat yang berbeda, Silviana baru saja memasuki halaman rumahnya dengan perasaan masih sangat kesal. Ia gagal lagi bertemu dengan Arsen padahal sudah menunggu begitu lama di lobi. Pria itu, menghilang melewati jalan lain dan membiarkan dirinya menunggu seperti orang bodoh sepanjang hari. Delima tersenyum ketika putrinya kembali ia tidak bisa memejamkan mata karena Silvia tidak bisa iamhibungo sepanjang hari. "Nak, akhirnya kamu pulang, kamu darimana saja?" tanya Delima menyambut Silvia yang baru saja memasukkan kunci mobil ke dalam tas kecil miliknya. Silvia menoleh, ini sudah larut dan ibunya belum tertidur. Ia juga melihat mini bar masih menyala. Silviana mendekat, ia mencium aroma ibunya dan benar seperti apa yang ia pikirkan. "Bu. Lihatlah usiamu. Ibu sudah tidak muda lagi, kenapa masih minum!" Silviana berjalan ke arah bar, ia ingin melihat berapa banyak yang ibunya habiskan, tetapi Delima segera menahan tangan putrinya dan menghadangnya. Silviana mengerutkan ken
"Alice singkirkan tubuhmu." Leonardo menggerakkan tubuhnya pelan agar Alice melepas pelukannya. Namun, itu semakin membuat pelukan Alice semakin erat di pinggang suaminya. Sepanjang jalan, sepanjang itu juga Alice berada dalam pelukan suaminya. Dalam hati, ia berdoa jika jalan ke rumah semakin panjang dan dia bisa menempel lebih lama.Sebenarnya, sejak Leonardo menutup tubuhnya dengan jas, Alice sudah tersadar hanya saja dia enggan membuka mata karena tak ingin momen indah ini berakhir.Alice juga sadar jika ia memeluk tubuh suaminya, karena itulah, diam-diam ia tersenyum ketika Leonardo mengusap tubuhnya sesekali. 'Sudah aku katakan Leon, kamu akan jatuh cinta padaku nanti,' batin Alice kembali memejamkan mata dan mengeratkan pelukan.Sepanjang jalan, Alice yang awalnya masih pura-pura menutup mata akhirnya kembali terlelap, dia sungguh lelah karena seharian bekerja.Hingga mereka sampai di halaman rumah mewah nan megah, Leonardo masih menunggu Alice membuka mata. Ia dengan sabar d